Anda di halaman 1dari 17

Mekanisme cemas/Etiologi cemas

Tiga kelompok teori psiklogis utama-psikoanalitik, perilaku, dan eksistensial-telah


menyumbang teori mengenai penyebab ansietas. Masing-masing teori memiliki
kegunaan konseptual maupun praktis dalam terapi gangguan ansietas
1. Teori Psikoanalitik.
Walaupun Sigmund Freud awalnya meyakini bahwa ansietas berasal dari
penumpukan libido fisiologis, ia akhirnya mendefinisikan kembali ansietas
sebagai sinyal adanya bahaya pada ketidaksadaran. Ansietas dipandang
sebagai akibat konflik psikik antara keinginan tidak disadari yang bersifat
seksual atau agresif dan ancaman terhadap hal tersebut dari super-ego atau
realitas eksternal. Sebagai tespon terhadap sinyal ini, ego memobilisasi
mekanisme pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak
dapat diterima agar tidak muncul ke kesadaran. Saat ini, banyak ahli
neurobiologi terus menyokong banyak gagasan dan teori Freud. Satu contoh
adalah peran amigdala yang meningkatkan respons takut tanpa rujukan
apapun pada memori yang disadari untuk respons ansietas. Dari perspektif
psikodimanik, tujuan terapi bukanlan menghilangkan semua ansites tetapi
meningkatkan toleransi terhadap ansietas --- yaitu, kemampuan menalami
ansietas dan menggunakannya sebagai sinyal untuk menyelidiki konflik dasar
yang telah menciptakannya. Ansietas muncul sebagai respons terhadap
bebagai situasi selama siklus kehidupan, dan upaya menghilangkannya
dengan cara psikofarmakologis mungkin tidak berfungsi apapun dalam
menyelesaikan situasi kehidupan atau hubungan internal yang telah
mencetuskan keadaan.
2. Teori Perilaku-Kognitif.
Teori prilaku atau pembelajaran ansietas telah menghasilkan beberapa terapi
yang paling efektif untuk gangguan ansietas. Menurut teori ini, ansietas
adalah respons yang dipelajari terhadap stimulus lingkungan spesifik. Di
dalam model pembelajaran klasik, orang tanpa alergi makanan dapat
menjadi sakit setelah di restoran memakan kerang yang terkontaminasi.
Pajanan berikutnya terhadap kerang dapat meyebabkan orang ini merasa
sakit. Melalui generalisai, mereka dapat menjadi tidak percaya pada makanan
yang disiapkan orang lain.
3. Teori Eksistensial
Teori eksistensial ansietas memberikan model untuk gangguan ansietas
menyeluruh, tanpa adanya stimulus spesifik yang dapat diidentifikasiuntuk
perasaan cemas kronisnya. Orang yang menyadari rasa kosong
yangmendalam di dalam hidup mereka, perasaan yang mungkin bahkan
lebihmembuat tidak nyaman daripada penerimaan terhadap kematian yang
tidak dapat dielakkan (Sadock, 2010).
Mengapa terjadi kekambuhan

PENYEBAB KEKAMBUHAN
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekambuhan
gangguan jiwa menurut Keliat, 2006 adalah :

pada penderita

1. Faktor penderita.
Penderita yang tidak teratur dalam meminum obat dapat menyebabkan
kekambuhan gangguan jiwa. Menurut penelitian, 25%-50% penderita yang pulang
dari rumah sakit jiwa tidak meminum obat secara teratur.
2. Faktor dokter.
Pemakaian obat secara teratur dapat mengurungi kekambuhan, tetapi pemakain
obat neuroleptik dalam jangka lama dapat menyebabkan efek samping
berupaTardive Diskinesia (gerakan tidak terkontrol)yang dapat mengganggu
hubungan social.
3. Faktor penanggung jawab klien ( case manajer)
Setelah klien pulang kerumah setelah dirawat di Rumah sakit, maka perawat
Puskesmas bertanggung jawab terhadap adaptasi klien dirumah
4.

Faktor keluarga.

Menurut penelitian (di Inggris dan Amerika), keluarga dengan ekspresi emosi yang
tinggi seperti bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan
menyalahkan, menyebabkan 57% penderita kembali kambuh dalam waktu 9 bulan.
Sebaliknya keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah, hanya 17% penderita
yang kambuh. Selain itu faktor yang berpengaruh juga adalah perubahan stres, baik
yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.
5. Faktor masyarakat.
Faktor masyarakat lebih banyak berkaitan dengan stigma negatif yang tertuju
kepada penderita gangguan kejiwaan. Penderita dijuluki orang gila atau stres,
dianggap membahayakan, menakutkan, dan menjadi bahan olok-olokan. Semua
stigma itu, justru mempersempit kehidupan sosial mereka yang semestinya dibantu
dan diperbaiki. Mereka menjadi sulit mendapat pekerjaan, merasa malu bergaul,
takut salah, dan merasa tidak berguna (Keliat, 2006).
Menurut Murphy,MF & Moller, MD (1993), faktor resiko yang menyebabkan
kekambuhan pasien gangguan jiwa adalah :
1. Faktor resiko kesehatan.
1. Gangguan sebab dan akibat berpikir.

2. Gangguan proses informasi.


3. Gizi buruk.
4. Kurang tidur.
5. Keletihan.
6. Kurang olah raga.
7. Efek samping pengobatan yang tidak dapat ditoleransi.
8. Faktor resiko lingkungan.
1. Kesulitan keuangan.
2. Kesulitan keuangan.
3. Perubahan
kehidupan.

yang

menimbulkan

stress

dengan

peristiwa

4. Ketrampilan kerja yang buruk.


5. Tidak memiliki transportasi.
6. Ketrampilan sosial yang buruk, isolasi, social, dan kesepian.
7. Kesulitan interpersonal.
8. Faktor resiko perilaku dan emosional.
a. Tidak ada kontrol dan perilaku agresif.
b. Perubahan mood.
c. Pengobatan dan penatalaksanaan gejala yang buruk.
d. Konsep diri yang rendah.
e. Penampilan dan tindakan yang berbeda.
f.

Perasaan putus asa.

Faktor pencetus sering jelas dan secara psikodinamik berhubungan dengan faktorfaktor yang menahun seperti amarah yang dipresi atau impuls untuk melampiaskan
hal seks. Biasanya urut-urutan kejadian sebagai berikut:
Ketakutan (kecemasan akut) represi dan konflik kecemasan menahun stress
pencetus penurunan daya tahan dan mekanisme mengatasinya cemas
(Maramis, 2005).

Dapat disimpulkan bahwa cemas dapat dipicu berbagai hal hingga terjadi
kekambuhan. Jika merujuk pada kasus pada skenario maka kecemasan ditandai
adanya preokupasi pasien terhadap kesehatannya yang ia sulit merepresi
preokupasinya sehingga terjadi kecemasan. Kecemasan itu bias terus terulang jika
stressor (pencetus stres) tidak dihindari oleh pasien.

MACAM-MACAM GANGGUAN KECEMASAN


A.

Gangguan Fobia (F40)

Gambaran utama mengenai gangguan fobia adalah ketakutan yang menetap


dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktivitas atau situasi spesifik yang
menimbulkan suatu keinginan untuk menghindari objek, aktivitas atau situasi
tersebut (stimulus fobik). Pasien fobia sering dijumpai pada kasus-kasus neurosis.
Pada pasien fobia sering dijumpai suasana emosi yang komplek disertai dengan
rasa cemas. Secara psikologis factor yang memyebabkan rasa cemas tersebut bisa
didapat dari lingkungan luar dan pasien tidak mampu untuk menyebutkan sumber
ketakutannya, dan merasa kebingungan serta mengalami kesulitan memusatkan
perhatian.
Gangguan fobia dibagi dalam tiga tipe antara lain.
1)

Agorafobia (F40.0)

Kekhawatiran pada suatu tempat atau situasi tertentu (misalnya tempat


ramai, dipasar atau tempat umum) karena merasa sulit untuk berlindung dan
merasa dirinya tidak berdaya. Ketakutan ini menyebabkan penderita makin lama
semakin mengisolasi dirinya sehingga tidak mau melakukan perjalanan atau selalu
membutuhkan pendamping.
Agrofobia dengan serangan panik, dapat diterangkan sebagai berikut.
a)
gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b)
ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan
dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang/keramaian, tempat
umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri; dan
c)
menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol
(penderita menjadi house-bound)

2)

Fobia Sosial (F40.1)

Fobia sosial adalah perasaan takut terhadap hal-hal yang tidak termasuk
dalam kriteria agoraphobia atau fobia khas seperti takut akan binatang, kilat, sakit,
kecelakaan atau kematian. Ketika situasi ketakutan muncul mereka dapat saja
mengalami gejala somatic sebagai akibat dari kecemasan. Beberapa penderita
tidak mengeluh akan gejala somatik tetapi mengalami ketakutan.
Situasi umum yang dianggap sebagai fobia sosial berhadapan dengan hal-hal
sebagai berikut.
a) Perkenalan
b) Menemui seseorang
c) Menggunakan telepon
d) Mendapat kunjungan
e) Diperhatikan ketika melakukan sesuatu
f) Digoda
g) Makan bersama kenalan dirumah
h) Makan bersama keluarga dirumah
i) Menulis di depan orang lain
j) Berbicara didepan umum
Sedangkan kriteria diagnosis fobia sosial antara lain.
a)
gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b)
ansietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu
(outside the family circle); dan
c)

menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.

3)

Fobia Khas (F40.2)

Fobia khas lebih umum daripada fobia sosial, lebih besar dialami oleh wanita
daripada laki-laki. Objek yang ditakuti dalam dalam fobia khas antara lain binatang,
petir, penyakit, dan kematian. Sedangkan kriteria diagnostik untuk fobia spesifik ini
yaitu :

a)
gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b)
ansietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly
specific situations); dan
c)

situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.

Terapi yang paling efektif adalah kombinasi farmakoterapi dan terapi kognitifperilaku. Untuk farmakoterapi dapat digunakan obat-obat seperti yang digunakan
untuk mengatasi gangguan panik.
Terapi kognitif mengintervensi kepercayaan yang salah. Pasien dapat
diajarkan untuk melakukan relaksasi otot dan bagaimana mengendalikan dorongan
untuk melakukan hiperventilasi dengan pernapasan yang teratur (Manjsoer, 2009).

B.

Gangguan Panik (F41.0)

Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak diduga
dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi
dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu
tahun.
Serangan tidak dapat diduga muncul dalam bentuk kecemasan akut, yang
berlangsung selama 10 menit. Kepanikan merupakan episode kecemasan ekstrem
dalam merespon suatu ancaman nyata. Kepanikan memperlihatkan gejala :
palpitasi, keluhan sakit di dada, berkeringat, demam, nafas pendek, nausea, sakit
kepala atau perasaan aneh dan takut kehilangan pengawasan pada dirinya.
Misalnya Phobia (bentuk ketakutan terhadap objek atau situasi tertentu/spesifik,
sering dsertai dengan gejala-gejala kecemasan ekstrem).
Gangguan panik biasanya muncul dalam masa remaja akhir atau masa
dewasa awal. Biasanya kronik dan bervariasi tiap individu. Depresi dapat
mempersulit. Walaupun pasien tidak cenderung berbicara tentang ide bunuh diri,
mereka cenderung berisiko tinggi (Mansjoer, 2009).
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
dalam masa kira-kira satu bulan :
a.
Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara obyektif tidak ada
bahaya.
b.
Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya.

c.
Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala ansietas pada periode
di antara serangan-serangan panik (Mansjoer, 2009)
Penatalaksanaan meliputi farmakoterapi dan psikoterapi. Perlu diketahui
bahwa gejala panik baru tampak berkurang setelah minum obat 2-4 minggu.
Psikoterapi meliputi terapi kognitif dan perilaku. Terapi psikososial lain yang dapat
digunakan adalah terapi keluarga dan psikoterapi berorientasi tilikan (Mansjoer,
2009).

C.

Gangguan Kecemasan Menyeluruh (F41.1)

Gangguan kecemasan menyeluruh (GAD) adalah kekhawatiran yang


berlebihan mengenai beberapa peristiwa atau aktivitas hampir sepanjang hari
selama sedikitnya 6 bulan (Sadock, 2010). Serangan ini meliputi sejumlah kejadian
atau akivitas (pekerjaan, prestasi sekolah). Individu merasa sulit untuk
mengendalikan ketakutannya. Gejala-gejala kecemasan akan dianggap signifikan
klinis dimana
1) Tingkat keparahannya abnormal atau berkepanjangan
2) Terjadi dalam keadaan yang penuh tekanan
3) Merusak fungsi fisik, social atau pekerjaan
Pedoman diagnositik untuk gangguan cemas menyeluruh meliputi :
1)
Penderita harus menunjukkan ansietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan,
yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja
(sifatnya free floating atau mengambang)
2)

Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :

a.

Kecemasan

b.

Ketegangan motorik

c.

Overaktivitas otonomik

3)
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
4)
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan ansietas
menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif, gangguan ansietas fobik, gangguan panik atau gangguan obsesifkompulsif.

Pengobatan yang efektif adalah kombinasi psikoterapi, farmakoterapi, dan


pendekatan suportif. Pendekatan psikoterapi utama adalah terapi kognitif perilaku,
suportif, dan berorientasi tilikan. Dua obat utama adalah buspiron dan
benzodiazepin (Mansjoer, 2009).

D.

Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi (F41.2)

Gangguan ini mencakup pasien yang memiliki gejala kecemasan dan depresi,
tetapi tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk suatu gangguan kecemasan
maupun suatu gangguan mood. Kombinasi gejala depresi dan kecemasan
menyebabkan gangguan fungsional yang bermakna pada orang yang terkena
(Mansjoer, 2009).
Manifestasi klinis berupa kombinasi dari beberapa gejala gangguan
kecemasan dan beberapa gejala gangguan depresi. Selama perjalanan penyakit,
gejala kecemasan atau depresi mungkin bergantian muncul (Mansjoer, 2009).
Kriteria diagnosis pasti adalah :
1)
Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi, di mana masing-masing
tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis
tersendiri. Untuk ansietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun
tidak terus menerus, di samping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
2)
Bila ditemukan ansietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus
dipertimbangkan kategori gangguan ansietas lainnya atau gangguan ansietas fobik.
3)
Bila ditemukan sindrom depresi dan ansietas yang cukup berat untuk
menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus
dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika
karena sesuatu hal yang dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan
depresif harus diutamakan.
4)
Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas,
maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian.
Penatalaksanaan berupa pendekatan psikoterapi dapat berupa terapi kognitif atau
modifikasi perilaku. Farmakoterapi dapat termasuk obat antiansietas atau obat
antidepresan
atau
keduanya.
Di
antara
obat
ansiolitik,
penggunaan
trazolobenzodiazepin mungkin diindikasikan karena efektivitas obat tersebut dalam
mengobati depresi yang disertai kecemasan. Suatu obat yang memengaruhi
reseptor serotonin tipe-1A seperti buspiron, dapat diindikasikan. Di antara
antidepresan, antidepresan serotonergik mungkin yang paling efektif (Mansjoer,
2009)

E.

Gangguan Obsesif-Kompulsif (F42)

Gangguan obsesif-kompulsif adalah melakukan pertimbangan, kesan atau


rangsangan (impuls) secara berulang-kali dan dilakukan melalui elaborasi dan
seringkali membahayakan. Gannguan ini dapat menyebabkan ketidak-berdayaan
karena obsebsi yang pada hakikatnya menghabiskan waktu dan menganggu secara
bermakna pada rutinitas normal seseorang terutama gangguan ini meliputi fungsi
pekerjaan, aktivitas social, atau hubungan dengan teman dan anggota keluarga.
Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, sensasi yang menganggu (intrusif).
Sedangkan kompulsi adalah perilaku yang disadari, dibakukan, dan rekuren, seperti
misalnya meghitung, memeriksa, atau menghindar, yang bersebab adanya obsesi
(Mansjoer, 2009).
Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan tindakan kompulsif
menurunkan kecemasan, namun menimbulkan kecemasan baru. Seseorang dengan
gangguan obsesif-kompulsif umumnya menyadari irasionalitas dari obsesi dan
merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego distronik.
Ada 5 jenis obsesi :
1.
Kebimbangan yang obsesif. Merupakan pikiran bahwa suatu tugas yang telah
selesai tidak dilakukan secara baik (75% dari penderita)
2.
Pikiran yang obsesif pikiran berantai yang tidak ada akhirnya. Biasanya fokus
pada kejadian yang akan datang (34% dari penderita)
3.
Impuls yang obsesif. Dorongan untuk melakukan suatu perbuatan (17% dari
penderita)
4.
Ketakutan yang obsesif. Kecemasan untuk kehilangan kontrol dan melakukan
sesuatu yang memalukan (26% dari penderita)
5.
Bayangan obsesif. Bayangan terus menerus mengenai sesuatu yang dilihat
(7% dari penderita)
Ada 2 jenis kompulsi :
1.
Dorongan kompulsif yang memaksa suatu perbuatan. Misalnya melihat pintu
berkali-kali (61% dari penderita)
2.
Kompulsi mengontrol. Mengontrol dorongan kompulsi (tidak menuruti
dorongan tersebut). Mengontrol dorongan inses dengan berkali-kali menghitung
hingga hitungan tertentu.

Gejala mungkin bertumpang-tindih dan berubah sesuai dengan berjalannya


waktu. Gejala-gejala obsesi harus mencakup hal-hal berikut :
1.

Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri

2.
Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh pasien
3.
Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan
4.
Gagasan, bayangan pikiran, atau
pengulangan yang tidak menyenangkan.

impuls

tersebut

harus

merupakan

Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan


kompulsi atau keduanya, harus ada hampir setiap hari sedikitnya dua minggu
berturut-turut. Hal itu merupakan sumber penderitaan atau mengganggu aktivitas
pasien.
Penatalaksanaan meliputi farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan
farmakoterapi standar adalah dengan obat spesifik serotonin seperti klomipramin
atau penghambat ambilan kembali serotonin spesifik (SSRI) seperti fluoksetin. Bila
terapi gagal, terapi dapat diperkuat dengan menambahkan litium atau penghambat
monoamin oksidase (MAOI), khususnya fenelzin. Psikoterapi meliputi terapi perilaku
dengan desensitisasi dan terapi keluarga bila terdapat faktor disharmoni keluarga
yang memengaruhi timbulnya gangguan tersebut (Mansjoer, 2009).

F.

Reaksi terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43)

1.

Reaksi stres akut (F43.0) dan gangguan stres pasca-trauma (F43.1)

Gangguan stres pascatrauma (PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul


setelah seseorang melihat, terlibat dalam, atau mendengar stresor traumatik yang
ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan
tidak berdaya, secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan
mencoba menghindari mengingat hal itu. DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan yang
serupa dengan PTSD sebagai gangguan stres akut, yang terjadi lebih dini dari PTSD
(dalam 4 minggu setelah peristiwa) dan membaik dalam 2 hari hingga 4 minggu.
Jika gejala bertahan setelah waktu tersebut, diagnosis PTSD diperlukan.
Pedoman diagnosti untuk reaksi stres akut (F43.0):
a)
Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman
stresor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah
beberapa menit atau segera setelah kejadian.

b)

Selain itu ditemukan gejala-gejala :

1.
Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain
gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze), semua hal berikut dapat
terlihat : depresi, ansietas, kemarahan, kecewa, overaktif dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama
2.
Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya, gejala-gejala
dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal di mana stres
menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru
mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari.
c)
Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari
gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
d)
Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan
peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.

diri

memegang

Pedoman diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma (F43.1):


a)
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu
6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi
klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
b)
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks)
c)
Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
d)
Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori
F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa)
Sebagai terapi pendekatan utama adalah mendukung, mendorong untuk
mendiskusikan peristiwa, dan pendidikan tentang berbagai mekanisme
mengatasinya. Uji klinik menyatakan imipramin dan amitriptilin baik. Obat lain yang
mungkin berguna adalah SSRI, MAOI, dan antikonvulsan (Mansjoer, 2009).
2.

Gangguan Penyesuaian (F43.2)

Gangguan penyesuaian adalah reaksi maladaptif jangka pendek terhadap


apa yang disebut orang awam sebagai nasib malang pribadi atau apa yang disebut
dokter psikiatrik sebagai stresor psikososial (Mansjoer, 2009).
Gangguan penyesuaian dicetuskan oleh satu atau lebih stresor. Beratnya
stresor tidak selalu meramalkan keparahan gangguan. Penelitian psikosomatik telah
menekankan peranan ibu dan lingkungan membesarkan anak. Inti dalam mengerti
gangguan penyesuaian adalah sifat stresor, arti sadar dan bawah sadar dari stresor,
dan kerentanan pasien.
Gejalanya bervariasi, dengan depresi, kecemasan dan gangguan campuran
adalah yang paling sering pada orang dewasa. Manifestasi juga termasuk perilaku
menyerang dan kebut-kebutan, minum berlebihan, melarikan diri dari tanggung
jawab hukum, dan menarik diri. Presentasi klinis dapat sangat bervariasi, berupa
kecemasan, depresi, gangguan tingkah laku, campuran gangguan emosi dan
konduksi, serta campuran kecemasan dan depresi.
Pedoman diagnostik gangguan penyesuaian :
a)

Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara :

1.

Bentuk, isi, dan beratnya gejala

2.

Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian; dan

3.

Kejadian, situasi yang stresful atau krisis kehidupan

b)
Adanya faktor ketiga di atas harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan
tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut
c)
Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif, ansietas,
campuran ansietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas
dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang
spesifik untuk mendukung diagnosis.
d)
Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang
stresful, dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali
dalam hal reaksi depresif berkepanjangan (F43.21).
Untuk penatalaksanaan, psikoterapi tetap merupakan pengobatan terpilih untuk
gangguan penyesuaian. Terapi kelompok dapat sangat berguna. Tipe terapi singkat,
intervensi krisis ditujukan untuk membantu orang dengan gangguan penyesuaian
memecahkan situasi dengan cepat dengan teknik suportif, sugesti, penentraman,
modifikasi lingkungan, dan bahkan perawatan di rumah sakit. Fleksibilitas penting
dalam pendekatan ini. Pasien mungkin berespons terhadap obat antiansietas atau
antidepresan, tergantung jenis gangguan. Bila cemas berat mungkin dapat

digunakan dosis kecil medikasi antipsikotik. Pasien dengan manifestasi menarik diri
mungkin mendapat manfaat dari medikasi psikostimulan singkat (Mansjoer, 2009).

PENGOBATAN
Secara umum, gangguan kecemasan diterapi dengan obat, psikoterapi jenis
tertentu, atau keduanya. Pilihan pengobatan tergantung pada masalah dan latar
belakang seseorang (Tol, 2013).
A.

Psikoterapi

Psikoterapi meliputi berbicara dengan ahli kesehatan mental yang terlatih,


seperti psikiater, psikolog, pekerja sosial, atau konselor, untuk menemukan apa
yang menyebabkan gangguan kecemasan dan bagaimana menangani gejalanya
(Tol, 2013).
Terapi kognitif -perilaku (CBT) sangat berguna dalam mengobati gangguan
kecemasan. Bagian kognitif membantu orang mengubah pola pikir yang mendukung
ketakutan mereka, dan bagian perilaku membantu orang mengubah cara mereka
bereaksi terhadap situasi yang merangsang kecemasan. CBT dapat membantu
orang dengan gangguan panik belajar bahwa serangan panik mereka bukan
serangan jantung dan membantu orang dengan fobia sosial belajar bagaimana
mengatasi keyakinan bahwa orang lain selalu mengawasi dan menilai mereka.
Ketika orang-orang siap untuk menghadapi ketakutan mereka, mereka akan
menunjukkan bagaimana menggunakan teknik paparan untuk menurunkan
sensitifitas mereka terhadap pengaruh dari situasi yang memicu kecemasan mereka
(Tol, 2013).
Orang dengan gangguan obsesif kompulsif yang takut kotoran dan kuman
dianjurkan untuk membuat tangan mereka kotor dan meningkatkan waktu
menunggu sebelum mencuci tangan mereka. Orang dengan fobia sosial dapat
didorong untuk menghabiskan waktu dalam situasi sosial yang ditakuti tanpa
menyerah pada godaan untuk melarikan diri dan membuat kesalahan sosial kecil
dan mengamati bagaimana orang menanggapi mereka. Karena respon biasanya
jauh lebih keras daripada ketakutan seseorang, kecemasan ini biasanya akan
berkurang. Orang dengan PTSD dapat didukung melalui mengingat peristiwa
traumatik mereka dalam situasi yang aman, yang membantu mengurangi rasa
takut yang dihasilkan. Ahli terapi CBT juga mengajarkan pernapasan dan jenis-jenis
latihan untuk mengurangi kecemasan dan mendorong relaksasi (Tol, 2013).
Terapi perilaku berbasis paparan telah digunakan selama bertahun-tahun
untuk mengobati fobia khas. Orang tersebut secara bertahap bertemu dengan objek
atau situasi yang ditakuti, mungkin pada awalnya hanya melalui gambar atau kaset,

kemudian tatap muka. Seringkali terapis akan menemani orang ke situasi yang
ditakuti untuk memberikan dukungan dan bimbingan.
CBT dilakukan ketika orang memutuskan bahwa mereka siap untuk itu dan
dengan ijin dan kerjasama mereka. Agar efektif, terapi harus diarahkan pada
kecemasan tertentu dan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak ada efek
samping selain ketidaknyamanan karena peningkatan kecemasan sementara.
CBT atau terapi perilaku sering berlangsung sekitar 12 minggu. Ini dapat
dilakukan secara individu atau dengan sekelompok orang yang memiliki masalah
yang sama. Terapi kelompok sangat efektif untuk fobia sosial. "Pekerjaan rumah"
sering diberikan bagi peserta untuk pada kesempatan antar sesi. Ada beberapa
bukti bahwa manfaat CBT bertahan lebih lama dibandingkan dengan obat-obatan
untuk orang dengan gangguan panik, dan hal yang sama mungkin juga terjadi
untuk gangguan obsesif kompulsif, PTSD, dan fobia sosial. Jika gangguan berulang
di kemudian hari, terapi yang sama dapat digunakan untuk mengobati untuk kedua
kalinya (Tol, 2013).

B.

MEDIKAMENTOSA

Obat tidak akan menyembuhkan gangguan kecemasan, tetapi dapat


mengendalikannya sementara orang tersebut menerima psikoterapi. Obat-obat
utama yang digunakan untuk gangguan kecemasan adalah antidepresan, obat anti
ansietas, dan beta-blocker untuk mengendalikan beberapa gejala fisik. Dengan
pengobatan yang tepat, banyak orang dengan gangguan kecemasan dapat
merasakan hidup yang normal dan memuaskan.

1.

Antidepresan

Antidepresan dikembangkan untuk mengobati depresi tetapi juga efektif


untuk gangguan kecemasan. Meskipun obat-obat ini mulai mengubah kimia otak
setelah dosis pertama, efek penuh mereka membutuhkan serangkaian perubahan,
biasanya sekitar 4 sampai 6 minggu sebelum gejala mulai memudar (Gan, 2007).
Indikasi : indikasi tersering adalah depresi mayor, gangguan panik, gangguan
obsesif kompulsif, eneuresis, dan nyeri kronik.
a.

Antidepresan trisiklik

Imipramin tersedia dalam bentuk tablet berlapis gula 10 dan 25 mg. Biasanya
dimulai dengan 75 atau 100 mg terbagi dalam beberapa kali pemberian untuk 2
hari pertama, kemudian 50 mg tiap hari sampai dicapai dosis total harian 200-250
mg.

Amitriptilin tersedia dalam bentuk tablet 10 dan 25 mg. Dosis permulaan 75 mg


sehari. Dosis ini ditinggikan sampai timbul efek terapeutik, biasanya 150 mg-300
mg sehari.
Efek samping imipramin akut ditandai dengan hiperpireksia, hipertensi,
konvulsi dan koma. Pada keracunan dapat menimbulkan gangguan konduksi
jantung dan aritmia (Gan, 2007).
b.

Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)

Fluoksetin dosis awal dewasa 20mg/hari diberikan setiap pagi, bila tidak diperoleh
efek terapi setelah beberapa minggu, dosis dapat ditingkatkan 20mg/hari hingga 30
mg/hari (Gan, 2007).
Sertralin serupa fluoksetin namun lebih selektif terhadap transporter serotonin dan
kurang selektif terhadap transporter dopamin (Gan, 2007).
Flufoksamin efek sedasi dan efek antimuskarinik kurang dari fluoksetin (Gan, 2007).
c.

MAO inhibitor

Isokarboksazid tersedia sebagai tablet 10 mg. Dosis isokarboksazid 3 kali 10 mg


sehari. Efek terapi baru terlihat setelah 1-4 minggu (Gan, 2007).
Nialamid tersedia sebagai tablet 25 dan 100 mg. Sifat obat ini kurang toksik, tetapi
juga kurang efektif (Gan, 2007).
Efek samping MAO merangsang SSP berupa gejala tremor, insomnia dan
konvulsi. MAO inhibitor juga dapat merusak sel hati.

2.

Anti ansietas

Obat yang digunakan untuk pengobatan ansietas adalah sedatif, atau obatobat yang secara umum memiliki sifat yang sama dengan sedatif. Anti ansietas
yang utama adalah golongan benzodiazepin. Beberapa obat depresan SSP saat ini
sudah ditinggalkan seperti golongan barbiturat dan meprobamat karena lebih toksik
(Gan, 2007).
a.

Golongan benzodiazepin

Diazepam, klordiazepoksid, oksazepam, lorazepam, alprazolam dan halozepam


merupakan benzodiazepin yang dianjurkan sebagai anti ansietas. Sedangkan
klorazepam dianjurkan untuk pengobatan gangguan panik.
Diazepam tersedia dalam bentuk tablet 2 dan 5 mg. Diazepam tersedia sebagai
larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam (Gan, 2007).

Klordiazepoksid tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg.


Indikasi : derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan
rasa cemas.
Efek samping : obat golongan benzodiazepin menimbulkan depresi SSP sehingga
timbul rasa kantuk dan dapat juga menimbulkan ataksia. Pada pemberian dosis
tinggi dan dalam waktu yang lama, benzodiazepin dapat menimbulkan toleransi dan
ketergantungan fisik (Gan, 2007).
b.

Buspiron

Buspiron merupakan golongan azaspirodekandion yang potensial berguna dalam


pengobatan ansietas. Buspiron merupakan anti ansietas efektif yang efek
sedatifnya relatif ringan. Obat ini tidak efektif pada gangguan panik. Efek anti
ansietas baru timbul setelah 10-15 hari dan bukan antiansietas untuk penggunaan
akut. Tidak ada toleransi silang antara buspiron dengan benzodiazepin sehingga
kedua obat tidak dapat saling menggantikan (Gan, 2007).
3.

Beta- blocker

Beta- blocker, seperti propranolol, yang biasa digunakan untuk mengobati


penyakit jantung, dapat mencegah gejala-gejala fisik yang menyertai gangguan
kecemasan tertentu, terutama fobia sosial. Ketika situasi yang dikhawatirkan dapat
diduga (seperti sebelum memberikan pidato), beta - blocker dapat diberikan untuk
menjaga gejala fisik akibat kecemasan tetap terkontrol (Tol, 2013).

DAFTAR PUSTAKA

Gan S, Arozal W. 2007. Psikotropik dalam : Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI
Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta :
EGC
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius

Maramis, WF. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press
Maslim R. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta
Maslim R. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta
Sadock B, Sadock V. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC
Tol WA, Barbui C, van Ommeren M. 2013. Management of acute stress, PTSD, and
bereavement: WHO recommendations. JAMA. 2013 Aug 7;310(5):477-8. doi:
10.1001/jama.2013.166723.

Anda mungkin juga menyukai