Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

(HATAH EKSTERN)
Dosen : Dr. T. Tuegeh Longdong, SH, MH.

Pada zaman dahulu (Hindia-Belanda) dikenal dua macam hukum yang menyangkut
masalah keperdataan, yaitu Hatah Intern dan Hatah Ekstern yang masing-masing pada
sandaran yang berbeda. Hatah Intern yang lebih dikenal dengan Hukum Antar Golongan
berpedoman kepada perbedaan golongan penduduk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
131 IS. Sedangkan Hatah Ekstern atau yang lebih dikenal dengan Hukum Perdata
Internasional (HPI) berpedoman kepada perbedaan kewarganegaraan. Dalam Hatah
Ekstern atau HPI dikenal dua prinsip yang dianut oleh suatu negara. Prinsip-prinsip
tersebut adalah :
1.

Prinsip Nasionalitas.
Mengandung maksud bahwa setiap warganegara
diberlakukan hukum dari negaranya. Prinsip ini dianut oleh Indonesia, sehingga
kemanapun warganegara Indonesia pergi diberlakukan Hukum Indonesia.

2.

Prinsip Domisili. Prinsip ini digunakan oleh Inggris dimana bagi warganegara
Inggris yang berdomisili di luar negeri diberlakukan hukum yang berlaku di negara
tersebut. Sebagai contoh orang Inggris yang berada di Indonesia maka baginya
diberlakukan Hukum Indonesia.

Dalam sejarah hukum dikenal dua sistem hukum, yaitu Sistem Eropa Kontinental
dan Sistem Common Law. Salah satu negara yang menganut Sistem Eropa Kontinental
adalah Indonesia, maka dengan bersandar kepada sistem tersebut berlaku prinsip
nasionalitas. Sedangkan negara yang menganut Sistem Common Law antara lain AS dan
Inggris dalam negara tersebut digunakan prinsip domisili. Namun pada kenyataannya ada
suatu negara yang menggunakan kedua prinsip tersebut. Rusia, merupakan negara yang
menganut dua prinsip dimana bagi warganegaranya yang berada di dalam negeri (Rusia)
diberlakukan baginya prinsip domisili sedangkan apabila ia berada di luar negeri maka
diberlakukan prinsip nasionalitas. Prinsip nasionalitas dalam hal yang berhubungan
dengan peristiwa hukum terjadi dalam hal perkawinan, perjanjian jual beli dsb.
Prinsip nasionalitas dan domisili dalam perkembangannya menimbulkan Renvooi
yaitu penunjukan kembali hukum suatu negara yang menuju kepada hukumnya sendiri.
Contoh : Seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia melangsungkan perkawinan
dengan seseorang yang berkewarganegaraan Inggris yang berdomisili di
Indonesia. Dalam hal ini terjadi penunjukan kembali hukum dimana menurut
Negara Indonesia yang menganut prinsip nasionalitas yang bersangkutan
(warganegara Inggris) diberlakukan Hukum Inggris. Namun menurut Negara
Inggris yang bersangkutan diberlakukan Hukum Indonesia karena Negara

Inggris menganut prinsip domisili dan yang bersangkutan berdomisili di


Indonesia , maka dalam hal ini telah terjadi Renvooi.
2
Penunjukan kembali suatu hukum (renvooi) dalam Sistem Hukum Nasional mengandung 2
istilah, yaitu :
1.
2.

Penunjukan kembali dalam Hukum Intern yang disebut Sachnormenverwesung.


Penunjukan kembali dalam Hukum Intern dan Kaidah HPI yang disebut
Kollionsverweisung sebagaimana contoh tersebut diatas.

Pada HPI sering muncul persengketaan antara investor asing dengan negera-negara
penerima investor (Hast State). Ada beberapa cara penyelesaian sengketa dalam HPI
menurut beberapa konvensi.
1.

Konvensi Icsid. Bahwa sengketa dalam masalah HPI yang menyangkut investor
asing diselesaikan melalui International Center for Icsid yaitu suatu lembaga atau
badan peradilan yang menangani masalah sengketa dengan investor asing. Tempat
kedudukan Icsid adalah di Washington DC, AS. Masalah sengketa dengan investor
asing diselesaikan di luar negeri melalui Icsid mempunyai dua sisi penilaian.
Penilaian positifnya adalah bahwa lembaga Icsid lebih mengetahui tentang
prosedur dan tata cara penyelesaian sengketa tersebut. Sedangkan penilaian
negatifnya adalah apabila diselesaikan di dalam negeri (Indonesia) dikhawatirkan
putusannya tidak seimbang karena Indonesia belum memiliki lembaga yang
setingkat dengan Icsid.

2.

Konvensi New York (1958). Ada satu prinsip yang dianut oleh Indonesia dari
Konvensi New York yaitu apabila suatu sengketa yang sudah diputuskan di luar
negeri telah sah, tidak berlaku di Indonesia karena melanggar Superinitas
Indonesia. Larangan tentang Superinitas merupakan larangan yang bersifat kurang
baik dalam perdagangan atau pelaku bisnis. Oleh karena itu Indonesia ikut dalam
Konvensi New York 1958 dengan tujuan apabila ada sengketa yang sudah diputus
yang berasal dari luar negeri dapat diterapkan di Indonesia terutama Putusanputusan Arbitrase dalam hal Putusan Institusional dan Putusan Ad Hoc sedangkan
putusan pengadilan tidak berlaku. Putusan Institusional merupakan putusan yang
diputuskan oleh institusi yang sifatnya tetap. Sedangka Putusan Ad Hoc merupakan
putusan yang dibuat oleh Majelis Arbitrase untuk sementara dan bila majelis
tersebut sudah memutuskan suatu sengketa maka majelis tersebut dibubarkan
(selesai tugasnya).

3.

Konvensi Paris tentang Merk. Konvensi Paris diberlakukan di Indonesia dengan


Keputusan Presiden. Ada dua Keppres yang memberlakukan Konvensi Paris, yaitu
Keppres Tahun 1979 dan Keppres Tahun 1997. Kedua Keppres tersebut mempunyai
perbedaan yang terletak pada Reservation (pernyataan). Keppres tahun 1979
mempunyai 2 reservation (lebih banyak) sedangkan Keppres tahun 1997 hanya 1
reservation (lebih sedikit).
Mengapa jumlah reservation tersebut berkurang dari dua menjadi satu ?
Alasannya karena cukup dengan satu reservation saja :

a.

Indonesia sudah dianggap maju sehingga dapat membuka diri untuk


melakukan perdagangan internasional.
3

b.

Indonesia sudah mampu mengikuti konvensi Paris dan mampu memberikan


perlindungan terhadap pemilik merek.

Salah satu pasal yang banyak dipedomani adalah pasal 6 bis yang menjelaskan
tentang merek terkenal. Dalam pasal tersebut dijelaskan beberapa hal sebagai
berikut :
a.

Negara-negara yang menjadi peserta konvensi Paris atas permintaan dari


salah satu pihak yang berkepentingan untuk menolak atau mendaftarkan
suatu merek. (Baca putusan tentang merek DAVIDOFF).

b.

Indonesia dapat memakai suatu merek terkenal, tetapi apabila menimbulkan


keraguan dapat melarang atau menolaknya.

Kapan suatu merek dikatakan terkenal di Indonesia ?


Suatu merek dikatakan terkenal apabila sudah dikenal dan diakui oleh negara
Indonesia, dengan syarat hanya untuk barang-barang yang sejenis.

Contoh : DAVIDOFF adalah merek rokok terkenal dari luar negeri yang sudah
dikenal dan diakui di Indonesia. Merek tersebut tidak boleh digunakan
untuk jenis barang yang lain. Misalnya sepeda tidak boleh menggunakan
merek Davidoff, karena merek tersebut hanya untuk rokok.

4.

Konvensi Bern, mengenai Hak Cipta.

KONVENSI NEW YORK

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 34 Tahun 1981


tanggal 5 Agustus 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang telah ditandatangani di New York pada
tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959, disertai suatu
pernyataan sebagai berikut :
DECLARATION

Pursuant to the provision of Article 1 (3) of the Convention, the Government of the
Republic of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of
reciprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the territory
of another Contracting State, and that it will apply the Convention only to
differences arising out of legal relationship, whether contractual or not, which are
considered as commersial under the Indonesian Law.
4

PERNYATAAN

Sesuai dengan ketentuan dari pasal 1 ayat (3) konvensi ini , pemerintah Republik
Indonesia menyatakan bahwa yang bersangkutan akan melaksanakan konvensi ini
atas dasar resiprositas terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan
arbitrase yang dibuat di wilayah negara peserta yang lain dan bahwa yang
bersangkutan akan melaksanakan konvensi hanya terhadap perbedaan-perbedaan
yang timbul dari hubungan-hubungan hukum baik yang berdasarkan kontrak
maupun yang tidak yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum Indonesia.

CONVENTION ON THE RECOGNITION AND


ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS
(1958)
Article 1 (3)
When signing, ratifying or acceding to this Convention, or notifying extension
under article X hereof, any State may on the basis of reciprocity declare that it will
apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in
the territory of another Contracting State. It may also declare that it will apply the
Convention only to differences arising out of legal relationships, whether
contractual or not, which are considered as commercial under the national law of
the State making such declaration.
Dalam pasal 1 ayat (3) tersebut mengatur tentang putusan-putusan yang dapat dilakukan
di luar negeri yang berlaku bagi Indonesia adalah :
1.

Memberlakukan asas resiprositas yaitu bahwa Indonesia hanya mengakui dan


melaksanakan putusan arbitrase dari suatu negara apabila negara tersebut samasama mengikuti Konvensi New York bersama Indonesia.

2.

Sengketa-sengketa yang timbul harus berasal dari hubungan-hubungan hukum


berdasarkan kontrak atau tidak yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum
Indonesia. Dalam hal ini terjadi dua peristiwa yaitu :
a.

Timbulnya hak dan kewajiban kontrak.


Contoh: Mabes TNI mengadakan kontrak dengan PT. PINDAD dalam hal
jual beli senjata dan munisi. Disini terjadi hak dan kewajiban
kontrak dimana Mabes TNI harus membeli senjata dan munisi
kepada PT. PINDAD sedangkan PT. PINDAD harus memenuhi
sesuai pesanan dari Mabes TNI.

b.

Timbulnya hak dan kewajiban yang bukan dari kontrak. Hal ini didasari
oleh pasal 1365 BW yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
5
Contoh : A menabrak B, kemudian B mendapat biaya perawatan dari
A. Dalam hal ini telah terjadi hak dan kewajiban yang bukan
merupakan kontrak karena kejadian tersebut bukan merupakan
suatu hal yang diperjanjikan terlebih dahulu melainkan suatu
musibah.

Article V
1.

Recognition and enforcement of the awards may be refused, at the request


of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the
competent outhority where the recognition and enforcement is sought, proff
that :
(a)

The parties to the agreement referred to in article II were, under the


law applicable to them, under some incapacity, or the said
agreement is not valid under the law to which the parties have
subjected it or, failing any Indication thereon, under the law of the
country where the award was made.

(b)

The party against whom the awards is invoked was not given proper
notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration
proceedings or was otherwise unable to present his case.

Dalam pasal 5 ini dijelaskan sebagai berikut :


1.

Ayat 1 a.

Bahwa pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut dapat ditolak


berdasarkan permohonan dari termohon apabila pihak tersebut dapat menyerahkan
ke pengadilan suatu bukti. Selanjutnya berdasarkan pasal 5 ayat 2b. si termohon
dapat mengajukan keberatan bahwa putusan yang diperoleh dari luar negeri tidak
dapat dilaksanakan di Indonesia karena bertentangan dengan Asas Ketertiban
Umum (Public Policy). Istilah ini diambil dari pasal 1337 BW yang berbunyi,
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Suatu
keputusan bertentangan dengan Asas Ketertiban Umum apabila :
a.

Bertentangan dengan hukum/peraturan-peraturan di Indonesia.


Contoh 1: Suami istri tidak boleh bercerai apabila tidak ada sebab
sebagaimana disebutkan dalam pasal 209 BW.
Berdasarkan 209 BW yang menjadi alasan perceraian adalah :
1)
2)

Zinah.
Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat.
6

3)

Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau


dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah
perkawinan.
Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri
terhadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga
membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga
mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

4)

Contoh 2 : Dalam hal import gula seharusnya dilakukan oleh Bulog. Namun
dalam kenyataannya ada seseorang atas nama pribadi melakukan
import yang sebenarnya bukan kewenangannya. Dengan
demikian perbuatan tersebut termasuk bertentangan dengan asas
ketertiban umum.
b.

Sesuatu yang bertentangan dengan sendi-sendi asasi yang tercantum dalam


hukum Indonesia.
Hal tersebut didasarkan pasal 4 ayat 2 Peraturan MA No.1 Tahun 1990 yang
menyatakan bahwa, Exequator tidak akan diberikan apabila putusan
Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari
seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).

c.

Berdasarkan pasal 66 c yang menyatakan bahwa,Putusan Arbitrase


Internasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan

Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia


terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
2;

Ayat 1 b.
Dalam ayat tersebut dijelaskan mengenai belum diberikannya kesempatan untuk
membela diri bagi si termohon.

Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958.


(Konvensi mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing)
Konvensi tersebut di Indonesia dilaksanakan dalam bentuk :
1.
2.

Penanaman Modal Asing (PMA) berdasarkan UU Nomor : 1 Tahun 1967.


Konvensi New York berdasarkan Keppres Nomor : 34 Tahun 1981.

Mengapa Indonesia ikut Konvensi New York 1958 ? Karena kita telah melakukan
penyimpangan besar terhadap asas superinitas dimana terdapat suatu hal berupa
keputusan yang telah diputuskan di luar negeri sementara tidak boleh secara langsung
dilaksanakan di dalam Negara Republik Indonesia. Apabila putusan tersebut akan
dilaksanakan maka harus diajukan untuk kedua kalinya di Indonesia dengan demikian
7
putusan tersebut baru dapat berlaku. Namun dengan mengikuti Konvensi New York telah
diperolah sesuatu yang baru berupa Putusan Arbitrase dimana suatu perkara yang telah
diputus di luar negeri dapat dieksekusi langsung di Indonesia tanpa adanya pengulangan
kembali untuk kedua kalinya.
Dalam hal perdagangan penyelesaian suatu perkara untuk mendapatkan suatu
putusan lebih banyak ditempuh melalui arbitrase karena :
1;
2.
3.

Prosesnya lebih cepat dan tidak berbelit-belit.


Biaya lebih murah.
Putusan lebih obyektif.

Berdasarkan Konvensi New York dalam pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa Putusan
Arbitrase dibedakan menjadi dua :
1;

Putusan yang datangnya dari Badan Arbitrase, yaitu putusan yang berlaku secara
tetap (hidup terus).

2.

Putusan Arbitrase Ad Hoc, yaitu putusan yang sifatnya hanya sementara.

Dalam suatu perkara hal yang sangat rumit adalah masalah eksekusi sedangkan proses
untuk mendapatkan putusan lebih mudah.
Clausul Arbitrase.
1.
Pilihan Hukum, yaitu apabila dalam suatu kontrak terdapat dua sistem hukum yang
berbeda maka harus ditentukan hukum mana yang berlaku. Dalam hal ini para pihak telah

sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang akan timbul di kemudian hari melalui
arbitrase. Arbitrase dalam pilihan hukum dibedakan menjadi dua.

2.

a.

Arbitrase Intern/Arbitrase Nasional, apabila proses penyelesaian arbitrase


dilaksanakan di dalam negeri. Hal ini diatur dalam pasal 59 s.d. 64 UU
No.30 Tahun 1999.

b.

Arbitrase Ekstern/Arbitrase Internasional, apabila proses penyelesaian


arbitrase dilaksanakan di luar negeri. Hal ini diatur dalam pasal 65 s.d. 69
UU No. 30 Tahun 1999.

Pilihan Forum, yaitu forum apa yang digunakan, apakah melalui pengadilan atau
arbitrase.

Beberapa ketentuan yang mengatur tentang arbitrase.


1.
2.
3.

Konvensi New York 1958 (Lampiran Keppres No. 34 Tahun 1981).


Peraturan MA Nomor : 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing.
UU Nomor : 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif.
8

Khusus mengenai UU No. 30 Tahun 1999 jika dibandingkan dengan Konvensi New York
ternyata sudah memiliki ketentuan yang baru, yaitu :
1.

Berdasarkan pasal 3 yang menyatakan , Pengadilan Negeri tidak berwenang


untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase.Artinya apabila dalam perjanjian tersebut ada Clausul Arbitrase maka
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat. Hal ini berbeda dengan pasal 2 ayat (3) Konvensi New York yang
menyatakan,Apabila negara peserta ada yang tersangkut sengketa maka
pengadilan tidak berwenang untuk mengadili tanpa ada permintaan dari salah
satu pihak yang bersengketa.

2.

Berdasarkan pasal 10 h. dijelaskan bahwa, Suatu perjanjian arbitrase tidak


menjadi batal disebabkan keadaan berakhirnya atau batalnya perjanjian
pokok.Artinya apabila dalam suatu perjanjian terjadi pembatalan isi perjanjian
yang pokok dimana didalamnya terdapat Clausul Arbitrase tidak menjadikan
perjanjian itu batal dan clausul arbitrase tersebut tetap hidup. Dengan demikian
salah satu pihak/lawan dalam perjanjian tersebut dapat menuntut.
Contoh : Indonesia mengadakan perjanjian jual beli senjata dengan Thailand.
Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok dan clausul arbitrase.
Karena sesuatu hal kedua belah pihak sepakat untuk membatalkan
perjanjian tersebut, sehingga isi perjanjian pokok batal. Namun dalam
perjanjian tersebut masih terdapat clausul arbitrasenya yang tidak batal

atau masih tetap berlaku bagi kedua belah pihak, sehingga apabila suatu
saat salah satu pihak menuntut atau menggugat maka pihak tersebut
dapat dibenarkan berdasarkan pasal 10 h.

Alasan Pemerintah RI meratifikasi Konvensi New York 1958.


1.

Berdasarkan UU Penanaman Modal Asing 1967, dinyatakan bahwa para investor


asing dapat menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk dapat menarik investor
asing sebanyak-banyaknya maka Pemerintah Indonesia mau tidak mau harus
meratifikasi Konvensi New York 1958. Apabila Pemerintah Indonesia sudah
meratifikasi konvensi tersebut berarti Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi
New York dan dapat memberlakukan Putusan Arbitrase.

2.

Berdasarkan Konvensi New York setiap Putusan Arbitrase


dilaksanakan di Indonesia.

3.

Berdasarkan asas superinitas suatu putusan pengadilan yang diputus di luar negeri
tidak dapat langsung dilaksanakan kecuali sudah didaftarkan /diproses lagi di
Indonesia
9

dapat langsung

Contoh Putusan Yang Berhubungan Dengan Arbitrase.


PUTUSAN KONTRAK JUAL BELI GULA PASIR
Pengusaha Indonesia melakukan kontrak jual beli gula pasir dengan pengusaha
Inggris. Kontrak tersebut dilakukan melalui perjanjian yang berisikan bahwa gula yang
akan diimport dari Inggris ke Indonesia dilakukan melalui 2 kontrak, yaitu :
1.

Kontrak pertama untuk 300 metrik ton gula pasir dengan nomor kontrak 9458 yang
ditandatangani pada bulan Februari 1982.

2.

Kontrak kedua dengan nomor kontrak 7527 yang ditandatangani pada bulan Maret
1982.

Kedua kontrak tersebut di atas berturut-turut ditandatangani pada bulan Februari


dan Maret1982 yang dinamakan Contrack for White Sugar (kontrak tentang gula pasir).
Yang tertera dalam kontrak tersebut, bahwa penjual gula pasir adalah perusahaan dari
London E.D. & Ferdinand Man Sugar ltd. yang berkantor di London sedangkan pembeli
adalah importir Indonesia bernama Tn. Yani Haryanto yang bertempat tinggal di Jalan
Cendana Jakarta Pusat. Para pihak telah sepakat sebagaimana yang tercantum dalam
Clausul Arbitrase pada kontrak tersebut yang berbunyi bahwa, Segala sengketa yang
timbul dalam pelaksanaan jual beli gula pasir kedua pihak telah sepakat untuk

diselesaiakan oleh The Council of The Refind (Badan/ Asosiasi yang khusus menangani
masalah jual beli gula) yang berkedudukan di London.
Ternyata Tn.Yani Haryanto terhadap kontrak tersebut menolak untuk melaksanakan
perjanjian jual beli gula pasir, sebagai alasan adalah bahwa untuk mengimport gula pasir
dari luar negeri merupakan kewenangan dari Bulog (Badan Urusan Logistik), sedangkan
sebagai pribadi/perorangan tidak dibenarkan untuk mengimport gula pasir tersebut.
Larangan untuk mengimport gula pasir dari luar negeri secara pribadi/perorangan
didasarkan pada Keppres No.43 Tahun 1971 dan No.39 Tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pengadaan gula oleh Bulog. Kedua Keppres
tersebut berisikan larangan jual beli gula secara perorangan.
Pada saat perjanjian ditandatangani, kedua belah tidak mengetahui adanya Keppres
yang melarang import gula secara perorangan. Kedua belah pihak baru mengetahui setelah
menandatangani perjanjian tersebut. Selanjutnya Tn. Yani Haryanto berusaha untuk
membatalkan perjanjian jual beli gula pasir tersebut dan sebaliknya si penjual (eksportir)
di London menuntut ganti rugi akibat dibatalkannya perjanjian, sebesar Rp.146.000.000,Penyelesaian sengketa antara penjual dan pembeli telah dilaksanakan di Pengadilan
Tinggi London yaitu Putusan English Hight Court. Putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi tersebut sebagai putusan yang tidak dapat diterima karena bukan
termasuk dalam kewenangannya (kompetensinya). Dalam sengketa ini yang berwenang
untuk menyelesaikannya adalah Dewan Arbitrase dari Asosiasi gula di London. Oleh
karena itu Pengadilan Tinggi di London memberikan putusan terhadap sengketa tersebut
tidak dapat diterima. Selanjutnya diperintahkan agar sengketa tersebut diajukan sekali
lagi pada Asosiasi yang sama. Karena Tn. Yani Haryanto tidak berhasil di Hight Court
(Pengadilan Tinggi) maka ia mengajukan gugatan di Indonesia yaitu ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk membatalkan perjanjian.
10
Bila dikaitkan dengan pasal 1320 dan 1337 BW maka kontrak jual beli gula
tersebut tidak sah karena bukan suatu sebab yang halal (pasal 1320) dan dilarang oleh
undang-undang (pasal 1337). Bukan suatu sebab yang halal karena kontrak tersebut
dilakukan oleh pribadi/perorangan, sedangkan dilarang oleh undang-undang karena
bertentangan dengan Keppres No. 43 Tahun 1971 dan Keppres No. 39 Tahun 1978.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alasan Tn. Yani Haryanto membatalkan
perjanjian karena bukan suatu sebab yang halal dan bertentangan dengan undang-undang.
Sedangkan alasan eksportir/penjual menuntut ganti rugi karena Tn. Yani Haryanto
wanprestasi/ingkar janji.
Catatan Tambahan :
Dalam suatu putusan dapat berupa sebagai tidak dapat diterima dan ditolak.
Kapan suatu putusan dikatakan sebagai tidak dapat diterima dan ditolak ?
Sebagai tidak dapat diterima apabila suatu perkara/sengketa diajukan bukan kepada
Pengadilan yang berwenang sesuai kompetensinya. Sedangkan ditolak apabila suatu
perkara/sengketa diajukan kepada Pengadilan yang berwenang tetapi isi dari suatu gugatan
tidak benar/bukti-buktinya tidak lengkap.

Exequatur.
Exequatur merupakan penetapan MA untuk menolak atau menerima arbitrase asing. Untuk
dapat menerapkan arbitrase asing harus ada Peraturan Pemerintah (PP). Sebagai contoh
adalah Konvensi New York 1958 dapat diberlakukan di Indonesia berdasarkan Keppres
No.34 Tahun 1981 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan MA No.1 Tahun 1990. Setiap
eksekusi dari putusan arbitrase asing harus mendapat exequatur dari MA. Eksekusi
terhadap putusan arbitrase asing dilakukan setelah putusan tersebut dipelajari oleh
pengadilan yang ditunjuk oleh MA. Selanjutnya MA menentukan bahwa putusan arbitrase
tersebut bisa atau tidak untuk dilaksanakan. Penetapan exequatur dari MA hanya bersifat
formalitas (primafacy) sebagai titel arbitranial dan bukan merupakan penilaian hukum
terhadap isinya.
Choice of Law (Pilihan Hukum).
Dalam suatu kontrak/perjanjian jual beli dengan negara asing dapat dilakukan pilihan
hukum, yaitu hukum dari negara penjual atau hukum dari negara pembeli. Namun dalam
perjanjian tersebut harus ada pembatasan-pembatasan. Choice of law memberikan batasan
sebagai berikut :
1.

Tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) yaitu :


a.
b.

Rem darurat.
Hentikan berlakunya hukum asing.
11

c.
d.

Batasi otonomi pilihan hukum.


Sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat hakim.

Pengertian tidak bertentangan dengan ketertiban umum ada pada pasal 4 ayat (2)
Peraturan MA No.1 Tahun 1990.
2.

Tidak boleh menjelma menjadi :


a.
b.
c.
d.
e.
f.

3.

Penyelundupan hukum.
Perubahan titik pertalian.
Kewarganegaraan.
Domisili.
Letak benda.
Tempat kontrak dilangsungkan (lex loci contractus).

Digunakan dalam kontrak kerja, ketentuan super memaksa.

************

Anda mungkin juga menyukai