(HATAH EKSTERN)
Dosen : Dr. T. Tuegeh Longdong, SH, MH.
Pada zaman dahulu (Hindia-Belanda) dikenal dua macam hukum yang menyangkut
masalah keperdataan, yaitu Hatah Intern dan Hatah Ekstern yang masing-masing pada
sandaran yang berbeda. Hatah Intern yang lebih dikenal dengan Hukum Antar Golongan
berpedoman kepada perbedaan golongan penduduk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
131 IS. Sedangkan Hatah Ekstern atau yang lebih dikenal dengan Hukum Perdata
Internasional (HPI) berpedoman kepada perbedaan kewarganegaraan. Dalam Hatah
Ekstern atau HPI dikenal dua prinsip yang dianut oleh suatu negara. Prinsip-prinsip
tersebut adalah :
1.
Prinsip Nasionalitas.
Mengandung maksud bahwa setiap warganegara
diberlakukan hukum dari negaranya. Prinsip ini dianut oleh Indonesia, sehingga
kemanapun warganegara Indonesia pergi diberlakukan Hukum Indonesia.
2.
Prinsip Domisili. Prinsip ini digunakan oleh Inggris dimana bagi warganegara
Inggris yang berdomisili di luar negeri diberlakukan hukum yang berlaku di negara
tersebut. Sebagai contoh orang Inggris yang berada di Indonesia maka baginya
diberlakukan Hukum Indonesia.
Dalam sejarah hukum dikenal dua sistem hukum, yaitu Sistem Eropa Kontinental
dan Sistem Common Law. Salah satu negara yang menganut Sistem Eropa Kontinental
adalah Indonesia, maka dengan bersandar kepada sistem tersebut berlaku prinsip
nasionalitas. Sedangkan negara yang menganut Sistem Common Law antara lain AS dan
Inggris dalam negara tersebut digunakan prinsip domisili. Namun pada kenyataannya ada
suatu negara yang menggunakan kedua prinsip tersebut. Rusia, merupakan negara yang
menganut dua prinsip dimana bagi warganegaranya yang berada di dalam negeri (Rusia)
diberlakukan baginya prinsip domisili sedangkan apabila ia berada di luar negeri maka
diberlakukan prinsip nasionalitas. Prinsip nasionalitas dalam hal yang berhubungan
dengan peristiwa hukum terjadi dalam hal perkawinan, perjanjian jual beli dsb.
Prinsip nasionalitas dan domisili dalam perkembangannya menimbulkan Renvooi
yaitu penunjukan kembali hukum suatu negara yang menuju kepada hukumnya sendiri.
Contoh : Seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia melangsungkan perkawinan
dengan seseorang yang berkewarganegaraan Inggris yang berdomisili di
Indonesia. Dalam hal ini terjadi penunjukan kembali hukum dimana menurut
Negara Indonesia yang menganut prinsip nasionalitas yang bersangkutan
(warganegara Inggris) diberlakukan Hukum Inggris. Namun menurut Negara
Inggris yang bersangkutan diberlakukan Hukum Indonesia karena Negara
Pada HPI sering muncul persengketaan antara investor asing dengan negera-negara
penerima investor (Hast State). Ada beberapa cara penyelesaian sengketa dalam HPI
menurut beberapa konvensi.
1.
Konvensi Icsid. Bahwa sengketa dalam masalah HPI yang menyangkut investor
asing diselesaikan melalui International Center for Icsid yaitu suatu lembaga atau
badan peradilan yang menangani masalah sengketa dengan investor asing. Tempat
kedudukan Icsid adalah di Washington DC, AS. Masalah sengketa dengan investor
asing diselesaikan di luar negeri melalui Icsid mempunyai dua sisi penilaian.
Penilaian positifnya adalah bahwa lembaga Icsid lebih mengetahui tentang
prosedur dan tata cara penyelesaian sengketa tersebut. Sedangkan penilaian
negatifnya adalah apabila diselesaikan di dalam negeri (Indonesia) dikhawatirkan
putusannya tidak seimbang karena Indonesia belum memiliki lembaga yang
setingkat dengan Icsid.
2.
Konvensi New York (1958). Ada satu prinsip yang dianut oleh Indonesia dari
Konvensi New York yaitu apabila suatu sengketa yang sudah diputuskan di luar
negeri telah sah, tidak berlaku di Indonesia karena melanggar Superinitas
Indonesia. Larangan tentang Superinitas merupakan larangan yang bersifat kurang
baik dalam perdagangan atau pelaku bisnis. Oleh karena itu Indonesia ikut dalam
Konvensi New York 1958 dengan tujuan apabila ada sengketa yang sudah diputus
yang berasal dari luar negeri dapat diterapkan di Indonesia terutama Putusanputusan Arbitrase dalam hal Putusan Institusional dan Putusan Ad Hoc sedangkan
putusan pengadilan tidak berlaku. Putusan Institusional merupakan putusan yang
diputuskan oleh institusi yang sifatnya tetap. Sedangka Putusan Ad Hoc merupakan
putusan yang dibuat oleh Majelis Arbitrase untuk sementara dan bila majelis
tersebut sudah memutuskan suatu sengketa maka majelis tersebut dibubarkan
(selesai tugasnya).
3.
a.
b.
Salah satu pasal yang banyak dipedomani adalah pasal 6 bis yang menjelaskan
tentang merek terkenal. Dalam pasal tersebut dijelaskan beberapa hal sebagai
berikut :
a.
b.
Contoh : DAVIDOFF adalah merek rokok terkenal dari luar negeri yang sudah
dikenal dan diakui di Indonesia. Merek tersebut tidak boleh digunakan
untuk jenis barang yang lain. Misalnya sepeda tidak boleh menggunakan
merek Davidoff, karena merek tersebut hanya untuk rokok.
4.
Pursuant to the provision of Article 1 (3) of the Convention, the Government of the
Republic of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of
reciprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the territory
of another Contracting State, and that it will apply the Convention only to
differences arising out of legal relationship, whether contractual or not, which are
considered as commersial under the Indonesian Law.
4
PERNYATAAN
Sesuai dengan ketentuan dari pasal 1 ayat (3) konvensi ini , pemerintah Republik
Indonesia menyatakan bahwa yang bersangkutan akan melaksanakan konvensi ini
atas dasar resiprositas terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan
arbitrase yang dibuat di wilayah negara peserta yang lain dan bahwa yang
bersangkutan akan melaksanakan konvensi hanya terhadap perbedaan-perbedaan
yang timbul dari hubungan-hubungan hukum baik yang berdasarkan kontrak
maupun yang tidak yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum Indonesia.
2.
b.
Timbulnya hak dan kewajiban yang bukan dari kontrak. Hal ini didasari
oleh pasal 1365 BW yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
5
Contoh : A menabrak B, kemudian B mendapat biaya perawatan dari
A. Dalam hal ini telah terjadi hak dan kewajiban yang bukan
merupakan kontrak karena kejadian tersebut bukan merupakan
suatu hal yang diperjanjikan terlebih dahulu melainkan suatu
musibah.
Article V
1.
(b)
The party against whom the awards is invoked was not given proper
notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration
proceedings or was otherwise unable to present his case.
Ayat 1 a.
Zinah.
Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat.
6
3)
4)
Contoh 2 : Dalam hal import gula seharusnya dilakukan oleh Bulog. Namun
dalam kenyataannya ada seseorang atas nama pribadi melakukan
import yang sebenarnya bukan kewenangannya. Dengan
demikian perbuatan tersebut termasuk bertentangan dengan asas
ketertiban umum.
b.
c.
Ayat 1 b.
Dalam ayat tersebut dijelaskan mengenai belum diberikannya kesempatan untuk
membela diri bagi si termohon.
Mengapa Indonesia ikut Konvensi New York 1958 ? Karena kita telah melakukan
penyimpangan besar terhadap asas superinitas dimana terdapat suatu hal berupa
keputusan yang telah diputuskan di luar negeri sementara tidak boleh secara langsung
dilaksanakan di dalam Negara Republik Indonesia. Apabila putusan tersebut akan
dilaksanakan maka harus diajukan untuk kedua kalinya di Indonesia dengan demikian
7
putusan tersebut baru dapat berlaku. Namun dengan mengikuti Konvensi New York telah
diperolah sesuatu yang baru berupa Putusan Arbitrase dimana suatu perkara yang telah
diputus di luar negeri dapat dieksekusi langsung di Indonesia tanpa adanya pengulangan
kembali untuk kedua kalinya.
Dalam hal perdagangan penyelesaian suatu perkara untuk mendapatkan suatu
putusan lebih banyak ditempuh melalui arbitrase karena :
1;
2.
3.
Berdasarkan Konvensi New York dalam pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa Putusan
Arbitrase dibedakan menjadi dua :
1;
Putusan yang datangnya dari Badan Arbitrase, yaitu putusan yang berlaku secara
tetap (hidup terus).
2.
Dalam suatu perkara hal yang sangat rumit adalah masalah eksekusi sedangkan proses
untuk mendapatkan putusan lebih mudah.
Clausul Arbitrase.
1.
Pilihan Hukum, yaitu apabila dalam suatu kontrak terdapat dua sistem hukum yang
berbeda maka harus ditentukan hukum mana yang berlaku. Dalam hal ini para pihak telah
sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang akan timbul di kemudian hari melalui
arbitrase. Arbitrase dalam pilihan hukum dibedakan menjadi dua.
2.
a.
b.
Pilihan Forum, yaitu forum apa yang digunakan, apakah melalui pengadilan atau
arbitrase.
Khusus mengenai UU No. 30 Tahun 1999 jika dibandingkan dengan Konvensi New York
ternyata sudah memiliki ketentuan yang baru, yaitu :
1.
2.
atau masih tetap berlaku bagi kedua belah pihak, sehingga apabila suatu
saat salah satu pihak menuntut atau menggugat maka pihak tersebut
dapat dibenarkan berdasarkan pasal 10 h.
2.
3.
Berdasarkan asas superinitas suatu putusan pengadilan yang diputus di luar negeri
tidak dapat langsung dilaksanakan kecuali sudah didaftarkan /diproses lagi di
Indonesia
9
dapat langsung
Kontrak pertama untuk 300 metrik ton gula pasir dengan nomor kontrak 9458 yang
ditandatangani pada bulan Februari 1982.
2.
Kontrak kedua dengan nomor kontrak 7527 yang ditandatangani pada bulan Maret
1982.
diselesaiakan oleh The Council of The Refind (Badan/ Asosiasi yang khusus menangani
masalah jual beli gula) yang berkedudukan di London.
Ternyata Tn.Yani Haryanto terhadap kontrak tersebut menolak untuk melaksanakan
perjanjian jual beli gula pasir, sebagai alasan adalah bahwa untuk mengimport gula pasir
dari luar negeri merupakan kewenangan dari Bulog (Badan Urusan Logistik), sedangkan
sebagai pribadi/perorangan tidak dibenarkan untuk mengimport gula pasir tersebut.
Larangan untuk mengimport gula pasir dari luar negeri secara pribadi/perorangan
didasarkan pada Keppres No.43 Tahun 1971 dan No.39 Tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pengadaan gula oleh Bulog. Kedua Keppres
tersebut berisikan larangan jual beli gula secara perorangan.
Pada saat perjanjian ditandatangani, kedua belah tidak mengetahui adanya Keppres
yang melarang import gula secara perorangan. Kedua belah pihak baru mengetahui setelah
menandatangani perjanjian tersebut. Selanjutnya Tn. Yani Haryanto berusaha untuk
membatalkan perjanjian jual beli gula pasir tersebut dan sebaliknya si penjual (eksportir)
di London menuntut ganti rugi akibat dibatalkannya perjanjian, sebesar Rp.146.000.000,Penyelesaian sengketa antara penjual dan pembeli telah dilaksanakan di Pengadilan
Tinggi London yaitu Putusan English Hight Court. Putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi tersebut sebagai putusan yang tidak dapat diterima karena bukan
termasuk dalam kewenangannya (kompetensinya). Dalam sengketa ini yang berwenang
untuk menyelesaikannya adalah Dewan Arbitrase dari Asosiasi gula di London. Oleh
karena itu Pengadilan Tinggi di London memberikan putusan terhadap sengketa tersebut
tidak dapat diterima. Selanjutnya diperintahkan agar sengketa tersebut diajukan sekali
lagi pada Asosiasi yang sama. Karena Tn. Yani Haryanto tidak berhasil di Hight Court
(Pengadilan Tinggi) maka ia mengajukan gugatan di Indonesia yaitu ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk membatalkan perjanjian.
10
Bila dikaitkan dengan pasal 1320 dan 1337 BW maka kontrak jual beli gula
tersebut tidak sah karena bukan suatu sebab yang halal (pasal 1320) dan dilarang oleh
undang-undang (pasal 1337). Bukan suatu sebab yang halal karena kontrak tersebut
dilakukan oleh pribadi/perorangan, sedangkan dilarang oleh undang-undang karena
bertentangan dengan Keppres No. 43 Tahun 1971 dan Keppres No. 39 Tahun 1978.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alasan Tn. Yani Haryanto membatalkan
perjanjian karena bukan suatu sebab yang halal dan bertentangan dengan undang-undang.
Sedangkan alasan eksportir/penjual menuntut ganti rugi karena Tn. Yani Haryanto
wanprestasi/ingkar janji.
Catatan Tambahan :
Dalam suatu putusan dapat berupa sebagai tidak dapat diterima dan ditolak.
Kapan suatu putusan dikatakan sebagai tidak dapat diterima dan ditolak ?
Sebagai tidak dapat diterima apabila suatu perkara/sengketa diajukan bukan kepada
Pengadilan yang berwenang sesuai kompetensinya. Sedangkan ditolak apabila suatu
perkara/sengketa diajukan kepada Pengadilan yang berwenang tetapi isi dari suatu gugatan
tidak benar/bukti-buktinya tidak lengkap.
Exequatur.
Exequatur merupakan penetapan MA untuk menolak atau menerima arbitrase asing. Untuk
dapat menerapkan arbitrase asing harus ada Peraturan Pemerintah (PP). Sebagai contoh
adalah Konvensi New York 1958 dapat diberlakukan di Indonesia berdasarkan Keppres
No.34 Tahun 1981 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan MA No.1 Tahun 1990. Setiap
eksekusi dari putusan arbitrase asing harus mendapat exequatur dari MA. Eksekusi
terhadap putusan arbitrase asing dilakukan setelah putusan tersebut dipelajari oleh
pengadilan yang ditunjuk oleh MA. Selanjutnya MA menentukan bahwa putusan arbitrase
tersebut bisa atau tidak untuk dilaksanakan. Penetapan exequatur dari MA hanya bersifat
formalitas (primafacy) sebagai titel arbitranial dan bukan merupakan penilaian hukum
terhadap isinya.
Choice of Law (Pilihan Hukum).
Dalam suatu kontrak/perjanjian jual beli dengan negara asing dapat dilakukan pilihan
hukum, yaitu hukum dari negara penjual atau hukum dari negara pembeli. Namun dalam
perjanjian tersebut harus ada pembatasan-pembatasan. Choice of law memberikan batasan
sebagai berikut :
1.
Rem darurat.
Hentikan berlakunya hukum asing.
11
c.
d.
Pengertian tidak bertentangan dengan ketertiban umum ada pada pasal 4 ayat (2)
Peraturan MA No.1 Tahun 1990.
2.
3.
Penyelundupan hukum.
Perubahan titik pertalian.
Kewarganegaraan.
Domisili.
Letak benda.
Tempat kontrak dilangsungkan (lex loci contractus).
************