PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran matematika tentu tidak akan terlepas dari masalah matematika.
Dalam mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai dosen atau pendidik
matematika mempunyai cara yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan
contoh-contoh bagaimana memecahkan suatu masalah matematika, tanpa memberikan
kesempatan banyak pada mahasiswa untuk berusaha menemukan sendiri penyelesaiannya.
Sehingga dengan cara demikian mahasiswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan
masalah. Akibatnya mahasiswa hanya mampu memecahkan masalah matematika bila telah
dibeRikn caranya oleh Dosen. Dengan kondisi demikian, maka mahasiswa seringkali
dihadapkan pada beberapa kesulitan, misalnya mahasiswa tidak tahu apa yang harus diperbuat
dengan masalah yang diberikan atau bila telah dapat memulai menjawab, namun mengalami
kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal
yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut.
Walaupun proses berpikir analitik dan logik memainkan peranan penting dalam
merepresentasikan struktur logika pengetahuan matematika. Akan tetapi, mengejar ketepatan
dan cara-cara formal hanyalah hasil akhir dari aktivitas matematika. Proses membangun
pengetahuan matematika tanpa disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau
ketakpastian, verifikasi atau penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu
diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan
kognisi intuitif (intuitive cognition) dari pengetahuan matematika. Kognisi formal merujuk
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
95
kepada kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti melalui induksi matematika
atau deduksi (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat memahami
pengetahuan matematika. Kognisi formal juga perlu bagi matematikawan untuk berkomunikasi
dengan sesama matematikawan dalam suatu asosiasi matematika. Serupa dengan itu, persepsi
terhadap pengetahuan formal sangat perlu bagi mahasiswa untuk maju ke tingkat pengetahuan
matematika yang lebih tinggi.
Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas
matematika. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan formal
tidak sama dengan kreativitas bermatematika yang sangat diperlukan dalam doing
mathematics, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Lebih jauh, tidak jelas
apakah dapat dikembangkan kreativitas matematika melalui pengembangan kognisi formal.
Mahasiswa mungkin sangat yakin akan kemampuan logika dan penalaran dalam pembuktian
matematik yang ketat. Akan tetapi hanya sedikit mahasiswa yang berhasil dengan baik dalam
aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kurang kreatif
dalam memecahkan masalah matematika. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas mental
berbeda dengan kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan matematik. Hal tersebut disebut
kognisi intuitif (intuitive cognition), atau intuisi (intuition).
Konsep intuisi dijelaskan oleh Fischbein (1987) sebagai kognisi yang self evident, dapat
diterima langsung, holistik, bersifat memaksa dan ekstrapolatif. Kognisi intuitif berbeda dengan
kognisi secara analitik . Contoh, kebenaran pernyataan bahwa jumlah sudut-sudut pada suatu
segitiga adalah 1800 diyakini karena telah membuktikannya. Tetapi kebenaran pernyataan jarak
terpendek antara dua titik adalah garis lurus tanpa harus membuktikannya baik secara formal
ataupun secara empiris. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan karena harus membuktikan
merupakan kognisi yang bersifat non intuitif, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif
dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian secara formal) merupakan kognisi secara
intuitif.
Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam
matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat nampak dari suatu
kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah (1) kognisi langsung, kognisi self evident
(direct, self evident cognitions), yaitu intuisi merupakan kognisi yang diterima sebagai feeling
individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak
terdekat antara dua titik adalah garis lurus, (2) kepastian intrinsik (intrinsic certainty), yaitu
intuisi feeling tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah
subjektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung
eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal
atau empiris), (3) pemaksaan (coerciveness), yaitu intuisi yang menggunakan efek memaksa
pada strategi penalaran individual dan pada seleksinya dari hipotesis dan penyelesaian. Hal ini
berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi
intuisinya, (4) Extrapolativeness, yaitu intuisi yang kaitannya dengan kemampuan untuk
meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan melalui satu titik
diluar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut
mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi, (5) keseluruhan (globality) adalah intuisi
yang berlawa-nan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis.
Lima karakteristik intuisi yang dikemukakan Fischbein di atas merupakan karakteristik
afirmatori yaitu karakteristik intuisi yang berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi
yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan kecukupan
secara instrinsik. Selain karakteristik afirmatori, Fischbein juga mengemukkan karakteristik
intuisi lain disebut karakteristik intuisi antisipatori, yaitu karakteristik intuisi yang berkaitan
untuk memecahkan masalah. Karakteristik dari intuisi antisipatori adalah sebagai berikut: (1)
intuisi tersebut muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah, (2) intuisi tersebut
menyajikan karakter global, (3) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya,
dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling dari keyakinan, meskipun pembenaran secara rinci
atau bukti belum ditemukan.
Lebih lanjut, Poincare (dalam http://www-history.mcs.st-andrews.ac.uk /Extras/
Poincare _Intuition.html) membeRikn tiga jenis intuisi,yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada
96
indra dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, meniru seperti
prosedur pengetahuan ekperimental (3) intuisi dari bilangan murni yang dapat mencapai
berpikir matematika secara nyata.
Dari uraian tentang jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare di
atas, memberikan gambaran bahwa jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein berupa bentuk
intuisi, sedangkan jenis intuisi yang disampaikan oleh Pincare berupa sesuatu yang mendasari
adanya intuisi. Oleh karena itu pada penelitian ini jenis-jenis intuisi siswa dalam memecahkan
masalah matematika meliputi dua bagian.
a. Bagian pertama adalah jenis intuisi berdasarkan jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh
Fischbein, yaitu:
1) Intuisi afirmatori dengan ciri-ciri sebagai berikut: langsung, self evident, pasti secara
intrinsik, penggiringan, pemerkiraan atau global.
2) Intuisi antisipatori dengan ciri-ciri antara lain, akan muncul ketika berusaha keras untuk
memecahkan masalah yang berupa ide global, dan intuisi tersebut bertentangan dengan
dugaan pada umumnya.
b. Bagian kedua adalah jenis intuisi yang disampaikan oleh Poincare, yaitu:
1) Intuisi yang didasarkan oleh indera dan imajinasi dengan ciri-ciri antara lain dengan
mengamati, memanipulasi benda, mengukur, membayangkan.
2) Intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu
pengetahuan eksperimental dengan ciri-ciri antara lain menggunakan pola pikir induktif,
dengan coba-coba atau contoh-contoh.
3) Intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real, dengan
ciri-ciri menggunakan ketentuan pada matematika,
Banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam memecahkan masalah matematika.
Salah satunya adalah gaya kognitif. Gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam
penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan,
mengorganisasi dan memproses informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan
berlangsung lama (Desmita, 2006). Gaya kognitif menempati posisi yang penting dalam proses
pembelajaran (Desmita, 2006). Bahkan gaya kognitif merupakan salah satu variabel belajar
yang perlu dipertimbangkan dalam merancang pembelajaran. Sebagai salah satu variabel
pembelajaran, gaya kognitif mencerminkan karakteristik siswa, di samping karakteristik lainnya
seperti motivasi, sikap, minat, kemampuan berpikir, dan sebagainya.
Gaya kognitif merupakan salah satu ide baru dalam kajian psikologi perkembangan dan
pendidikan. Ide ini berkembang pada penelitian bagaimana individu menerima dan
mengorganisasi informasi dari lingkungan sekitarnya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa
individu berbeda-beda dalam hal bagaimana mereka mendekati tugas eksperimental, tetapi
variasi ini tidak merefleksikan tingkat intelegensi atau pola kemampuan khusus. Bahkan mereka
melakukannya dengan cara yang dipilih yang dimiliki individu berbeda untuk memproses dan
mengorganisasi informasi dan untuk merespon stimulan lingkungan (Woolfolk & Nicolich
dalam Desmita, 2009).
Gaya kognitif sering dideskripsikan sebagai berada dalam garis batas antara
kemampuan mental dan sifat personalitas. Berbeda dengan strategi kognitif yang mungkin
mengalami perubahan dari waktu ke waktu serta dapat dipelajari dan dikembangkan, gaya
kognitif bersifat statis dan secara relatif menjadi gambaran tetap tentang diri individu (Riding &
Douglas dalam Desmita, 2009). Gaya (style) juga berbeda dengan kemampuan (ability), seperti
intelegensi. Kemampuan mengacu pada isi kognisi yang menyatakan informasi apa saja yang
telah diproses, dengan langkah bagaimana dan dalam bentuk apa informasi itu diproses.
Sedangkan gaya lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi
itu diproses. Atau dengan kata lain, gaya adalah cara seseorang menggunakan kemampuannya
(Santrock dalam Desmita, 2009).
Pengetahuan tentang gaya kognitif peserta didik diperlukan dalam merancang atau
memodifikasi materi, tujuan, dan metode pembelajaran. Dengan adanya interaksi antara gaya
kognitif dengan faktor materi, tujuan dan metode pembelajaran, kemungkinan hasil belajar
siswa dapat dicapai dengan optimal. Ini menunjukkan bahwa gaya kognitif merupakan salah
satu variabel kondisi belajar yang perlu dipertimbangkan oleh guru dalam merancang
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
97
pembelajaran, terutama dalam memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya kognitif
peserta didik. Sebab, jenis strategi tertentu memerlukan gaya belajar tertentu.
Secara bahasa, istilah gaya dalam bahasa Inggris disebut style, yang berarti corak, mode
atau gaya. Menurut Brown (dalam Desmita, 2009), style is a term that refers to consistent and
rather enduring tendencies or preference within an individual. Style are those general
characteristic of intellectual functioning (and personality type, as well) that pertain to you as an
individual, and that differentiate you from someone else.
Tennant (dalam Desmita, 2009), secara sederhana mendefinisikan gaya kognitif sebagai
an individuals characteristic and consisternt approach to organizing and processing
information. Menurut Ferrari dan Sternberg (dalam Desminta, 2009: 146), cognitive style refer
to the dominant or typical ways children use their cognitive abilities across a wide range of
situations, when the situation is complex enough to allow a variety of responsses.
Berdasarkan pada beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir,
mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses
informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan berlangsung lama.
Gaya field dependence (FD) dan field independence (FI) merupakan tipe gaya kognitif
yang mencerminkan cara analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Individu
dengan gaya FD cenderung menerima susatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit
untuk memfokuskan pada satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagianbagian yang berbeda. Sebaliknya individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-bagian
terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponenkomponennya.
Seorang siswa dengan gaya kognitif FD menemukan kesulitan dalam memproses,
namun mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan
dapat memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan
konteks. Sementara itu, siswa dengan gaya kognitif FI cenderung menggunakan faktor-faktor
internal sebagai arahan dalam memproses informasi. Mereka mengerjakan tugas secara tidak
berurutan dan merasa efisien bekerja sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Bilal Atasoy dkk. (2008:) yang menunjukkan bahwa siswa dengan gaya kognitif FD lebih
suka menyelesaikan sesuatu dengan cara yang telah ditetapkan sementara siswa dengan gaya
kognitif FI cenderung lebih menyukai penyelesaian yang tidak
Uraian di atas menunjukkan bahwa individu dengan gaya kognitif FI lebih baik dari
individu FD. Bahkan hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa siswa yang memiliki gaya
kognitif FI lebih unggul daripada gaya kognitif FD dalam perolehan belajar. Seperti yang
disampaikan oleh Terance P. Obrien dkk. (2001: 89 92) dalam penelitiannya bahwa siswa
dengan gaya kognitif FI memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan gaya
kognitif FD. Namun demikian, tiap gaya kognitif memiliki keunggulan dan kelemahan. Contoh,
individu dengan gaya kognitif FD unggul dalam mengingat informasi sosial, seperti percakapan
atau interaksi intrapersonal, mungkin karena mereka lebih terbiasa dengan hubungan sosial.
Tetapi, individu dengan gaya kognitif FI memiliki kemampuan lebih mendalam menganalisis
informasi yang kompleks, yang tak terstruktur dan mampu mengorganisasinya untuk
memecahkan masalah.
Sebagai salah satu karakteristik peserta didik, kedudukan gaya kognitif dalam proses
pembelajaran perlu mendapat perhatian dari dosen/ guru dalam merancang pembelajaran.
Rancangan pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan gaya kognitif peserta didik,
berarti menyajikan materi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan potensi yang
mereka miliki. Dengan rancangan pembelajaran seperti itu, suasana belajar akan tercipta dengan
baik, karena proses pembelajaran sesuai dengan proses dan perkembangan kognitif peserta
didik, serta tidak terkesan mengintervensi hak mereka.
Di samping itu, dengan mengetahui adanya perbedaan individual dalam gaya kognitif,
dosen/guru dapat memahami bahwa peserta didik yang hadir di kelas memiliki cara yang
berbeda-beda dalam mendekati masalah atau menghadapi tugas-tugas yang diberikan. Beberapa
peserta didik mungkin membutuhkan bantuan pembelajaran untuk menentukan hal penting dan
mengabaikan detail-detail yang tidak relevan. Hal ini bukan berarti mereka kurang cerdas, tetapi
98
karena gaya kognitifnya yang cenderung menerima pola sebagai keseluruhan dan menemui
kesulitan untuk melakukan analisis. Dalam menghadapi situasi seperti itulah, dosen dengan
bekal pengetahuan tentang gaya kognitif mahasiswa dapat memberikan layanan pendidikan
yang sesuai dengan karakteristik gaya kognitif yang dimilikinya. Oleh sebab itu perlu diteliti
profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitifnya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari
gaya kognitif field independent dan field dependent
METODE PENELITIAN
Penelitian ini untuk mengungkap hakekat gejala yang muncul dari subyek penelitian.
Hakekat tersebut digunakan untuk menemukan profil intuisi yang digunakan mahasiswa dalam
memecahkan pemasalahan matematika. Hakekat tersebut ditelusuri melalui suatu wawancara
yang berbasis pada tugas. Oleh sebab itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif
eksploratif yang data utamanya berupa kata-kata tertulis dan/atau lisan.
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA
FKIP UNS Tahun Akademik 2011/2012. Subjek dipilih tidak secara acak, namun diambil
berdasarkan hasil tes gaya kognitif dengan GEFT. Dari hasil GEFT tersebut dipilih 2
mahasiswa dengan gaya kognitif field dependen dan 2 mahasiswa field independent. Dari
pemilihan subjek penelitian seperti tersebut di atas, maka subjek penelitian ini adalah S1FD dan
S2FD (gaya kognitif field dependent), dan S3FI dan S4FI (gaya kognitif field independent.
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen utama dan intrumen
antu adalah tes gaya kognitif tes pemecahan masalah matematika. Sedangkan instrumen tes
pemecahan masalah matematika terdiri dari masalah menemukan dan masalah membuktikan.
Data dalam penelitian ini berupa (1) data tentang hasil GEFT, (2) jawaban tertulis dari
tes kemampuan pemecahan masalah dan (3) data hasil wawancara dengan subyek penelitian.
Data hasil GEFT digunakan untuk menentukan subyek penelitian, sedangkan data tentang
jawaban tertulis dan hasil wawancara digunakan untuk mendeskripsikan intuisi subjek dalam
memecahkan masalah matematika.
Pada penelitian ini data dikatakan absah atau valid jika data tersebut memenuhi syarat
kredibel. Untuk memenuhi kriteria kredibel dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data diawali dengan meminta subjek ke-i (Si), untuk menyelesaikan suatu
permasalahan secara tertulis. Untuk mengecek ataupun menguji keabsahan data tertulis
tersebut, peneliti meminta subjek Si menjelaskan jawaban tertulisnya melalui wawancara.
Wawancara juga bertujuan untuk mengetahui jawaban subjek tentang permasalahan tersebut
secara lisan. Dengan demikian peneliti melakukan triangulasi metode.
b. Garis besar atau ikhtisar wawancara dikonfirmasikan dengan subjek Si untuk mendapatkan
komentar. Kegiatan ini memberikan peluang untuk membetulkan kesalahan dalam membuat
ikhtisar wawancara atau mendapatkan informasi tambahan. Dengan demikian peneliti
melakukan pengecekan anggota.
c. Hasil penelitian perlu diuji/dicocokkan dengan referensial (rujukan), seperti catatan
lapangan, rekaman kamera audiovisual, dan transkrip wawancara. Dengan demikian peneliti
melakukan ketepatan/kecukupan referensial.
d. Jika data yang diperoleh belum kredibel, misalnya terdapat perbedaan antara data yang
diperoleh melalui jawaban tertulis dengan data yang diperoleh melalui wawancara, maka
peneliti memberikan permasalahan yang isomorfik dengan masalah sebelumnya kepada
subjek Si dan melakukan wawncara.
Sedangkan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Reduksi data yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian
penyederhanaan pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan.
b. Pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, yaitu menuliskan
kumpulan data yang terorganisir dan terkategori sehingga memungkinkan untuk menarik
kesimpulan dari data tersebut.
99
c. Menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan menverifikasi kesimpulan
tersebut.
d. Hasil analisis wawancara akan digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap tingkat
berpikir kreatif siswa dan proses berpikirnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Subjek Field Dependent
a. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah menemukan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh
S1FD untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi antisipatori yang bersifat
global dan jenis intuisinya adalah intuisi yang didasarkan pada imajinasi namun tidak
mengarah pada penyelesaian masalah.
Subjek S2FD dalam menentukan banyaknya persegi dengan digambar langsung pada
papan paku 10x10 dan meyakini persegi yang kongruen dengan persegi ABCD harus
berada pada papan paku-papan paku 4x4 tidak saling beririsan pada papan paku 10x10.
Dari apa yang dilakukan subjek S2FD terlihat tidak menggunakan kognisi segera. Dengan
demikian subjek S2FD tidak menggunakan intuisi dalam memcahkan masalah-1.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kognitif dependent ada
kecenderungan memandang permasalahan secara menyeluruh. Nampak bahwa subjek
S1FD, intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah bersifat global dan didasarkan
pada imajinasi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa individu dengan gaya FD cenderung
menerima susatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit untuk memfokuskan pada
satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda.
b. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah membuktikan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh
S1FD untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah pada awalnya yang dipikirkan
adalah menggunakan prinsip induksi matematika karena ada keyakinan kalau pernyataan
yang terkait dengan bilangan biasanya menggunakan prinsip induksi matematika. Dengan
demikian intuisi yang digunakan oleh subjek S1FD adalah intuisi antisipatori yang
bertentangan pada umumnya dan intuisinya tidak mengarah pada penyelesaian masalah.
Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan
oleh S2FD untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah intuisi antisipatori yang
bersifat bertentangan pada umumnya. Jenis intuisi yang digunakan mengarah kepada
menggunakan pemikiran matematika secara real, walaupun tidak menyelesaikan masalah.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kognitif field dependent
dalam menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan intuisi antisipatori yang
bersifat bertentangan pada umumnya. Hasil ini memberikan gambaran bahwa subjek
mengalami kesulitan memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir
adalah ide-ide yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Apalagi masalah yang dihadapi
tidak menemukan konteks yang terkait. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa individu
dengan gaya kognitif field dependent kesulitan dalam memproses, namun mudah
mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan dapat
memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan
konteks.
2. Subjek Field Independent
a. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah menemukan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh
S3FI untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi antisipatori yang bersifat
global dengan keyakinan yang mendalam dengan jenis intuisi yang didasarkan pada
generalisasi dengan induksi. Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh
bahwa intuisi yang digunakan oleh S4FI untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah
100
intuisi antisipatori bersifat global berupa feeling dari keyakinan yang mendalam dengan
jenis intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa, walaupun intuisinya adalah intuisi antisipatori
yang bersifat global, namun selanjutnya subjek dapat menggunakan intuisinya untuk
menyelesiakan ke bentuk yang lebih terinci sehingga timbul pemikiran secara real. Hal
tersebut sesuai dengan teori, bahwa individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagianbagian terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponenkomponennya. Individu dengan gaya kognitif FI cenderung menggunakan faktor-faktor
internal sebagai arahan dalam memproses informasi
b. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah membuktikan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa apa yang dilakukan oleh S3FI
untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah mendasarkan pada ingatan, bahwa
pernah mendapatkan pelajaran tentang penggunaan kontraposisi untuk membuktikan
pernyataan dan contohnya sama dengan masalah membuktikan. Dengan demikian tidak
ada kognisi segera yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan
demikian subjek S3FI tidak menggunakan intuisi dalam memecahkan masalah tersebut.
Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa apa yang dilakukan
oleh S4FI untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah subjek S4FI juga sudah
melihat bahwa dengan bukti langsung akan mengalami kemacetan. Jadi intuisi yang
digunakan oleh subjek S4FI adalah dengan kontraposisi dan menyadari bahwa bukti secara
langsung tidak dapat digunakan. Dengan demikian intuisi yang digunakan oleh subjek
S4FI adalah intuisi antisipatori yang bersifat global dan jenis intuisi yang digunakan
menggunakan pemikiran matematika secara real.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa intuisi yang digunakan subjek dengan gaya
kognitif field independent adalah intuisi antisipatori yang bersifat global yaitu dengan
menggunakan cara kontraposisi dan jenis intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran
matematika secara real. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa subjek dapat memilah
penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang diberikan. Berdasarkan
teori, bahwa individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-bagian terpisah dari pola
menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-komponennya. Artinya
intuisi yang muncul pada subjek field independent tersebut diperoleh dari upaya untuk
memilah penggunaan cara-cara pembuktian yang dikuasainya.
101
intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran matematika secara real. Subjek dapat
memilah penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang diberikan.
Saran
1. Kepada dosen pada program studi pendidikan matematika, dalam mengajar yang berkaitan
dengan pemecahan masalah, sebaiknya memperhatikan gaya kognitif mahasiswanya
sehingga pembelajaran yang dilaksanakan dapat lebih sesuai dengan karakteristik
mahasiswa.
2. Kepada dosen pada program studi pendidikan matematika, hendaknya menggunakan hasil
penelitian ini untuk kajian dalam pembelajaran. Kajian pembelajaran tidak terbatas pada
pemecahan masalah, namun pada kajian-kajian yang lain, misalnya proses berpikir.
3. Kepada para dosen dapat mengembangkan penelitian lanjutan, misalnya profil intuisi
mahasiswa dalam memecahkan masalah yang berdasarkan langkah-langkah pemecahan
masalah dari Polya.
4. Kepada mahasiswa program studi pendidikan matematika hendaknya mengetahui gaya
kognitif yang dimilikinya agar dalam belajar dapat menyesuaikan dengan gaya kognitifny
sehingga diperoleh hasil belajar yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht, The Netherlands: D.
Reidel.
Fischbein, E. 1994. The Interaction Between The Formal, The Algorithmic, and The intuitive
Components in a Mathematical Activity. In R. Biehler, R. W. Scholz, R.
Fischbein, E. and Grossman, A.: 1997, Schemata and intuitions in combinatorial
reasoning,Educational Studies in Mathematics 34, 2747.
Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based
Misconseptions. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol
28.
Fischbein, E. 1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In
Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers
Guisande, M. Adelina., Paramo, M. Fernanda., Tinajero, Carolina., dan Almeida, Leonardo S.
2007. Field Dependence-Independence (FDI) Cognitive Style: An Analysis of
Attentional Functioning. Psicothema. Vol. 19 (004), pp. 572-577.
Maleong,L.J.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
OBrien, Terrance P., Butler, Susan M., dan Bernold, Leonhard E. 2001. Group Embedded
Figures Test and Academic Achievement in Engineering Education. Int. J. Engng Ed.
Vol. 17, No. 1, pp. 89-92.
Oh, Eunjoo dan Lim, Doohun. 2005. Cross Relationships between Cognitive Styles and Learner
Variables in Online Learning Environment. Journal of Interactive Online Learning.
Vol. 4, No. 1, pp. 53-66.
Parkinson, Ardian dan Redmon, James A. 2001. The Impact of Cognitive Styles and
Educational Computer Environments on Learning Performance. Dublin: Dept of
Computer Science, Trinity College.
Polya, George.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical
Problems In High School. National Council of Teachers of Mathematics
102
PENDAHULUAN
Matematika adalah RATU sekaligus PELAYAN dari ilmu pengetahuan. Matematika
merupakan SUNGAI sekaligus JEMBATAN ilmu pengetahuan. Kuasailah Matematika maka
dunia ada dalam genggamanmu.
Itulah sebait ungkapan dari para ilmuwan yang menunjukkan betapa besar peran
matematika dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu komputer tidak dapat
berkembang seperti sekarang ini jika sebelumnya tidak diperkenalkan bilangan biner. Ahli
Astronomi tidak dapat menentukan jarak antar bintang jika sebelumnya tidak diperkenalkan
konsep trigonometri, dan masih banyak lagi peran matematika untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Memperhatikan begitu besar peranan Matematika, tentunya sangat ironis jika melihat
kondisi di Indonesia. Matematika menjadi mata pelajaran yang dianggap paling sulit bahkan
menjadi momok dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Prestasi Indonesia pada tingkat
internasional dalam penguasaan matematika sangat memprihatinkan, dimana berdasarkan hasil
penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 yang
dikoordinir oleh The International for Evaluation of Education Achievement (IEA),
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
103
menempatkan siswa Indonesia di peringkat 34 dari 38 negara yang diteliti. Padahal kalau kita
tilik lebih dalam lagi, berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh TIMMS yang di
publikasikan 26 Desember 2006, jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih
banyak dibandingkan negara lain, misalnya Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa
kelas VIII di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di
Malaysia hanya mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Tapi kenyataannya, prestasi
Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia
hanya menembus skor rata-rata 411, sedangkan Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605.
Artinya Waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di sekolah tidak sebanding dengan prestasi
yang diraih.
Sementara itu, prestasi yang didasarkan pada standar nasional pun juga sangat
memprihatinkan. Sebanyak 350.798 siswa dari total 3.605.163 peserta tidak lulus Ujian
Nasional Utama SMP/MTs/SMPT 2010. Sementara untuk Kabupaten (daerah yang akan
digunakan untuk penelitian ini), tercatat 2.442 dari total 17.858 peserta Ujian Nasional Utama
SMP/MTs/SMPT 2010 yang tidak lulus. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dinas Pendidikan bahwa
ketidaklulusan siswa tertinggi pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
Kenyataan di atas menunjukkan masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa.
Diduga banyak faktor yang mempengaruhi kompetensi belajar matematika, yang secara garis
besar faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang
meliputi faktor jasmaniah dan psikologis serta faktor yang berasal dari luar diri siswa yang
meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan baik oleh
pihak pemerintah melalui Dirjen Dikdasmen maupun oleh guru sebagai ujung tombak
pelaksanaan kegiatan akademik untuk mengeliminir segala hambatan, khususnya faktor yang
berasal dari luar diri siswa, misalnya dengan meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan
kurikulum maupun meningkatkan sarana prasarana pembelajaran. Sayangnya usaha tersebut
kurang diimbangi oleh kemauan atau mungkin ketidaktahuan siswa untuk mengatasi hambatan
yang berasal dari dalam diri sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena siswa kurang
memahami karakter diri sendiri sehingga muncul kebingungan apa yang harus dilakukan dan
bagaimana melakukannya ?.
Sementara itu, keberadaan guru juga kurang optimal dalam membantu mengatasi
permasalahan ditengah kebingungan siswa. Hal utama yang perlu mendapat perhatian adalah
interaksi antara siswa dan guru masih sangat memprihatinkan sehingga guru kurang mengenal
anak didiknya, apalagi sampai memahami karakternya. Bagaimana mungkin bimbingan dapat
berjalan dengan baik jika guru tidak memahami karakter anak didiknya?
Di sisi lain, ilmu statistika telah berkembang begitu pesat. Dalam pemilihan model regresi
terbaik terjadi pergeseran yang cukup berarti. Exhaustive search methods, yang didasarkan
pada metode all possible subset of prediktors awalnya disebut sebagai metode yang sangat
menjanjikan karena dapat menjelaskan secara terperinci segala kemungkinan regresi dengan
berbagai karakternya, akan tetapi sayangnya metode ini membutuhkan komputasi yang sangat
banyak dan tidak feasible dalam skala yang besar. Untuk mengatasi hal tersebut systematic
selection algorithms, yang didasarkan pada metode forward, backward dan stepwise
memberikan kontribusi yang sangat baik dalam menutup kelemahan dari Exhaustive search
method. Pola pikir dari systematic selection algorithms dalam pemilihan model regresi terbaik
, yaitu dengan jalan membuang atau memasukkan satu per satu variabel ke dalam model
berdasarkan kontribusi variabel tersebut dalam model, sehingga komputaasi akan lebih efisien.
( Brauner dan Shacham, 2003).
Dalam pada itu, munculnya analisis diskriminan telah memberi warna baru dalam
pengelompokan variabel. Analisis diskriminan merupakan suatu metode yang dapat
menghasilkan pemisahan yang terbaik antara berbagai macam populasi. Pemisahan dilakukan
dengan fungsi diskriminan, yaitu fungsi yang diperlukan apabila variabel asal belum cukup baik
untuk mencirikan populasinya, dimana hal itu terjadi akibat dari tumpang tindihnya sebaran
daerah populasi tersebut. (Bilodeau dan Brenner ,1999).
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat model
matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di
Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Sedangkan dalam pelaksanaannya dari model
104
matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang
karakter akademik siswa sedemikian hingga dapat digunakan sebagai acuan baik untuk siswa,
guru maupun jajaran Dinas Pendidikan dalam mengatasi rendahnya prestasi belajar Matematika
di Sekolah Menengah Pertama.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitan ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama.
Untuk keperluan ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
Tahap I
: Menganalisis faktor-faktor internal yang
diduga potensial berpengaruh
terhadap kompetensi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari
10 variabel yang ada akan dipilih beberapa variabel yang benar-benar mempunyai
pengaruh signifikan terhadap kompetensi belajar siswa Sekolah Menengah
Pertama. Untuk keperluan ini akan digunakan stepwise regression.
Tahap II
: Dari
variabel yang telah terpilih melalui stepwise regression akan
dilakukan pengelompokan berdasarkan pestasi belajar matematika siswa. Pada
tahap ini akan diperoleh model matematika sebagai wujud dari karakter
akademik siswa. Untuk keperluan ini akan digunakan analisis diskriminan.
Tahap III : Dari model matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi
berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa. Untuk keperluan ini
akan digunakan Adobe Flash CS4.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama di
Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Sedangkan sampel diambil proporsional Cluster
random sampling sebanyak 5 kelas, dengan perincian 2 kelas untuk SMPN 1 Wonosari (63
siswa) dan 3 kelas untuk SMPN 2 Wonosari (108 siswa)
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini selain mengacu pada pendapat Slametto
(1995) tentang belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga diambil dari beberapa
hasil penelitian mahasiswa (skripsi) yang relevan. Variabel-variabel tersebut adalah :
Variabel Tak Bebas
Y
: Prestasi Belajar Matematika
Variabel Bebas
Dalam penelitian ini terdapat 10 variabel bebas, yaitu :
X1
: Aktivitas Belajar Matematika
X2
: Kesiapan Belajar Matematika
X3
: Kreativitas Belajar Matematika
X4
: Kedisiplinan Belajar Matematika
X5
: Kemandirian Belajar Matematika
X6
: Minat Belajar Matematika
X7
: Motivasi Belajar Matematika
X8 : Kemampuan Bekerjasama
X9
: Kemampuan Berkomunikasi
X10
: Temperamen Siswa
Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan metode angket yaitu sejumlah
pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi responden dalam arti laporan tentang
pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya. Angket dalam penelitian ini berbentuk pertanyaan
pilihan ganda untuk mengetahui beberapa varibel laten yang diduga mempengaruhi kompetensi
belajar matematika siswa. Sedangkan untuk memperoleh data dari variabel terikat yaitu
kompetensi belajar matematika diambil dari nilai raport. Sebelum soal/angket digunakan untuk
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
105
mengumpulkan data, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Adapun teknik yang
digunakan untuk uji validitas adalah dengan rumus korelasi momen produk, sedangkan untuk
uji reliabilitas digunakan rumus alpha.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah
Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten, dalam penelitian akan diamati
10 variabel yang didasarkan pada beberapa hasil penelitian mahasiswa (skripsi) yang relevan
dan pengamatan peneliti terhadap sikap dan perilaku siswa Sekolah Menengah Pertama. Untuk
memperoleh data 10 variabel tersebut digunakan instrumen yang berupa angket.
Deskripsi Data
Untuk memperoleh data penelitian, angket yang sudah cukup layak tersebut dibagikan
kepada 63 siswa SMPN 1 Wonosari dan 108 siswa SMPN 2 Wonosari. Sementara prestasi
belajar matematika siswa diambil dari nilai ujian tengah semester. Hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
Skor
Angket
Minimal
Maksimal
Rata-rata
Sta. deviasi
Aktivitas
15
25
19.74
2.73
Kesiapan
12
28
18.33
3.93
Kreativitas
13
29
20.74
4.66
Kedisiplinan
15
32
23.05
5.26
Kemandirian
21
34
27.44
4.05
Minat
19
32
24.60
3.83
Motivasi
18
31
24.32
3.97
Kerjasama
16
34
23.36
4.98
Komunikasi
15
37
24.79
6.93
Temperamen
21
31
26.09
3.27
Prestasi
44
98
65.14
12.63
Pembuatan Model Matematika dari Karakter Akademik Siswa
Untuk membuat model matematika tersebut dilakukan dalam dua tahap (pemilihan
variabel dan pengelompokan variabel) sebagai berikut :
Tahap I
Menentukan faktor-faktor internal yang diduga potensial berpengaruh terhadap
prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari 10 variabel yang ada akan
dipilih beberapa variabel yang benar-benar mempunyai pengaruh signifikan terhadap prestasi
belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama.
Berdasarkan hasil olah data menggunakan paket program MINITAB 16 melalui
Stepwise Regression diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
matematika siswa Sekolah Menengah Pertama digambarkan dalam model regresi terbaik
sebagai berikut :
PRESTASI = -9.309 + 1.04 X2 + 0.25 X3 + 0.96 X6 + 1.14 X8
Tahap II
Dari variabel-variabel yang telah terpilih pada tahap I, akan dilakukan
pengelompokan berdasarkan prestasi belajar matematika siswa, sehingga akan diperoleh
model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa. Untuk keperluan
pengelompokan, terlebih dahulu setiap responden diberikan rambu-rambu berdasarkan
prestasi belajar matematikanya, yaitu :
HIJAU
: N 80
KUNING
: 60 N 80
MERAH
: N 60
Berdasarkan hasil olah data menggunakan paket program MINITAB 16 melalui analisis
diskriminan diperoleh hasil bahwa dengan mempertimbangkan prestasi belajar matematika dan
106
KESIAPAN BELAJAR
KREATIVITAS BELAJAR
MINAT BELAJAR
KEMAMPUAN
BEKERJASAMA
HASIL
107
Dengan
X2 = Kesiapan Belajar Matematika
X3= Kreatifitas Belajar Matematika
X6= Minat Belajar Matematika
X8 = Kemampuan Kerjasama
2. Model matematika dari karakter akademik siswa SMP di Kecamatan Wonosari, Kabupaten
Klaten adalah sebagai berikut :
HIJAU
= -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8
KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8
MERAH
= -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8
3. Berdasarkan model matematika yang telah terbuat setiap siswa dengan berbagai karakter
akan dapat dikelompokkan dalam kategori MERAH, KUNING atau HIJAU, sehingga dapat
digunakan sebagai pedoman guru atau wali kelas dalam usaha meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa.
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu:
Model matematika yang telah terbentuk akan dapat digunakan untuk menganalis karakter
akademik siswa Sekolah Menengah Pertama dengan baik jika memang siswa dapat mengisi
angket tentang variabel-variabel yang ada dengan jujur.
2. Pola pikir pembuatan model matematika ini dapat juga digunakan untuk mata pelajaran
yang lain dengan memperhatikan variabel-variabel yang lain juga.
1.
DAFTAR PUSTAKA
Asari, A.R. (2003). Menyambut Kurikulum Berbasis Kompetensi : Bagaimana Bentuk
HijrahPembelajaran Matematika Kita ?. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Matematika IV di Unnes Semarang.
Bilodeau, M. and Brenner, D. (1999). Theory of Multivariate Statistics. Springer-Verlag New
York Inc. New York.
Draper, N.R. and H. Smith (1981). Applied Regression Analysis. 2nd ed.. John Wiley & Sons.
New York.
Gunarsa, Singgih Y D dan Gunarsa, Singgih D. (1995). Psikologi Untuk Membimbing. Gunung
Mulia. Jakarta.
Herman Holstein. (1990). Murid Belajar Mandiri. Remaja Karya. Bandung.
Muhibbin Syah (1997). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru . Remaja Rosda Karya.
Bandung.
Mulyani, S dan J. Permana (2001). Strategi Belajar Mengajar. CV Maulana. Bandung.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Muclish Hamidi dan Dasiemi S. (1991). Pola Asuh Orang Tua, Kenakalan dan Prestasi Belajar
Siswa SD di Kecamatan Banjarsari. UNS Press. Surakarta.
Ngalim Purwanto. (1991). Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Pusat Kurikulum (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Matematika Sekolah Dasar. Depdiknas.
Jakarta.
Slametto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta.
Suharsimi Arikunto. (1998). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Jakarta.
108
PENDAHULUAN
Setiap pribadi manusia memiliki potensi dan talenta dalam dirinya, tugas pendidikan
yang sejati adalah membantu siswa untuk menemukan dan mengembangkan seoptimal
mungkin. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal
3 dinyatakan bahwa:
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sistem evaluasi dan ujian nasional yang diselenggarakan relatif masih mengukur satu
aspek kecerdasan dan mengkerdilkan makna siswa sebagai suatu pribadi manusia dan sekolah
sebagai lembaga pendidikan (Vitonasya, 2009). Hal ini menyebabkan sekolah di Indonesia lebih
mementingkan kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektif siswa.
Hasil penelitian Assegaf (2003) menemukan 93 kasus kekerasan dalam kategori sedang
berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru
terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa
terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa. Tidak hanya itu,
kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada pencabulan,
penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang
mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik
permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di samping itu, selama
empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik signifikan 90 %, dari 958
kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada 2001. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah
ke kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena terbukti
mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan indikasi bahwa pemakaian
narkotika ini sudah masuk ke SD. Rigby (dalam Assegaf, 2003) menyatakan dampak pada
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
109
rendahnya kesejahteraan psikologi (rendah diri, mudah marah dan sedih), susah untuk
bersosialisasi, dan menyebabkan tekanan psikologi (kecemasan tingkat tinggi, depresi, bunuh
diri). Hal ini dapat memperburuk tingkat kecerdasan emosional siswa. Hal ini bertentangan
dengan tema Hardiknas Tahun 2011 yaitu Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan
Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Karakter yang bertumpu
pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila, UUD NKRI
1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilarnya (Kemendiknas, 2011).
Dalam konsep humanistik, belajar adalah pengembangan kualitas kognitif, afektif dan
psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau
perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa. Pendidikan
humanistik memandang proses belajar bukan hanya sebagai sarana transformasi pengetahuan
saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan survey yang dilakukan Haglun (2004) yang menyatakan
bahwa kelas yang diajarkan menggunakan metode humanistik lebih memanusiakan siswa (
pengembangan potensi siswa maksimal serta penanaman nilai humanistik pada siswa)
dibandingkan kelas lain.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa study kasus/ penelitian tersebut di lakukan di luar
negeri maka terdapat suatu permasalahan apakah pendekatan humanistik berpengaruh terhadap
penanaman karakteristik (berprestasi dan berbudi luhur) siswa di Indonesia?. Dari penelitian ini
nantinya akan diperoleh suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong terwujudnya
tema pendidikan nasional tahun 2011 yaitu membentuk siswa yang tidak hanya berprestasi
tinggi namun juga memiliki karakter yang berbudi luhur.
Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika Humanistik
Teori humanistik menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti
membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang.
Sudjana (dalam Arsury, 2007) menyatakan bahwa aliran humanistik menekankan pada
pentingnya sasaran (obyek) kognitif dan afektif pada diri seseorang serta kondisi lingkunganya.
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa persepsi memainkan peranan dalam pengalaman belajar
seseorang (Arsury, 2007). Apabila seseorang berhubungan dengan lingkungan sekitar maka
persepsi orang itu tidak terlepas dari faktor-faktor subyektif. Siswa akan mempersepsikan
pengalamannya, termasuk pengalaman belajar dalam memenuhi kebutuhan belajarnya, dan ia
akan menginternalisasikan pengalaman itu dalam dirinya secara aktif.
Konsepsi aliran humanistik menjelaskan bahwa siswa merupakan pelaku yang aktif
dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers (1969) berpendapat
pembelajaran hendaknya berpusat pada siswa (learner centered). Pembelajaran hendaknya
memberikan kebebasan yang luas kepada siswa untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari
sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dilakukan dengan memberikan kebebasan yang lebih
luas kepada mereka dalam memilih dan memutuskan apa yang ingin dipelajari, dan bagaimana
cara mempelajarinya. Menurut Gage and Berliner (dalam Arsury, 2007) terdapat lima tujuan
yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik dalam pendidikan, yaitu: (1)
mengembangkan self-direction yang positif dan kebebasan (kemandirian) pada diri siswa; (2)
membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari; (3)
membangun kreativitas, (4) membangun rasa keingintahuan; dan (5) membangun minat
terhadap matematika atau menciptakan sensitivitas matematika.
Alvin (dalam Haglun, 2004) menyebutkan beberapa karakteristik umum dari sebuah
kelas humanistik: (1) Menempatkan siswa pada posisi penyelidik, bukan hanya reseptor fakta
dan prosedur; (2) Membiarkan siswa untuk saling membantu memahami masalah dan solusinya
lebih mendalam; (3) Belajar berbagai cara untuk memecahkan masalah, bukan hanya suatu
pendekatan aljabar; (4) Termasuk latar belakang sejarah menunjukkan matematika sebagai
usaha manusia; (5) Menggunakan pengajuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan terbuka, bukan
hanya latihan; (6) Menggunakan berbagai teknik penilaian, bukan hanya menilai seorang siswa
terhadap kemampuannya untuk melaksanakan prosedur hafal; (7) Mengembangkan pemahaman
110
dan apresiasi dari beberapa ide-ide matematika besar yang telah membentuk sejarah dan budaya
kita; (8) Membantu para siswa melihat matematika sebagai studi tentang pola-pola, termasuk
aspek-aspek seperti keindahan dan kreativitas; dan (9) Membantu siswa mengembangkan sikap
kemandirian, kemerdekaan dan rasa ingin tahu.
2. Pendidikan Karakter
Azra (dalam Sapriati, 2003) menyatakan bahwa sekolah bukanlah sekedar tempat
transfer of knowlegde namun juga merupakan lembaga yang memfasilitasi usaha dan upaya
pembelajaran yang berorientasi pada nilai. Pembentukan dan pendidikan karakter bangsa tidak
dapat dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan tetapi melalui penanaman nilai.
Kajian nilai umumnya mencakup estetika (hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang
dipandang manusia sebagai indah, yang disenangi) dan etika (hal tentang justifikasi terhadap
tingkah laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku dalam masyarakat yang bersumber
dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya). Sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mencetak siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam karakter dan
kepribadian. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter di sekolah di
antaranya adalah pendekatan modelling atau exemplary, penjelasan atau klarifikasi berbagai
nilai baik dan buruk kepada siswa secara terus menerus, dan penerapan pendekatan pendidikan
berdasarkan karakter dalam setiap mata pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus
pendidikan karakter.
Nilai yang berkaitan dengan pendidikan matematika di sekolah dapat ditanamkan
melalui sifat matematika. Uskup (dalam Seah, 2005) menyatakan pendidikan nilai-nilai dalam
matematika meliputi kerapian, kreativitas dan kejujuran. Harmin dan Simon (dalam Seah, 2005)
menyebutkan adanya nilai keyakinan dan sikap dalam matematika. Keyakinan identik dengan
kebenaran/ kepalsuan tentang suatu konteks. Hofstede (dalam Seah, 2005) juga menyatakan
nilai saling menghargai dan kepatuhan terhadap kesepakatan dalam matematika.
Dalam buku pedoman pendidikan karakter yang disusun oleh IKIP PGRI Semarang,
terdapat 18 nilai beserta deskripsi keberhasilan dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa di kelas (IKIP, 2011:24). Nilai-nilai tersebut antara lain, sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai
Deskripsi
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
tahu
dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.
10. Semangat Cara berpikir dan bertindak dan berwawasan yang menempatkan
kebangsaan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta tanah Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
air
kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
111
12.Menghargai
prestasi
13.komunikatif
14. Cinta damai
15.Gemar
membaca
16. Peduli
Lingkungan
17. Peduli
Sosial
18. Tanggung
Jawab
pengetahuan yang telah mereka miliki dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
(salah satukarakteristik kelas humanistik).
3) Guru memberikan arahan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa
yang berkaitan dengan sumber belajar.
b. Pada Kegiatan Inti Pembelajaran
1) Guru menyampaikan permasalahan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka
(karakteristik kelas humanistik) yang tertuang dalam LKS. Ini merupakan usaha guru
dalam memfasilitasi siswa untuk belajar untuk mengembangkan sikap kemandirian,
kemerdekaan dan rasa ingin tahu.
2) Siswa melakukan kegiatan eksplorasi terhadap sumber belajar yang telah tersedia
menggunakan bekal pengetahuan dari kegiatan apersepsi. Dalam hal ini sumber belajar
(alat peraga) akan dirancang sedemikian rupa agar mengarah pada tujuan pembelajaran.
Kegiatan ini merupakan karakteristik kelas humanistik dimana siswa memposisikan
dirinya sebagai penyelidik sehingga muncul persepsi pada siswa bahwa matematika
merupakan usaha siswa untuk menyelesaikan masalah guna memenuhi kebutuhan.
3) Siswa melakukan kegiatan elaborasi, dengan cara saling berdiskusi tentang hasil kerja
individu dalam kelompok. Disini siswa akan saling membantu memahami masalah dan
mencari solusi yang lebih mendalam (karakteristik kelas humanistik).
4) Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan kegiatan konfirmasi
melalui presentasi hasil diskusi. Di sini siswa akan mengembangkan pemahaman dan
aspiarasi dari ide-ide yang dihasilkan oleh tiap siswa (karakteristik kelas humanistik).
5) Guru memberikan latihan soal yang berisi soal terbuka sebagai salah satu teknik
penilaian. Selain itu pada kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi guru mengamati
aktivitas peserta didik menggunakan rubrik pengamatan. Dalam kegiatan ini terlihat
guru menggunakan berbagai teknik penilaian (karakteristik kelas humanistik).
6) Guru meminta tiap kelompok untuk menyelesaikan soal dengan berbagai cara
(karakteristik kelas humanistik).
7) Guru mempersilahkan siswa untuk memaparkan hasil kerja kelompok.
8) Memberikan penghargaan pada kelompok yang dianggap paling sukses menjalankan
tugas. Penghargaan bisa berupa nilai tambahan bagi tiap anggota kelompok.
c. Pada Kegiatan Akhir
1) Bersama siswa guru menyimpulkan tentang materi pecahan yang telah bersama-sama
mereka pelajari.
2) Guru memberikan tugas rumah.
2. Karakter Siswa
Melalui karakteristik kelas humanistik yang dirancang oleh guru, akan terselip
penanaman nilai-nilai yang akan membentuk karakter siswa. Adapun nilai dan proses tersebut,
antara lain.
a. Religius akan terbentuk ketika kelompok yang ada tidak membedakan agama sehingga
siswa belajar kerukukan dengan pemeluk agama lain.
b. Kejujuran akan terbentuk ketika siswa melakukan kegiatan eksplorasi yang terlihat dari
terselesaikannya LKS oleh siswa dengan hasil kerja sendiri, bukan hasil mencontek dari
jawaban siswa. Karna di sini, tiap siswa menggunakan ide yang berbeda-beda.
c. Toleransi, demokrasi, komunikatif, peduli sosial dan cinta damai akan terbentuk dari setiap
kegiatan yang melibatkan kelompok.
d. Disiplin akan terbentuk melalui setiap tahap yang telah ditetapkan waktu pengerjaannya
oleh guru.
e. Rasa ingin tahu, kerja keras, kreatif dan mandiri akan terbentuk dalam tahap eksplorasi,
karena siswa diminta untuk mengeluarkan ide original untuk menyelesaikan permasalahan
yang diajukan guru.
f. Gemar membaca akan terbentuk oleh keinginan untuk mampu memenuhi kebutuhan (dalam
hal ini memecahkan masalah).
113
g. Peduli lingkungan akan terbentuk ketika siswa merapikian mejanya dari alat peraga yang
digunakan.
h. Tanggung jawab akan terbentuk dari terselesainya tiap tugas yang diberikan oleh siswa.
Pemberian skor tentang nilai-nilai pembentuk karakter akan lebih mudah karena
pembentukan kelompok disesuaikan dengan tipe-tipe kelompok belajar yang dikumukakan oleh
Honey dan Mumford (dalam Uno, 2006 : 16). Hal ini juga akan mengurangi tingkat ancaman
pada siswa karena pemikiran yang berbeda dalam satu kelompok akan dijadikan ancaman bagi
siswa yang membuat motivasi siswa akan berkurang (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139).
3. Pengaruh Karakter Siswa terhadap Prestasi Belajar Siswa
Karakter rasa ingin tahu akan membuat siswa gemar membaca sehingga membuat siswa
lebiah siap mengikuti pembelajaran. Selanjutnya saat pembelajaran di kelas, karakter disiplin,
kerja keras, kreatif dan mandiri membantu siswa untuk mampu menyelesaikan permasalahan
yang telah dibuat guru dan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pribadinya. Karena
masalah yang dirancang guru menyangkut konsep baru yang harus dimiliki siswa maka
pemahan konsep siswa akan semakin kuat. Selanjutnya pada kegiatan elaborasi dan konfirmasi,
karakter religius, toleransi, demokrasi, komunikatif, peduli sosial dan cinta damai akan
mempermudah siswa dalam bekerja sama dengan siswa yang lain dalam usaha untuk
memperluas pemahaman konsep untuk penyelesaian masalah sehingga ide dan persepsi siswa
tentang pecahan lebih banyak dan lebih luas. Dan tentunya yang tidak kalah penting yang
menjamin keberhasilan siswa dalam belajar ialah karakter kejujuran dan tanggung jawab.
Karena semua hal akan terasa sia-sia jika siswa melakukannya bukan atas usaha sendiri.
4. Ketuntasan Prestasi Belajar Siswa
Proses pembelajaran yang telah dirancang sedemikian rupa akan membuat konsep
mudah tertanam oleh siswa karena dalam belajar siswa merasa termotivasi dan tanpa tekanan
dan ancaman (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139). Sehingga ketika dilakukan tes tentang
prestasi belajar maka akan menghasilkan nilai yang melebihi KKM yang ada serta proporsi
siswa yang tuntas pun akan lebih dari 80% sehingga ketuntasan individu dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Arsury. 2007. Pendidikan yang Humanistik. http://arsury.blogspot.com/2007/12/pendidikanyang-humanistik.html [14/10/2009].
Assegaf, A. R. 2003. Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. Jurnal Inovasi
Pendidikan Tinggi Agama Islam, 2(1). http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp
[16/02/2010].
Clark, C., Guskey, T., & Benninga, J. 1983. The effectiveness of mastery learning strategies in
undergraduate education courses. Journal of Educational Research, 76(4): 210-214.
Haglun, R. 2004. Humanistic Mathematics Teaching Can Make a Difference: Using Humanistic
Content and Teaching Methods to Motivate Students and Counteract Negative
Perceptions of Mathematics. The Humanistic Mathematics Network Journal Online, 27.
Tersedia di http://www2.hmc.edu/www_common/hmnj/haglund.doc [diakses pada
25/10/2009].
IKIP PGRI Semarang. Pedoman Pendidikan Karakter. 2011. Semarang: IKIP PGRI Press.
Kemendiknas. 2011. Sambutan Mediknas pada Hardiknas 2011.
www.kemendiknas.go.id/media/424570/SambutanHardiknas2011-Final.pdf
[02/05/2011]
Rogers, C. R. 1969. Freedom to Learn. http://www.panarchy.org/rogers/learning.html
[29/10/2009].
Sapriati, A. 2003. Pelaksanaan Pengembangan Nilai Melalui Pembelajaran dan Kegiatan
Sekolah.
http://gurupintar.ut.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=6 [27/
10/ 2009].
Seah, W. T. 2005. Negotiating About Perceived Value Differences in Mathematics Teaching:
The Case of Immigrant Teachers in Australia. On Proceedings of the 29th Conference
114
115
Lilik Ariyanto
Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI SEMARANG
Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 Dr. Cipto Semarang, e-mail: ariyanto.lilik144@gmail.com
Abstrak
Pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru-guru SMP pada materi luas kubus
dan balok belum memperoleh hasil belajar siswa yang maksimal, karena yang dipelajari
adalah bangun ruang tiga dimensi tapi disajikan dalam gambar dua dimensi yang statis,
sehingga hasil belajar siswa kurang. Peneliti mencoba untuk menerapkan Anchored
Instruction (AI).Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran
matematka dengan AI efektif.
Rancangan uji coba menggunakan Quasi-Experimental. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: (1) hasil belajar siswa, diperoleh dengan tes; (2) aktivitas belajar siswa
yang diperoleh dari hasil observasi; (3) motivasi belajar siswa yang diperoleh dari angket.
Pada penelitian ini menghasilkan pembelajaran yang efektif yang dapat dilihat dari: (1)
hasil belajar siswa mencapai ketuntasan secara individu dan secara klaksikal, (2) adanya
pengaruh positif aktivitas dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa, (3) rata-rata
nilai hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.
Kata Kunci : Efektivitas, Anchored Instruction, Kubus, Balok
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi, serba modern, berteknologi dan penuh persaingan, menuntut setiap
orang untuk menguasai berbagai bidang kehidupan, supaya Sumber Daya Manusia (SDM)-nya
dapat meningkat. Dengan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, negara tersebut akan
dapat bersaing dengan negara-negara lain diberbagai bidang pula. Salah satu bidang yang
menunjang meningkatnya SDM Indonesia adalah bidang pendidikan.Keberhasilan bidang
pendidikan tidak terlepas dari peran guru dan sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta.Salah
satu pelajaran di sekolah yang ikut berperan besar dalam kemajuan teknologi dan SDM adalah
matematika.
Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas dibandingkan dengan
disiplin ilmu yang lain, yaitu berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang
tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Kegiatan belajar dan mengajar matematika
seyogyanya tidak disamakan begitu saja dengan ilmu yang lain. Kegiatan belajar-mengajar
haruslah diatur dengan memperhatikan kemampuan siswa dan memahami hakekat matematika
karena siswa yang belajar matematika berbeda-beda kemampuannya.
Pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus dikuasai
oleh siswa SMP, dengan bukti bahwa matematika termasuk dalam mata pelajaran yang
diperhitungkan untuk syarat kelulusan siswa SMP. Belajar matematika akan berhasil bila proses
belajarnya baik, salah satunya yaitu melibatkan siswa secara aktif. Zaini (2008: 14)
mengungkapkan bahwa ketika siswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi
aktifitas pembelajaran.Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk
menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan masalah, ataupun
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.Anni (2004:11) menyatakan bahwa hasil
belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari
luar (eksternal). Faktor internal antara lain faktor fisiologis dan psikologis (misalnya
kecerdasan, motivasi, berprestasi dan kemampuan kognitif), dan faktor eksternal antara lain
faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan media pembelajaran).
116
Menurut Nurhadi (2004: 3), belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami sendiri
apa yang dipelajarinya, bukan hanya mengetahuinya saja. Pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Model pembelajaran yang mencakup strategi, pendekatan, teknik dan metode
instruksional dapat mengoptimalkan aktifitas belajar siswa apabila pembelajaran terjadi dengan
bermakna, menyenangkan dan dapat mendorong siswa untuk membangun dan mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini guru harus dapat menjadi seorang desainer
mengajarkan teori dan mengimplementasikan teori tersebut kepada siswa dalam pembelajaran
untuk mencapai tujuan pembelajaran (Joyce ,1994:34).
Pembelajaran ekspostori yang selama ini digunakan oleh guru-guru SMP belum dapat
menjembatani antara konsep luas kubus dan balok yang masih abstrak dengan siswa yang masih
berpikir konkrit.Hal ini disebabkan media yang digunakan hanya media diam dan tidak bergerak
(static visual), serta sering kali kubus dan balok tersebut disajikan dalam visual dua dimensi,
padahal yang dibahas adalah tiga dimensi.
Sehubungan dengan hal itu diperlukan model pembelajaran yang berorientasi pada
siswa, dapat melibatkan siswa secara aktif, dan siswa dapat menggunakan pengetahuan yang
telah dimilikinya untuk membangun pengetahuan yang baru guna memecahkan suatu masalah,
sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna, kontekstual dan tidak membosankan.
Diperlukan pula media yang dapat melibatkan lebih dari satu indera pada diri siswa, yaitu media
yang dapat bergerak/dianimasi, dan dapat menuntun siswa dalam mengkonstruk
pengetahuannya, sehingga dapat menarik minat siswa serta membuat suasana pembelajaran
menjadi lebih menyenangkan.
Anchored Instruction (AI) telah dikembangkan oleh The Cognition and Technology
Group at Vanderbilt University yang dipimpin oleh John Bransford. AI muncul dari masalah
pendidikan sekitar tahun 1929, AI dikembangkan dengan rancangan khusus berdasarkan videobased format yang disebut "anchor" atau "kasus" yang memberikan dasar untuk eksplorasi dan
kolaborasi dalam memecahkan masalah. Cerita dalam video menggambarkan kehidupan nyata
yang dapat dieksplorasi di berbagai tingkatan.Video tersebut dirancang untuk memungkinkan
guru serta siswa untuk menghubungkan pengetahuan matematika dengan pelajaran lainnya
dengan menjelajahi lingkungan dari sudut pandang yang berbeda. (Rabinowitz, 1993: 43)
AI hampir sama dengan pembelajaran berbasis masalah, hanya saja cerita (masalah)
yang disajikan bertujuan untuk dieksplorasi dan didiskusikan tidak sekedar dibaca atau dilihat
(Bransford dalam Oliver,1999). AI adalah model pembelajaran yang mana guru berusaha
membantu siswa menjadi aktif dalam pembelajaran yang dikondisikan dalam instruksi yang
menarik dan pemecahan masalah yang nyata, dimana siswanya nanti melihat video anchor
dan memecahkan masalah yang terdapat dalm cerita video tersebut (Barab, 2001: 2). Dalam
video berisi masalah-masalah yang kompleks dengan cerita yang kontekstual yang membantu
aktifitas pembelajaran mencapai tujuan pencapaian konsep (Bransford, 1990).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa AI merupakan model pembelajaran yang
didalamnya menggunakan multimedia (video pembelajaran) dan dalam video tersebut terdapat
cerita yang disajikan dalam bentuk film, cerita dalam film tersebut meruapakan cerita
kontekstual yang berisi permasalahan, fakta dan data. Permasalahan dalam video pembelajaran
tidak harus permasalahan dalam satu mata pelajara tersebut, tetapi permasalahan mata pelajaran
lain juga bisa dimasukkan, misalkan: ketika dalam pelajaran matematika membahas luas
permuakaan kubus dan balok, cerita dalam video pembelajaran tersebut bisa bercerita tentang
pelajaran kerajinan tangan yang penyelesainnya meggunakan matematika. Jadi dalam AI
permasalahan yang disajikan tidak selalu sesuai dengan mata pelajaran yang dibahas, dan juga
permasalahan tersebut tidak hanya disajikan dalam bentuk tulisan dan cerita yang mana siswa
masih harus membayangkan permasalahan tersebut, tetapi disajikan dalam tayangan video yang
mana siswa langsung menyaksikan permasalahan tersebut.
Bertolak dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang keefektifan
model AI pada materi luas kubus dan balok di SMP. Efektif yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan AI diperoleh ketuntasan hasil belajar siswa baik secara
individual maupun secara klaksikal, adanya pengaruh motivasi dan aktivitas siswa terhadap
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
117
hasil belajar siswa setelah pembelajaran menggunakan AI, dan hasil belajar siswa menggunakan
AI lebih baik dari pada hasil belajar siswa dengan menggunakan pembelajaran ekspositori.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalahdata hasil belajar
diperoleh dari tes tertulis, data aktivitas belajar siswadiperoleh dari observasi dan motivasi
belajar siswadiperoleh dari angket. Suatu pembelajaran dikatakan efektif dalam penelitian ini
apabila dengan menggunakan AI diperoleh ketuntasan hasil belajar siswa baik secara individual
maupun secara klaksikal, adanya pengaruh motivasi dan aktivitas siswa terhadap hasil belajar
siswa setelah pembelajaran menggunakan AI, dan hasil belajar siswa menggunakan AI lebih
baik dari pada hasil belajar siswa dengan menggunakan pembelajaran ekspositori.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen. Populasi penelitian ini adalah semua
siswa kelas VIII SMP Setiabudhi Semarang tahun ajaran 2010/2011 yang terdiri dari empat
kelas. Sampel dalam penelitian ini diambil dua kelas.Sampel tersebut terdiri dari 1 kelas kontrol
dan 1 kelas eksperimen. Pada penelitian ini yang menjadi kelas kontrol adalah kelas VIII-A,
sedangkan yang menjadi kelas eksperimen adalah kelas VIII-D SMP Setiabudhi Semarang yang
sebelumnya telah diuji normalitas dan homogenitas dari nilai sebelumnya yang menghasilkan
bahwa kedua kelas tersebut homogen dan berdistribusi nomal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Melalui kegiatan pembelajaran AI yang didalamnya memang ditekankan untuk
memecahkan masalah secara berkelompok dan aktif baik secara individu maupun berkelompok.
Dari hasil observasi saat pembelajaran berlangsung didapatkan bahwa pada pertemuan pertama
sampai terakhir terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa baik secara individu maupun
berkelompok. Hal ini bisa dilihat dari hasil observasi pada pertemuan pertama keaktivan siswa
rata-ratanya 6,6 dari nilai maksimum 10, pada pertemuankedua 7,3 dan 7,5 pada pertemuan
ketiga. Hal ini mendukung pendapat Bransford (1990) yang mengatakan bahwa AI membantu
meningkatkan aktifitas siswa untuk mencapai tujuan pencapaian konsep dalam pembelajaran.
Dari hasil angket siswa menunjukkan bahwa persentase terbesar respon siswa terhadap
komponen mengajar adalah senang dan baru. Selain itu siswa berminat untuk mengikuti
pembelajaran berikutnya dengan menggunakan AI serta siswa dapat memahami bahasa pada
VCD pembelajaran, lembar kerja siswa, dan tes hasil belajar. Jika dirata-rata dari hasil angket
motivasi siswa mencapai nilai yang baik yakni rata-rata motivasi siswa mencapai nilai 8,6 dari
nilai maksimum 10. Secara umum dapat disimpulkan bahwa motivasi siswa tinggi ketika belajar
menggunakan AI.
Aktivitas belajar siswa meningkat dan menunjukkan motivasi belajar yang baik pada
saat pembelajaran AI terjadi karena: suasana belajar yang tidak tegang/kaku dan siswa merasa
dapat bermain-main dan berekreasi, CD pembelajaran yang digunakan telah dapat menarik
perhatian siswa, karena disertai tampilan yang menarik, dan disertai soal-soal untuk pemahaman
siswa, VCD pembelajaran yang menarik perhatian siswa karena mereka merasa belajar tapi
seperti melihat film, siswa merasa memperoleh pengalaman belajar yang baru dan cukup
berbeda dengan pengalaman belajar sebelumnya.
Sebelum soal Tes Hasil Belajar (THB) diberikan pada siswa, peneliti sebeumnya telah
melakukan uji validitas, reliabilitas, tingkat ksukaran dan daya beda. Dari 25 soal pilihan ganda
yang diujikan, 20 soal yang digunakan dalam soal THB dan dari 8 soal uraian yang diujikan, 5
soal yang digunakan dalam soal THB
Dari nilai THB siswa diperoleh bahwa bahwa hasil belajar siswa kelas eksperimen
tuntas secara klaksikal dan individul berdasarkan hasil perhitungan statistik. Hal ini dapat
membuktikan bahwa hasil penelitian ini mendukung teori-teori atau hasil penelitian yang telah
dilakukan peneliti Lee (2002) yang menyatakan bahwa siswa yang telah diberi pembelajaran
menggunakan AI secara signifikan mempunyai dampak yang baik pada hasil belajarnya,
terutama dalam memecahkan masalah.
118
KESIMPULAN
Pembalajaran matematika dengan AI materi luas kubus dan balok di SMP efektif, hal ini
dapat dilihat dari: ketuntasan hasil belajar siswa tuntas baik secara individu maupun klaksikal,
pengaruh aktivitas dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa berpengaruh positif
terhadap peningkatan hasil belajar siswa; melalui uji banding dapat terlihat bahwa terjadi
perbedaan hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan rata-rata nilai hasil
belajar kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Anni, C.T. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK UNNES.
Arikunto,S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Barab, S. 1999. Ecologizing Instrution Through Integrated Units. Middle School Journal: 2128.
Biswas, G.et al. 1997. Anchored Interactive Learning Environments. International Journal of AI
in Education. 8: 1-30.
Bottge, et al. 2002. Weighing the Benefits of Anchored Instruction for Student with Disabilities
in General Education Classess. The Journal of special Education. 35/4: 186-200.
---------, et al. 2004. Teaching Mathematical Problem Solving to Middle School Students in
Math, Technology Education, and Special Education Classrooms. RMLE Online.
Vol.27.No.1.availabel at http://www.nmsa.org/portals/0/pdf/. [accessed 19/11/09].
119
120
Muhtarom
Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang
Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia
email: taro.cs@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi awal dalam rangka pengembangan instrumen penelitian
yang bertujuan untuk memperoleh gambaran awal tentang proses berpikir siswa kelas IX
SMP dalam memecahkan masalah matematika. Masalah yang diambil adalah soal terbuka
yang membutuhkan kemampuan melihat pola atau membuat dugaan untuk dapat
memecahkannya. Soal yang digunakan terbatas pada materi teorema pytagoras.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara berbasis tugas. Prosedur penelitian ini menempuh langkah-langkah
sebagai berikut: (1) menyusun instrumen penelitian, (2) menentukan subjek penelitian, (3)
mengumpulkan data penelitian dan (4) menganalisis data penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan proses berpikir asimilasi
dan akomodasi dalam pemecahan masalah. Secara singkat hasil survei awal tentang proses
berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika dapat diuraikan sebagai berikut:
subjek menggunakan proses berpikir asimilasi dalam memahami masalah. Pada tahap
merencanakan pemecahan masalah dan melaksanakan perencanaan pemecahan masalah,
subjek menggunakan proses berpikir asimilasi dan akomodasi. Proses berpikir akomodasi
yang dilakukan oleh subjek terlihat ketika subjek membuat pola garis EH (garis bantu) untuk
memecahkan masalah. Sedangkan pada tahap pengecekan kembali, subjek menggunakan
proses berpikir asimilasi dengan cara mengulangi kembali pemecahan dengan melihat
kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti langkah-langkah yang tidak benar).
121
122
Polya
1. Memahami
masalah
(understanding the problem)
2. Membuat rencana penyelesaian
(devising a plan)
1.
2.
Pendefinisian (definition)
3.
Perumusan (formulation)
3. Menemukan suatu
jawaban (find an answer)
3. Melaksanakan rencana
penyelesaian (carrying out the
plan)
4.
Mencobakan (test)
5.
Evaluasi (evaluation)
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, karena jenis data dalam penelitian ini
bersifat kualitatif yang berupa kata- kata atau kalimat dan bentuk- bentuk visual (gambar).
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas IX. Pemilihan subjek dengan metode bola
salju (snow ball method) yaitu pemilihan subyek berikutnya dilakukan setelah didapat hasil
analisis dari subyek sebelumnya. Jika tidak ada subyek yang dapat menyelesaikan masalah yang
diberikan, maka dilakukan berulang-ulang sampai didapat subyek yang mampu menyelesaikan
masalah tersebut dengan benar. Instrumen dalam penelitian ini dibagi dalam dua bagian yaitu:
(1) peneliti sendiri sebagai instrumen utama, (2) lembar tugas dan (3) pedoman wawancara.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara berbasis tugas.
Prosedur penelitian ini menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyusun
instrumen penelitian, (2) menentukan subyek penelitian, (3) mengumpulkan data penelitian
melalui wawancara berbasis tugas dan analisis pekerjaan tertulis, (4) menganalisis data
penelitian dan triangulasi. Data yang telah terkumpul baik dari tes tertulis maupun dari hasil
wawancara dianalisis dengan langkah- langkah sebagai berikut: (a) Reduksi data yakni
melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan, pengabstraksian dan
transformasi data mentah di lapangan. Bila terdapat data yang tidak valid, maka data itu
dikumpulkan tersendiri yang mungkin dapat digunakan sebagai pelengkap data atau temuantemuan sampingan; (b) Pemaparan data yakni mengklasifikasi dan mengidentifikasi data
sehingga terorganisir dan terkategori dengan baik; (c) Menarik kesimpulan berdasarkan hasil
paparan data. Setelah data dipaparkan sedemikianrupa sehingga terkategori dengan baik, maka
langkah selanjutnya menarik kesimpulan atau menginterprestasikan makna dari paparan data
tersebut. Analisis data ini dilakukan pada setiap data yang diperoleh dari tiap metode
pengumpulan data (analisis tugas, wawancara). Kemudian kedua jenis data ini ditriangulasi
dengan menggunakan triangulasi metode.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subjek dalam penelitian ini adalah Abdul Rohman (yang diberi kode subjek). Lembar
tugas yang digunakan sebagai sarana untuk mengetahui proses berpikir siswa SMP kelas IX
berupa sebuah soal sebagai berikut:
Perhatikan bangun dibawah ini. Gambar dibawah ini adalah gambar persegi panjang ABCD
dengan ukuran 16 cm x 25 cm. Bagian yang diarsir merupakan bangun layang-layang EBFG.
Jika panjang AE = 5 cm, maka berapakah panjang EF.
123
Selanjutnya subjek menuliskan apa yang ditanyakan pada masalah tersebut sebagai
berikut:
125
Peneliti : Berapa panjang CG? dapat menguraikan langkah-langkah untuk mencari CG?
Subjek : Bisa.
Peneliti : Bagaimana caranya?
Subjek : Garis E ditarik ke arah kesini (garis CD dengan menunjuk gambar)
Peneliti : E kan bukan garis?
Subjek : Titik E ditarik ke arah kesini (garis CD dengan menunjuk gambar)
Subjek juga dapat menuliskan materi-materi yang diperlukan untuk memecahkan
masalah, mampu membuat kaitan antar hal yang diketahui dan mampu membuat rencana
pemecahan dengan baik. Hal ini nampak dari pekerjaan tertulis berikut ini:
Berikut adalah hasil pekerjaan tertulis subjek dalam mencari panjang CG.
126
Setelah subjek dapat mencari panjang CG, langkah selanjutnya adalah mencari panjang
FC. Berikut adalah kutipan wawancara dan pekerjaan tertulis subjek:
Peneliti : Kalau panjang CG = 8 cm, panjang apa yang akan kamu cari lagi?
Subjek : Panjang FC
Peneliti : Dari mana kamu tahu yang akan dicari lagi panjang FC?
Subjek : Dari pernyataan BF.
Peneliti : Dari pernyataan soal no 6 atau 8?
Subjek : (diam cukup lama) no. 8
Mencari FC?
Peneliti : Ya mencari FC.
(melihat pekerjaan) ini kan FC nya negatif, kenapa bisa jadi positif?
Subjek : Pindah ruas
Peneliti : Pindah ruas kemana?
Subjek : Tandanya kan negatif, terus dipindah ke sini (ruas kanan) berubah tanda menjadi
positif.
Peneliti : Terus sudah ketemu berapa FC?
Subjek : FC = 6cm.
Setelah subjek dapat mencari panjang FC, langkah selanjutnya adalah mencari panjang
EF. Berikut adalah kutipan wawancara dan pekerjaan tertulis subjek:
Peneliti : Berarti panjang BF bisa dicari?
Subjek : Bisa
Peneliti : Berapa panjang BF?
Subjek : BC FC = 16 6 = 10
Peneliti : Berarti panjang EF bisa dicari?
Subjek : Bisa
Peneliti : Berapa panjang EF?
Subjek : EF = akar dari EB kuadrat ditambah BF kuadrat
Peneliti : Berapa hasilnya?
Subjek : Akar 500
127
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pekerjaan siswa secara tertulis dapat disimpulkan
bahwa subjek telah memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah matematika dengan
baik. Hal ini nampak dari kemampuan subjek dalam memahami masalah, subjek mampu
mengidentifikasi materi yang terkait untuk memecahkan masalah, subjek dapat membuat
rencana pemecahan dengan baik dan melaksanakan rencana pemecahan dengan benar. Selain
itu, subjek juga mampu mengecek kembali hasil pekerjaannya dengan melihat kelemahan dari
solusi yang didapatkan (seperti langkah-langkah yang tidak benar).
Dalam memahami masalah baik mengidentifikasi apa yang diketahui maupun apa yang
ditanyakan, subjek dengan mudah dapat memahami masalah. Subjek dapat mengintegrasikan
langsung persepsi atau pengalaman barunya ke dalam skema yang ada dipikirannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa subjek melakukan proses berpikir asilimasi dalam memahami
masalah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Qayumi (2001) menyatakan assimilation is taking
in new information on the base of existing knowledge. Sedangkan Melnick (1974)
mengungkapkan assimilation is the incorporation of feature of the environment into already
existing structures.
Dalam membuat rencana pemecahan masalah, subjek mampu menghubungkan antar hal
yang diketahui. Subjek dapat menerima informasi dari masalah tersebut sehingga dapat
merencanakan pemecahan masalah. Hal ini terlihat ketika subjek mampu membuat kaitan dan
menggunakan semua informasi penting yang terdapat dalam masalah. Berkaitan dengan ini,
128
subjek dapat mengintegrasikan langsung persepsi atau pengalaman barunya ke dalam skema
yang ada dipikirannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa subjek melakukan proses berpikir
asilimasi.
Subjek juga merubah informasi yang ada guna mendapatkan informasi yang baru. Hal ini
terlihat ketika subjek akan membuat pola garis bantu guna mempermudah memecahkan
masalah. Berkaitan dengan hal ini, maka subjek melakukan proses berpikir akomodasi.
Pendapat ini didukung oleh Qayumi (2001) yang menyatakan bahwa accomodation is changing
existing information to include new information. Subjek membuat garis bantu karena dia tidak
dapat mengasimilasikan yang hal yang diketahui dengan skema yang telah ia miliki. Hal ini
terjadi karena pengalaman baru itu sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada
(Suparno, 2001). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam merencanakan pemecahan
masalah subjek melakukan proses berpikir asimilasi dan akomodasi.
Subjek memecahkan masalah berdasarkan rencana pemecahan yang telah dibuat. Subjek
berhasil menjawab masalah dengan benar. Walaupun demikian, subjek mengalami kesulitan
dalam mencari panjang CG (sebelum membuat garis EH). Namun setelah subjek membuat garis
bantu EH, akhirnya subjek mampu mencari panjang CG dengan benar. Berkaitan proses
berpikir subjek ketika menyusun rencana pemecahan masalah, yaitu proses berpikir asimilasi
dan akomodasi, maka dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek kembali
berpikir asimilasi dan akomodasi. Sedangkan dalam mengecek hasil pemecahan masalah, subjek
melakukannya dengan cara melihat kelemahan dari setiap tahapan pemecahan yang dilakukan
dan juga melakukan pengecekan terhadap algoritma/perhitungan yang dilakukannya. Subjek
dapat mengecek hasil penyelesaian masalah dengan lancar. Dalam hal ini subjek melakukan
proses berpikir asimilasi dalam mengecek hasil penyelesaian masalah.
Hasil penelitian ini sudah menunjukkan tingkat keterbacaan instrumen penelitian yang
telah dikembangkan peneliti. Namun demikian, instrumen penelitian ini harus diperbaiki seperti
butir pertanyaan nomor 6, 7, dan 12. Butir pertanyaan nomor 6 dan 7, belum dapat memberikan
gambaran kemampuan subjek dalam membuat kaitan antar informasi yang ada pada soal. Hal
ini dikarenakan butir soal tersebut sudah mengarahkan hasil pekerjaan tertulis subjek pada suatu
kesimpulan tertentu. Sedangkan butir pertanyaan nomor 12 merupakan butir pertanyaan yang
berdiri sendiri, padahal butir tersebut berkaitan dengan butir pertanyaan sebelumnya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuaraikan diatas,maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa subjek menggunakan proses berpikir asimilasi dan akomodasi dalam pemecahan
masalah. Secara singkat hasil survei awal tentang proses berpikir siswa dalam memecahkan
masalah matematika dapat diuraikan sebagai berikut: subjek menggunakan proses berpikir
asimilasi dalam memahami masalah. Pada tahap merencanakan pemecahan masalah dan
melaksanakan perencanaan pemecahan masalah, subjek menggunakan proses berpikir asimilasi
dan akomodasi. Proses berpikir akomodasi yang dilakukan oleh subjek terlihat ketika subjek
membuat pola garis EH (garis bantu) untuk memecahkan masalah. Sedangkan pada tahap
pengecekan kembali, subjek menggunakan proses berpikir asimilasi dengan cara mengulangi
kembali pemecahan dengan melihat kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti langkahlangkah yang tidak benar).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based-Instruction). Surabaya: PPs
Universitas Negeri Surabaya.
Azwar, Syaifuddin. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Begerson. 2000. Teaching and Learning Mathematic: Using Research to Shift from the
Yesterday Mind to the Tomorrow Mind. Washington: superintendent of Public
Instruction. (Online). http://www.k12.wa.us. diakses tanggal 3 Agustus 2011.
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
129
Crain, William. 1992. Theories of Development: Concept and Aplication. News Jersey:
Prentice-Hall.
Crawford and Brown. 2002. Focusing Upon Higher Order Thinking Skills: Webquest and The
Learned-Centered Mathematical Learning Environment. US.Departement Of
Education:ERIC.
(Online).
http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/contens_storage_01/0000019b/80/1
a/14.pdf. Diakses tanggal 20 Agustus 2011.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori Pembelajaran. Bandung: IKIP Bandung.
Darminto, Bambang Priyo. 2010. Peningkatan Kreativitas dan Pemecahan Masalah Bagi Calon
Guru Matematika Melalui Pembelajaran Model Treffinger. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di UNY pada tanggal 27
November 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kumpulan Permendiknas tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Atas.
DeVries, Rheta. 2006. Piaget's Social Theory. The Constructivist Journal. 17 (1) ISSN 10914072.
Dewiyani. 2008. Mengajarkan Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Langkah Polya.
Jurnal STIKOM, Volume 12 Nomor 2.
Glover, Jerry. 2002. Adaptive Leadership: When Change is Not Enough. The Organization
Development Journal. 20 (2). 15-31.
Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Huitt. 1992. Problem solving and decision making: Consideration of individual differences
using the Myers-Briggs Type Indicator. Journal of Psychological Type.24.33-44. tersedia
dalam: http://chiron.valdosta.edu/whuitt/papers/prbsmbti.html. diakses 10 Juli 2010.
Ismail. 2006. Materi Pokok Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Kurniawan, Rudi. 2010. Pemahaman Dan Pemecahan Masalah Matematis (Artikel Kajian
Pendidikan Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika di UNY pada tanggal 27 November 2010.
Lutfiyah. 2009. Proses Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Pengetahuan Himpunan Dalam
Aktivitas Think Pair Share. Tesis. Malang: PPs Universitas Negeri Malang.
Melnick, Sandy D. 1974. Piaget and The Pediatrician, Guilding Intellectual Development.
Journal of Clinical Pediatrics. 13 (11). 913-918.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Muijs, Daniel; Reynold, David. 2008. Effective Teaching. Translated by Helly dan Sri
Muyantini. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
National Council of Teacher Mathematics. 2000. Principles and Standards for School
Mathematics. Reston, Virginia: National Council of Teachers of Mathematics. (Online).
http://www.netm.org/. diakses tanggal 3 Mei 2011.
Qayumi, Shahnaz. 2001. Piaget and His Role in Problem Based Learning. Journal of
Investigative Surgery. 14. 63-65.
Reany, Patrick. 1991. Heuristics 101. Arizona Journal of Natural Philosophy. 3. 5-7.
http://www.ajnpx.com/pdf/AJNP/apr91c.pdf.
Sagala, Syaiful. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Saputro, Mahardi. 2011. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan
Langkah Polya ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. Tesis. Surakarta: PPs Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
Solso, Robert L. 1988. Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Someren, Maarten W; Barnard, Yvonne F; Sandberg, Jacobijn A.C. 1994. The Think Aloud
Method: A Pratical Guide to Modelling Cognitive Processes. London: Academic Press.
130
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suherman, Erman; dkk. 2003. Stategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi
Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah
Matematika. Disertasi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Sukayasa. 2010. Profil Karakteristik Penalaran Siswa SMP Dalam Memecahkan Masalah
Geometri. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika di UNY pada tanggal 27 November 2010.
Supamena, Patma. 2009. Proses Berpikir Mahasiswa dalam Mengkonstruksi Bukti Keterbagian.
Tesis. Malang: PPs Universitas Negeri Malang.
Suparni. 2010. Membangun Karakter Bangsa dengan Teori Polya pada Pembelajaran
Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika di UNY pada tanggal 27 November 2010.
Suparno, Paul. 2001. Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Thomas, Alice; Thorne, Glenda; Small, Bob. 2001. Higher Order Thinking its HOT.
(Online).http://www.cdl.org/resource/reading_room/highorderthinking.htmldiakses
tanggal 20 Agustus 2011.
Vos, Henk; Graff, E. D. 2004. Developing Metacognition: a Basis For Active Learning.
European Journal of Engineering Education. 29. 543-548.
Wicklelgren, Wayne A.. 1974. How to Solve Problem; Elements of a Theory of Problems and
Problems Solving. New York: W.H. Freeman and Company.
Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar
Raya.
131
Najmah Istikaanah
Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI SEMARANG
Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 Dr. Cipto Semarang, e-mail: isti.leonid@gmail.com
Abstrak
Suatu pembelajaran dikatakan efektif dilihat dari: (1) hasil prestasi belajar mahasiswa
mencapai ketuntasan secara individu dan secara klasikal, (2) adanya pengaruh positif
aktivitas dan motivasi belajar mahasiswa terhadap hasil prestasi belajar mahasiswa, (3) ratarata nilai hasil belajar mahasiswa kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.
Keefektifan pembelajaran pada mata kuliah program linier ditentukan oleh banyak
faktor. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah model pembelajaran yang digunakan pada
saat proses pembelajaran. Model pembelajaran yang selama ini digunakan pada mahasiswa
untuk mata kuliah program linier belum menghasilkan hasil prestasi belajar mahasiswa yang
optimal. Hal ini dikarenakan tidak semua mahasiswa mempunyai motivasi untuk aktif
berdiskusi dan bertukar pikir dengan teman sejawatnya. Oleh karena itu perlu diciptakan
suasana pembelajaran dengan metode diskusi yang nyaman dengan menerapkan model
kooperatif tipe Jigsaw yang dapat membuat mahasiswa lebih termotivasi dan aktif sehingga
membuat pembelajaran menjadi lebih efektif.
Kata Kunci : Efektivitas, kooperatif, jigsaw, program linier
A. Pendahuluan
Matematika merupakan suatu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang
pendidikan di Indonesia mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas
(SMA) bahkan sampai jenjang perguruan tinggi . Karena pendidikan merupakan salah satu hal
penting untuk menentukan maju mundurnya suatu bangsa, maka untuk menghasilkan sumber
daya manusia sebagai subyek dalam pembangunan yang baik, diperlukan modal dari hasil
pendidikan itu sendiri. Khusus untuk mata kuliah matematika, selain mempunyai sifat yang
abstrak, pemahaman konsep yang baik sangatlah penting karena untuk memahami konsep yang
baru diperlukan prasyarat pemahaman konsep sebelumnya.
Menurut H.W. Fowler dalam Pandoyo (1997:1) matematika merupakan pelajaran/ mata
kuliah yang bersifat abstrak, sehingga dituntut kemampuan pengajar untuk dapat mengupayakan
metode yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan mental mahasiswa. Untuk itu
diperlukan model dan media pembelajaran yang dapat membantu mahasiswa untuk mencapai
kompetensi dasar dan indikator pembelajaran.
Untuk memecahkan masalah pembelajaran tersebut, perlu dilakukan upaya antara lain
berupa pengembangan pembelajaran. Dalam pengembangan pembelajaran yang diberikan saat
ini adalah pembelajaran yang inovatif dan kreatif, untuk itu perlu diupayakan suatu strategi serta
model pembelajaran inovatif yang dapat meningkatkan penguasaan dan prestasi belajar
mahasiswa sekaligus meningkatkan keaktifan dan motivasi mahasiswa serta memberikan iklim
kondusif dalam perkembangan daya nalar dan kreasi mahasiswa.
Pembelajaran umum matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teacher of
Mathematics atau NCTM menggariskan mahasiswa harus mempelajari matematika melalui
pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang
dialami sebelumnya. Pendekatan dan strategi pembelajaran matematika hendaklah diawali dari
konkrit ke abstrak, dari sederhana ke kompleks dan dari mudah ke sulit dengan menggunakan
berbagai sumber belajar. Oleh karena itu endaknya para mahasiswa aktif dengan berbagai cara
untuk mengkontruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Suatu rumus, konsep atau
prinsip dalam matematika, seyogyanya ditemukan sendiri oleh mahasiswa di bawah bimbingan
132
guru sehingga membuat mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu
(Depdiknas, 2003: 4).
B. Metode Pembelajaran Kooperatif
Metode pembelajaran kooperatif berdampak bukan saja pada ranah akademik, tapi juga
pada keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok. Tujuan pendidikan adalah
untuk mengembangkan potensi siswa dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk
mengembangkan level kompetensi yang berbeda (baik dalam domain kognitif, afektif, maupun
psikomotorik) diperlukan metode pembelajaran yang berbeda; misalnya metode ceramah lebih
pas untuk mengembangkan knowledge, dan kurang pas untuk mengembangkan kemampuan
analisis. Demikian juga untuk mengembangkan domain yang berbeda diperlukan metode
pembelajaran yang berbeda pula; metode diskusi kurang pas untuk mengembangkan domain
psikomotorik, tapi akan menjadi pas kalau dipakai untuk mengembangkan domain kognitif.
Metode role play lebih cocok untuk mengembangkan domain afektif daripada domain kognitif.
Berdasar pengamatan, beberapa dosen secara bertahap berusaha mengubah cara
pembelajarannya yang dipakai selama ini, menuju ke arah pembelajaran yang berpusat pada
mahasiswa, paling tidak hal ini tampak dalam hal pemberian kesempatan yang lebih luas kepada
mahasiswa untuk lebih berperan secara aktif dalam berbagai aktivitas belajar, misalnya diskusi
kelompok, pemberian tugas, survei lapangan, dan presentasi-presentasi yang dilakukan oleh
mahasiswa.
Pembelajaran dengan pendekatan student centered memiliki banyak metode. Metode
pembelajaran menguraikan tentang aktivitas-aktivitas yang diorientasikan pada tujuan belajar
dan cara penyampaian informasi dari guru ke siswa. Salah satu pengelompokan metode
pembelajaran adalah pengelompokan berdasar pendekatan teacher-centered dan studentcentered. Metode pembelajaran yang berpusat pada siswa (students center) antara lain metode
belajar kooperatif (cooperative learning). Belajar kooperatif merupakan suatu metode
pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil. Siswa belajar dalam kelompok yang masingmasing anggotanya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Jumlah anggota kelompok antara
empat sampai enam siswa yang bekerjasama antara yang satu dengan yang lain dalam kegiatan
belajar. Kelompok biasanya diberi rewards sesuai dengan seberapa banyak setiap anggota
kelompok telah belajar (Slavin, 1991).
Belajar kooperatif secara teoretik dipandang mampu mengembangkan bukan saja
capaian akademik, tapi juga capaian non-akademik seperti hubungan interpersonal dan
kerjasama kelompok. Menurut Arends (2007) belajar kooperatif dikembangkan untuk mencapai
paling sedikit tiga tujuan penting; yaitu prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap
keanekaragaman, serta pengembangan keterampilan sosial. Marning dan Lucking (1991)
mengatakan bahwa belajar kooperatif selain memberikan kontribusi secara positif terhadap
prestasi akademik, juga meningkatkan keterampilan sosial dan self-esteem siswa.
C. Model Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keaktifan belajar mahasiswa adalah
pembelajaran yang terjadi dengan bermakna, menyenangkan dan dapat mendorong mahasiswa
untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya (Marpaung, 2006:8).
Model pembelajaran matematika yang mempunyai profil lebih baik dalam meningkatkan
pemahaman dan pengertian mahasiswa terhadap konsep dan prosedur matematika yang sesuai
dengan tujuan kurikulum adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) karena
dalam kelas kooperatif, para mahasiswa diharapkan dapat saling membantu, saling
mendiskusikan dan beragumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu
dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing (Slavin, 2008:4).
Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori kontruktivis. Pembelajaran ini muncul
dari konsep bahwa mahasiswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit
jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Mahasiswa secara rutin bekerja dalam
kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks (Trianto,
2009:56).
133
Salah satu tipe model pembelajaran yang kooperatif yaitu tipe jigsaw. Hal ini
dikarenakan model jigsaw dapat menjadikan mahasiswa menjadi lebih aktif dan termotivasi
dalam pembelajaran. Materi yang akan dikaji yaitu tentang model matematika pada mata kuliah
program linear. Dengan demikian diharapkan melalui pembelajaran matematika dengan model
jigsaw dapat efektif. Menurut Guskey (1982) pembelajaran yang efektif ditandai dengan adanya
ketercapaian ketuntasan dalam prestasi belajar, adanya pengaruh yang positif antara variabel
bebas dengan variabel terikat, adanya perbedaan prestasi antara kelas eksperimen dengan kelas
kontrol.
D. Model Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Mata Kuliah Program Linier
Dalam rangka mewujudkan tujuan pembelajaran matematika di kelas, maka
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan strategi yang sesuai untuk diterapkan pada
pembelajaran matematika. Oleh karena itu perlu diterapkan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
pada mata kuliah program linear di kelas karena kebanyakan mahasiswa masih kesulitan dalam
memahami materinya. Pada mata kuliah Program Linier mahasiswa masih sangat kesulitan
untuk memformulasikan permasalahan dalam dunia real menjadi model matematika. Mahasiswa
terlihat sulit untuk menentukan variable keputusan yang akan dicari dari suatu permasalahan.
Oleh karena itulah diperlukan teman diskusi sehingga mahasiswa dapat saling bertukar pikiran
dengan teman sejawatnya sehingga pembelajaran matematika pada materi program linear
menjadi efektif.
Pada pembelajaran dengan metode jigsaw, siswa belajar dalam kelompok yang
anggotanya berkemampuan heterogin dan masing-masing mahasiswa bertanggungjawab atas
satu bagian dari materi (Arends, 2007). Topik pembelajaran ditentukan oleh guru, sedangkan
tugas siswa adalah mempelajari dan mendiskusikan berbagai materi di kelompok ahli,
selanjutnya saling berbagi (sharing) berbagai materi di kelompok asal.
Menurut Aronson (www.jigsaw.org), langkah-langkah pembelajaran metode jigsaw
adalah sebagai berikut: (1) Menempatkan siswa dalam kelompok, yang masing-masing
kelompok beranggotakan antara 5 6 orang; (2) Menugaskan seorang siswa dari setiap
kelompok sebagai pemimpin; (3) Membagi materi pelajaran menjadi 5 6 bagian; (4)
Menugaskan setiap siswa untuk mempelajari satu bagian materi; (5) Memberi waktu kepada
siswa untuk mempelajari materi yang menjadi bagiannya paling tidak dua kali agar ia menjadi
familier dengan materinya; (6) Membentuk kelompok-kelompok ahli, yang anggotanya
adalah seorang siswa dari masing-masing kelompok asal. Mereka bergabung menjadi satu
kelompok (ahli) untuk mempelajari satu bagian materi yang sama. Guru memberikan waktu
pada masing-masing kelompok ahli untuk mendiskusikan poin-poin penting dari materi bagian
mereka sebagai pedoman presentasi yang akan mereka lakukan di kelompok asal; (7) Meminta
masing-masing siswa untuk kembali ke kelompok asal mereka; (8) Meminta masing-masing
siswa untuk mempresentasikan materi bagiannya di kelompok asal. Guru mendorong anggota
kelompok yang lain untuk mengajukan pertanyaan yang bertujuan untuk klarifikasi; (9) Guru
mengobservasi proses diskusi dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Jika kelompok
mengalami hambatan (misalnya ada yang mendominasi atau mengganggu) guru melakukan
intervensi; (10) Di akhir sesi berikan kuis berkaitan materi sehingga siswa dengan segera dapat
menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah aktivitas yang sia-sia.
E. Simpulan
Metode jigsaw pertamakali dikenalkan pada guru-guru SD dan SMP pada akhir tahun
1970an sebagai metode pembelajaran yang dapat menghasilkan capaian akademik dan socialemotional (Resor, 2008; Steiner, Stromwall, Brzuzy, dan Gerdes, 1999). Pembelajaran dengan
menggunakan metode jigsaw memberikan kesempatan pada siswa mengembangkan banyak
kemampuan-kemampuan kerjasama yang dibutuhkan (Taylor, http://wikis.lib.ncsu.edu/index.
php/Jigsaw)
Penelitian Sharan (dikutip Arends, 2007) menunjukkan bahwa belajar kooperatif
menghasilkan lebih banyak perilaku kooperatif, verbal maupun nonverbal, dibandingkan
pembelajaran konvensional. Penelitian eksperimen yang dilakukan Siregar (2009) pada
mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling FKIP UAD Yogyakarta semester ketiga Tahun Ajaran
134
2008/2009 menemukan bahwa metode belajar Think-Pair-Share, salah satu metode belajar
kooperatif, mampu mengembangkan self-efficacy mahasiswa.
Aronson, dkk (Marning dan Lucking, 1991) dari penelitiannya menyimpulkan bahwa
siswa yang diajar dengan metode jigsaw menjadi lebih menyukai teman-temannya dalam satu
kelompok belajar dibanding dengan kesukaan mereka terhadap teman-temannya satu kelas yang
bukan anggota kelompok belajarnya. Dengan belajar kooperatif mereka saling menghargai dan
saling peduli satu sama lain, sehingga mampu meningkatkan hubungan interpersonal di antara
mereka.
Penelitian Resor (2008) menemukan beberapa komentar dari siswa yang diajar dengan
metode jigsaw. Sebagian besar komentar mereka adalah bahwa metode pembelajaran jigsaw
membuat pelajaran menjadi lebih menarik dan meningkatkan kemampuan berfikir secara
mendalam dan kemampuan melakukan analisis kritis. Seorang siswa mengatakan metode jigsaw
menyenangkan (fun) dan memberi pencerahan karena membawa pada hal-hal yang terang yang
tak pernah terfikirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur & Balitbang Depdiknas.
Guskey, dkk. 1982. The Effectiveness Of Mastery Learning Strategies In Undergraduate
Education Courses. University Of Kentucky.
Marpaung, Y. 2006. Metode Pembelajaran Matematika untuk Anak SD/MIN. Makalah
disampaikan pada Sarasehan Pengembangan Pembelajaran di SD dan TK Fakultas Ilmu
Pendidikan, UNY, Karangmalang, Yogyakarta. 1 Oktober 2006.
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning : teoti riset dan praktik. Bandung : Nusa Media.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana :Jakarta.
135
Abstrak
Matematika adalah mata pelajaran yang masih dianggap menakutkan, sulit dan
membosankan bagi siswa, khususnya pada materi pokok SPLDV. Hal ini menyebabkan nilai
yang diperoleh siswa masih kurang. Alternatif penggunaan model pembelajaran dalam
penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil
yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Model pembelajaran ini mempermudah siswa
dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang sulit dengan berdiskusi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Apakah model pembelajaran TGT dapat
memberikan prestasi belajar matematika lebih baik daripada model pembelajaran NHT (2)
Apakah siswa beraktivitas belajar tinggi mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa
beraktivitas belajar sedang dan apakah siswa yang beraktivitas belajar sedang mempunyai
prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas belajar rendah (3) Pada masing-masing
tingkatan aktivitas belajar (tinggi, sedang, rendah), manakah yang memberikan prestasi
belajar matematika lebih baik, model pembelajaran TGT atau NHT (4) Pada masing-masing
model pembelajaran (TGT dan NHT), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika
lebih baik, siswa beraktivitas belajar tinggi, sedang atau rendah.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu dengan desain penelitian 2x3.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Purwodadi Tahun
Ajaran 2010-2011. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified cluster
random sampling. Sampel penelitian ini adalah 72 siswa yang terbagi dalam dua kelas yaitu
sebagai kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Instrumen yang digunakan untuk
pengumpulan data adalah tes prestasi belajar dan angket aktivitas belajar siswa. Teknik
analisis data pada penelitian ini adalah Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Sel Tak Sama.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Model pembelajaran TGT menghasilkan
prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran NHT.
(2) Prestasi belajar matematika pada siswa beraktivitas tinggi lebih baik dibanding dengan
siswa yang beraktivitas rendah, prestasi belajar matematika pada siswa beraktivitas sedang
lebih baik dibanding dengan siswa beraktivitas rendah, prestasi belajar matematika pada
siswa beraktivitas tinggi sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas sedang. (3) Pada
masing-masing kategori aktivitas (rendah, sedang dan tinggi), model pembelajaran TGT
memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran NHT.
(4) Pada masing-masing model pembelajaran TGT dan NHT prestasi belajar siswa
beraktivitas tinggi lebih baik daripada prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan prestasi
belajar siswa beraktivitas sedang sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas tinggi.
Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, Aktivitas Belajar, SPLDV
PENDAHULUAN
Matematika merupakan cabang ilmu yang bertujuan untuk mendidik siswa menjadi
manusia yang dapat berfikir logis, kritis dan rasional serta menduduki peranan penting dalam
dunia pendidikan. Namun, banyak orang beranggapan bahwa matematika hanya didapatkan di
sekolah. Akibatnya, matematika tidak terlihat sebagai sesuatu yang biasa digunakan orang
dalam kehidupan sehari-hari tetapi sebagai suatu syarat yang harus dipelajari di sekolah.
Sebagian orang menganggap pelajaran matematika tidak menyenangkan dan sulit (The National
Research Council, 1989 dalam Ezeife, 2002: 176-187).
Mutu pendidikan Indonesia terutama mata pelajaran matematika, masih rendah. Salah
satu data pendukung pendapat tersebut adalah data UN tahun ajaran 2008/2009 pada mata
136
pelajaran matematika SMP di Kabupaten Grobogan. Masih banyak siswa yang tidak lulus
karena nilai matematikanya kurang dari 5,25 seperti distandarkan pemerintah. Nilai rata-rata
Ujian Nasional mata pelajaran matematika diantara 4,25 dan 6,99 terdapat 18 dari 97 SMP di
Kabupaten Grobogan. Selain itu terdapat SMP di Kabupaten Grobogan yang memiliki angka
ketidaklulusan mencapai 11,23%. Kegagalan UN banyak pada bidang studi matematika
sehingga guru harus memahami sepenuhnya materi yang akan disampaikan dan memilih model
pembelajaran yang tepat dalam penyampaian materi (Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan,
2009).
Selain itu, data sekolah menunjukkan bahwa masih rendahnya rata-rata ketuntasan
pembelajaran matematika dengan nilai KKM 72. Dari rata-rata 36 siswa tiap kelas yang
pembelajarannya tuntas (tidak perlu mengikuti remidial) hanya berjumlah sekitar 15 anak.
Alternatif penggunaan model pembelajaran adalah cooperative learning (pembelajaran
kooperatif) dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan
berbeda. Model pembelajaran ini mempermudah siswa dalam memahami dan menemukan
masalah yang sulit dengan berdiskusi. Pembelajaran kooperatif juga mendorong siswa untuk
lebih aktif dalam mengemukakan pendapat dan pertanyaan. Tipe pembelajaran kooperatif yang
dapat digunakan adalah Teams Games Tournament (TGT) dan Numbered Heads Together
(NHT).
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Diantara model pembelajaran TGT
dan NHT, model pembelajaran manakah yang dapat memberikan prestasi belajar lebih baik pada
materi SPLDV?, (2) Apakah siswa beraktivitas belajar tinggi mempunyai prestasi lebih baik
daripada siswa beraktivitas belajar sedang dan apakah siswa yang beraktivitas belajar sedang
mempunyai prestasi lebih baik daripada siswa beraktivitas belajar rendah?, (3) Pada masingmasing tingkatan aktivitas belajar (tinggi, sedang, rendah), manakah yang memberikan prestasi
belajar matematika lebih baik, model pembelajaran TGT atau NHT?, (4) Pada masing-masing
model pembelajaran (TGT dan NHT), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika
lebih baik, siswa beraktivitas belajar tinggi, sedang atau rendah?
KAJIAN PUSTAKA
Prestasi Belajar Matematika
Prestasi belajar atau hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah
melalui kegiatan belajar. Menurut Sutratinah Tirtonegoro (2001: 43), prestasi belajar adalah
penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf
maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai setiap anak dalam periode
tertentu.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil
dari proses belajar dalam waktu tertentu yang ditandai perubahan tingkah laku dan dapat
dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka. Sedangkan, prestasi belajar matematika adalah hasil
kegiatan belajar matematika dalam menemukan penyelesaian dengan ide-ide sistematis dan
dinyatakan dalam bentuk angka, huruf maupun kalimat yang dicapai dalam periode tertentu.
Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT)
Charlton, Williams dan McLaughlin (2005: 66-72) mengemukakan bahwa
pembelajaran dengan games dapat membuat siswa lebih aktif dan merasa senang untuk belajar.
Pembelajaran tersebut terlihat menarik ketika penjelasan guru dikombinasikan dengan games
sehingga penyampaian materi menjadi lebih cepat tersampaikan.
TGT merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang menggunakan
turnamen akademik, kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu (Slavin, 2008: 164). Adapun
lima komponen dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah sebagai berikut:
a. Presentasi kelas
Presentasi kelas digunakan guru untuk memperkenalkan materi pelajaran dengan
pengajaran langsung, diskusi ataupun audiovisual. Fokus presentasi pada kelas menyangkut
materi pokok dan teknis pembelajaran yang akan dilaksanakan.
137
b. Tim
Tim terdiri dari 4 sampai 6 peserta didik anggota kelas dengan kemampuan yang
berbeda. Anggota tim mewakili kelompok yang ada di kelas dalam hal kemampuan
akademik, jenis kelamin atau ras.
c. Game/ Permainan
Permainan didesain untuk menguji pengetahuan yang dicapai peserta didik dan biasanya
disusun dalam pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi dalam presentasi kelas.
Permainan dilakukan oleh 3 atau 4 peserta didik yang berkemampuan setara dan masingmasing mewakili tim yang berbeda.
Kelengkapan permainan kebanyakan berupa pertanyaan dan kunci jawaban serta
dilengkapi dengan kartu bernomor. Seorang peserta didik mengambil kartu bernomor,
membaca pertanyaan dari nomor terambil yang sesuai dan berusaha menjawab pertanyaan.
Peserta didik lain boleh menantang apabila mempunyai jawaban yang berbeda.
d. Turnamen/ Pertandingan
Turnamen adalah saat dimana permainan berlangsung.
Biasanya turnamen
dilaksanakan pada akhir setiap minggu atau unit setelah guru memberikan presentasi kelas
dan setiap tim telah berhasil dengan lembar kegiatan siswa. Dalam turnamen 3 atau 4
peserta didik yang setara dan mewakili tim yang berbeda bersaing dalam turnamen.
Persaingan setara ini memungkinkan peserta didik dari semua tingkatan kemampuan awal
menyumbangkan nilai maksimum bagi timnya. Penempatan siswa pada meja turnamen
dapat digambarkan sebagai berikut:
TEAM A
A-1
A-2
A-3
A-4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
Meja
Turna
men 1
Meja
Turna
men 2
A-1
A-2
A-3
A-4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
TEAM B
Meja
Turna
men 3
Meja
Turna
men 4
A-1
A-2
A-3
A-4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
TEAM C
0,075
1,960
H O diterima
Kesimpulan
Sama Rerata
139
TGT
60
80
81
109
112
79,90
100,49
10,02
X
S2
S
NHT
60
79
89
106
113
78,84
69,67
8,35
: 2 +2
1
3) Kategori rendah
: < 2
dengan:
= deviasi standar atau simpangan baku
4. Uji Prasyarat Analisis
a. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas dan prestasi belajar siswa pada materi SPLDV dengan
menggunakan metode Liliefors diperoleh:
Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Prestasi Belajar
Lobs
Uji Normalitas
Prestasi belajar dengan model
TGT (A1)
Prestasi belajar dengan model
NHT (A2)
Prestasi belajar pada siswa
beraktivitas rendah (B1)
Prestasi belajar pada siswa
beraktivitas sedang (B2)
Prestasi belajar pada siswa
beraktivitas tinggi (B3)
Ltabel
Keputusan Uji
0,0810
0,0837
Normal
0,0749
0,0833
Normal
0,0631
0,1074
Normal
0,0585
0,0877
Normal
0,1009
0,1194
Normal
b. Uji Homogenitas
Untuk menguji apakah sampel-sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi
yang homogen (mempunyai variansi sama) digunakan metode Bartlett. Hasil
perhitungan diperoleh rangkuman harga statistik seperti dalam tabel berikut:
Tabel 4.9 Uji Homogenitas Pada Masing-masing Kelompok
Jenis yang diuji
2
obs
2
tabel
Keputusan Uji
1,4426
3,8410
Homogen
2,6820
5,9910
Homogen
141
Berdasarkan tabel di atas ternyata prestasi belajar matematika antara kelas TGT
dan kelas NHT berasal dari populasi yang homogen, demikian juga antara kelompok
siswa beraktivitas rendah, sedang dan tinggi berasal dari populasi yang homogen.
5. Analisis Data
a. Hasil Uji Anava
Hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan frekuensi sel tak sama dan
taraf signifikan 0,05 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.10 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan
Sumber
Model
Pembelajaran (A)
Aktivitas (B)
Interaksi (AB)
Galat
Total
JK
3626,6669
dk
1
RK
3626,6669
8817,3728
95,1726
50184,2358
62723,4481
2
2
219
224
4408,6864
47,5863
229,1518
Fobs
15,8265
3,84
19,2392
0,2077
3,00
3,00
Fobs
Ftabel
Keputusan
.1 vs .2
.1 vs .3
.2 vs .3
17,8047
6,00
H O Ditolak
34,5159
6,00
H O Ditolak
5,8563
6,00
H O Diterima
Kesimpulan:
a) Pada .1 vs .2 , karena H O ditolak maka kolom satu dan kolom dua
mempunyai beda rataan yang signifikan.
b) Pada .1 vs .3 , karena H O ditolak maka kolom satu dan kolom tiga
mempunyai beda rataan yang signifikan.
142
F0,05;1, 219 = 3,84. Ini berarti bahwa Fa merupakan anggota daerah kritik,
.1 vs .2
.1 vs .3
.2 vs .3
.1 = .2
.1 = .3
. 2 = .3
.1 .2
.1 .3
. 2 .3
H O Ditolak
H O Ditolak
H O Diterima
Keterangan:
.1 : rataan prestasi belajar siswa yang beraktivitas rendah.
143
144
4. a. Pada model pembelajaran TGT, prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi lebih baik
daripada prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan prestasi belajar siswa beraktivitas
sedang sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas tinggi.
b. Pada model pembelajaran NHT, prestasi belajar siswa beraktivitas tinggi lebih baik
daripada prestasi belajar siswa beraktivitas rendah dan prestasi belajar siswa beraktivitas
sedang sama baiknya dibanding dengan siswa beraktivitas tinggi.
SARAN
1. Sebagai bahan masukan bagi guru untuk memilih model pembelajaran kooperatif tipe TGT
dalam menyampaikan materi SPLDV.
2. Sebaiknya para siswa melakukan persiapan belajar lebih baik dalam mengikuti
pembelajaran matematika baik menggunakan model kooperatif tipe TGT maupun NHT.
3. Penelitian ini mungkin dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk penelitian selanjutnya
karena hanya terbatas pada materi SPLDV. Oleh karena itu, dimungkinkan untuk dilakukan
penelitian pada pokok bahasan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2005. Cooperative LearningMempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Charlton, B., Williams, R. L dan McLaughlin, T.F. 2005. Educational Games: A Technique to
Accelerate the Acquisition of Reading Skills of Children with Learning Disabilities.
International Journal of Special Education. Volume 20, Number 2, page 66-72.
Ezeife, A.N. 2002. Mathematics and Culture Nexus: The Interactions of Culture and
Mathematics in an Aboriginal Classroom. International Education Journal. Volume 3,
Number 3, page 176-187.
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan: Nurulita
Yusron. Bandung: Nusa Media.
Suharno, Sukardi, Chodijah, Suwalni. 1999. Belajar dan Pembelajaran II. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sutratinah Tirtonegoro. 2001. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Jakarta: Bina
Aksara.
145
PENDAHULUAN
Jarimatika (singkatan dari jari dan aritmatika) adalah metode berhitung dengan
menggunakan jari tangan, metode jarimatika mampu melakukan operasi bilangan KaBaTaKu
(Kali Bagi Tambah Kurang) sampai dengan ribuan, Nilai Lebih Jarimatika mengasah otak tanpa
memberatkan memori dengan bayangan, melatih motorik anak melalui gerakan jari.
Kemampuan berpikir adalah salah satu elemen paling penting dalam hidup, meningkatkan
kemampuan berpikir alternatif dan kemungkinan ide bermunculan. Otak manusia terdiri dari 2
belahan, kiri (left hemisphere) dan kanan (right hemisphere) yang disambung oleh segumpal
serabut yang disebut corpuss callosum. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir
rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti berhitung. Sedangkan belahan otak kanan
berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Dalam proses menuangkan pikiran,
manusia berusaha mengatur segala fakta dan hasil pemikiran dengan cara sedemikian rupa
sehingga cara kerja alami otak dilibatkan dari awal, dengan harapan bahwa akan lebih mudah
mengingat dan menarik kembali informasi di kemudian hari. Sistem pendidikan modern
memiliki kecenderungan untuk memilih keterampilan-keterampilan otak kiri yaitu
matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari pada seni, musik, dan pengajaran keterampilan
berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif. Kreativitas adalah suatu ide atau
pemikiran manusia yang bersifat inovatif, berdaya guna, dan dapat dimengerti, kreativitas
merupakan kemampuan seseorang menghasilkan gagasan baru, berupa kegiatan atau sintesis
pemikiran yang mempunyai maksud dan tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata.
Kreatifitas merupakan suatu pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas
individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan
orang lain.
Kreativitas imajinasi menumbuhkembangkan kecerdasan motorik, juga membangun
karakter sebagai kemampuan sosial, sedangkan otak memiliki energi dan kapasitas unik untuk
melanjutkan kegiatan, mensinergikan atau mengkombinasikan dan tukar menukar pola
pemikiran dengan cara-cara baru. Imajinasi merupakan proses mental manusiawi yang
menjadikan semua kekuatan emotif berpartisipasi dalam menstimulasikan, memberi energi
pada tindakan kreatif. Kreativitas imajinasi menumbuhkembangkan kecerdasan motorik, juga
membangun karakter sebagai kemampuan sosial
146
Intelektual Curiosity sama arti dengan keingintahuan merupakan salah satu bentuk
menghormati, memperhatikan, rasa cinta kasih, penghargaan dan peduli adalah usaha
mendudukkan posisi dirinya sejajar dengan orang lain. Keingintahuan seseorang merupakan
naluri kemanusiaan yang secara kodrati akan muncul sebagai bentuk pertanggungjawaban
manusia dalam menjalani hubungan sosial. Keingintahuan seseorang juga harus dihargai dengan
direspon sewajarnya sebagai bentuk penghargaan atas sebuah hubungan kemanusiaan.
Self Confidence (Percaya diri) berarti tahan banting, mampu mengontrol, tahu kapasitas
diri, Succes Oriented, dan perbaikan kualitas networking. Terbentuk positif thinking. Dengan
positive knowing, seseorang akan menjadi orang yang ahli di bidangnya.menjadi expert sukses.
Tubuh manusia terdapat 12 jalur atau meridian saraf yang masing - masing
berhubungan dengan organ tubuh. Sedangkan jalur-jalur tersebut kesemuanya berujung atau
melewati telapak tangan. Ujung-ujung tersebut biasa disebut dengan titik-titik saraf. Pijat
refleksi sama halnya dengan gerakan tangan pada jarimatika memberikan rangsangan pada titik
saraf, agar saraf yang bersangkutan menjadi aktif, pada gerakan tangan jarimatika memberikan
tekanan terus menerus pada titik saraf, pemijatan harus serta periode perhitungan pengurangan
penjumlahan maupun perkalian, identik dengan pemijatan pada titik syaraf pada tangan
mengakibatkan pada titik syaraf . pada titik tertentu untuk membebaskan energi yang
terperangkap dalam tubuh dan berguna juga untuk meningkatkan kesehatan.
PEMBAHASAN
Jarimatika merupakan salah satu cara melakukan operasi hitung atau metode berhitung
dengan menggunakan jari tangan, dengan memanfaatkan jari-jari tangan untuk alat bantu
menyelesaikan Aritmatika metode jarimatika mampu melakukan operasi bilangan KaBaTaKu
(Kali Bagi Tambah Kurang) sampai dengan ribuan, Nilai Lebih Jarimatika mengasah otak tanpa
memberatkan memori dengan bayangan, melatih motorik anak melalui gerakan jari. Metode ini
sangat mudah diterima anak. Mempelajarinya pun sangat mengasyikkan, karena jarimatika tidak
membebani memori otak dan alatnya selalu tersedia. Bahkan saat ujian tidak perlu khawatir
alatnya akan disita atau ketinggalan karena alatnya adalah jari tangan kita sendiri.Sebagai
gambaran: dalam Jarimatika tangan kanan digunakan untuk satuan dan tangan kiri digunakan
puluhan dan ratusan. Jarimatika bukan sekedar cara berhitung. Jarimatika lebih merupakan alat
komunikasi guru kepada anak didik nya. Jarimatika adalah sebuah cara sederhana dan
menyenangkan mengajarkan berhitung dasar kepada anak-anak menurut kaidah:
Dimulai dengan memahamkan secara benar terlebih dahulu tentang konsep bilangan,
lambang bilangan, dan operasi hitung dasar.
Barulah kemudian mengajarkan cara berhitung dengan jari-jari tangan.
Prosenya diawali, dilakukan dan diakhiri dengan gembira.
Tangan Kanan Satuan
Tangan Kiri Puluhan
Satuan
147
Puluhan
2. 21 + 13 - 2 =
148
Jarimatika memberikan visualisasi proses berhitung. Hal ini akan membuat anak mudah
melakukannya.
Gerakan jari-jari tangan akan menarik minat anak. Mungkin mereka menganggapnya
lucu, mereka akan melakukannya dengan GEMBIRA.
Jarimatika relatif tidak memberatkan memori otak saat digunakan, baik otak kiri
maupun otak kanan terjadi keseimabangan karena gerakan jari tangan kanan dan jari
tangan kiri
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
149
Untuk menjaga ketajaman otak kanan, maka kita perlu mendengarkan atau memainkan
jari tangan. Dari sini terlihat dominasi penggunaan otak, dan kecenderungan cara berfikir.
Bagaimanapun juga setiap manusia memiliki masing-masing kelebihan dan kekurangannya.
Mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri membuat lebih bijak mengarungi kehidupan.
Pelajaran Matematik atau ilmu pasti mempunyai porsi yang lebih banyak daripada pelajaran
lainnya. Belum lagi pelajaran yang harus menghafal, juga merupakan pelajaran yang me-aktifasi
berpikir secara logis. Saintis telah membuktikan bahwa satu kejadian dengan dua bahagian otak.
Setiap bahagian mempunyai cara tersendiri dalam pemahaman dan penerimaan realiti. Keduaduanya dapat bekerjasama, dengan setiap bahagian mempunyai keistimewaan tersendiri. Pada
satu-satu waktu, setiap bahagian berfungsi sendiri, dengan satu bahagian buka manakala
bahagian yang satu lagi tutup. Individu boleh menukar semula dan keluar tetapi cenderung
pada bahagian yang dipilih. Walaupun yang dipilih tak selalu berubah, adalah berkemungkinan
bagi kita untuk perkembangkan kemahiran pada kedua-duanya. Dalam berfikir, otak berada
dalam keadaan bercakap sendirian. Bagaimanapun, satu bahagian akan lebih mendominasi
untuk mengeluarkan kata-kata lebih kuat atau memberi arahan.
Beberapa sekolah yang cukup bagus di negeri ini, hanya memberikan test Matematika
untuk masuk SD. Begitu pentingnya pelajaran Matematik bagi sekolah ini dan mereka yakin
bahwa murid yang jago matematik, nalar pikiran mempunyai dasar yang kuat dan akan mudah
untuk mempelajari pelajaran Sosial (tidak sebaliknya yang mana murid belajar Sosial tidak akan
bisa belajar hitungan dengan baik).Dengan pelajaran matematika di sekolah dasar yang lebih
me-aktifasi otak kiri, ada bahaya laten yang bisa mengancam, yaitu otak yang kurang seimbang,
terutama pada otak kanan. Lemahnya otak kanan menyebabkan anak berbicara kasar dan tidak
kooperatif & kreatif pada cara berpikirnya dalam hal ini anak tidak mempunyai EQ (emotional
intelligent). Sekolah Dasar yang telah mengajar berbagai macam sifat murid, membimbing bagi
anak pandai/pintar, tetapi tidak mempunyai perasaan atau sangat kasar sekali dalam
berkata.Dalam proses menuangkan pikiran, manusia berusaha mengatur segala fakta dan hasil
pemikiran dengan cara sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan dari awal,
dengan harapan bahwa akan lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi di
kemudian hari. Sistem pendidikan modern memiliki kecenderungan untuk memilih
keterampilan-keterampilan otak kiri yaitu matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari
pada seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir, terutama keterampilan berpikir secara
kreatif. Kreativitas adalah suatu ide atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif, berdaya
guna, dan dapat dimengerti, kreativitas merupakan kemampuan seseorang menghasilkan
gagasan baru, berupa kegiatan atau sintesis pemikiran yang mempunyai maksud dan tujuan
yang ditentukan, bukan fantasi semata. Pada saat belajar matematika dengan menggerakkan jari
pada menggerakkan jari melipat dan menekuk jari, dan ini berarti dia harus menghitung. Pada
150
waktu memainkan jari pada perhitungan penjumlahan maupun pengurangan, anak harus
mengetahui dinamik dari jari jemarinya. Sebagai contoh, anak harus dapat memainkan jari
tangannya secara silih berganti kiri kanan. Dia harus bisa memainkan jari jemarinya dengan
benar sesuai dengan ketentuan. Hal ini tentunya membutuhkan dan me-aktifasi konsentrasi di
otak kanan, karena harus dirasakan (feel), dan di pikir (think). Selain me-aktifkan saraf mata
dan motorik. Sewaktu, mata harus melihat semua gerakan tangan, kemudian masuk ke otak dan
di proses, kemudian otak memerintahkan otot motorik pada lengan dan jari untuk memainkan
tangan, bahwa pelajaran matematika dengan jari yang disebut jarimatika memberikan solusi
yang komprehensif bagi seimbangnya otak kiri dan kanan, bahkan me-aktifasi semua saraf
(indera penglihatan, pendengaran dan motorik).
Kreativitas Imajinasi
a. Kreativitas
Kreativitas adalah suatu pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas
individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan
orang lain. kreativitas merupakan ungkapan unik dari sifat pribadi seorang individu yang
tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sebagai hasil interaksi
individu, perasaan, sikap dan perilakunya yang dimulai dengan kemampuan individu untuk
menciptakan sesuatu yang baru, dimana seorang individu yang kreatif memiliki sifat yang
mandiri, tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. suatu proses yang
tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfikir,
(Munandar dalam Basuki, 2010). Imajinasi adalah sebuah kerja akal dalam mengembangkan
suatu pemikiran yang lebih luas dari apa yang pernah dilihat, dengar, dan rasakan.
b. Imajinasi
Imajinasi lebih penting dari Pengetahuan. Karena pengetahuan itu terbatas, sedangkan
imajinasi merangkul seluruh dunia, mendorong perubahan, dan melahirkan kemajuan manusia.
"imagination", mempunjai fantasi fantasi besar: mempunjai keberanian ; mempunjai kesediaan
menghadapi risiko ; mempunjai dinamika. Dengan imajinasi, manusia mengembangkan sesuatu
dari kesederhanaan menjadi lebih bernilai dalam pikiran. Ia dapat mengembangkan sesuatu dari
Ciptaan Tuhan dalam pikirannya. Dengan tujuan untuk mengembangkan suatu hal yang lebih
bernilai dalam bentuk benda, atau sekedar pikiran yang terlintas dalam benak.
c. Kreatif Imajinasi
Kreativitas imajinasi menumbuhkembangkan kecerdasan motorik, juga membangun
karakter sebagai kemampuan sosial, sedangkan otak memiliki energi dan kapasitas unik untuk
melanjutkan kegiatan, mensinergikan atau mengkombinasikan dan tukar menukar pola
pemikiran dengan cara-cara baru. Imajinasi merupakan proses mental manusiawi yang
menjadikan semua kekuatan emotif berpartisipasi dalam menstimulasikan, memberi energi
pada tindakan kreatif. Berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya.
Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia dan kemudian juga sekaligus
bisa mendapatkan pengetahuan baru, dan semua dilakukan dengan cara yang menggembirakan
hatinya. Perspektif kebanyakan menilai otak menjadi sumbu semua kreasi. Namun imajinasi
(jiwa) masih tetap berlaku dan berguna. Kemampuan otak hubungannya kreativitas. Otak
manusia mampu menampung tigapuluh milliar bit informasi per detik. Otak juga bisa jutaan kali
lebih jitu mengirim sinyal daripada kemampuan komputer. Albert Estaein misalnya hanya
mengunakan pikirannya satu persen, sembilanpuluh sembilan persen lagi adalah kerja keras. Hal
yang sama dikatakan Motivator ulung Tung Dasem Waringin pelatih nomor satu Indonesia persi
majalah Marketing; kesuksesan tergantung delapanpuluh persen karena kemampuan
mengendalikan emosi (EQ), duapuluh persen faktor (IQ). orang yang semangat antusias akan
memunculkan krativitas-kreativitas baru dari imajinasi yang liar. Namun imajinasinya harus
dikontrol, dirawat, diasah bak seorang bayi. Kelak ia akan raksasa tidur dalam diri kita. Maka
jika kita ingin kualitas diri, arif dan bijaksana dapat berselancar dalam multi-perubahan,
sederhana, menyatukan hati dan pikiran yaitu imajinasi dan kreatif, mengasah imajinasi berarti
kreatif setiap tiap hari.
Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang
terekspresikan lewat bermain menggerakkan tangan, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, tidak ada
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
151
152
Rasa percaya diri dimanfaatkan untuk bisa mengatasi segala permasalahan yang muncul shg
tidak mudah putus asa dan bila berhasil juga tidak besar kepala.
Meridian Tangan
Tubuh manusia terdapat 12 jalur atau meridian saraf yang masing-masing berhubungan
dengan organ tubuh. Sedangkan jalur-jalur tersebut kesemuanya berujung atau melewati telapak
tangan. Ujung-ujung tersebut biasa disebut dengan titik-titik saraf. Pijat refleksi sama halnya
dengan gerakan tangan pada jarimatika memberikan rangsangan pada titik saraf, agar saraf yang
bersangkutan menjadi aktif, pada gerakan tangan jarimatika memberikan tekanan terus menerus
pada titik saraf, pemijatan harus serta periode perhitungan pengurangan penjumlahan maupun
perkalian, identik dengan pemijatan pada titik syaraf pada tangan mengakibatkan pada titik
syaraf, pada titik tertentu untuk membebaskan energi yang terperangkap dalam tubuh dan
berguna juga untuk meningkatkan kesehatan, bersamaan terhadap rangsangan yang berperan
dalam pertahanan tubuh, maka meridian bisa menjadi jalur untuk menyebar dalam tubuh, karena
itu kita harus merangsang titik-titik pada meridian untuk mengusir penyakit. Jika lalu lintas
energi pada meridian lancar, maka akan tercipta keharmonisan dalam tubuh, dan tubuh mampu
melawan penyakit, sebaliknya jika terjadi kemacetan atau aliran energi terhambat maka akan
muncul ke tidak harmonisan / gangguan kesehatan.
Jantung
Jantung menyimpan si mental, dalam arti luas mengatur aktivitas hidup fisik dan
mental. Ia berhubungan dengan pembuluh darah, mempengaruhi sie (darah), tulang, otot,
perasaan dan pikiran. Memegang peranan penting dalam proses pembentukan kecerdasan dan
merupakan kunci ci sie (energi dan darah).
Limpa-Lambung
Limpa dan lambung merupakan penentu kekuatan setelah manusia lahir. Karena peran
utamanya di bidang pencernaan makanan dan minuman. Limpa dan lambung juga berperan
dalam pengaturan cairan dalam tubuh dan sari makanan yang didapat, yang kemudian diedarkan
keseluruh tubuh melalui paru-paru. Limpa juga menguasai darah agar tidak bocor atau mengalir
keluar dari pembuluh darah.
Ginjal
Ginjal merupakan penyimpan materi dasar turunan untuk pembentukan generasi
selanjutnya. Ginjal juga menentukan daya reproduktif, penentu kekuatan bawaan dan penentu
pertumbuhan. Otak merupakan lautan sumsum tulang yang dapat mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak. Secara singkat uyekan pada titik organ limpa akan menajamkan pikiran, dan
meningkatkan kemampuan mengevaluasi. Titik organ jantung untuk memikirkan persoalan
sehari-hari. Sedangkan titik ginjal untuk mengingat memori pengetahuan yang diterima..
153
KESIMPULAN
Metode jarimatika mampu melakukan operasi bilangan KaBaTaKu (Kali Bagi Tambah
Kurang) sampai dengan ribuan, Jarimatika mengasah otak kanan dan otak kiri tanpa
memberatkan memori dengan bayangan, melatih motorik anak melalui gerakan jari. Metode ini
sangat mudah diterima anak. Mempelajarinya pun sangat mengasyikkan, karena jarimatika tidak
membebani memori otak dan alatnya selalu tersedia. Otak kiri bekerja untuk mengatur
kemampuan seseorang pada nalar, tulisan, berhitung dan berlogika, otak kanan juga bekerja
menggunakan
perasaan
berorientasi pada hal pokok/garis besar berdasar pada imajinasi symbol.Kreativitas imajinasi
menumbuhkembangkan kecerdasan motorik, juga membangun karakter sebagai kemampuan
sosial, sedangkan otak memiliki energi dan kapasitas unik untuk melanjutkan kegiatan,
mensinergikan atau mengkombinasikan dan tukar menukar pola pemikiran dengan caracara baru dan rasa keingintahuan agar anak bisa menyelesaikan suatu masalah dan memiliki rasa
ingin tahu semua yang ada di dunia ini semua berdasarkan kepada mereka manggunakan rasa
ingin tahu itu. Rasa percaya diri suatu keyakinan dan sikap seseorang terhadap kemampuan
pada anak dengan menerima secara apa adanya baik positif maupun negatif yang dibentuk dan
dipelajari melalui proses belajar matematika dengan tujuan untuk terampil mengoperasikan
perhitungan dengan jari, maka anak periode perhitungan pengurangan penjumlahan maupun
perkalian, identik dengan pemijatan pada titik syaraf pada tangan mengakibatkan pada titik
syaraf, pada titik tertentu untuk membebaskan energi yang terperangkap dalam tubuh dan
berguna juga untuk meningkatkan kesehatan, bersamaan terhadap rangsangan yang berperan
dalam pertahanan tubuh, maka meridian bisa menjadi jalur untuk menyebar dalam tubuh,
DAFTAR PUSTAKA
Arnold Lewis Glass, Cognition (Singapore: MCGraw Hills Book Co. 1988)
Carl G. Gocller &William O. Uraneck, Membina Peribadi Dinamis Kreatif, Penerbit Gunung
Jati, Jakarta
Ghiselin Brewster Profesor, Proses Kreatif, penerbit Gunung Agung Jati, Jakarta
http://ww.naipospos.net/?p=11
http://sehatharmoni.com/meningkatkan-iq-anak.html
John P Dworetzky, Psychology (New York: West Publishing Company, 1988),
Septi Peni: PDF//Adobe Acrobat-Tampilan Cepat
Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Petunjuk Bagi Para
Guru dan Orang Tua (Jakarta: Gramedia Widisarana, 1995)
www.aidianet.co.cc
www.labschool-unj.sch.id/smpjkt/materi_download.php?id=7.
www.jarimatika.com
http://jarimatikamks.wordpress.com
154
155
PENDAHULUAN
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu dengan meningkatkan
kualitas pendidikan matematika. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang dipelajari
di sekolah dinilai sangat memegang peranan penting karena matematika dapat meningkatkan
pengetahuan siswa dalam berpikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif, dan efisien. Tak
hanya itu, matematika mempunyai daya abstraksi yang mampu mengabstraksikan
permasalahan-permasalahan yang sering muncul baik dalam matematika itu sendiri maupun
dalam kehidupan sehari-hari sehingga dengan matematika diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan dengan tepat dan cepat. Begitu pentingnya manfaat yang diperoleh
dari belajar matematika, maka sangat relevan apabila berbagai usaha perlu dilakukan demi
adanya peningkatan kualitas pendidikan matematika di Indonesia.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2007 yang saat ini dipakai,
pembahasan mengenai gradien garis lurus dengan persamaan ax + by + c = 0 dan persamaan
garis pada suatu grafik dipelajari pada pokok bahasan persamaan garis lurus di kelas VIII pada
semester gasal. Laporan BSNP tahun 2010, daya serap Ujian Nasional (UN) pada tahun
2009/2010 tingkat SMP di Kabupaten Klaten untuk kemampuan uji menentukan gradien garis
lurus dengan persamaan ax + by + c = 0 sebesar 60,01% dan menentukan persamaan garis pada
suatu grafik sebesar 48,02%. Sementara itu, hasil UN mata pelajaran matematika SMP SeKabupaten Klaten pada tahun pelajaran 2009/2010 rata-ratanya adalah 6,62. Daya serap UN dan
hasil UN yang telah tercapai ini tentu belum mencapai hasli yang memuaskan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan permasalahan ini dapat terjadi. Permasalahan
pada materi persamaan garis lurus yang dialami oleh siswa kelas VIII di SMP Se-Kabupaten
Klaten menurut pemaparan sebagian guru, yaitu siswa beranggapan bahwa matematika
merupakan suatu mata pelajaran yang sulit, dikarenakan siswa merasa kesulitan dalam
melakukan penghitungan dan penghafalan rumus, siswa cenderung kurang memahami dan
memecahkan masalah, kesadaran siswa dalam mempelajari matematika masih kurang,
ketrampilan siswa dalam penyelesaian soal yang masih rendah, dan kegiatan pembelajaran yang
terpusat pada guru.
Disinilah peran guru sebagai salah satu sumber belajar sangat diperlukan
kemampuannya dalam mengemas suatu pembelajaran yang dapat membantu siswa agar mampu
mengkontruksikan sendiri pengetahuannya. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa,
guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, model, metode yang sesuai
dengan situasi dan pokok bahasan sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan
tercapai. Suatu pemilihan model pembelajaran akan tergantung pada tujuan pembelajarannya,
kesesuaian dengan materi pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), dan
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar
yang ada. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, guru dalam mengajar haruslah dapat
menekankan suatu pemahaman konsep diri, yaitu dengan mengarahkan pembelajaran melalui
apa yang dipikirkan, dilihat, didengar, atau yang telah dilakukan siswa dalam menuangkan suatu
gagasan yang telah dimiliki oleh siswa.
Untuk itu, sangat diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat
dan keaktifan siswa. Model pembelajaran yang menarik serta dapat memicu siswa untuk ikut
serta secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu dengan model pembelajaran aktif. Pada
dasarnya, pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk
belajar secara aktif. Peserta didik diajak untuk turut serta dalam proses pembelajaran. Di
samping itu, siswa ikut berpartisipasi, mencoba, dan melakukan sendiri apa yang dipelajari.
Dalam pembelajaran aktif, guru mempunyai peran untuk menciptakan suatu kondisi belajar
yang memungkinkan siswa berkembang secara optimal dengan memberikan kesempatan siswa
untuk menemukan dan mengaitkan antarkonsep berdasarkan pengalaman yang telah dipelajari.
Model pembelajaran aktif yang diharapkan dapat mengatasi permasalahanpermasalahan yang telah dipaparkan di atas, yaitu dengan model pembelajaram kooperatif tipe
Student Team Achievement Divisions (STAD) dan model pembelajaran penemuan terbimbing.
Dalam pembelajaran STAD, siswa bekerja sebagai sebuah tim dan saling berdiskusi untuk
menyelesaikan suatu masalah dalam mencapai tujuan bersama. Siswa tidak hanya bertanggung
156
jawab terhadap dirinya sendiri tetapi juga kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif tipe
STAD merupakan model yang sangat menarik karena menggabungkan antara dua hal, belajar
dengan kemampuan masing-masing individu dan belajar kelompok sehingga siswa dapat saling
bertukar pengetahuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah. Sementara itu pada model
pembelajaran penemuan terbimbing, siswa secara bebas untuk menemukan jalan pemecahan
dari permasalahan yang tidak terlepas dari bimbingan guru.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilaksanakan ini termasuk dalam penelitian eksperimental semu, karena
peneliti tidak mungkin mengontrol atau memanipulasi semua variabel yang relevan, kecuali
beberapa dari variabel-variabel yang diteliti. Manipulasi variabel dalam penelitian ini dilakukan
pada variabel bebas, yaitu model pembelajaran penemuan terbimbing pada kelas eksperimen I,
model pembelajaran STAD pada kelas eksperimen II, dan model pembelajaran konvensional
pada kelas kontrol. Sementara itu, aktivitas belajar siswa merupakan variabel bebas yang
dijadikan sebagai variabel yang ikut mempengaruhi variabel terikat, yaitu prestasi hasil belajar
siswa dalam materi persamaan garis lurus.
Dalam penelitian ini, sebagai sampelnya diambil tiga kelas dari tiga sekolah, yaitu dua
kelas dari untuk eksperimen dan satu kelas yang lain untuk kelas kontrol. Adapun teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik stratified random sampling dan cluster random
sampling, yang pelaksanaannya sebagai berikut.
a. Didata semua SMP Negeri yang berada di Kabupaten Klaten. Populasi dikelompokkan
menjadi tiga peringkat, yaitu peringkat atas, sedang, dan bawah berdasarkan nilai Ujian
Nasional tahun 2010.
b. Dari masing-masing sekolah sampel yang telah terpilih diambil tiga kelas secara random
untuk dijadikan kelas eksperimen I dengan model pembelajaran penemuan terbimbing,
kelas eksperimen II dengan perlakuan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, dan
kelas kontrol dengan perlakuan model pembelajaran konvensional.
Setelah diperoleh data, dilakukan analisis data. Analisis data meliputi uji keseimbangan,
analisis variansi, dan analisis komparasi ganda (analisis pasca anava). Dalam melakukan uji
prasyarat yang dipakai dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diambil berasal dari populasi yang
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas menggunakan metode Lilliefors (Budiyono,
2004:170). Statistik uji yang digunakan, yaitu L = Maks F(zi ) S(zi ) , dengan daerah kritik,
DK = L L > L:n . Uji homogenitas menggunakan metode Bartlet dengan statistik uji Chi
Kuadrat untuk menguji apakah k sampel mempunyai variansi yang sama. Statistik uji yang
digunakan,
yaitu
2.303
f log RKG f jlogs 2j
dengan
daerah
kritik
RKA
dengan daerah kritik
RKG
JK
JKA
DK
(p 1)
RK
RKA
Fobs
RKA
Fa =
RKG
F
F*
157
Kolom (B)
Interaksi (AB)
Galat (G)
Total
JKB
JKAB
JKG
JKT
(q 1)
(p 1)(q 1)
(N pq)
N1
RKB
RKAB
RKB
RKG
RKAB
Fab =
RKG
F*
Fb =
RKG
-
F*
Analisis Variansi
Uji prasyarat normalitas digunakan yaitu uji Liliefors dengan mengambil tingkat
signifikansi 0,05 . Rangkuman hasil uji normalitas sebagai berikut.
Tabel 2 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Prestasi
Kelompok
Lobs
Ltabel
0.084378
0.090676
0.088542
0.091089
0.064970
0.073218
0.0909
0.0909
0.0928
0.0990
0.0873
0.0895
Penemuan Terbimbing
STAD
Konvensional
Aktivitas Rendah
Aktivitas Sedang
Aktivitas Tinggi
Keputusan Uji
Kesimpulan
H0 diterima
Berdistribusi Normal
H0 diterima
H0 diterima
H0 diterima
H0 diterima
H0 diterima
Berdistribusi Normal
Berdistribusi Normal
Berdistribusi Normal
Berdistribusi Normal
Berdistribusi Normal
Dalam penelitian ini, uji homogenitas menggunakan uji Bartlet dengan mengambil tingkat
signifikansi 0,05 . Rangkuman hasil penelitiannya sebagai berikut.
158
Aktivitas Belajar :
Rendah, Sedang, dan Tinggi
5.2022286
5.991
H0 diterima
3.
14536.15975
7268.079875
50.20610602
3.02897
H0 ditolak
Interaksi(AB)
2182.189414
545.5473536
3.768506778
2.40483
H0 ditolak
Galat
Total
39376.04173
272
144.7648593
67236.61023
280
Menurut rangkuman hasil analisis variansi yang disajikan pada Tabel 4 di atas
menunjukkan kesimpulan sebagai berikut.
a. Efek faktor A (model penemuan terbimbing, model pembelajaran STAD, dan model
pembelajaran konvensional) terhadap variabel terikat, H0(A) ditolak. Hal ini berarti terdapat
perbedaan prestasi belajar siswa antara model pembelajaran penemuan terbimbing, model
pembelajaran STAD, dan model pembelajaran konvensional.
b. Efek faktor B (kategori aktivitas) terhadap variabel terikat, H0(B) ditolak. Berarti terdapat
perbedaan antara prestasi belajar pada siswa kelompok aktivitas tinggi, aktivitas sedang, dan
aktivitas rendah.
c. Kombinasi efek faktor A dan B terhadap variabel terikat, H0(AB) ditolak. Berarti ada
interaksi yang signifikan antara penggunaan model pembelajaran dan kategori aktivitas
terhadap prestasi belajar siswa.
4.
1. = 3.
84.99148765
6.05794
H0 ditolak
2. = 3.
76.83897153
6.05794
H0 ditolak
b. Karena H0(B) ditolak, maka perlu dilakukan komparasi pasca anava. Adapun rata-rata
masing-masing sel serta rangkuman komparasi gandanya yang diperoleh menggunakan
metode Scheffe hasilnya terlihat pada Tabel 6 sebagai berikut.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
159
H0
.1 = .2
.1 = .3
79.25769578
6.05794
H0 ditolak
.2 = .3
11.68837495
6.05794
H0 ditolak
11 = 13
12 = 13
21 = 22
F11-13 =34.27179
15.78024
H0 ditolak
F12-13 = 2.111875
15.78024
H0 diterima
F21-22 =17.6165
15.78024
H0 ditolak
21 = 23
F21-23 = 26.05041
15.78024
H0 ditolak
22 = 23
F22-23= 0.883982
15.78024
H0 diterima
31 = 32
F31-32 0.006679
15.78024
H0 diterima
31 = 33
F31-33 =14.05266
15.78024
H0 diterima
32 = 33
F32-33 =16.39582
15.78024
H0 ditolak
Hasil komparasi ganda antarsel pada kolom yang sama terlihat pada tabel berikut.
Tabel 8 Rangkuman Komparasi Ganda Antarsel Pada Kolom Sama
H0
Fobs
8F0.05; 8; 200
Keputusan Uji
H0 diterima
15.78024
11 = 21
F11-21 =9.675793471
11 = 31
21 = 31
F11-31 = 4.43811102
F21-31 =10.64640598
15.78024
15.78024
H0 diterima
12 = 22
F1222 = 0.027692135
15.78024
H0 diterima
12 = 32
15.78024
15.78024
H0 ditolak
22 = 32
F12-32 = 62.96686346
F22-32 =59.7451622
13 = 23
13 = 33
23 = 33
F1323= 0.067137196
F13-33 = 25.29686283
F23-33 = 21.68389144
15.78024
H0 diterima
15.78024
15.78024
H0 ditolak
H0 diterima
H0 ditolak
H0 ditolak
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sesuai dengan hipotesis awal
peneliti adalah sebagai berikut. Adapun pembahasannya sebagai berikut.
1. Hipotesis Pertama
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis diperoleh nilai Fa = 38.48385368 yang lebih besar
dari Ftabel = 3.02897. Hal ini menunjukkan bahwa H0(A) ditolak, yang artinya terdapat
perbedaan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan persamaan garis lurus antara kelas
model pembelajaran penemuan terbimbing, STAD, dan konvensional. Untuk mengetahui
manakah diantara ketiga model pembelajaran tersebut yang lebih baik maka perlu dilakukan
uji komparasi ganda. Dari uji lanjut ini diperoleh hasil seperti tertulis pada Tabel 5 dengan
kesimpulannya sebagai berikut.
a. Nilai dari F1. 2.= 0.209995714 lebih kecil dari nilai Ftabel 6.05794 , yang artinya
bahwa kedua model pembelajaran ini, yaitu model pembelajaran penemuan terbimbing
160
dan model pembelajaran STAD memberikan efek yang sama terhadap prestasi belajar
siswa pada pokok bahasan persamaan garis lurus. Dengan demikian, model
pembelajaran penemuan terbimbing dengan model pembelajaran STAD sama baiknya.
b. Nilai dari F1.3.= 84.99148765 lebih besar daripada Ftabel 6.05794 , yang artinya
kedua model pembelajaran ini, yaitu penemuan terbimbing dan konvensional
memberikan efek yang tidak sama terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan
persamaan garis lurus. Karena rata-rata marginal prestasi belajar siswa yang dikenai
model pembelajaran penemuan terbimbing = 53.85263 lebih besar daripada rata-rata
marginal prestasi belajar siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional =
37.58242, maka model penemuan terbimbing lebih baik daripada konvensional.
c. Nilai dari F2.3.= 76.83897153 lebih besar daripada Ftabel 6.05794 , yang artinya
kedua model pembelajaran ini, yaitu STAD dan model pembelajaran konvensional
memberikan efek yang tidak sama terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan
persamaan garis lurus. Karena rata-rata marginal prestasi belajar siswa yang dikenai
model pembelajaran STAD = 53.05263 lebih besar daripada rata-rata marginal prestasi
belajar siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional = 37.58242, maka model
penemuan terbimbing lebih baik daripada konvensional.
2. Hipotesis Kedua
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis diperoleh nilai Fb 50.20610602 lebih besar
daripada nilai Ftabel = 3.02897, yang dapat diputuskan bahwa H0(B) ditolak. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara
aktivitas rendah, sedang, dan tinggi pada pokok bahasan persamaan garis lurus. Karena H0(B)
ditolak maka perlu dilanjutkan dengan uji komparasi ganda untuk mengetahui manakah
aktivitas siswa yang dapat memberikan prestasi belajar siswa yang lebih baik. Dilihat dari
hasill analisis variansi yang hasilnya tertulis pada Tabel 6 di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut.
a. Nilai F.1.2 = 31.10716302 lebih besar daripada Ftabel 6.05794 , yang artinya kedua
aktivitas belajar siswa ini, yaitu aktivitas rendah dan aktivitas sedang memberikan efek
yang tidak sama terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan persamaan garis
lurus. Karena rata-rata marginal prestasi belajar siswa dengan aktivitas sedang =
48.97087 lebih besar daripada rata-rata marginal prestasi belajar siswa dengan aktivitas
rendah = 39.55 maka prestasi belajar siswa dengan aktivitas sedang lebih baik daripada
prestasi belajar siswa dengan aktivitas rendah.
b. Nilai F.1.3= 79.25769578 lebih besar daripada Ftabel 6.05794 , yang artinya kedua
aktivitas belajar siswa ini, yaitu aktivitas sedang dan aktivitas tinggi memberikan efek
yang tidak sama terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan persamaan garis
lurus. Karena rata-rata marginal dari prestasi belajar siswa dengan aktivitas tinggi =
54.77551 lebih besar daripada rata-rata marginal prestasi belajar siswa dengan aktivitas
sedang = 39.55, maka prestasi belajar siswa dengan aktivitas tinggi lebih baik daripada
prestasi belajar siswa dengan aktivitas rendah.
c. Nilai F.2.3= 11.68837495 lebih besar daripada Ftabel 6.05794 , yang artinya kedua
aktivitas belajar siswa ini, yaitu aktivitas rendah dan aktivitas tinggi memberikan efek
yang tidak sama terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan persamaan garis
lurus. Karena rata-rata marginal dari prestasi belajar siswa dengan aktivitas tinggi =
54.77551 lebih besar daripada rata-rata marginal prestasi belajar siswa dengan aktivitas
rendah = 48.97087, maka prestasi belajar siswa dengan aktivitas tinggi lebih baik
daripada siswa dengan aktivitas sedang.
3. Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan jumlah sel tak sama diperoleh nilai F ab
= 3.768506778 lebih besar dari nilai Ftabel = 2.40483 menunjukkan bahwa H0(AB) ditolak. Hal
ini berarti, terdapat interaksi antara penggunaan model pembelajaran dengan kategori
aktivitas terhadap prestasi belajar matematika pada pokok bahasan persamaan garis lurus.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
161
Berdasarkan hasil uji komparasi ganda antarsel pada baris yang sama pada Tabel 7
diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
a. Model pembelajaran penemuan terbimbing dan STAD sama baik hasilnya untuk siswa
dengan aktivitas sedang dan siswa dengan aktivitas tinggi. Hal ini dapat diketahui
berdasarkan F12-13 = 2.111875 dan F22-23= 0.883982 , yang lebih kecil daripada
8F0,05;8: 200 = 15.78024 . Dengan demikian, prestasi belajar siswa yang dikenai model
penemuan terbimbing maupun STAD pada siswa dengan aktivitas sedang sama baiknya
dengan siswa aktivitas tinggi.
b. Pada model pembelajaran penemuan terbimbing dan STAD, siswa dengan aktivitas
tinggi lebih baik prestasinya daripada siswa dengan aktivitas rendah, dan siswa dengan
aktivitas sedang lebih baik prestasinya daripada siswa dengan aktivitas rendah. Hal ini
dapat diketahui berdasarkan nilai F11-12 = 22.36015 , F11-13 =34.27179 , F21-22 =17.6165
, dan F21-23 = 26.05041 lebih besar dari 8F0,05;8: 200 = 15.78024 . Karena rata-rata
marginal pada siswa yang dikenai model pembelajaran penemuan terbimbing dengan
aktivitas tinggi = 60 maupun aktivitas sedang = 55.89744 lebih besar dari rata-rata
marginal aktivitas rendah = 40.72727, maka prestasi belajar siswa dengan aktivitas
tinggi maupun sedang lebih baik daripada siswa dengan aktivitas rendah. Sementara itu,
rata-rata marginal pada siswa yang dikenai model pembelajaran STAD dengan siswa
aktivitas tinggi = 59.22581 maupun siswa aktivitas sedang = 56.375 lebih besar dari
rata-rata marginal siswa aktivitas rendah = 43.752, maka prestasi belajar siswa dengan
aktivitas tinggi maupun sedang lebih baik daripada siswa dengan aktivitas rendah.
c. Pada model pembelajaran konvensional, siswa dengan aktivitas rendah sama baiknya
dengan aktivitas sedang dan siswa dengan aktivitas tinggi sama baiknya dengan
aktivitas rendah. Hal ini dapat diketahui dari F31-32 0.006679 dan F31-33 =14.05266
lebih kecil daripada 8F0,05;8: 200 = 15.78024 . Akan tetapi, siswa dengan aktivitas tinggi
lebih baik daripada siswa dengan aktivitas sedang. Hal ini dapat diketahui dari
F32-33 =16.39582 lebih besar dibandingkan nilai 8F0,05;8: 200 = 15.78024 . Karena ratarata marginal pada siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional dengan
aktivitas tinggi = 45.21212 lebih besar dari rata-rata marginal aktivitas aktivitas sedang
= 33.125, maka prestasi belajar siswa dengan aktivitas tinggi lebih baik daripada siswa
dengan aktivitas rendah.
Berdasarkan hasil uji komparasi ganda antarsel pada kolom yang sama pada Tabel 8
diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
a. Pada model pembelajaran penemuan terbimbing, STAD, dan konvensional untuk siswa
dengan aktivitas rendah mempunyai prestasi belajar yang sama. Hal ini dikarenakan
F11-21 =9.675793471 , F1222 = 0.027692135 , dan F1323= 0.067137196 lebih kecil
dari 8F0,05;8: 200 = 15.78024 .
b. Pada model pembelajaran penemuan terbimbing dan STAD, siswa dengan aktivitas
sedang dan tinggi mempunyai prestasi yang sama. Hal ini dapat diketahui berdasarkan
F1222 = 0.027692135
F1323= 0.067137196
dan
lebih
kecil
dari
F22-32 =59.7451622 lebih besar dari 8Ftabel = 15.78024 , yang berarti H0(AB) ditolak.
Karena rata-rata marginal penemuan terbimbing = 55.89744 lebih besar dari rata-rata
marginal konvensional = 33.125 dan rata-rata marginal STAD = 56.375 lebih besar dari
rata-rata marginal konvensional = 33.125, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi
162
belajar siswa pada model pembelajaran penemuan terbimbing dan model pembelajaran
STAD lebih baik daripada model pembelajaran konvensional.
d. Sementara itu untuk siswa dengan aktivitas tinggi, model pembelajaran penemuan lebih
baik daripada konvensional, dan model pembelajaran STAD lebih baik daripada
F13-33 = 25.29686283 dan
konvensional. Hal ini dapat diketahui dari
F23-33 = 21.68389144 lebih besar dari 8Ftabel = 15.78024 , yang berarti H0(AB) ditolak.
Karena rata-rata marginal model pembelajaran penemuan terbimbing = 60 lebih besar
dari rata-rata marginal konvensional = 33.125 dan rata-rata marginal STAD = 59.22581
lebih besar dari rata-rata marginal konvensional = 45.21212, maka dapat disimpulkan
bahwa prestasi belajar siswa pada model pembelajaran penemuan terbimbing dan
STAD lebih baik daripada konvensional.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1.
Prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan persamaan garis lurus
menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing dan STAD lebih baik daripada
konvensional, sedangkan prestasi belajar siswa yang dikenai perlakuan model
pembelajaran penemuan terbimbing sama baiknya dengan STAD.
2.
Prestasi belajar siswa pada pokok bahasan persamaan garis lurus yang mempunyai
aktivitas tinggi lebih baik prestasinya dibandingkan dengan siswa yang mempunyai
aktivitas sedang, siswa yang mempunyai aktivitas sedang prestasinya lebih baik daripada
siswa yang mempunyai aktivitas rendah, dan siswa yang mempunyai aktivitas tinggi
prestasinya lebih baik dari pada siswa yang mempunyai aktivitas rendah.
3.
Efektivitas model pembelajaran penemuan terbimbing, STAD, dan konvensional
tergantung pada aktivitas belajar siswa. Model pembelajaran penemuan terbimbing dan
STAD untuk siswa dengan aktivitas sedang dan siswa dengan aktivitas tinggi sama baik
prestasinya. Sementara itu pada model pembelajaran penemuan terbimbing dan STAD,
siswa dengan aktivitas tinggi lebih baik prestasinya daripada siswa dengan aktivitas
rendah, sedangkan siswa dengan aktivitas sedang lebih baik prestasinya daripada siswa
dengan aktivitas rendah. Pada model pembelajaran konvensional, siswa dengan aktivitas
tinggi lebih baik prestasinya daripada siswa dengan aktivitas sedang, siswa dengan
aktivitas rendah sama baik prestasinya dengan aktivitas sedang, dan siswa aktivitas tinggi
sama baik prestasinya dengan aktivitas rendah.
4.
Pada model pembelajaran penemuan terbimbing dan STAD, siswa dengan aktivitas
sedang dan tinggi mempunyai prestasi yang sama baiknya. Sementara itu untuk siswa
dengan aktivitas sedang dan tinggi, model pembelajaran penemuan terbimbing lebih baik
prestasinya daripada konvensional, dan model pembelajaran STAD lebih baik prestasinya
daripada konvensional. Pada model pembelajaran penemuan terbimbing, STAD, dan
konvensional untuk siswa dengan aktivitas rendah mempunyai prestasi belajar yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
Budiyono. 2004. Statistik untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press.
Castranova, J. A. Discovery Learning for the 21st Century: What is it and How Does
it
Compare
to
Traditional
Learning
in
Effectiveness
in
the
21stCentury?.http://teach.valdosta.edu/are/Litreviews/vol1no1/castronovalitr.pdf.
Diakses pada tanggal 3 Agustus 2011.
Fadjar Shadiq. 2009. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Modul Matematika SMP
Program BEMUTU. Yogjakarta : PPPG Matematika.
Markaban.2008. Model Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran Matematika SMK. Paket
Fasilitasi Pemberdayaan KKG/MGMP Matematika. Yogyakarta : P4TK Matematika.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
163
Prince, M. J dan Felder, R.M. 2006. Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions,
Comparisons, and Research Bases. Journal of Engineering Education.95(2).123-138.
Rachmadi Widdiharto. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Diklat
Instruktur/Pengembang Matematika SMP. Yogjakarta : PPPG Matematika.
Slavin. 1995. Cooperative Learning, Theory and Practice 4th edition. Allyn an Bacon
Publishers.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
cipta.
Tarim, K. 2009. The Effects of Cooperative Learning on Preschoolers Mathematics ProblemSolving Ability. Journal of Educational Studies in Mathematics, 72(3), 325 340.
Tarim, K. & Akdeniz, F. 2008. The Effects of Cooperative Learning on Turkish Elementary
Students Mathematics Achievement and Attitude Towards Mathematics Using TAI and
STAD Methods. Journal of Educational Studies in Mathematics, 67(1),7791.
Whicker, K. M., Bol, L. & Nunnery, J. A. 1997. Cooperative Learning in the Secondary
Mathematics Classroom. Journal of Educational Research, 91(1), 42-48.
164
Penelitian ini merupakan rancangan awal dari suatu sistem pembelajaran jarak jauh
berbasis web yang dinamis. Sistem ini dirancang dengan memiliki kemampuan-kemampuan
dasar sebagai berikut: (1) Sistem menyajikan keseluruhan materi ajar yang adaa dalam satu
kompetensi, di mana materi ajar tidak sebatas tekstual saja namun sedapat mungkin
menyertakan audio visual, (2) Sistem mampu melakukan evaluasi terhadap pencapaian belajar
mahasiswa, (3) Sistem mampu mengukur tingkat kemampuan siswa berdasarkan hasil evaluasi
terhadap pencapaian indikator yang telah ditetapkan, (4) Sistem mampu membimbing siswa
untuk melakukan self-review berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan sistem.
Pengembangan sistem ini meliputi bebrapa tahapan antara lain analisis kebutuhan,
desain sistem, implementasi program dan evaluasi sistem. Sistem ini menggunakan pemrogram
berbasis web, yaitu PHP denan didukung oleh sistem basis data MySQL dan aplikasi audio
visual. Sistem yang telah dirancang dan dibuat kemudian diujicobakan pada jaringan lokal.
Hasil uji coba menunjukkan bahwa sistem ini berjalan cukup baik pada jaringan lokal.
Sistem ini juga telah memenuhi analisis kebutuhan yang didefiniskan di awal termasuk di
dalamnya beberapa kememapuan dasar yang didefiniskan di awal. Namun demikian sistem ini
masih perlu banyak perbaikan terkait dengan cakupan materi yang terbatas dan uji coba yang
baru dilakukan sebatas jaringan lokal.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam satu dasawarsa terakhir ini, perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi
berlangsung dmeikian cepatnya di segenap aspek kehidupan. Aplikasi-aplikasi teknologi
informasi banyak dikembangkan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi
yang cepat dan akurat. Demikian halnya di dunia pendidikan. Keberadaan teknologi informasi
membawa dampak yang luar biasa, tidak hanya dalam hal kecepatan akses informasi dan
pengetahuan, keberadaan aplikasi atau software-software pendidikan dirasakan dapat membantu
meningkatkan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara
keseluruhan.
Di bidang matematika khususnya, munculnya berbagai macam software seperti
Mathematica, Maple, MATLAB, CABRI, dan GeoGebra sangat bermanfaat baik bagi pengajar
maupun peserta didik dalam memahami konsep matematika ataupun menyelesaikan berbagai
masalah dalam matematika. Demikian juga integrasi web dalam pendidikan seperti
pembelajaran jarak jauh mampu menghilangkan batasan jarak dan waktu sehingga baik pengajar
ataupun peserta didik tetap mampu melakukan proses pembelajaran meskipun tidak bertemu
secara langsung dalam proses pembelajaran di kelas.
Pembelajaran jarak jauh berbasis web ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
duni pendidikan di negara-negara modern seperti Amerika Serikat, di mana jumlah siswa
pengguna layanan pendidikan jarak jauh semakin meningkat setiap tahun (Su et al, 2005). Su et
al (2005) dan Zaina (2001) mengatakan bahwa beberapa bentuk teknologi yang mendukung
pembelajaran jarak jauh adalah multimedia yang menggabungkan teks, gambar dan audio
melalui internet atau CD ROM, streaming audio dan video, chat.
Pembelajaran jarak jauh berbasis web ini juga mulai dikembangkan juga di UNS,
khususnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan adanya blog staff pengajar. Dengan
adanya blog ini, dosen dapat menyediakan materi ajar maupun tugas-tugas untuk dapat diunduh
mahasiswa. Namun demikian web sebagai sarana pembelajaran harus bisa mendukung interaksi
baik sesama siswa maupun dengan pengajar, karena kunci dari pembelajaran adalah interaksi.
165
Hal ini yang dirasakan kurang dalam pemanfaatan blog sebagai alat pembelajaran jarak jauh. Di
mana dalam blog, informasi hanya terjadi dalam satu arah saja, sehingga interaksi antara
pengguna dalam hal ini mahasiswa dan dosen sangat kurang. Selain itu sajian materi yang hanya
berorientasi teks dirasakan kurang mendukung bagi siwa untuk dapat memahami materi ajar,
khususnya matematika. Alangkah lebih baik jika disertakan sajian audio visual sehingga lebih
memudahkan siswa dalam memahami materi sebagaimana yang diungkapkan Zaina (2001).
Pada sisi lain, di FKIP UNS telah diterapkan kurikulum KBK, di mana setiap mahasiswa
harus mampu memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Dalam prakteknya, setiap
mata kuliah harus dibagi menjadi 4 kompetensi dan pada masing-masing kompetensi dilakukan
evaluasi sebagai penentuan kelulusan mahasiswa. Bagi mahasiswa yang tidak lulus masingmasing kompetensi, dosen wajib melakukan remidiasi. Untuk itu dilakukan evaluasi terhadap
indikator manakah yang tidak dipenuhi oleh mahasiswa sehingga tidak lulus pada ujian
kompetensi untuk dapat dilakukan perlakuan bagi mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini tentu
menjadi masalah tersendiri mengingat tiap mahasiswa bisa jadi gagal pada indikator-indikator
yang berbeda.
Dari uraian masalah di atas, peneliti mengusulkan perancangan sebuah sistem yang mampu
meningkatkan interaksi pembelajaran berbasis web sekaligus dapat membantu pengajar dalam
melakukan evaluasi terhadap hasil belajar mahasiswa, yaitu Intellegent Tutoring System (ITS)
atau Sistem Tutor Cerdas. ITS adalah sebuah sistem pembelajaran berbasis komputer yang
dapat menentukan bagaimana materi disampaikan berdasarkan kemampuan masing-masing
siswa. Ide ini dapat diterapkan pada kurikulum KBK, di mana sistem yang dirancang dapat
menentukan pencapaian tiap siswa pada uji kompetensi. Sistem diharapkan dapat menganalisa
hasil uji kompetensi untuk kemudian dapat ditentukan indikator mana sajakah yang tidak dapat
dilampui mahasiswa. Berdasarkan hasil evaluasi ini, sistem akan mengarahkan siswa untuk
melakukan self-review pada materi ajar manakah yang belum dikuasai tentu saja dengan
bimbingan sistem yang telah dibuat.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang diangakat dalam penelitian ini
adalah bagaimana merancang sistem tutor cerdas berbasis web untuk pembelajaran khususnya
pada mata Kuliah Kalkulus I di kelas SBI, dengan kemampuan dasar sebagai berikut:
1. Sistem menyajikan keseluruhan materi ajar yang adaa dalam satu kompetensi, di mana
materi ajar tidak sebatas tekstual saja namun sedapat mungkin menyertakan audio visual
2. Sistem mampu melakukan evaluasi terhadap pencapaian belajar mahasiswa
3. Sistem mampu mengukur tingkat kemampuan siswa berdasarkan hasil evaluasi terhadap
pencapaian indikator yang telah ditetapkan
4. Sistem mampu membimbing siswa untuk melakukan self-review berdasarkan hasil evaluasi
yang telah dilakukan sistem
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan
membuat sistem tutor cerdas berbasis web untuk pembelajaran khususnya pada mata Kuliah
Kalkulus I di kelas SBI, dengan kemampuan dasar sebagaimna yang telah disebutkan.
Manfaat Penelitian
Dengan sistem tutor cerdas yang dirancang dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :
1. Mampu meningkatkan kemandirian mahasiswa dalam proses pembelajaran
2. Membantu dosen dalam melakukan monitoring terhadap perkembangan proses belajar siswa
dan melakukan proses remidiasi terhadap mahasiswa yang belum lulus uji kompetensi
3. Dapat dijadikan acuan dalam perancangan sistem tutor cerdas untuk materi ajar yang lain
4. Dapat dikembangkan untuk lingkungan pembelajaran jarak jauh yang sesungguhnya seperti
pada universitas terbuka sebagai pengganti kuliah tatap muka
DASAR TEORI
Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Web
166
METODOLOGI PENELITIAN
a. Studi Literatur
Mempelajari materi-materi dan dasar teori yang berhubungan dengan penelitian ini
b. Tahap Analisis Kebutuhan
Pada tahap ini dikumpulkan semua informasi mengenai kebutuhan sistem dalam rangkan
mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh sistem.
c. Desain Sistem
Tahap ini adalah proses menerjemahkan syarat/kebutuhan ke dalam representasi software
yang dapat diperkirakan demi kualitas sebelum dilakuakan pengkodean. Desain sistem
memfokuskna pada atribut software seperti struktur data, arsitektur software, representasi
interface, dan detail (algoritma prosedural).
d. Implementasi Program
Pada tahap ini dilkuakan pengkodean (coding) program untuk menerjemahkan desain yang
telah dibuat ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh mesin. Untuk pembuatan program ini
digunakan bahasa pemrograman PHP untuk membuat program utama. Basis data yang
digunakan adalah MySQL. Untuk memudahkan pembuatan, prototype sistem akan
diimplementasikan dalam laboratorium komputer yang sudah terkoneksi LAN.
e. Evaluasi program
Setelah proses pembuatan sistem selesai, langkah berikutnya adalah menguji sistem. Dari
tahap ini akan diketahui kesalahan, kekurangan dan kelemahan sistem. Evaluasi sistem
dilakukan pada Mahasiswa Biologi Kelas SBI tahun ajaran 2010/2011.
f. Dokumentasi
167
Perangkat lunak yang telah dibangun dan dievaluasi didokumentasikan dalam bentuk laporan
penelitian.
PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM
Deskripsi Sistem
Sistem tutor cerdas berbasis web pada penelitian ini adalah sebuah system tutorial yang
memungkinkan setiap mahasiswa dapat mengakses secara online materi perkuliahan Kalkulus I.
Materi perkuliahan disajikan dalam bentuk video yang dapat diunduh maupun diputar secara
online (video streaming). Dalam system tutor ini juga dilengkapi dengan instrument evaluasi di
bagian akhir tutorial untuk menentukan kelulusan dari tiap mahasiswa. Kelulusan dari tiap
mahasiswa ditentukan berdasarkan standar penilaian pada kurikulum KBK yang dijalankan di
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Materi perkuliahan dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok kompetensi, dengan skor minimal kelulusan adalah 60 dari skala 100. Instrumen
penilaian ini dibuat berdasarakan indikator pencapaian belajar mahasiswa sesuai dengan silabus
mata kuliah. Jika mahasiswa tidak berhasil mencapai standar kelulusan, sistem akan
mengidentifikasi indikator mana sajakah yang belum dicapai oleh mahasiswa untUk kemudian
mengarahkan mahasiswa untk melakukan self-review pada materi ajar manakah yang belum
dikuasai. Sebagai awal perancangan sistem tutor ini materi ajar dibatasi pada Kelompok
Kompetensi 2, yaitu pembahasan mengenai Limit.
Analisa Kebutuhan Perangkat Lunak
Berdasarkan analisa sistem di atas, dapat diturunkan kebutuhan sistem tutor cerdas sebagai
berikut.
a. Kebutuhan Fungsional
1) Sistem hanya dapat diakses oleh user yang sudah disimpan dalam database
2) Sistem menyediakan tutorial dalam bentuk video streaming untuk materi ajarnya
3) Sistem mengkonfirmasi user jika selesai mengikuti tutorial untuk kemudian melakukan
ujian kompetensi
4) Sistem hanya mengijinkan user yang sudah menyelesaikan tutorial untuk melakukan
ujian kompetensi
5) Sistem hanya mengijinkan user sekali melakukan ujian kompetensi
6) Sistem menggunakan beberapa tipe soal berbeda untuk menghindari kecurangan di
antara user
7) Jika user gagal dalam uji kompetensi sistem mendeteksi indikator manakah yang tidak
lulus dan menginformasikan ke user
8) Sistem mengarahkan user untuk melakukan tutorial lanjutan (remidi) berdasarkan
indikator yang gagal dalam uji kompetensi
9) Sistem mengkonfirmasi user jika selesai mengikuti tutorial untuk kemudian melakukan
ujian remidi
10) Sistem hanya mengijinkan user yang sudah menyelesaikan tutorial lanjutan untuk
melakukan ujian remidi
11) Sistem menyimpan hasil akhir ujian kompetensi dan ujian remidi
dan
menginformasikan kepada user.
12) Sistem menyediakan menu Logout dan menyimpan status dari riap user selama
mengikuti tutorial
b. Kebutuhan Non Fungsional
Untuk mengakomodir kebutuhan fungsional sistem seperti yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya, maka diperlukan sistem dengan spesifikasi sebagai berikut.
Kebutuhan server
Pada sistem ini menggunakan aplikasi web server Apache versi 1.3.23. Untuk database
server, sistem ini menggunakan MySQL versi 3.23.48 sebagai aplikasi database server.
Pada sistem ini aplikasi web server dan database server sudah berada dalam satu paket
aplikasi program dengan nama PHPTriad 2.2, yang di dalamnya sudah terdapat PHP versi
168
4.1.1. Sedangkan sistem operasi yang digunakan untuk web sever dan server database
adalah Microsoft Windows XP Profesional.
Kebutuhan Client
Untuk dapat mengakses sistem ini bisa menggunakan operating system Windows atau
Linux. Web browser yang digunakan untuk mengakses aplikasi ini harus mendukung
aplikasi Macromedia flash untuk memutar video dengan format *.flv.
Perencanaan Database.
Tabel-tabel yang diperlukan untuk menyimpan data sistem tutor cerdas ini ke dalam
database dapat dilihat pada Tabel 1.
MULAI
USER LOGIN
IKUT
TUTORIAL
UJI
KOMPETENSI
LULUS?
TUTORIAL
REMIDIAL
UJIAN REMIDI
DATA KELULUSAN
END
Tabel 1
Daftar Tabel Database
Nama Tabel
Mahasiswa
Statuskd2
Keterangan
Menyimpan data mahasiswa
Menyimpan status mahasiswa selama mengikuti
tutorial
169
desindkd2
Kuncisoal
tabeljawab
kuncisoalrem
tabeljawabrem
kd2result
Pembahasan
Dari uji coba yang dilakukan diperoleh hasil bahwa sistem sudah mengakomodir analisa
kebutuhan yang didefinisikan di awal. Pada uji coba yag dilakukan, sistem mampu menjalankan
semua skenario uji coba yang didefiniskan pada Tabel 5.1 sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Namun demikian ada beberapa kekurangan yang dapat dijadikan acuan untuk pengembangan
lebih lanjut sebagai berikut.
170
171
DAFTAR PUSTAKA
Gilang Kurniaji, 2010, Intelligent Tutoring System (ITS) For Remedial. http://warkopit.blogspot.com/2010/04/intelligent-tutoring-system-its-for.html, diakses tanggal 22 April
2010.
Pressman, R., 2000, Software Engineering: A Practitioner's Approach, McGraw-Hill.
Su, B., Bonk, C. J., Magjuka, R. J., Liu, X., and Lee, S., 2005, The Importance of Interaction in
Web-Based Education: A Program-level Case Study of Online MBA Courses, Journal of
Interactive Online Learning, vol. 4, 1, p. 110-128
Zaina, L., Bressan, G., Silveira, R. M., Stiubiener, I., and Ruggiero, W., 2001, Analysis and
Comparison of Distance Education Environments, International Conference on
Engineering Education, 7, p. 19-24
_______________. http://www.php.net, diakses tanggal 20 April 2010
_______________. http://www.mysql.com, diakses tanggal 20 April 2010
172