Anda di halaman 1dari 28

i

MAKALAH
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LAKI-LAKI YANG MENJADI
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(studi kasus Marsiyati)

DOSEN PENGASUH : YURIKA F DEWI, S.H., MH


Oleh:

NAMA

: ERIK SOSANTO

NIM

: EAA 110 039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2013

LEMBAR PENGESAHAAN

DISUSUN OLEH :

NAMA

NIM

TTD

ERIK SOSANTO

EAA 110 039

............

ii

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya
dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan
kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas
dan pedoman yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Yang Menjadi
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati).
Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber
buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Perlindungan Hukum
Terhadap Laki-Laki Yang Menjadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi
Kasus Marsiyati).yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali
kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat
dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan
benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis
miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.
Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

iii

iii

Palangka Raya,
Penulis,

ERIK SOSANTO
EAA 110 039

iv

Oktober 2013

iv

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................

ii

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

iii

DAFTAR ISI .........................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................................

1.2. Perumusan Masalah .....................................................................................

1.3. Tujuan Penulisan ..........................................................................................

1.4. Metode Penulisan .........................................................................................

1.5. Manfaat Penulisan ........................................................................................

1.6. Sistematika penulisan ...................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1

Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga ................

2.2

Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Yang Menjadi Korban


Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati)..................... ....

12

BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ..................................................................................................

20

3.2. Saran .............................................................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kekerasan yang berbasis gender yang sering terjadi saat ini adalah
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Tindak pidana tersebut memiliki
karakteristik tersendiri, terletak pada subjeknya yang spesifik yaitu pelaku sekaligus
korbannya berada pada lingkup rumah tangga. Diatur dalam pasal 2 UU No. 23
Tahun 2004. Makna sesungguhnya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
menurut UU No. 23 Tahun 2004 adalah mencegah segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kejahatan dalam rumah tangga, memelihara rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera yang merupakan perwujudan prinsip persamaan hak dan penghargaan
terhadap martabat manusia.
Makna sesungguhnya penghapusan kekersan dalam rumah tangga dalam
undang-undang ini adalah mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
(tujuan preventif), melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga (tujuan
Protektif), menindak pelaku kejahatan dalam rumah tangga (tujuan Represif), dan
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (tujuan konsolidatif)
yang merupakan perwujudan prinsip persamaan hak dan penghargaan terhadap
martabat manusia.
Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru.
Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, seperti

yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya pencurian
dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP, penganiayaan (Pasal 351 KUHP), perkosaan
(Pasal 285).Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang
dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul.
Jadi, sifatnya kasuistis. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik
laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa. Namun, yang menarik
perhatian publik adalah kekerasan yang menimpa kaum laki-laki (suami). Apalagi
kalau kekerasan tersebut terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Seringkali tindak
kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian,
karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut
dari pandangan publik. Kadang juga disebut domestic violence (kekerasan domestic),
karena terjadinya kekerasan di ranah domestic. Dalam kenyataannya sangat sulit
untuk mengukur secara tepat luasnya kekerasan terhadap laki-laki, karena ini berarti
harus memasuki wilayah peka kehidupan laki-laki, yang mana laki-laki sendiri
enggan membicarakannya.Namun demikian, terdapat banyak studi yang melaporkan
mengenai jenis kekerasan yang sangat meluas yaitu kekerasan dalam rumah tangga,
khususnya kekerasan yang dilakukan oleh Istri atau pasangan terhadap suaminya dan
sebaliknya.
Hal ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan yang mana kasus kekerasan
dalam rumah tangga tidak lagi didominasi oleh kaum laki-laki saja tetapi kaum
perempuan pun dapat melakukan tindak perbuatan yang melawan hukum. Seperti

kasus Marsiyati (33), warga Dusun Langsar Laok, Desa Langsar, Kecamatan
Saronggi, Sumenep, Madura, Jawa Timur, nekat memotong alat vital suaminya
sendiri, Hasanah Riyadi (38). Kejadian tersebut membuka mata kita khususnya kaum
laki-laki yang biasanya lebih berkuasa atau bisa disebut kuat dalam segala hal, Dibuat
tidak percaya dengan tindakan kaum perempuan. Perempuan tidak lagi seperti yang
kita bayangkan dengan sikap yang lembut hatinya. Semua itu membalikkan fakta
bahwa tidak semua laki-laki yang selalu merupakan pelaku kekerasan dalam rumah
tangga.
Berdasarkan uraian singakt diatas tadi, maka penulis mencoba untuk sedikit
menguraikan Permasalahan-Permasalahan yang berkaitan dengan kekerasan dalam
rumah

tangga

yang

tidak

lagi

korbannya

perempuan,

Dengan

judul

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LAKI-LAKI YANG MENJADI


KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS
MARSIYATI) Yang merupakan gambaran dan fakta hukum yang terjadi dalam
kehidupan kemasyarakatan dan ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan sosial
dan bisa membuka mata kaum perempuan yang selama ini dikatakan selalu menjadi
makhuk yang lemah.
1.2 Perumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu
hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1) Apakah Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga ?.


2) Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Yang Menjadi Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati) ?.
Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan dengan
mengacu pada perspektif kajian Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Yang
Menjadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati).
1.3 Tujuan Penulisan
Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia
dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari
suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis
hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang
ingin dicapai yaitu sebagi berikut :
1) Mengetahui dan memahami Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
2) Mengetahui dan memahami Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap LakiLaki Yang Menjadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus
Marsiyati).
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Sebagai media untuk menambah wawasan.
2) Bahan referensi aktual .
3) Bahan bacaan dan pengetahuan

1.5 Metode Penulisan


Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada
buku-buku referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam
pembaruannya dan situs internet yang langsung mengangkat permasalahanpermasalahan tentang perspektif kajian Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki
Yang Menjadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati).
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis
besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk
dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat
komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang
ditujukan untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal)
permasalahan yang dirumuskan pada bab I yaitu :
1) Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2) Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Yang Menjadi Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati).

BAB III PENUTUP


Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah
dideskripsikan pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan
dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga.


2.1.1

Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.


Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undangundang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Masalah
kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a.

Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.

b.

Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga


merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.

c.

Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah


perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau

masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman


kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
d.

Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf


b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

2.1.2

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a.

Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan
ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

b.

Kekerasan psikologis / emosional


Kekerasan

psikologis

atau

emosional

adalah

perbuatan

yang

mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya


kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar

yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari


dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
c.

Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
1.

Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh


organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.

2.

Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada


saat korban tidak menghendaki.

3.

Pemaksaan

hubungan

seksual

dengan

cara

tidak

disukai,

merendahkan dan atau menyakitkan.


4.

Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan


pelacuran dan atau tujuan tertentu.

5.

Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi


ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

6.

Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan


alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

10

Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal


seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun
perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam
jenis kekerasan seksual berat.
d.

Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

11

2.1.3

Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a.

Pembelaan atas kekuasaan laki-laki


Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi. Diskriminasi dan
pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan
pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

b.

Beban pengasuhan anak


Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.

c.

Wanita sebagai anak-anak


Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.

12

d.

Orientasi peradilan pidana pada laki-laki


Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya atau sebaliknya, diterima sebagai pelanggaran
hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak
dalam konteks harmoni keluarga.

2.2

Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Yang Menjadi Korban Kekerasan


dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Marsiyati).
Dari pengertian dan ruang lingkup diatas terkait kekerasan dalam Rumah
Tangga, Undang-undang No.23 Tahun 2004 sangat bersifat diskriminasi seolaholah hanya perempuan lah yang menjadi korban dari kekerasan dalam Rumah Tangga
tersebut. Hal tersebut terlihat jelas dalam bunyi pasal 1 butir 1 kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Dari bunyi pasal di atas dengan kata-kata terutama perempuan, sangat tidak
dibenarkan. Jikalau alasan hanya karena perempuan adalah makhuk yamg lemah,
yang selama ini banyak eluk-elukkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Penulis
sangat tidak tidak sependapat.

12

13

kekerasan dalam Rumah Tangga dapat menimpa siapa saja, bahkan bisa jadi
dia dapat berposisi sebagai pelaku juga sekaligus korban. Seperti kasus Marsiyati
(33), warga Dusun Langsar Laok, Desa Langsar, Kecamatan Saronggi, Sumenep,
Madura, Jawa Timur, nekat memotong alat vital suaminya sendiri, Hasanah Riyadi
(38). Berikut kita kaji kasus posisinya sebagai berikut :

Bahwa pelaku Marsiyati (33), warga Dusun Langsar Laok, Desa Langsar,
Kecamatan Saronggi, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Cemburu
suaminya berselingkuh, nekat memotong alat vital suaminya sendiri,
Hasanah Riyadi (38). Celakanya lagi, alat vital yang sengaja dipotong
oleh sang istri, hilang entah kemana. Kini, korban kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang tengah menjalani perawatan intensif di unit bedah
RSUD dr H Moh Anwar, Sumenep, itu hanya bisa meratapi nasib. Ini
dikarenakan 'kelelakiannya' itu tak bisa dioperasi untuk disambung
apalagi tumbuh kembali. Karena tak ditemukan, tim dokter RS Haji Moh
Anwar, Sumenep, terpaksa akan membuatkan alat kelamin palsu atau
dalam istilah medis disebut proteasa. (GORIAU.COM)

Kejadian memilukan ini terjadi pada Kamis (21/2) pagi sekitar pukul
04.00 WIB dini hari. Ceritanya, istri korban yang dibakar api cemburu itu
mendekati korban yang sedang tertidur lelap di kursi panjang yang
terletak di ruang tamunya. Tanpa pikir panjang, perempuan berusia 33

14

tahun itu nekat memotong alat kelamin suaminya dengan pisau dapur
yang telah dipersiapkannya. Kress dan korban pun menjerit.

Menurut Kabag Ops Polres Sumenep, Kompol Edy Purwanto, kejadian


itu bermula ketika tersangka Marsiyati cemburu kepada suaminya. ''Untuk
sementara, motif aksi nekat yang dilakukan tersangka adalah karena
cemburu suaminya punya WIL (wanita idaman lain). Menurut pengakuan
tersangka sendiri, dia mendengar sendiri hubungan suaminya dengan
WIL

tersebut,

dia

memergoki

suaminya

saat

meloud

speaker

handphonenya ketika menelpon dengan wanita lain,'' terang Edy saat


dihubungi Jumat malam.

Kini akibat perbuatan pelaku di kenakan UU 23/2004 tentang


Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Pasal 44.
a.

Pasal 44 Ayat (1) menyatakan, jika setiap orang yang melakukan


perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

b.

Sedangkan Pasal 2 berbunyi, dalam hal perbuatan sebagaimana


dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit
atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

15

(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga


puluh juta rupiah).

saat ini polisi belum bisa menjawab apakah Hasanah benar-benar


selingkuh ataukah tidak. Oleh karena itu kasus ini masih dikembangkan.
Saat ini jajaran Satreskrim Polres Sumenep menggelar olah tempat
kejadian perkara (TKP) dan membantu mencari potongan alat vital milik
korban.

2.2.1

Upaya perlindungan hukum terhadap Hasanah Riyadi (korban)


kekerasan dalam Rumah Tangga
Dari uraian singkat kasus posisi diatas, ada beberapa Upaya
perlindungan hukum terhadap Hasanah Riyadi (korban) kekerasan dalam
Rumah Tangga menurut Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
1) Hak-Hak Korban.
UU PKDRT ini juga mengatur mengenai hak-hak korban, korban
berhak mendapatkan (Pasal 10):
a.

Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,


advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

b.

Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

c.

Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.

16

d.

Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap


tingkat proses

e.

pemeriksaan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan.dan
f.

Pelayanan bimbingan rohani.


Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi

pemulihan korban dari (Pasal 39):


a.

Tenaga kesehatan;

b.

Pekerja sosial;

c.

Relawan pendamping; dan/atau

d.

Pembimbing rohani.
Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam

upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu


pemerintah harus (Pasal 12):
a.

Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah


tangga;

b.

Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang


kekerasan dalam rumah tangga;

c.

Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam


rumah tangga; dan

d.

Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu


kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan

17

e.

akreditasi pelayanan yang sensitif gender.


Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban,

pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:


a.

Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;


Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing
rohani;

b.

Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama


program pelayanan yang mudah diakses korban;

c.

Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan


teman korban.
Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang

mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah


tangga

wajib

melakukan

upaya-upaya

sesuai

dengan

batas

kemampuannya untuk (Pasal 15):


a.

Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

b.

Memberikan perlindungan kepada korban;

c.

Memberikan pertolongan darurat; dan

d.

Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.


Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta

kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang
berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang
melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada

18

kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa


kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam
rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2). Dalam hal
korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,
pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).
2) Sanksi Pidana
Sanksi Pidana Yang dikenakan pada Pelaku : Hal ini tercantum
dalam pasal 44 sampai dengan pasal 53 yang intinya adalah :
a.

Ketentuan pidana yang mengatur tentang kekerasan fisik : Pasal 44 .

b.

Ketentuan pidana yang mengatur tentang kekerasan psikis : Pasal 45 .

c.

Ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan seksual : Pasal


46, 47 dan 48.

d.

Ketentuan pidana-pidana yang mengatur tentang penelantaran rumah


tangga : Pasal 49.
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam:Bab VIII mulai

dari pasal 44 - Pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda
berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam
proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat
dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal,
melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga
dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan
saja. Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai

19

hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua
pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.
Pasal 47:
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000.

Pasal 48:
Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban
mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur
atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000.
3) Pembuktian
Mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah,
keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang
sah lainnya (Pasal 55). Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a.

Keterangan saksi;

b.

Keterangan ahli;

c.

Surat;

d.

Petunjuk dan Keterangan terdakwa.

20

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi hanya dilakukan oleh laki-laki,
tetapi laki-laki pun dapat menjadi korban dari tindak kekerasan terutama oelh
perempuan. Banyak laki-laki malu menceritakan kekerasan yang mereka alami
Penelitian baru tentang kekerasan rumah tangga mengungkapkan bahwa ini adalah
bentuk kekerasan paling tidak lazim dalam kehidupan laki-laki. Dan kekerasan itu
juga mempunyai dampak jangka panjang yang sangat serius terhadap terutama
kesehatan fisik dari korban.
Dengan kita memahami bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, kita
bisa mengantisipasi dan bisa melakukan advokasi sepenuhnya. Sehingga hak-hak
korban bisa terlindungi dengan baik. Bahkan bisa meminimalisir segala bentuk
kekerasan, sehingga tercipta ketenangan dan ketertiban di tengah masyarakat.
Terkait dengan kasus Marsiyati (33) warga Dusun Langsar Laok, Desa
Langsar Kecamatan Saronggi, Sumenep yang memotong penis suaminya sendiri,
telah divonis penjara selama empat tahun, Selasa (16/07/2013). Vonis majelis itu,
lebih rendah tiga tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Teddy Roomius
yang menuntut Marsiyati 7 tahun penjara.

21

Menurut kuasan hukum terdakwa, Risvandi SH, lebih rendahnya putusan


hakim dari pada tuntutan JPU karena terdakwa telah menunjukkan bukti-bukti dalam
bentuk flasdisk tentang kelakukan suaminya sehingga terdakwa nekat memotong alat
kelaminnya ( TRIBUNNEWS.COM, SUMENEP)
3.2 Saran
KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan.
Boleh jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia
lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari
bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia
mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah
mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang
wajar dan pribadi . oleh karena itu aturan UU No. 23 tahun 2004 Harus dipertegas
lebih dalam lagi.
Dan sudah selayaknya kalau kejahatan KDRT diperlakukan sama dengan
kejahatan pada umumnya. KDRT diubah jadi delik aduan relatif (bukan delik aduan
absolut seperti saat ini), sehingga pencabutan pengaduan tidak otomatis
menghentikan proses hukum alias kasusnya jalan terus. Atau, kapan perlu menjadi
tindak pidana biasa yang tidak perlu disyaratkan adanya pengaduan, kepolisian dapat
langsung bertindak pada saat mengetahui ada KDRT. Sebab, mensyaratkan
pengaduan sama halnya dengan membirokratisasi penegakan hukum KDRT.

22

UU PKDRT sendiri sudah menegaskan bahwa KDRT merupakan kejahatan


terhadap martabat kemanusiaan (Pasal 20 huruf b). Merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia (HAM) dan bentuk diskriminasi yang harus dihapus (vide Pasal
21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F,
Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 UUD 1945, sebagaimana
dikutip pada bagian Mengingat UU PKDRT).
Maka oleh karena itu UU PKDRT harus bisa melidungi segenap hak asasi
manusia (HAM) tanpa memandang status gender semua sama dihadapan hukum.
Mengingat kaitan sepeti kasus Marsiyati (33) warga Dusun Langsar Laok, Desa
Langsar Kecamatan Saronggi, Sumenep yang memotong penis suaminya sendiri.
Semua pelaku harus dihukum berat sebagaimana hukum kita menghendaki keadilan
yang seadil-adilnya. Semoga kasus Marsiyati ini jadi pelajaran buat kita semua dan
menjadi kasus terakhir dalam kekerasan dalam rumah tangga.

23

DAFTAR PUSTAKA
Marlyn Jane Alputila, Peran Kepolisian Dalam Proses Penyidikan Kasus Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Di Polres Ambon, Jurnal Fakultas Hukum, Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2012

Midwifejaniezt

(2012),

Makalah

Kdrt,

midwifejaniezt.blogspot.com/2012/12

/makalah-kdrt.html di akses tanggal 24 oktober 2013

www.tribunnews.com (2013), Marsiyati Divonis 4 Tahun Penjara karena Potong


Penis Suami, www.tribunnews.com Regional Jawa di akses tanggal 24
oktober 2013

kdrt.webs.com/hakhakkorbansanksi.html di akses tanggal 24 oktober 2013

Anda mungkin juga menyukai