Anda di halaman 1dari 110

Pertanyaan Penelitian

1. Alasan dilakukan penelitian?


Penelitian adalah suatu proses berpikir yang ilmiah, logis, dan terstruktur untuk
mencari jawaban atas suatu masalah yang ada guna kesejahteraan umat manusia.
Penelitian dilakukan karena adanya masalah dalam masyarakat yang merupakan
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Sehingga dengan penelitian diharapkan
dapat menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat.
2. Perbedaan tujuan umum dan tujuan khusus
Terdapat dua pendapat yang menyatakan tujuan umum, pendapat pertama mengatakan
tujuan umum adalah tujuan yang melingkupi semua tujuan penelitian. Pada tujuan
umum peneliti harus memformulasikan sedemikian rupa agar semua tujuan penelitian
terangkum dalam tujuan umum. Pendapat kedua, tujuan umum adalah tujuan yang
lebih luas dari tujuan khusus, tetapi masih logis.
Sedangkan tujuan khusus mengandung hal-hal yang lebih rinci yang ingin dicapai
oleh peneliti dan merupakan uraian yang lebih detil dari tujuan umum serta tujuan
khusus harus konsisten dengan pertanyaan penelitian.
3. Jelaskan hubungan tinjauan pustaka, kerangka teori, dan kerangka konsep
Tinjauan pustaka adalah pengkajian kembali litertur-literatur yang relevan (review of
related literature) dengan penelitian yang sedang dikerjakan. Kerangka teori adalah
hubungan antara konsep berdasarkan studi empiris, sedangkan kerangka konsep
adalah hubungan antara konsep yang dibangun berdasarkan hasil-hasil studi empiris
terdahulu sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Melalui tinjauan pustaka
dapat ditentukan variable yang ingin diteliti, dan sebagai batasan dalam penelitian,
serta mengurangi replikasi yang kurang bermanfaat dengan penelitian sebelumnya.
Selanjutnya dari tinjauan pustaka yang ada diambil variable yang ingin diteliti dan
dituangkan dalam kerangka teori. Kerangka teori lebih kompleks dari kerangka
konsep, karena tidak semua variable dalam kerangka teori diangkat menjadi variable
penelitian. Sehingga melalui kerangka konsep disitu semua variable dalam penelitian
yang akan diteliti.

4. Metode penelitian tentang kross seksional, kasus kontrol retro dan prospektif,
kohort retro dan prospektif, eksperimental kuasi pre dan pos test

Design kros seksional mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran


variable-variablenya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat. Peneliti
mencari hubungan antara variable bebas dan bergantung dengan melakukan
pengukuran sesaat pada satu waktu jadi tidak ada follow up. Kelebihan studi
ini adalah murah, mudah, dan hasilnya cepat. Jarang terancam loss to follow
up, dapat dipakai untuk meneliti banyak variable sekaligus, dapat dipakai
sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. Kekurangannya sulit untuk
menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada satu saat yang bersamaan, dibutuhkan jumlah subyek yang
banyak, tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidens, dan prognosis,

tidak praktis meneliti kasus yang jarang.


Design kasus kontrol merupakan penelitian

epidemiologis

analitik

observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi


kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Design ini dipergunakan
guna mengetahui atau menilai seberapa besar peran faktor risiko dalam
kejadian penyakit. Pada studi kasus kontrol, penelitian dimulai dengan
identifikasi pasien dengan efek atau penyakit tertentu (yang disebut sebagai
kasus) dan kelompok tanpa efek (disebut kontrol) kemudian secara
retrospektif ditelusuri faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa kasus
terkena efek, sedangkan kontrol tidak. Sedangkan pada kasus kontrol
prospektif yang diamati adalah efek dari faktor risiko tersebut diamati

beberapa waktu ke depan.


Design kohort merupakan jenis penelitian epidemiologis noneksperimental
yang sering digunakan untuk mempelajari hubungan antara faktor risiko
dengan efek atau penyakit. Model pendekatan yang digunakan pada rancangan
kohort adalah pendekatan waktu secara longitudinal atau time-period
approach. Pada penelitian kohort kausa atau faktor risiko diidentifikasi lebih
dahulu, kemudian tiap subjek diikuti sampai periode tertentu untuk melihat
terjadinya efek atau penyakit yang diteliti pada kelompok subyek dengan
faktor risiko dan pada kelompok subyek tanpa faktor risiko. Hasil pengamatan
tersebut dianalisis dengan tehnik tertentu, sehingga dapat disimpulkan apakah

terdapat hubungan antara faktor risiko dengan kejadian penyakit atau efek
tertentu yang diselidiki.
5. Apa perbedaan bias recall dengan limitation of recall?
Bias recall adalah sebuah kesalahan sistematik dalam responden mengingat dan
melaporkan faktor risiko/paparan yang telah dia alami. Responden yang mengalami
suatu kondisi kesehatan seperti melahirkan anak yang mengalami down syndrome
akan lebih mengingat ataupun sebaliknya tentang obat-obatan yang dia konsumsi
selama kehamilannya daripada ibu yang melahirkan anak normal.
6. Bagaimana cara memilih uji statistic parametric dan nonparametric?
Jika data terdistribusi normal maka dipilih cara uji statistic parametric dan begitupun
sebaliknya. Statistic parametric menggunakan data interval dan rasio berdasarkan
fakta yang bersifat pasti dan berdasarkan sampel. Data diambil dengan memberi
peluang yang sama atau independen serta tidak bias. Yang dicirikan dengan suatu
populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai varians yang sama. Contoh
metode statistic parametric seperti uji-z, uji t, korelasi pearson, anova. Statistik
nonparametric adalah statistic yang tidak memerlukan pembuatan asumsi tentang
bentuk distribusi atau bebas distribusi, sehingga tidak memerlukan asumsi terhadap
populasi yang akan diuji. Contoh ujinya seperti wilcoxon, spearman, fisher, dan chisquare
7. Apa perbedaan chi square, fisher, KS. Simulasikan di tabel 6x6 dan 6x2 dan
kapan boleh dipakai

Uji chi-square merupakan jenis uji hipotesis yang paling sering digunakan
dalam penelitian klinis. Syaratnya jumlah subyek total > 40 tanpa melihat nilai
expected, yaitu nilai yang dihitung bila hipotesis 0 benar. Jumlah subyek

antara 20 dan 40, dan semua nilai expected pada semua sel > 5.
Uji fisher adalah hipotesis untuk proporsi 2 kelompok dengan jumlah subyek
yang sedikit. Digunakan bila pada tabel 2x2 didapatkan jumlah n total kurang

dari 20, atau bila jumlah n total antara 20-40 da terdapat nilai expected < 5.
Uji kolmogorov smirnov merupakan uji dalam statistics nonparametric yang
digunakan untuk uji dua sampel dari distribusi data yang sama. K-S Test
digunakan untuk menentukan distribusi suatu data sampel. Selain itu, dapat
juga digunakan untuk menguji kenormalan suatu data digunakan dengan cara
3

menstrandarkan sampel kemudian membandingkannya dengan distribusi


normal. Keuntungan K-S Test adalah statistic-nya tidak bergantung pada
fungsi distribusi kumulatif dari sebaran yang akan diuji. Selain itu keuntungan
lainnya terletak pada exact test, yaitu chi square goodness of fit, bergantung
pada suatu ukuran contoh saja. Namun K-S Test juga memiliki kelemahan
yaitu, hanya dapat diaplikasikan untuk distribusi kontinyu dan cenderung
sensitive pada pusat distribusi.

Tinjauan Pustaka
Leptospirosis
Pendahuluan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti
manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. (WHO, 2003).
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus,
anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus.1
Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara
beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup
yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih
binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang
liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi
kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur
dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi
leptospira.2 Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah
L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing
dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. 3
Epidemiologi Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan dan digolongkan sebagai zoonosis. Leptospirosis adalah zoonosis
bakterial berdasarkan penyebabnya, berdasarkan cara penularan merupakan direct
zoonosis karena tidak memerlukan vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai
amfiksenose karena jalur penularan dapa dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman
leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi,
lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan
5

liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar utama adalah roden.
Kuman leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin
saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.2 siklus penularan leptospirosis


Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu :1
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi
pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui
hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air.
2) Sungai atau badan air.
3) Danau.
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.
c. Faktor resiko

Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau


terpajan air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

saat banjir.
Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
Mencuci atau mandi disungai atau danau.
Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
Petani tanpa alas kaki di sawah.
Pembersih selokan.
Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena
menangani ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh
hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain
seperti plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius

saat hewan berkemih.


9) Pekerja tambang.
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus
norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu
murinus (cecurt).
Pencegahan
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan
melalui tiga jalur yang meliputi :1
a. Jalur sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin,
ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman
leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis
hewan yang terinfeksi.
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan
racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator
ronden.
4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air
minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil
pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus,
dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan
tikus.
7

5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput
dan semak berlukar, menjaga sanitasi,
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap
air.
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan
urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk
mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai
percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta,
organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn
menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak
dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau
bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira
berkurang.
c. Jalur pejamu manusia
1) Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok
resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui
aspek penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke
sarana kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.
2) Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara-cara edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen
pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan
mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis,
terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor televon
yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi.
Penatalaksanaan
8

Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis
dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.
Tujuan Pemberian Obat
1. Treatment
a. Leptospirosis ringan

2.

Regimen
Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral

b.Leptospirosis sedang/ berat

Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau


Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
Eritromycin 4 x 500 mg i.v

Kemoprofilaksis

Doksisiklin 200 mg/oral/minggu

Terapi untuk leptospirosis ringan


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa.
Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang
menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum
tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.4
Penatalaksanaan konservatif

Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38C

Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.


Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen,
dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita.
Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis.
Protein diberikan 0,2 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam
amino essensial.

Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.


paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada
minggu pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh
atau setelah terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8
juta unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat

diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian


penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari.

Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan
terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk leptospirosis berat.

Antipiretik

Nutrisi dan cairan.


Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya
menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang
seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang
berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena
kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi
sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase
oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang
justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya,
justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan
yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan
cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana
dapat dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat. Pada penderita
yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara parenteral.
Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.
5

Pemberian antibiotik

Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai
12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin
bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian
terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin,
ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional tersebut di atas,
meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.

Penanganan kegagalan ginjal.


Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis.
Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN
10

dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal
bila ratio <1). Juga dengan melihat perbandingankreatinin urine dan plasma,
renal failire index dll.

Pengobatan terhadap infeksi sekunder.


Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi
sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara
lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi
dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis
terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat
tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada penderita leptospirosis,
sepsis / syok septik mempunyai angka kematian yang tinggi.

Penanganan khusus
1. Hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa
insulin (10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan

keadaan

yang

harus

segera

ditangani

karena

menyebabkan cardiac arrest.


2. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis
(0,3 x KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang
Dapat

terjadi

karena

hiponatremia,

hipokalsemia,

hipertensi

ensefalopati dan uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya,


mempertahankan oksigenasi/sirkulasi darah ke otak, dan pemberian
obat anti konvulsi.
6. Perdarahan transfusi
Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering
mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat.
Perdarahan kadang0-kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis
peritoneal. Untuk menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan
pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat
timbunan bahan-bahan toksik dan akibat trpmbositopati.

11

7. Gagal ginjal akut hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik,


dialisis.6
Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut

Peraturan

1501/MENKES/PER/X/2010,

Menteri
Kejadian

Kesehatan
Luar

Republik

Biasa

adalah

Indonesia

No.

timbulnya

atau

meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara


epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan
yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.7
Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai
berikut: Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim
pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang
melebihi situasi yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan
yang sudah kritis, gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada
wilayah yang lebih luas. 7

Kriteria KLB
Menurut

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1501/MENKES/PER/X/2010, suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB


apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 7
1.

Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada

2.

atau tidak dikenal pada suatu daerah.


Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis

3.

penyakitnya.
Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut

4.

jenis penyakitnya.
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah
per bulan dalam tahun sebelumnya.
12

5.

Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun


menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata

6.

jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.


Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen)
atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit

7.

periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.


Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

13

Penyakit-Penyakit Yang Berpotensi Menjadi KLB


Berdasarkan

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1501/MENKES/PER/X/2010, penyakit menular tertentu yang menimbulkan wabah


adalah: 7
1. Kholera
2. Pes
3. Demam berdarah
4. Campak
5. Polio
6. Difteri
7. Pertusis
8. Rabies
9. Malaria
10. Avian Influenza H5N1
11. Antraks
12. Leptospirosis
13. Hepatitis
14. Influenza H1N1
15. Meningitis
16. Yellow Fever
17. Chikungunya
Penyakit-penyakit berpotensi Wabah/KLB: 7
1)
2)
3)
4)

Penyakit karantina/penyakit wabah penting: kholera, pes, yellow fever.


Penyakit-penyakit berpotensi Wabah/KLB:
Penyakit karantina/penyakit wabah penting: kholera, pes, yellow fever.
Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/
mempunyai memerlukan tindakan segera: DHF, campak, rabies, tetanus

neonatorum, diare, pertusis, poliomyelitis.


5) Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting:
malaria,

frambosia,

influenza,

anthrax,

hepatitis,

typhus

abdominalis, meningitis, keracunan, encephalitis, tetanus.


6) Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB,
tetapi

masuk

program:

kecacingan,

kusta,

tuberkulosa,

syphilis, gonorrhoe, filariasis, dan lain-lain.


Langkah-Langkah Penyelidikan KLB
Penyelidikan KLB mempunyai tujuan utama yaitu mencegah meluasnya
(penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).
Langkah-langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, sebagai berikut: 7
a. Mempersiapkan penelitian lapangan
14

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB


Memastikan diagnosa etiologis
Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat
Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)
Mengidentifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB
Merencanakan penelitian lain yang sistematis
Menetapkan saran cara pengendalian dan penanggulangan
Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan
kepada sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

Persiapan Penelitian Lapangan


Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam
pertama sesudah adanya informasi. Persiapan penelitian lapangan meliputi: 7
a. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
b. Pembuatan rencana kerja
c. Pertemuan dengan pejabat setempat.
Pemastian Diagnosis Penyakit
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan
gejala/tanda penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi
frekuensi gejala klinisnya.
Penetapan KLB7
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang
tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik) pada
populasi yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Adanya KLB juga
ditetapkan apabila memenuhi salah satu dari kriteria KLB. Pada penyakit yang
endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik pola maksimumminimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
Identifikasi kasus atau paparan
Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan
teliti. Hasil perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk mendeskripsikan KLB.
Dasar yang dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis
penyakit. 7
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber
penularan. Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan dengan
mempelajari teori cara penularan penyakit tersebut. Ini penting dilakukan terutama
15

pada penyakit yang cara penularannya tidak jelas (bervariasi). Pada KLB keracunan
makanan identifikasi paparan ini secara awal perlu dilakukan untuk penanggulangan
sementara dengan segera. 7
Deskripsi KLB
a. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu.
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB
berlangsung) digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik
adalah suatu grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat
mulai sakit (onset of illness) selama periode wabah. Penggunaan kurva
epidemik untuk menentukan cara penularan penyakit. Salah satu cara untuk
menentukan cara penularan penyakit pada suatu KLB yaitu dengan melihat
tipe kurva epidemik, sebagai berikut:
a. Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal
dari satu sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus
yang terpapar dalam waktu yang sama dan singkat. Biasanya ditemui
pada penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan
(misalnya: kolera, typoid).
b. Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada
KLB dengan cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat
adanya beberapa puncak. Jarak antara puncak sistematis, kurang lebih
sebesar masa inkubasi rata rata penyakit tersebut.
c. Tipe kurva epidemik campuran antara common source danpropagated.
Tipe kurva ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus
memperoleh paparan suatu sumber secara bersama, kemudian terjadi
karena penyebaran dari orang ke orang (kasus sekunder).
b. Deskripsi kasus berdasarkan tempat
Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk
mendapatkan petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat
tinggal, tempat pekerjaan). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai, maka kasus dapat
dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus),
tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi,
sekolah,

kesamaan

hubungan

(kesamaan

distribusi

air,

makanan),
16

kemungkinan kontak dari orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979;
Friedman, 1980 dalam Maulani, 2010). 7
c. Deskripsi kasus berdasarkan orang
Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber
penularan atau etiologi penyakit. Orang dideskripsikan menurut variabel umur,
jenis kelamin, ras, status kekebalan, status perkawinan, tingkah laku, atau
kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus dengan
variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan
perhatian pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan
umur harus selalu dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi
dan beratnya penyakit. Analisis ini akan berguna untuk membantu pengujian
hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai kunci yang digunakan
untuk menentukan sumber penyakit (MacMahon and Pugh, 1970; Mausner
and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986 dalam Maulani, 2010).
Penanggulangan sementara
Kadang-kadang cara penanggulangan sementara sudah dapat dilakukan atau
diperlukan, sebelum semua tahap penyelidikan dilampaui. Cara penanggulangan ini
dapat lebih spesifik atau berubah sesudah semua langkah penyelidikan KLB
dilaksanakan. 7
Menurut Goodman et al. (1990) dalam Maulani (2010), kecepatan keputusan
cara penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya etiologi penyakit, sumber
dan cara penularannya, sebagai berikut:
a. Jika etiologi telah diketahui, sumber dan cara penularannya dapat dipastikan
maka penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas.
b. Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat
dilakukan penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita
yang diduga kontak, sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari
orang yang kontak dengan penderita (MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
c. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat
dipastikan, maka belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan
penyelidikan yang lebih luas untuk mencari sumber dan cara penularannya.
d. Sebagai contoh: KLB Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan
telah

diketahui

etiologinya

(Salmonella).

Walaupun

demikian

cara

penanggulangan tidap segera ditetapkan sebelum hasil penyelidikan mengenai


sumber dan cara penularan ditemukan. Cara penanggulangan baru dapat
17

ditetapkan sesudah diketahui sumber penularan dengan suatu penelitian kasus


pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani, 2010).
e. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah
diketahui maka penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih
memerlukan penyelidikan yang luas tentang etiologinya.
f. Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui
bahwa sumber penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera
dapat dilakukan dengan mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih
diperlukan untuk mengetahui etiologinya yaitu dengan pemeriksaan
laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai penyebabnya (Etzel et al.,
1987 dalam Maulani, 2010).
g. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka
penanggulangan

tidak

dapat

dilakukan.

Dalam

keadaan

ini

cara

penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah penyelidikan.


h. Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan
baru dapat dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi
dan cara penularan penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam Maulani, 2010).
7

Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB

Identifikasi sumber penularan


Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan membuktikan
adanya agent pada sumber penularan.
Identifikasi keadaan penyebab KLB
Secara umum keadaan penyebab

KLB

adalah

adanya

perubahan

keseimbangan dari agent, penjamu, dan lingkungan.


Perencanaan penelitian lain yang sistematis
Goodman et al (1990) dalam Maulani, 2010 mengatakan bahwa KLB
merupakan kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai
tujuan utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik untuk
melakukan penelitian.Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi
KLB selalu dilakukan:
1) Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui
kemampuannya yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan
informasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistem surveilans.
18

2) Penelitian faktor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang berlangsung.


3) Evaluasi terhadap program kesehatan. 7
Penyusunan Rekomendasi
1) Program Pengendalian
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya
menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit
menular dan penyakit tidak menular.Tahapan tahapan program, yaitu: 7
1) Perencanaan
Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah, penetapan
masalah prioritas, inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan
dokumen perencanaan. Dokumen perencaan harus detail terhadap
target/tujuan yang ingin dicapai, uraian kegiatan dimana, kapan, satuan
setiap kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas
penanggungjawab setiap kegiatan, metode pengukuran keberhasilan.
2) Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan implemantasi dokumen perencanaan,
menggerakan dan mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak
yang terkait.
3) Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan benar-benar
dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.
2) Penanggulangan KLB
Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi:
a. Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk
mengetahui keadaan penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktorfaktor yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, termasuk aspek
sosial dan perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan
dan pengendaian yang efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam
Wuryanto, 2009).
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita
termasuk tindakan karantina. Tujuannya adalah memberikan
pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan
mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan dan
menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi
19

mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial


dapat menularkan penyakit (carrier).
c. Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan
kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko
terkena penyakit agar jangan sampai terjangkit penyakit.
d. Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan terhadap bibit
penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang
mengandung bibit penyakit.
e. Penanganan jenazah akibat wabah
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara
khusus menurut jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan
penyakit pada orang lain.
f. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang
bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan
wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat
melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak
menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar
masyarakat dapat berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.
g. Upaya penanggulangan lainnya
Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus
masing-masing

penyakit

yang

dilakukan

dalam

rangka

penanggulangan wabah.
Penyusunan laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang
berwenang baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada
instansi kesehatan setempat berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian
KLB yang disarankan dapat dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan agar
pengalaman dan hasil penyelidikan epidemiologi dapat dipergunakan untuk
merancang dan menerapkan teknik-teknik sistim surveilans yang lebih baik atau
dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta dapat dipergunakan untuk
penanggulangan atau pengendalian KLB. 7
20

Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit
atau laporan puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat
tinggal penderita, tempat kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan
Epidemiologi dilakukan terhadap:8
a. Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/
kelurahan yang ada kasus Leptospirosis pencarian penderita baru
berdasarkan gejala/tanda klinis setiap hari dari rumah ke rumah.Bila
ditemukan suspek dapat dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml,
kemudian darah tersebut diproses untuk mendapatkan serumnya guna
pemeriksaan serologis di laboratorium. Serum dibawa dari lapangan
dengan menggunakan termos berisi es, setelah sampai di sarana kesehatan
disimpan di freezer 4 C sebelum dikirim ke Bagian Laboratorium
Mikrobiologi RSU Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang
untuk dilakukan pemeriksaan uji MAT (Microscopic Agglutination Test)
untuk mengetahui jenis strainya.
b. Rodent dan hewan lainnya :
Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan
pencarian penderita baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping).
Spesimen serum tikus yang terkumpul di kirim ke BBvet Bogor untuk
diperiksa secara serologis. Pemasangan perangkap dilakukan di dalam
rumah maupun di luar rumah selama minimal 5 hari berturut-turut. Setiap
perangkap (metal live traps) harus diberi label/nomor. Pemasangan
perangkap dengan umpan dipasang pada sore hari dan pengumpulan
perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi sekali. Tikus dibawa ke
laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan organ dengan
member label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke Balai
Besar Veteriner (BBvet) di Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan : 8
a. Diagnosis KLB leptospirosis:

21

Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa


dan Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah,
tempat kerja, dan sebagainya.
b. Peta wilayah berdasarkan faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi
lingkungan, dan sebagainya.
c. Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB. Serta rencana upaya penanggulangannya
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test
(RDT) dengan mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis
RDT diantaranya : 8
a. Lepto Dipstick Assay
RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman Leptospira dalam
serum. Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di 22 negara
termasuk Indonesia, menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%. Metode
relatif praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu 2,5 3 jam.
b. Leptotek Dridot
Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya bisa dilihat
dalam waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi seperti pada
MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan pipet
semiotomatik) pada kartu aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca
setelah 30 detik dan dinyatakan positif bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai
sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% pada serum yang dikumpulkan dalam
waktu 10 hari pertama mulai sakit.
c. Leptotek Lateral Flow
Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL serum atau10 mL
darah, dan 130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit. Leptotek Lateral
Flow cukup cepat, mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru, relatif mudah,
tidak memerlukan almari pendingin untuk menyimpan reagen, namun
memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing bila memakai serum. Alat ini
mempunyai sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut : 8

22

a. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu


dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
b. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa
c. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan
dalam tahun sebelumnya di suatu wilayah desa. Munculnya kesakitan
leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang selama 1 tahun terakhir tidak
ada kasus.

HubunganEpidemiologik9
Penyakitsecaraepidemiologikdipengaruhioleh3faktorpokokyaitufaktor
agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab termasuk jumlah, virulensi,
patogenitas bakteri leptospira, faktor kedua yang berkaitan dengan faktor host
(pejamu/tuanrumah/penderita)termasukdidalamnyakeadaankebersihanperorangan,
keadaangizi,usia,tarafpendidikan,faktorketigayaitulingkungan,yangtermasuk
lingkungan fisik, biologik, sosioekonomi, budaya. Pada kejadian leptospirosis ini
faktor lingkungan sangat berpengaruh seperti adanya genangan air dan sanitasi
lingkunganyangburuk.
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahayakesehatan
masyarakatpadakejadianleptospirosisinimeliputi:lingkunganfisiksepertikondisi
selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah,curah hujan, kondisi jalan
sekitar rumah saat musim penghujan, jarak rumahdengan selokan, kondisi tempat
pengumpulansampah,topografi;lingkunganbiologiksepertipopulasitikusdidalam
dansekitarrumah,keberadaanhewanpiaraansebagaihospesperantara;lingkungan
kimiasepertipHtanah;lingkungansosialsepertiriwayatperansertadalamkegiatan
sosial yangberisiko leptospirosis dan penggunaan alat pelindung diri; lingkungan
ekonomisepertijumlahpendapatandanpekerjaan;lingkunganbudayasepertitidak
memakaialaskakidirumahdanmencuci/mandidisungai.
LingkunganFisik
Karakteristikgenanganair
23

Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah


usiaproduktifdengankarakteristiktempattinggal:merupakandaerah
yang
padat penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang
seringtergenang air maupun lingkungan kumum. Tikus biasanya
kencingdigenanganair.Lewatgenanganairinilahbakterileptospira

akanmasuketubuhmanusia.
Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi
tempatyangdisenangitikus.Kondisisanitasiyangjeleksepertiadanya
kumpulansampahdankehadirantikusmerupakanvariabeldeterminan
kasusleptospirosis.Adanyakumpulansampahdijadikanindikatordari

kehadirantikus.
Curahhujan
Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di
daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan
kelembapantinggi.Leptospirosisberhubungandenganmusimhujan,
dengan meningkatnya kasus dimulai pada bulan agustus dan turun

padabulannovember,puncaknyakasusterjadipadabulanoktober.
Jarakrumahdengantempatpengumpulansampah
Tikussenangberkeliaranditempatsampahuntukmencarimakanan.
Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah
mengakibatkantikusdapatmasukkerumahdankencingdisembarang
tempat.Jarakrumahyangkurangdari500mdaritempatpengumpulan
sampahmenunjukkankasusleptospirosislebihbesardibandingyang

lebihdari500m.
LingkunganBiologik
1. Populasitikusdidalamdansekitarrumah
BakterileptospirakhususnyaspesiesL.ichterrohaemorrhagiebanyak
menyerangtikusbesar.SedangkanL.ballummenyeragtikuskecil.
2. Keberadaanhewanpiaraansebagaihospesperantara
Tikusdananjingmerupakanreservoirpentingdalamleptospiross.Di
sebagan besar negara tropis termasuk negara berkembang
kemungkinan paparan leptospirosiis terbesar pada manusia karena

terinfeksidaribinatangternak,binatangrumahmaupunbinatangliar.
LingkunganKimia
pHtanah
24

Leptospiradapathidupberbulanbulandalamlingkunganyanghangat
(22C)danpHrelatifnetral(pH6,28).Biladiairdanlumpuryang
palingcocokuntukbakterileptospiraadalahdenganpHantara7,07,4
dantemperaturantara28C30C.

LingkunganEkonomi
1. Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian
penyakit leptospirosis. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit
leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong
hewan,pekerjapengontroltikus,tukangsampah,pekerjaselokn,buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yag selalu

kontakdenganbinatang.
LingkunganBudaya
Tidakmemakaialaskakidirumah
Dengantidakmemakaialas kakiakanmengakibatkankemungkinan
masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar.
Bakterileptospiramasuktubuhmelaluiporiporitubuhterutamakulit
kakidantangan.Olehkarenaitudianjurkanbagiparapekerjayang
selalukontakdenganairkotorataulumpursupayamemakaialaskaki
sepertisepatubot.Banyakinfeksileptospirosisterjadikarenaberjalan
diairdankebuntanpaalaskaki.

Mencuci/mandidisungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung
denganbakterileptospiramelaluiporiporikulityangmenjadilunak
karenaterkenaair,selaputlendir,kulitkaki,tangandantubuhyang
lecet.Kegiatanmencucidanmandidisungaiataudanauakanberesiko
terpaparbakterileptospirakarenakemungkinanterjadikontakdengan
urinbinatangyangmengandungleptospiraakanlebihbesar.

Pencarian Kasus10
Data-data

tentang

kasus

Leptospirosis

selama

ini

masih

sangat

menggantungkan pada laporan RS karena biasanya kasus diketahui berdasarkan


informasi dari RS yang merawat (hospital base surveillance).
25

Dari data RS tersebut, PE akan menuju tempat kejadian untuk mengetahui


faktor risiko atau mengetahui faktor risiko atau mengetahui riwayat kontak, serta
mencari kemungkinan adanya penderita baru di sekitar kasus.
Laporan kasus dari masyarakat akan dapat ditangkap oleh puskesmas (health
centre base surveillance), yaitu melalui penderita rawat jalan dengan gejala panas,
ikterik, mual/muntah, mata kemerahan, serta nyeri betis/pinggang dijaring melalui
rapid test diagnostic untuk segera dilakukan tindakan.
Sistem pencatatan dapat dilengkapi dengan form lepto 1 meliputi: nama, umur,
alamat, tanggal sakit, hasil pemeriksaan laboratorium, pekerjaan dan keteranganketerangan lain yang mendukung riwayat kejadian sakit.
Untuk rekapitulasi bulanan dapat dimasukan dalam form lepto 2 meliputi:
rekapitulasi berdasarkan lokasi kejadian perbulan meliputi puskesmas, kasus,
laboratorium positif, serta kasus meninggal.
Surveilans Epidemiologi (SE) Leptospirosis10
Sistem surveilans yang dilakukan terhadap manusia juga sebagai alat SKD
untuk daerah endemis leptospirosis: daerah banjir, daerah pasang surut, persawahan,
rawa, dll yang berupa:

Daerah rawan banjir berupa surveilans aktif maupun pasif


Penampungan pengungsi berupa surveilans aktif maupun pasif
Daerah persawahan/pertambangan berupa surveilans pasif
Daerah rawa/tanah gambut berupa surveilans pasif
Surveilans aktif: dilakukan dengan mencari penderita/tersangka dengan gejala:

panas, ikterik, mual/muntah, mata kemerahan serta nyeri betis/pinggang. Surveilans


pasif dilakukan melalui puskesmas, BP, pustu, pusling, dan RS, pada penderita dengan
gejala leptospirosis yang diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan serologis.
Isi Penyuluhan11

Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Leptospira yang
pathogen.Gejala leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti
influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan
demam virus lainnya.

Penularan Penyakit Leptospirosis


Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi
banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahanlingkungan seperti
26

banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek,berlumpur, serta banyak


timbunan sampah yang

menyebabkan

mudahnya

bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir


kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka,
selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan
sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami
dan

memiliki

daya reproduksi tinggi.

Beberapa

hewan

lain

sepertisapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis,


tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.Penularan
leptospirosis dapat secara langsung maupun tidak langsung.
1) Penularan langsung
Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman

leptospira masuk kedalam tubuh


Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan.
Terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ
tubuh

hewan

misalnya

pekerja

pemotong

hewan

atau

seseorang yang tertular dari hewan peliharaan


Dari manusia ke manusia meskipun jarang. Dapat terjadi melalui
hubungan sexual pada masa konvalensi atau dari ibu penderita

leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.


2) Penularan tidak langsung
Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air, dan
lumpur yang tercemar urin hewan.

Tanda Dan Gejala


a.

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremikkarena


bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar
jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu
selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot.
Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah,
nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis),
serta pembesaranlimpa dan hati.
b.

Fase Imun

27

Fase

Imun

sering

disebut fase

kedua atau leptospirurik karena

sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin
tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini
terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeks. Gejala
tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau
ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi,
kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hatididapatkan jaundis,
pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paruparu berupa

batuk,

batuk

Gangguan hematologi berupa

darah,

peradarahan

dan
dan

sulit
pembesaran

bernapas.
limpa

(splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis.


Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase
imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul
jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar
(konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan
Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan
ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen
pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen
penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen
pada L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan
sistem

pencernaan.

Sedangkam L.

pomonaatau L.

canicola sering

menyebabkan radang selaput otak (meningitis).


c.

Sindrom Weil

Sindrom

Weil adalah

bentuk

Leptospirosis

berat

ditandai

jaundis,

disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan.


Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi
bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan
dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada,
batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya
jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih
mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat
28

dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40


persen yang akan meningkat pada lanjut usia.

Pencegahan
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga
manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup
sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis
tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu
membersihkan

diri

dengan antiseptik setelah

kontak

dengan

hewan

kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.


Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami
penyakit ini.Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan
Leptospirosis. Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan
ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber
khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.
Kader Kesehatan12
Kader kesehatan adalah adalah seseorang yang mau dan mampu melaksanakan
upaya-upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di bawah pembinaan
petugas kesehatan yang dilakukan atas kesadaran diri sendiri dan tanpa pamrih
apapun.Tujuan kader kesehatan adalah:
1) Tujuan umum
Melalui peran kader kesehatan secara optimal diharapkan dapat meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya.
2) Tujuan khusus
Terselenggaranya upaya promotif dan preventif terhadap masalah-masalah
kesehatan oleh masyarakat sendiri. Terdeteksinya masalah-masalah kesehatan
secara dini yang ada di wilayah dengan adanya kader yang berilmu
pengetahuan dan aktif.Masyarakat mampu mengambil inisiatif untuk
menyelesaikan masalah-masalah kesehatan diwilayahnya secara mandiri.
Memudahkan koordinasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat (kader)
untuk melaksanakan upaya-upaya kesehatan masyarakat
Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang mau dan mampu
menyelenggarakan upaya-upaya kesehatan yang berbasis masyarakat, yang dilakukan
29

secara sukarela, berdasarkan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, dan dibawah
pengawasan dan pembinaan petugas kesehatan setempat.Saat ini pada umumnya
kader kesehatan ada beberapa kelompok, misalnya:

1. Kader Posyandu Balita


Kader yang bertugas di pos pelayanan terpadu (posyandu) dengan kegiatan
rutin setiap bulannya melakukan pendaftaran, pencatatan, penimbangan bayi
dan balita.
2. Kader Posyandu Lansia
Kader yang bertugas di posyandu lanjut usia (lansia) dengan kegiatan rutin
setiap bulannya membantu petugas kesehatan saat pemeriksaan kesehatan
pasien lansia.
3. Kader Gizi
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan pendataan,
penimbangan bayi dan balita yang mengalami gangguan gizi (malnutrisi).
4. Kader Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kader KPKIA
Kader yang bertugas membantu bidan puskesmas melakukan pendataan,
pemeriksaan ibu hami dan anak-anak yang mengalami gangguan kesehatan
(penyakit).
5. Kader Keluarga Berencana (KB)
Kader yang bertugas membantu

petugas KB melakukan pendataan,

pelaksanaan pelayanan KB kepada pasangan usia subur di lingkungan tempat


tinggalnya
6. Kader Juru Pengamatan Jentik (Jumantik)
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan pendataan dan
pemeriksaan jentik nyamuk di rumah penduduk sekitar wilayah kerja
puskesmas
7. Kader Upaya Kesehatan Kerja (UKK)
Kader yang membantu petugas puskesmas melakukan pendataan dan
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja di lingkungan pos tempat kerjanya
8. Kader Promosi Kesehatan (Promkes) / Kader PHBS
Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan penyuluhan
kesehatan secara perorangan maupun dalam kelompok masyarakat
30

9. Kader Upaya Kesehatan Sekolah (UKS)


Kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan penjaringan
dan pemeriksaan kesehatan anak-anak usia sekolah pada pos pelayanan UKS.
Peran Petugas Kesehatan terhadap Kader Kesehatan adalah pendamping dan
pengarah dalam pelayanan, penghubung masyarakat pada memberi pelayanan,
menjadi contoh dan motivator dalam kegiatan, menjaga kelangsungan kegiatan,
melaksanakan pembinaan dan pelatihan rutin terhadap kader kesehatan, melaksanakan
koordinasi antara kader kesehatan dan tenaga kesehatan, melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan kegiatan kader kesehatan, melaksanakan evaluasi kegiatan
bersama kader kesehatan
Karena peran yang sangat krusial ini, para kader kesehatan dapat dikatakan
sebagai pelopor/ pelaku pembangunan masyarakat. Sebagai pelopor atau pelaku
pembangunan masyarakat di desanya, berarti Kader telah ikut serta dalam
pembangunan. Namun semua ini bisa terjadi jikalau kader kesehatan mempunyai
sikap yang baik kepada masyarakatnya
Pembentukan Kader13
Mekanisme pembentukan kader membutuhkan kerjasama tim. Hal ini
disebabkan karena kader yang akan dibentuk terlebih dahulu harus diberikan pelatihan
kader. Pelatihan kader ini diberikan kepada para calon kader didesa yang telah
ditetapkan. Sebelumnya telah dilaksanakan kegiatan persiapan tingkat desa berupa
pertemuan desa, pengamatan dan adanya keputusan bersama untuk terlaksanakan
acara tersebut. Calon kader berdasarkan kemampuan dan kemauan berjumlah 4-5
orang untuk tiap posyandu. Persiapan dari pelatihan kader ini adalah:
1. Calon kader yang kan dilatih.
2. Waktu pelatihan sesuai kesepakatan bersama.
3. Tempat pelatihan yang bersih, terang, segar dan cukup luas.
4. Adanya perlengkapan yang memadai.
5. Pendanaan yang cukup.
6. Adanya tempat praktik (lahan praktik bagi kader).
Tim pelatihan kader melibatkan dari beberapa sektor. Camat otomatis
bertanggung jawab terhadap pelatihan ini, namun secara teknis oleh kepala
puskesmas. Pelaksanaan harian pelatihan ini adalah staf puskesmas yang mampu
melaksanakan. Adapun pelatihannya adalah tanaga kesehatan, petugas KB (PLKB),
pertanian, agama, pkk, dan sector lain.
31

Waktu pelatihan ini membutuhkan 32 jam atau disesuaikan. Metode yang


digunakan adalah ceramah, diskusi, simulasi, demonstrasi, pemainan peran,
penugasan, dan praktik lapangan. Jenis materi yang disampaikan adalah:
1. Pengantar tentang posyandu.
2. Persiapan posyandu.
3. Kesehatan ibu dan anak.
4. Keluarga berencana.
5. UKK/UKS
6. Penanggulangan penyakit menular
7. Penangulangan diare.
8. Pencatatan dan pelaporan.
9. Persyaratan Menjadi Kader
Bahwa pembangunan dibidang kesehatan dapat dipengaruhi dari keaktifan
masyarakat dan pemuka-pemukanya termasuk kader, maka pemilihan calon kader
yang akan dilatih perlu mendapat perhatian.Secara disadari bahwa memilih kader
yang merupakan pilihan masyarakat dan memdapat dukungan dari kepala desa
setempat kadang-kadang tidak gampang. Namun bagaimanapun proses pemilihan
kader ini hendaknya melalui musyawarah dengan masyarakat, sudah barang tentu
para pamong desa harus juga mendukung.
Evaluasi Program13
Berkaitan dengan penanggulangan penyakit menular, maka Dinas Kesehatan
bertugas mengembangkan segala potensi yang ada untuk menjalin kemitraan dan
kerja sama semua pihak yang terkait serta memfasilitasi Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota dalam pelaksanaan manajemen program yang meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
Selain itu dalam mengatasi hambatan yang dihadapi dan dengan menyesuaikan
tugas pokok dan fungsi serta uraian kegiatan program P2M, maka strategi operasional
yang dilakukan dalam penanggulangan pemberantasan penyakit menular diantaranya
melalui :
1) Pemantapan kelembagaan unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta dalam penanggulangan penyakit menular dengan strategi DOTS;
2) Peningkatan mutu pelayanan di semua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta;
32

3) Penggalangan kemitraan dengan organisasi profesi, lintas sektoral, Lembaga


Swadaya Masyarakat (LSM), institusi pendidikan, dan lain-lain;
4) Pemberdayaan masyarakat dalam rangka mendorong kemandiriannya untuk
mengatasi masalah TBC;
5) Penelitian dan pengembangan melalui penelitian lapangan atau kerja sama dengan
institusi pendidikan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain dalam upaya
penanggulangan penyakit menular.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan program P2M di Dinas Kesehatan
Propinsi adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Meningkatkan upaya penemuan penderita di RS;


Meningkatkan peran PKD dalam penemuan tersangka penderita;
Meningkatkan upaya penemuan penderita melalui pesantren;
Meningkatkan penemuan penderita di tempat kerja;
Meningkatkan peran Lapas dalam penemuan penderita; Meningkatkan peran serta

PKK, Muhammadiyah/ Aisyiah/ Fatayat/ NU dan


6. Meningkatkan petugas PTO dan pengelola Program TBC.

33

AlgoritmaResponKLB14

YA

IKTERUS

TIDAK

DD/ - Leptospirosis Ringan


ptospirosis Berat
- Viral hemoraghic fever (dengue,
patitis
chikungunya, hantaan)
alaria (berat)
Faktor
Risiko (lingkungan,
pekerjaan,
olahraga/aktivitas lain, riwayat
siko (lingkungan, pekerjaan, olahraga/aktivitas
lain, riwayat
bepergian)
Daerah endemis leptospirosis
ndemis leptospirosis

LAPOR KE DINKES KAB/KOTA dan BERIKAN TATA LAKSANA KASUS DI PUSKESMAS

RUJUK KE RUMAH SAKIT


Ambil Spesimen Darah:
Pemeriksaan Lab Rutin
Pemeriksaan Serologi dengan Leptotek / Dridot
Pemeriksaan Lab Rutin
Pemeriksaan Kimia Klinis
Pemeriksaan Serologi dengan Leptotek / Dridot
KASUS PROBABLE LEPTOSPIROSIS
KIRIM SAMPEL KE BALITVET BOGOR
MAT (PAIR SERA) dan ISOLASI (+) LEPTOSPIRA

KASUS KONFIRMASI LEPTOSPIROSIS

34

Daftar pustaka
1. Saroso, S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
2. Mansjoer, A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media
Aesculapius, FKUI. Jakarta.
3. Arjatmo, T & Utama, H. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
4. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with
leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo.
2000.42(6):327-32.
5. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure;
(Brenners & Rectors) ed WB Saunders. 2001: 465-83
6. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars
of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals
of Semarang. Konas PETRI, 2002.
7. Bimantara AP, Yudha EB, Kusuma SA, et al. Kejadian luar biasa dan langkahlangkah penyelidikan klb. Jurnal kesehatan masyarakat fakultas kedokteran
dan ilmu-ilmu kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2014.
8. Penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa penyakit menular dan
keracunan pangan. Pedoman epidemiologi penyakit. Edisi Revisi 2011.h.105111.
9. Epidemiologi leptospirosis. Diakses pada tanggal 11 Juni 2016 pada:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-sitinurcha-6633-3babii.pdf
10. Handout Surveilans Epidemiologi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeritas
Ahmad

Dahlan.

Diakses

pada

tanggal

11

Juni

2016

pada:

http://fkm.uad.ac.id/unduhan/Surveilans
%20Epidemiologi_sem5.pdfpnyuluhan
11. Rosita I. Peran kader kesehatan menuju indonesia sehat 2015. Diunggah pada
tanggal 14 Januari 2012. Diakses pada tanggal 12 Juni 2016 pada:
https://iinrosita.wordpress.com/2012/01/14/peran-kader-kesehatan/.
12. Hasanbasri M. Partisipasi masyarakat terhadap praktik kebidanan komunitas,
Studi kasus desa timbulharjo kecamatan sewon bantuk KMPK UGM. Working
paper series no.4, Yogyakarta: Januari 2008.
13. Alfa D. Evaluasi program pemberantasan penyakit menular (p2m). Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2006.
35

14. Nasir M. Algoritma diagnosis penyakit dan respons. Subdit Surveilans dan
Respon KLB, Ditjen PP dan PL. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2010.
15. Kusmiyati, Susan M, Supar. Leptospirosis pada hewan dan manusia di
Indonesia. Balai penelitian veteriner. Bogor: 2004.

Tinjauan Pustaka
Demam Berdarah Dengue

Epidemiologi

36

Epidemik dari Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia sejak ditemukan
pada tahun 1968. Epidemiologi DBD di indonesia telah berubah dengan
meningkatnya jumlah kasus dari seluruh tiga puluh tiga propinsi. Epidemik dengue
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor biologi, dan demografi.
Insidens dengue berhubungan dengan cuaca yang hangat dan kelembaban tinggi.
Suhu yang tinggi dapat merangsang perkembangbiakan vektor dan perilaku nyamuk
menggigit. Pergeseran kelompok umur, penyebaran ke pedesaan, faktor penentu sosial
dan biologi dari ras dan jenis kelamin yang rentan berpengaruh terhadap pelayanan
kesehatan. Pola peningkatan kasus infeksi dengue den-3 secara epidemiologi
berhubungan dengan musim hujan karena penampungan air hujan akan menjadi
tempat perkembangbiakan nyamuk.1
Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa negara tropis. Di Asia,
virus Dengue endemis di China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand,
Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura.
Negara dengan endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan
dan sebagian besar negara Pasifik. Virus Dengue sejak tahun 1981 ditemukan di
Quesland, Australia Utara. Serotipe Dengue 1,2,3, dan 4 endemis di Afrika. Di pantai
Timur Afrika terdapat mulai dari Mozambik sampai ke Etiopia dan di kepulauan lepas
pantai seperti Seychelles dan Komoro. Saudi Arabia pernah melaporkan kasus yang
diduga DBD. Di Amerika, ke-4 serotipe virus dengue menyebar di Karibia, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan hingga Texas (1977-1997). Tahun 1990 terjadi KLB di
Meksiko, Karibia, Amerika Tengah, Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru, Venezuela,
Guyana, Suriname, Brazil, Paraguai dan Argentina.2
Langkah awal yang dilakukan jika menerima laporan demam berdarah (DBD)2
1. Setelah menemukan/menerima laporan adanya penderita DBD, petugas
Puskesmas/ Koordinator DBD segera mencatat dalam Buku catatan Harian
Penderita DBD.
2. Menyiapkan peralatan survei, seperti: tensimeter, termometer, senter, formulir
PE (penyelidikan epideiologi), dan surat tugas.
3. Memberitahukan kepada Kades/Lurah dan Ketua RW/RT setempat bahwa di
wilayahnya ada penderita DBD dan akan dilaksanakan PE.
4. Masyarakat di lokasi tempat tinggal penderita membantu kelancaran
pelaksanaan PE.
5. Pelaksanaan PE sebagai berikut
37

Petugas Puskesmas memperkenalkan diri dan selanjutnya melakukan


wawancara dengan keluarga, untuk mengetahui ada tidaknya penderita
DBD lainnya (sudah ada konfirmasi dari rumah sakit atau unit pelayanan
kesehatan lainnya), dan penderita demam saat itu dalam kurun waktu 1

minggu sebelumnya.
Bila ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas, dilakukan

pemeriksaan kulit (petekie), dan uji torniquet.


Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) dan
tempat-tempat lain yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti baik di dalam maupun di luar rumah/bangunan.


Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter dari lokasi tempat

tinggal penderita.
Bila penderita adalah siswa sekolah dan pekerja, maka selain dilakukan
di rumah PE juga dilakukan di sekolah/tempat kerja penderita oleh

puskesmas setempat.
Hasil pemeriksaan adanya penderita DBD lainnya dan hasil pemeriksaan
terhadap penderita demam (tersangka DBD) dan pemeriksaan jentik

dicatat dalam formulir PE.


Hasil PE segera dilaporkan

kepada

kepala

Dinas

Kesehatan

Kabupaten/Kota, untuk tindak lanjut lapangan dikoordinasikan dengan

Kades/Lura
Bila hasil PE positif (Ditemukan 1 atau lebih penderita DBD lainnya
dan/atau 3 orang tersangka DBD, dan ditemukan jentik (5%), 82
dilakukan penanggulangan fokus (Fogging, Penyuluhan, PSN dan
Larvasidasi selektif), sedangkan bila negatif dilakukan Penyuluhan, PSN
dan larvasidasi selektif.

Sumber Penularan2
Penyakit demam berdarah dengue umumnya ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti (meskipun juga dapat ditularkan oleh Aedes albopictus yang
hidup di kebun). Nyamuk ini mendapat virus dengue pada waktu mengisap darah
penderita penyakit demam berdarah dengue atau orang tanpa gejala sakit yang
membawa virus itu dalam darahnya (carier). Virus dengue memperbanyak diri dan
menyebar keseluruh tubuh nyamuk, termasuk ke kelenjar liurnya. Jika nyamuk ini
menggigit orang lain, maka virus dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk.
Dalam waktu kurang dari 7 hari orang tersebut menderita sakit demam berdarah
38

dengue. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan akan berada
dalam darah selama 1 minggu. Orang yang kemasukan virus dengue tidak semuanya
akan sakit demam berdarah dengue. Ada yang demam ringan yang akan sembuh
dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi
semuanya merupakan pembawa virus dengue selama 1 minggu, sehingga dapat
menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya.
seluruh wilayah mempunyai risiko untuk kejangkitan penyakit demam berdarah
dengue, namun tempat yang potensial bagi penyebaran penyakit adalah desa rawan
dan tempat umum.
Mencegah penyebaran
Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di daerah perkotaan lebih
intensif dari pada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk
yang tinggi didaerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat
berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah Dengue (Aedes
Aegypti) menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada
disekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak lebih dari 100
meter). Selain itu mobilitas penduduk dikota pada umumnya. jauh lebih tinggi
dibandingkan di pedesaan.3
Pemastian KLB
Pada unit pelayanan kesehatan dengan sistem informasi yang berjalan baik dan
jumlah kasus DBD dapat dideteksi sesuai dengan wilayah administratif seperti desa
atau kelurahan, maka peningkatan kasus pada setiap wilayah dapat dijadikan
peringatan dini sebelum terjadi KLB. Untuk memastikan bahwa peningkatan kasus
adalah KLB atau bukan KLB, dapat dilakukan analisis pola minimum-maksimum
kasus DBD bulanan maupun mingguan dengan pembanding kasus DBD pada tahuntahun sebelumnya. Selain dengan menetapkan pola maksimum-minimum, pada
daerah desa atau kelurahan sebaiknya ditetapkan telah berjangkit KLB DBD apabila
memenuhi satu kriteria sebagai berikut:4
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
39

3. Peningkatan kejadian/kematian 2 kali dibandingkan dengan periode


sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan 2 kali bila
dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukan kenaikan 2 kali
dibandingkan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
6. CFR suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menununjukan
kenaikan 50% atau lebih di banding CFR periode sebelumnya.
7. Proposional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukan
kenaikan 2 kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun
sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus: kolera, DHF/DSS daerah endemis (setiap
peningkatan kasus dari periode sebelumnya) dan terdapat satu/lebih penderita
baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan
bebas dari penyakit tersebut.
Langkah-langkah pelaksanaan penanggulangan KLB2
Bila terjadi KLB/wabah, dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus dengan
interval 1 minggu), PSN DBD , larvasidasi, penyuluhan di seluruh wilayah terjangkit,
dan kegiatan penanggulangan lainnya yang diperlukan, seperti: pembentukan posko
pengobatan dan posko penangggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan
pemeriksaan spesimen serta peningkatan kegiatan surveilans kasus dan vektor, dan
lain-lain.
a. Pengobatan dan Perawatan Penderita Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat
dirawat puskesmas yang mempunyai fasilitas perawatan, sedangkan DBD
derajat 3 dan 4 harus segera dirujuk ke Rumah Sakit.
b. Pemberantasan Vektor
Penyemprotan insektisida (pengasapan / pengabutan) dengan pelaksananya
yaitu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas, dan tenaga lain
yang telah dilatih. Lokasi penyemprotan meliputi seluruh wilayah
terjangkit yang menjadi sasaran yaitu rumah dan tempat-tempat umum,
alat yang digunakan yakni hot fogger/mesin pengabut atau ULV.

Fogging/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu minggu.


Pemberantasan sarang jentik/nyamuk demam berdarah dengue (PSN
DBD) dengan pelaksana oleh masyarakat di lingkungan masing-masing.
Lokasi meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya yang
40

merupakan satu kesatuan epidemiologis. Sasarannya adalah semua tempat


potensial bagi perindukkan nyamuk, tempat penampungan air, barang
bekas (botol aqua, pecahan gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang
pagar/pelepah pisang, tempat minum burung, alas pot, dispenser, tempat
penampungan air di bawah kulkas, dibelakang kulkas dsb, di
rumah/bangunan dan tempat umum. Kegiatan ini dilakukan dengan cara
melakukan kegiatan 3 M plus terdiri dari menguras dan menyikat tempat
penampungan air, menutup tempat penampungan air, memanfaatkan atau
mendaur ulang barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air,
menaburkan bubuk larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menanam
pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia, lavender, geranium), memakai obat
anti nyamuk(semprot, bakar maupun oles), menggunakan kelambu, pasang

kawat kasa, dll.


Larvasidasi dilaksanakan dengan pelaksananya adalah tenaga dari
masyarakat dengan bimbingan petugas puskesmas atau dinas kesehatan
kabupaten atau kota, lokasi meliputi seluruh wilayah terjangkit atau
wilayah KLB, sasarannya adalah tempat Penampungan Air (TPA) di

rumah dan Tempat-Tempat Umum.


c. Penyuluhan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama
Puskesmas.
Upaya Pemberantasan penyakit demam berdarah
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Mencegah dengan melakukan PSN


Penemuan, pertolongan, dan pelaporan
Penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit
Penanggulangan seperlunya
Penanggulangan lain
Penyuluhan

Pencarian Kasus Demam Berdarah


Penemuan penderita
o Penemuan penderita secara aktif dilakukan pada saat penyelidikan
epidemiologi (PE) dengan mencari penderita DBD lainnya.
o Penemuan penderita secara pasif dilakukan oleh puskesmas atau unit
pelayanan kesehatan lainnya.
Tahapan penemuan penderita2
41

a. Keluarga yang anggotanya menunjukkan gejala penyakit demam berdarah


dengue memberikan pertolongan pertama (memberi minum banyak, kompres
dingin dan dan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat) dan
dianjurkan segera memeriksakan kepada dokter atau unit pelayanan kesehatan.
b. Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan, penentuan diagnosa dan
pengobatan/perawatan sesuai dengan keadaan penderita dan wajib melaporkan
kepada puskesmas.
c. Kepala keluarga diwajibkan segera melaporkan kepada lurah/kepala desa
melalui kader, ketua RT/RW, Ketua Lingkungan/Kepala Dusun.
d. Kepala asrama, ketua RT/RW, Ketua Lingkungan, Kepala Dusun yang
mengetahui adanya penderita/tersangka diwajibkan untuk melaporkan kepada
Puskesmas atau melalui lurah/kepala desa.
e. Lurah/Kepala Desa yang menerima laporan, segera meneruskannya kepada
puskesmas.
f. Puskesmas yang

menerima

laporan

wajib

melakukan

penyelidikan

epidemiologi dan pengamatan penyakit..

Angka Kesakitan/Insiden Rate (IR)


IR adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan kejadian (baru) penyakit populasi. IR
merupakan proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit dan jumlah orang
dalam risiko x lamanya ia dalam risiko.2
IR = Jumlah kasus baru penyakit X 100% Juml orang yang berisiko
Angka Kematian/Cured Fatality Rate (CFR)
CFR adalah angka kematian yang diakibatkan dari suatu penyakit dalam suatu waktu
tertentu dikalikan 100%.2
CFR = Jumlah kematian Jumlah kasus X 100%
Attack Rate
Ukuran epidemiologi pada waktu terjadi KLB, untuk menghitung kasus pada populasi
berisiko di wilayah dan waktu tertentu.2
AR = Jumlah kasus Jumlah populasi berisiko pada waktu tertentu
Mekanisme pelaporan2
a. Pelaporan dari Puskesmas
1. Setiap puskesmas melaporkan kasus suspek infeksi Dengue ke dinas
kesehatan kabupaten/kota. Puskesmas juga wajib melaporkan kasus infeksi
42

dengue (DD, DBD dan SSD) yang dapat didiagnosis di puskesmas dalam
waktu 24 jam menggunakan form KD-PKM DBD
2. Puskesmas dapat merujuk kasus (suspek infeksi dengue, DD, DBD dan
SSD) yang tidak dapat ditangani di puskesmas.
b. Pelaporan dari RS
1. Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan kasus infeksi dengue
(DD, DBD, SSD) wajib segera melaporkan ke dinas kesehatan
kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya dalam 24 jam dengan
tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita (KD-RS).
Laporan tersebut merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan
penanggulangannya.
2. Pelaporan kasus mingguan dan bulanan merupakan laporan rekapitulasi
kasus (suspek infeksi dengue DD, DBD dan SSD) yang dilaporkan setiap
minggunya atau bulannya dari puskesmas dan rumah sakit dengan
menggunakan form W2.
c. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi
1. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan
2. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB
3. Laporan STP
d. Pelaporan dari dinas kesehatan Provinsi ke pusat (Subdit Arbovirosis, Ditjen
PP dan PL)
1. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan
2. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB.
3. Laporan STP
Tatalaksana2
Tatalaksana Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pasien bermanifestasi ringan dapat berobat jalan
sedangkan pasien dengan tanda bahaya dirawat.
a. Tatalaksana Infeksi Dengue dengan manifestasi ringan Pasien dengan
manifestasi ringan dapat berobat jalan tetapi jika ada perburukan harus dirawat.
Pasien rawat jalan dianjurkan
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi <39oC dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat
meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
43

Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.


Monitor suhu, urin dan tanda-tanda bahaya sampai melewati fase kritis.
Monitor pemeriksaan laboratorium darah rutin berkala

Bila setelah demam turun didapatkan nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau
terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila
disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus
segera dibawa segera ke rumah sakit.
b. Tatalaksana DBD dan SSD
Tatalaksana DBD Patofisilogik utama DBD adalah kebocoran plasma karena
adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Maka kunci tatalaksana DBD terletak pada
deteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi
klinis disertai pemantauan kebocoran plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan tanda-tanda bahaya secara awal dan pemberian cairan
Larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti volume plasma
sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit yang cepat. Secara
umum pasien DBD dapat dirawat di puskesmas perawatan atau rumah sakit.

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.

Fase Kritis

Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5
fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang
terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu
44

normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan


hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitive.
Penggantian Volume Plasma Dasar patogenesis DBD adalah perembesan
plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok)
maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun
demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok
mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara
umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila: Anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, Nilai hematokrit
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat
7,46%, 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Pada saat pasien datang, berikan
cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7
ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit
setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam. Apabila selama observasi keadaan
umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil,
diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan
berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam
observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.

Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah

esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat


terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada
saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan
distres pernafasan.
Jenis Cairan

45

1. Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA), Larutan
garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL),
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2
larutan garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan
2.

larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstosa)


Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin

Program penanggulangan P2 DBD


1. Input
Tenaga
Dana
Sarana
Metode
2. Proses yaitu dengan managemen program
Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan (penyelidikan epidemiologi,
fogging fokus, penyuluhan kesehatan, PSN, PJB, larvasida selektif)
3. Output (Penderita yang ditangani 100%, menurunkan angka kesakitan
20/100.000 penduduk, menurunkan angka kematian menjadi <1%, angka
bebas jentik >95%)
4. Dampak
Menurunkan angka kesakitan DBD
Menurunkan angka kematian DBD
Perubahan status KLB DBD
Stratifikasi Daerah Rawan DBD3
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan
seperti
1. Endemis Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada

kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim


Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat. Universitas Sumatera Utara
2. Sporadis Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus
DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB),
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan.
3. Potensial Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada

kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi


dengan wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5%.
Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
46

4. Bebas Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD.

Ketinggian dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang
ditemukan jentik 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan
penyuluhan.
Penyuluhan dilakukan unttuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kader
dalam penanggulangan penyakit DBD, sehingga diharapkan pengetahuan tersebut
dapat disebarluaskan pada masyarakat agar kasus penyakit DBD dapat dicegah sedini
mungkin

dan

kalaupun

terdapat

kasus

maka

diharapkan

penemuan

dan

penanganannya tidak terlambat.


Peran kader
Kader dapat mengenali secara dini adanya kasus DBD dan dapat secara dini
mencegah

penyebarannya,

pemberantasan

nyamuk

dengan

metode

fogging/penyemprotan yang meliputi gambaran fogging, syarat fogging, kelebihan


dan kekurangan fogging, ketrampilan mengenai penggunaan bubuk abate untuk
mencegah perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, PSN (Pemberantasan Sarang
Nyamuk) meliputi pengelolaan tempat-tempat penampungan air. Berperan dalam
kegiatan PJB (Pemantauan Jentik Berkala) dan dapat mengisi format pelaporan hasil
PJB, mengenai pengelolaan lingkungan disekitarnya yang berkaitan dengan
pemutusan rantai penularan dan penyebaran DBD. Penyuluhan dilakukan dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan tentang pemberantasan DBD, dengan ceramah
dan tanya jawab, simulasi dan praktek lapangan pemantauan jentik berkala dan
abatesasi.5
Daftar pustaka
1. Karyati MR, Hadinegoro SR.

Perubahan epidemiologi demam berdarah


dengue di Indonesia. Jakarta: Sari Pediatri, Apr 2009;10(6). p. 424-30.
2. Modul pengendalian demam berdarah dengue. Kementrian kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jendral pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan
2011
Diunduh
Juni
2016
dari:
file:///C:/Users/user/Downloads/05_Pedoman%20DBD.pdf
3. Siregar F A. Epidemiologi dan pemberantasan demam berdarah dengue (DBD)
di Indonesia. Sumatra Utara: Univeritas Sumatra Utara; 2004. h. 1-8
4. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang
dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan. Diunduh Juni 2016
dari:
file:///C:/Users/user/Downloads/permenkesno.1501thn2010pm
wabah.pdf

47

5. Kusumawati Y, dan Darnoto S. Pelatihan peningkatan kemampuan kader

posyandu dalam penanggulangan demam berdarah dengue (DBD). WARTA,


Sept 2008;11(2).p161-3.

Tinjauan Pustaka
Campak
Pendahuluan
Campak adalah penyakit yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah.
Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi campak. Sebelum imunisasi
campak dipergunakan secara luas di dunia banyak anak terinfeksi campak. Kasuskasus tersebut akan diperburuk dengan gizi buruk sehingga dapat meningkatkan
angka kematian karena campak.
Indonesia adalah negara keempat terbesar penduduknya di dunia yang memiliki
angka kesakitan campak sekitar 1 juta pertahun dengan 30.000 kematian, yang
menyebabkan Indonesia menjadi salah satu dari 47 negara prioritas yang di
identifikasi oleh WHO dan UNICEF untuk melaksanakan akselerasi dan menjaga
kesinambungan dari reduksi campak. Strategi untuk kegiatan ini adalah cakupan rutin
yang tinggi (> 90%) di setiap kabupaten/kota serta memastikan semua anak
mendapatkan kesempatan kedua untuk imunisasi campak.1
Epidemiologi
Menurut data surveilans kasus campak tahun 2007 adalah 18.488 kasus dimana
84% diantaranya adalah anak yang tidak terimunisasi dan 44% kasus adalah anak
dengan usia di bawah lima tahun. Pada tahun 2008 terdapat 14.148 kasus campak
dimana 78% diantaranya adalah anak yang belum mendapat imunisasi dan 41% anak
dengan usia di bawah lima tahun. Data surveilans juga menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara cakupan imunisasi yang tinggi dengan rendahnya
kasus campak. Hal ini dibuktikan, pada tahun 2008 dari 367 spesimen kasus tersangka
campak di Provinsi DIY hanya satu yang positif campak, begitu juga di Bali dari 17
48

spesimen tidak ada satupun yang positif. Indonesia sudah mulai melakukan penguatan
surveilans campak sejak tahun 2007 dengan kinerja yang cukup baik dibeberapa
provinsi walaupun di beberapa daerah masih ditemukan laporan insiden campak yang
rendah dan tidak ada laporan KLB. Tahun 2008 surveilans campak berbasis kasus
(case based surveilance) dimulai di Provinsi Bali dan DIY, dan selanjutnya akan
diperluas ke 10 provinsi lain pada tahun 2009.
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara
tidak teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah
terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan
populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah
diketahui bahwa campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum,
sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai
ialah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%) dan lainlain (7,9%).
Etiologi
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama
masa tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif
minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku,
minimal 4 minggu disimpan dalam temperature 35C, dan beberapa hari pada suhu
0C. Virus tidak aktif pada pH rendah.
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi
yang kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri
dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat
lonjong, terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) yang
merupakan struktur helix nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali
terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung luar berfungsi
sebagai hemaglutinin.
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi.
Apabila berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur
kamar ia akan kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37C
waktu paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu 56C hanya satu jam. Sebaliknya
virus ini mampu berahan dalam keadaan dingin, pada suhu -70C dengan media
protein ia dapat hidup selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan
suhu 4-6C, dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini
49

hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh
sinar ultraviolet.2
Cara Penularan
Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui
sekret hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan
berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya
sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam, minimal hari kedua setelah timbulnya ruam.
Virus campak menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari
setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan
terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial
dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal.
Adanya giant cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam
dan infiltrat peribronkial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang
tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan
batuk, pilek, mata merah (3C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang
makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan
pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi)
mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada
susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa
konvelesen, hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap,
berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada
awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.3,4
Gejala Klinis
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi,
diikuti dengan koriza/pilek, batuk dan peradangan pada mata. Gejala penyakit campak
dikategorikan dalam tiga stadium:

Stadium inkubasi
Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 12-14 hari. Walaupun pada masa

ini terjadi viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan
gejala sakit.

Stadium prodromal
Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium

prodromal yang berlangsung selama 2 hingga 5 hari. Gejala utama yang muncul
50

adalah demam yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya suhu 39,4 - 40,6C
pada hari ke 4 atau 5 yaitu pada saat ruam muncul. Selain itu biasanya terdapat batuk,
pilek dan konjungtivitis. Inflamasi konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk
sebelum munculnya bercak Koplik. Garis melintang kemerahan yang terdapat pada
konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis
tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang
Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada
hari ke-101 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran
pasir dengan areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik.
Tersering ditemukan pada mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat
juga ditemukan pada bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian
tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis. Muncul 1-2 hari sebelum timbulnya
ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pada akhir
masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita
akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.

Stadium erupsi
Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu

pada saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan
dan saat suhu berkisar 39,5C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak
terlalu tampak jelas di lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut.
Kemudian ruam menjadi makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher,
lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar
ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2
atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki, ruam pada wajah akan
menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan munculnya.
Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak
memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak berwarna
kecokelatan yang tidak memudar bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan
maka muncullah deskuamasi kecoklatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit
berbanding lurus dengan gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi campak yang
berat, ruam dapat muncul hingga menutupi seluruh bagian kulit, termasuk telapak
tangan dan kaki. Wajah penderita juga menjadi bengkak sehingga sulit dikenali.5

51

CARA PENCEGAHAN PENYAKIT


a. Pencegahan tingkat awal
Pencegahan tingkat awal dilakukan dalam mencegah munculnya faktor
predisposisi atau resiko terhadap penyakit campak. Sasaran dari pencegahan
primordial adalah anak-anak yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi
agar tidak memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit campak. Edukasi kepada
orang tua anak sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial.
Tindakan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan,
konselling nutrisi dan penataan rumah yang baik.
b. Pencegahan tingkat pertama
Sasaran dan pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok
berisiko, yakni anak yang belum terkena campak, tetapi berpotensi untuk terkena
penyakit campak. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah
seseorang terkena penyakit campak, yaitu:

Memberi

penyuluhan

kepada

masyarakat

mengenai

pentingnya

pelaksanaan Program Imunisasi Nasional (vaksinasi campak) untuk semua

bayi.
Vaksinasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan. Vaksin ini
diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Vaksin campak tidak boleh
diberikan pada wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, dan
penderita leukemia. Vaksin campak dapat diberikan sebagai vaksin
monovalent (measles-containing vaccine; MCV) atau polivalen (measlesmumps-rubella; MMR).

c. Pencegahan tingkat kedua (cara mencegah penularan)


Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat
timbulnya komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang
ditujukan untuk pendeteksian dini campak serta penanganan segera dan efektif.
Tujuan utama kegiatan-kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi
orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk
mengembangkan atau memperparah penyakit. Memberikan pengobatan penyakit
sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
komplikasi. Edukasi dan pengelolaan campak memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien berobat.
52

d. Pencegahan tingkat ketiga


Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat
komplikasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi
menjadi kecatatan tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita
yang mengalami kecacatan. Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara
pasien dengan dokter. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit campak. Pelayanan kesehatan yang
holistik dan terintegrasi antara disiplin terkait juga sangat diperlukan, terutama di
rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.
2.12

Imunisasi campak
Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang
serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis
kekebalan, yaitu kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Kekebalan pasif adalah
kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan oleh individu itu sendiri. Sedangkan
kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan oleh
antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya
berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.
Kekebalan aktif terhadap campak didapatkan melalui program imunisasi.
Kekebalan pasif terhadap campak didapat dari transfer antibodi IgG maternal melalui
plasenta pada masa-masa akhir kehamilan. Setelah dilahirkan, konsentrasi antibodi
terhadap campak ini menurun sehingga lamanya durasi imunitas pasif ini bergantung
pada jumlah konsentrasi awal antibodi saat dilahirkan.4,5
Saat ini ada beberapa macam vaksin campak:

Monovalen

Kombinasi vaksin campak dengan vaksin rubella (MR)

Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)

Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV).


Vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin

polivalen diberikan pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan
53

transportasi vaksin harus pada temperature antara 2C - 8C atau 4C serta vaksin


tersebut harus dihindarkan dari sinar matahari.
a. Vaksin campak monovalen
Telah dikeluarkan Permenkes no 42 tahun 2013 mengenai pemberian
imunisasi untuk campak diberikan 2 kali, yaitu pada umur 9 bulan sebagai imunisasi
dasar dan pada umur 2 tahun sebagai imunisasi lanjutan. Kemudian pada anak usia
sekolah dasar, diberikan imunisasi campak yang ketiga pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS)
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi
primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ,
mereka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak
imunokompromais yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi
berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.
Dosis dan cara pemberian:

Dosis vaksin campak 0,5 ml.

Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun dapat


diberikan secara intramuscular.

Imunisasi campak diberikan lagi pada umur 2 tahun dan saat masuk sekolah
SD (Program BIAS)
Reaksi KIPI

Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi
ulang pada seorang yang telah memiliki imunitas. Kejadian KIPI imunisasi
campak telah menurun dengan digunakannya vaksin campak hidup yang
dilemahkan.

Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5C yang terjadi pada 515 % kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 5 hari.

Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian


peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.

54

Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah
imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan
akibat imunisasi jika seseorang memperoleh imunisasi pada saat masa
inkubasi penyakit alami.

Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti
ensefalopati pasca imunisasi. Diperkirakan risiko terjadinya efek samping
tersebut 30 hari sesudah imunisasi 1 di antara 1 milyar dosis vaksin.

b. Kombinasi vaksin campak, mumps, dan rubella


Vaksin untuk mencegah campak, gondongan, dan rubella merupakan vaksin
kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis
05 ml. vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus
disimpan pada temperature 2-8C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin
harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk
dan terlindung dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabl dan
cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar. Pada temperature 22-25C, akan
kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperature >37C vaksin menjadi tidak
aktif setelah 1 jam.
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara
intramuscular atau subkutan dala,. Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap
ketiga virus ini >90% kasus dan diberikan pada umur 12-18 bulan.
Sesuai dengan Jadwal Pemberian Imunisasi anak umur 6-18 tahun
rekomendasi IDAI tahun 2014, vaksin MMR diberikan pada umur 15 bulan. Namun
apabila belum mendapat imunisasi campak, maka pemberian MMR dapat diberikan
pada kesempatan pertama anak datang ke tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit
atau dokter / dokter spesialis anak). Pemberian imunisasi MMR kedua diberikan pada
umur 5 tahun.
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubella atau imunisasi campak. Tidak ada dampak imunisasi yang
terjadi pada anak yang sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau
lebih dari ketiga penyakit ini.
Berikut reaksi KIPI yang dapat terjadi pasca imunisasi MMR:

55

Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan
setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam, atau ruam yang sering
terjadi 1 minggu setekah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.

Laporan dari CDC menyatakan bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan efek
samping demam, komponen campak yang paling sering menyebabkan efek
samping ini. Kurang lebih 5% anak akan mengalami demam >39,4C setelah
imunisasi MMR. Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari
setelah imunisasi dan umumnya berlangsung 1-2 hari.

Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada
0,1% anak, ensefalitis pasca imunisasi <1/1.000.000, dan pembengkakan
kelenjar parotis pada 1% anak berusia sampai 4 tahun, pada umumnya terjadi
pada minggu ketiga dan kadang-kadang lebih lama.

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kirakira 1/1.000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian
ini lebih kecil apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.

Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan


dengan komponen rubella dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan
tentang kemungkinan gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk
mengurangi demam, teramsuk pengguanan parasetamol pada masa 5-12 hari
setelah imunisasi.5
Kontra indikasi vaksin MMR:

Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas,
mereka yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar
atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg / kgbb / hari
prednisolon).

Anak dengan alergi berat terhadap gelatin atau neomisin.

Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi MMR ditunda lebih
kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir.

Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda
selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubella.

Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
immunoglobulin atau transfuse darah (whole blood).
56

Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk HIV).6

Penanganan Campak
Penderita campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan
cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan
pemberian antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan,
diperlukan perbaikan keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet
yang memadai.
Pemberian vitamin A pada pasien campak untuk usia <6 bulan sebanyak 50.000
IU, usia 6 bulan 1 tahun sebanyak 100.000 IU, anak >1 tahun sebanyak 200.000 IU
sebanyak satu kali.12 Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.6
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5C), dehidrasi, kejang, asupan
oral sulit atau adanya penyulit. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal
isolasi system pernapasan. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit
yang timbul.
TUGAS KADER
Kader bertugas membantu pelaksanaan imunisasi dalam hal:
1. Menggerakkan orang tua dan sasaran untuk datang ke pos pelayanan
imunisasi/posyandu.
2. Mengatur jalannya imunisasi
3. Memberikanimunisasi polio
4. Memberikan vitamin A, dosis sesuai dengan kelompok umur (khusus bulan
Agustus)
5. Mencatat sasaran dan memberi tanda pada jari kelingking kiri sasaran yang
sudah diimunisasi
6. Melaporkan pada petugas bila ditemukan kasus diduga KIPI
7. Mengingatkan orang tua untuk melengkapi imunisasi rutin
LANGKAH MEMPERBAIKI PROGRAM
Melaksanakan pelatihan/refreshing program imunisasi disetiap jenjang pelayanan
(OJT)
Meningkatkan supervisi suportif secara berkala disetiap jenjang pelayanan dan
segera menindakljuti secara bertahap
Pendekatan masyarakat melalui tokoh agama
57

Meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan UPS dalam sistem pencatatan
dan pelaporan
Melakukan pendataan atau validasai data sasaran dalam menentukan target
Melakukan validasi dan akurasi hasil cakupan setiap tribulan

DAMPAK LINGKUNGAN DAN PROGRAM


Lingkungan: Non fisik: penurunan kelompok rawan campak khususnya usia balita &
usia sekolah.
Fisik: tidak ada
Program: penurunan angka morbiditas (kejadian sakit), angka kecacatan dan angka
mortalitas.
ALUR LAPORAN KE PUSAT
Pengiriman Data
Dari puskesmas ke kabupaten/kota data dikirim melalui SMS, HT, dll.
Dari Kabupaten/Kota ke propinsi data dikirim melalui email
Dari Propinsi ke Pusat (Subdit Surveilans Epidemiologi) data dikirim melalui
email.

Pustu
Pasien Rawat Jalan Puskesmas
Klinik swasta/private di desa
Bidan Desa

Pengumpulan spesimen

Petugas Surveilans Puskesmas

Pengiriman spesimen Petugas Surveilans Kabupaten/Kota

Petugas Surveilans Propinsi

Konfirmasi Laboratorium Propinsi

Otoritas Kesehatan Nasional (Depkes), Laboratorium Nasional (Depkes), WHO

58

(sumber: pedoman sistem kewaspadaan dini dan respons. Jakarta;2008)

59

KRITERIA ENDEMIS DAN SPORADIS


TINDAKAN PADA TERSANGKA KONTAK
Jika dilaporkan KLB tersangka campak, maka dilakukan kunjungan dari rumah
yang ada kasus campak dan rumah yang tidak ada kasus campak di wilayah tersebut,
dengan mengisi format C1. Ini dilakukan untuk mencari kasus tambahan, populasi
beresiko dan untuk melihat status imunisasi campak pada populasi di daerah KLB.
Cari faktor resiko KLB campak dengan form C2, dan berikan rekomendasi.
5 LANGKAH PUSKESMAS SAAT MENERIMA KASUS CAMPAK
1. Analisa situasi penyakit campak.
2. Stratifikasi desa rawan berdasarkan besarnya masalah campak.
3. Penentuan desa rawan yang diprioritaskan sebagai sasaran program.
4. Menyusun rencana kegiatan pemberantasan yang ditetapkan dan disetujui oleh
kepala wilayah/desa.
5. Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tanggungjawab masing-masing.
CARA MENENTUKAN KLB ATAU TIDAK
Suatu daerah ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria
berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurun waktu dalam
jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis
penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode satu bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun
sebelumnya
e. Rata-rata jumlah kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding dengan angka rata-rata jumlah kejadian
kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit atau Case Fatality Rate (CFR) dalam
satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih
dibandingkan dengan CFR periode sebelumnya dalam kurun waktu yang
60

sama.
g. Angka proporsi penyakit atau Proportional Rate (PR) penderita baru pada
suatu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.7
TIPE EPIDEMIOLOGI
o KLB tersangka campak: adanya 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4
minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya
hubungan epidemiologi.
o KLB Campak Pasti : apabila minimum 2 spesimen positif IgM campak dari
hasil pemeriksaan kasus pada tersangka KLB campak.
o KLB Rubella : minimum 2 spesime positif IgM Rubella
o KLB Mixed : Ditemukan adanya IgM rubella positif dan IgM campak positif
dalam satu KLB.
CIRI-CIRI EPIDEMI
LANGKAH PENANGGULANGAN KLB
o Penanggulangan KLB campak didasarkan pada analisis dan rekomendasi hasil
penyelidikan KLB campak, dilakukan sesegera mungkin agar transmisi virus
dapat dihentikan dan KLB tidak meluas serta dibatasi jumlah kasus dan
kematian. Langkah penanggulangan meliputi : tatalaksana kasus, imunisasi
dan penyuluhan.
- Imunisasi yang dilakukan pada saat KLB yaitu :
i.

Imunisasi selektif, bila cakupan tinggi


Meningkatkan cakupan imunisasi rutin (upayakan 100%) setiap balita
(usia 6 bl-5th) yang tidak mempunyai riwayat imunisasi campak,
diberikan imunisasi campak (di puskesma atau posyandu hingga 1 bulan
dari kasus terakhir).

ii.

Imunisasi campak masal


Yaitu memberikan imunisasi campak secara masal kepada seluruh anak
pada golongan umur tertentu tanpa melihat status imunisasi anak tersebut.
Hal yang menjadi pertimbangan adalah cakupan imunisasinya rendah,
mobilitas tinggi, rawan gizi dan pengungi daerah padat dan kumuh.
Pelaksanaan imunisasi masal ini harus dilaksanakan sesegera mungkin,
61

sebaiknya pada saat daerah tersebut diperkirakan belum terjadi penularan


luas. Selanjutnya cakupan imunisasi rutin tetap dipertahankan tinggi dan
merata.
TEKNIS PENCARIAN KASUS
Dilakukan secara pasif dan aktif.
Aktif: kunjungan ke lapangan untuk penegakan diagnosis sesuai dengan gambaran
umum campak yaitu demam tinggi dan timbul 3C yaitu coryza, conjungtivitis dan
cough serta timbul lesi merah di tubuh saat demam mulai turun.
Pasif: menerima laporan atau informasi kasus dari pelayanan kesehatan yang lain
selain puskesmas.
PENYULUHAN KE MASYARAKAT
PROGRAM MANA YANG DILIHAT CAKUPANNYA
1.Imunisasi rutin :
a. Bayi usia 9 bulan(dosis pertama)
b. Kegiatan BIAS(Bulan Imunisasi Anak Sekolah) pada anak kelas 1 sekolah dasar
(dosis kedua)
2.Imunisasi tambahan berupa Crash Program Campak pada anak balita dan Catch
Up Campaign pada anak sekolah dasar di daerah tersebut.
3.Penguatan surveilans campak
4.Memperbaiki manajemen kasus melalui pemberian vitamin A dan antibiotika.

Daftar Pustaka

62

1. Pedoman pelaksanaan kampanye campak dan polio.2011. DITJEN PP&PL


Departemen Kesehatan RI.
2. Soedarmo, SSP. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Edisi Kedua. 2012.h.109-18.
3. Swart D, Rik L. 'The Pathogenesis of Measles Revisited'. Pediatric Infectious
Disease Journal. 2007; 27(10).
4. Sabella C. 'Measles: Not just a childhood rash', Cleveland Clinic Journal of
Medicine 2010;77(3):207-13.)
5. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan
anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
6. Ranuh, IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedianto,
Soedjatmiko, edirot. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta:
Badan Penerbut Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
7. Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

1501/MENKES/PER/X/.2010.

Tinjauan Pustaka
Kolera
63

Definisi
Kolera adalah suatu infeksi usus halus yang disebabkan oleh bakteri Vibrio
Cholerae. Gejala utamanya adalah diare dan muntah. Sumber penularan terutama
melalui air minum atau mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi dengan bakteri.
Keparahan dari diare dan muntah menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pengobatan primer dengan larutan rehidrasi oral dan bila tidak dapat diatasi
dengan rehidrasi oral, dapat diberikan secara intravena. Antibiotik dapat diberikan
kepada pasien jika kondisi semakin memburuk.1,2
Langkah Awal setelah Penerimaan Laporan
Sebagai dokter Puskesmas langkah awal yang harus dilakukan setelah
menerima laporan adanya kasus kolera adalah sebagai berikut.1,2
a. Melakukan konfirmasi atau penegakkan diagnosis.
b. Melakukan penanggulangan terhadap penyakit

jika

diagnosis

sudah

ditegakkan. Lakukan pengobatan terhadap pasien berupa tatalaksana


pencegahan dehidrasi dan pemberian antibiotika secara selektif sesuai dengan
etiologi.
c. Memastikan adanya suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dibandingkan
dengan periode sebelumnya.
d. Memastikan surveilans berjalan baik, informasi vektor, lingkungan, dan
perilaku penduduk.
e. Melaporkan langsung ke DinKes Kab/Kota dan koordinasi dengan Dinkes
Propinsi.
Cara Penularan
Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau
pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun
kondisi penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kesehatan. Bakteri
Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feces (kotoran) manusia.1-3
Bila kotoran yang mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan
sebagainya, maka orang lain yang melakukan kontak dengan air tersebut beresiko
terkena penyakit kolera itu juga. Misalnya cuci tangan yang tidak bersih lalu makan,
mencuci sayuran atau makanan dengan air yang mengandung bakteri kolera, makan
ikan yang hidup di air terkontaminasi bakteri kolera, bahkan air tersebut (seperti di
64

sungai) dijadikan air minum oleh orang lain yang bermukim disekitarnya. Hal ini
akan semakin meningkatkan resiko terjadinya penyakit kolera.1-3
Dalam situasi adanya wabah (epidemic), biasanya tinja orang yang telah
terinfeksi menjadi sumber kontaminasi. Penyakit ini dapat menyebar dengan cepat di
tempat yang tidak mempunyai penanganan pembuangan kotoran (sewage) dan
pengolahan air minum yang memadai. Pada saat wabah kolera (El Tor) skala besar
terjadi di Amerika Latin pada tahun 1991, penularan yang cepat dari kolera terjadi
melalui air yang tercemar karena sistem PAM perkotaan yang tidak baik, air
permukaan yang tercemar, serta sistem penyimpanan air di rumah tangga yang kurang
baik. Makanan dan minuman pada saat itu diolah dengan air yang tercemar dan di jual
oleh pedagang kaki lima, bahkan es dan air minum yang dikemaspun juga tercemar
oleh Vibrio cholerae. Biji-bijian yang dimasak dengan saus pada saat wabah itu
terbukti berperan sebagai media penularan kolera.1-3
Vibrio cholerae yang dibawa oleh penjamah makanan dapat mencemari
makanan, yang apabila tidak disimpan dalam lemari es dalam suhu yang tepat dapat
meningkatkan jumlah kuman berlipat ganda dalam waktu 8-12 jam. Sayuran dan
buah-buahan yang dicuci dan dibasahi dengan air limbah yang tidak diolah, juga
menjadi media penularan.1-3 Bakteri kolera juga dapat hidup di lingkungan air payau
dan perairan pesisir. Kerang-kerangan (shellfish) yang dimakan mentah juga dapat
menjadi sumber kolera. Seperti di Amerika Serikat, kasus sporadis kolera timbul
karena mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang yang ditangkap dari
perairan yang tidak tercemar.
Sebagai contoh, kasus kolera yang muncul di Louisiana dan Texas menyerang
orang-orang yang mengkonsumsi kerang yang diambil dari pantai dan muara sungai
yang diketahui sebagai reservoir alami dari Vibrio cholera (O1 serotipe Inaba), muara
sungai yang tidak terkontaminasi oleh air limbah. Biasanya penyakit kolera secara
langsung tidak menular dari orang ke orang. Oleh karena itu, kontak biasa dengan
penderita tidak merupakan resiko penularan.1-3
Kejadian Luar Biasa
Kejadian luar biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di
Indonesia untuk mengklasifikasika merebaknya suatu wabah penyakit. Status KLB
biasa diatur Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia. KLB dijelaskan sebagai
timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.2-4
65

Kriteria KLB mengacu pada keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman
Penyelidikan Penanggulangan KLB adalah sebagai berikut.1-4
a. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal.
b. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (hari, minggu, bulan, tahun)
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat
atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun
e.

sebelumnya.
Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali
lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun
sebelumnya.

Cara Pencegahan
Cara pencegahan dan memutuskan tali penularan penyakit kolera adalah
dengan prinsip sanitasi lingkungan, terutama kebersihan air dan pembuangan kotoran
(feaces) pada tempatnya yang memenuhi standar lingkungan. Lainnya ialah meminum
air yang sudah dimasak terlebih dahulu, cuci tangan dengan bersih sebelum makan
memakai sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih terutama sayuran yang
dimakan mentah (lalapan), hindari memakan ikan dan kerang yang dimasak setengah
matang. Bila dalam anggota keluarga ada yang terkena kolera, sebaiknya diisolasi dan
secepatnya mendapatkan pengobatan untuk memutuskan rantai penularan.Karantina
harus segera dilakukan minimal 5 hari.
Benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus di sterilisasi,
searangga lalat (vektor) penular lainnya segera diberantas. Pemberian vaksinasi kolera
dapat melindungi orang yang kontak langsung dengan penderita.1,2

Cara Penanggulangan
Penderita yang mengalami penyakit kolera harus segera mendapatkan
penanganan segera, yaitu dengan memberikan pengganti cairan tubuh yang hilang
sebagai langkah awal (terapi rehidrasi agresif). Dasar dari terapi kolera adalah
rehidrasi agresif melalui oral dan intravena yang dilakukan untuk memperbaiki
66

kekurangan cairan dan elektrolit, juga untuk mengganti cairan akibat diare berat yang
sedang berlangsung. Pemberian cairan dengan cara Infus/Drip adalah yang paling
tepat bagi penderita yang banyak kehilangan cairan baik melalui diare atau muntah.
Selanjutnya adalah pengobatan terhadap infeksi yang terjadi, yaitu dengan pemberian
antibiotik/antimikrobial seperti Tetrasiklin, Doxycycline atau golongan Vibramicyn.
Pengobatan antibiotik ini dalam waktu 48 jam dapat menghentikan diare yang
terjadi.1-3
Selain itu, untuk menangani penyakit kolera ini juga dapat dilakukan
disinfeksi serentak terhadap tinja dan muntahan serta bahan-bahan dari kain (linen,
seperti sprei, sarung bantal dan lain-lain) serta barang-barang lain yang digunakan
oleh penderita, dengan cara di panaskan, diberi asam karbol atau disinfektan lain.
Masyarakat yang memiliki sistem pembuangan kotoran dan limbah yang modern dan
tepat, tinja dapat langsung dibuang ke dalam saluran pembuangan tanpa perlu
dilakukan disinfeksi sebelumnya. Pada kondisi tertentu, terutama diwilayah yang
terserang wabah penyakit kolera pemberian makanan/cairan dilakukan dengan jalan
memasukkan selang dari hidung ke lambung (sonde). Sebanyak 50% kasus kolera
yang tergolang berat tidak dapat diatasi (meninggal dunia), sedangkan sejumlah 1%
penderita kolera yang mendapat penanganan kurang adekuat meninggal dunia.1,2
Hubungan Epidemiologi
Berhubungan dengan agent, host, dan environment.3,4
a. Agent
Bakteri Vibrio cholerae berbentuk batang sedikit melengkung, bersifat gram
negatif, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, dan memiliki sifat
fermentatif terhadap glukosa.
b. Host
Penyakit ini ditularkan dari feses penderita maka host adalah manusia sendiri.
c. Environment
Lingkungan yang padat penduduk, sanitasi buruk, dan tempat pembuangan
kotoran rumah tangga yang tidak dibangun secara baik. Sehingga memiliki
resiko tinggi pencemaran feses ke dalam saluran air.
KLB Tipe Epidemi
Epidemi adalah

keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya

penyakit ) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat
berada dalam frekuensi yang meningkat. Tipe epidemi kolera adalah propagated/
67

progresif epidemik yaitu bentuk epidemi dengan penularan dari orang ke orang
sehingga waktu lebih lama dan masa tunas yang lebih lama. Tipe endemi ini terjadi
karena adanya penularan dari orang le orang baik langsung maupun melalui vektor,
relatif lama waktunya dan lama masa tunas, dipengaruhi oleh kepadatan penduduk
serta penyebaran anggota masyarakat yang rentan serta mobilitas dari penduduk
setempat, masa epidemi cukup lama dengan situasi peningkatan jumlah penderita dari
waktu ke waktu sampai pada batas minimal anggota masyarakat yang rentan.3,4
Berikut adalah beberapa deksripsi dari KLB1-4
a.

Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu.

Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB


berlangsung) digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu
grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of
illness) selama periode wabah. Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara
penularan penyakit. Salah satu cara untuk menentukan cara penularan penyakit pada
suatu KLB yaitu dengan melihat tipe kurva epidemik, sebagai berikut:

Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu
sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar
dalam waktu yang sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit

yang ditularkan melalui air dan makanan (misalnya: kolera, typoid).


Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB
dengan cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa
puncak. Jarak antara puncak sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi

rata rata penyakit tersebut.)


Tipe kurva epidemik campuran antara common source dan propagated. Tipe
kurva ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus memperoleh
paparan suatu sumber secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran
dari orang ke orang (kasus sekunder).

b.

Deskripsi kasus berdasarkan tempat

Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk mendapatkan


petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal, tempat
pekerjaan). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber
penularan. Agar tujuan tercapai, maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah
variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan)
68

pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan


distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari orang ke orang atau melalui vektor.
c.

Deskripsi kasus berdasarkan orang


Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan

atau etiologi penyakit. Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin,
ras, status kekebalan, status perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat.
Pada tahap dini kadang hubungan kasus dengan variabel orang ini tampak jelas.
Keadaan ini memungkinkan memusatkan perhatian pada satu atau beberapa variabel
di atas. Analisis kasus berdasarkan umur harus selalu dikerjakan, karena dari age
spscific rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini akan berguna untuk
membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai kunci yang
digunakan untuk menentukan sumber penyakit.
Teknik Pencarian Kasus
Pencarian kasus dilakukan untuk mengatasi suatu wabah. Pencarian kasus terdiri dari
dua teknik yaitu.3,4
a. Active case finding
Pencarian kasus secara aktif biasanya dilakukan dengan screening. Hanya
mencari yang dicurigai sakit. Dibagi menjadi dua yaitu backward tracking
(mencari sumber penularan) dan forward tracking (mencari kasus baru).
b. Passive Case Finding
Pencarian kasus secara pasif yaitu dengan cara mencari data dari pasien yang
datang berobat ke fasilitas kesehatan dan mengandalkan laporan yang ada.
Lakukan surveilans terhadap orang yang minum dan mengkonsumsi makanan yang
sama dengan penderita kolera, selama 5 hari setelah kontak terakhir. Jika terbukti
kemungkinan adanya penularan sekunder didalam rumah tangga, anggota rumah
tangga sebaiknya di beri pengobatan kemoprofilaksis. Kemoprofilaksis masal untuk
semua anggota masyarakat tidak pernah di lakukan karena dapat menyebabkan
resistensi terhadap antibiotika. Imunisasi terhadap kontak tidak dianjurkan. Lakukan
investigasi terhadap kemungkinan sumber infeksi berasal dari air minum dan
makanan yang terkontaminasi. Makanan yang dikonsumsi 5 hari sebelum sakit harus
di tanyakan. Pencarian dengan cara mengkultur tinja untuk kasus-kasus yang tidak
dilaporan hanya disarankan dilakukan terhadap anggota rumah tangga atau terhadap
orang-orang yang kemungkinan terpajan dengan satu sumber (Common source)
didaerah yang sebelumnya tidak terinfeksi.1-4
Kegiatan Penyuluhan
69

Penyuluhan adalah suatu sistem aktivitas manusia (human activities system) berupa
proses pembelajaran secara nonformal dan kolaboratif (collaborative learning
process) untuk petani dan keluarganya, sehingga mereka mengalami perubahan
(progresive change), pola pikir (cognitif), pola sikap (afektif), dan pola tindak/kerja
(psikomotor), mereka menjadi tahu, mau, dan mampu meningkatkan taraf hidup
keluarga dan masyarakat sekitarnya. Penyuluhan biasanya dilakukan oleh kader.1-4
Penyuluhan untuk mencegah penyakit kolera biasanya berisi hal-hal berikut.1-4
1. Definisi (Pengertian) Kolera
Penyakit infeksi saluran usus bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Vibrio
cholera, bakteri ini masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Kemudian mengeluarkan enterotoksin (racunnya)
pada saluran usus.
2. Penyebab Kolera
Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus melepaskan
sejumlah besar cairan yang banyak mengandung garam dan mineral. Karena
bakteri sensitif terhadap asam lambung, maka penderita kekurangan asam
lambung cenderung menderita penyakit ini
3. Tanda dan gejala kolera
Gejala dimulai dalam 1 3 hari setelah terinfeksi bakteri, bervariasi mulai dari
diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare berat-yang bisa berakibat fatal.
Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala.
Penyakit biasanya dimulai dengan diare akut encer seperti air cucian beras yang
terjadi secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit disertai mual muntah-muntah.
Pada kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan cairan sampai 1 liter dalam
1 jam. Kehilangan cairan dan garam yang berlebihan menyebabkan dehidrasi
disertai rasa haus yang hebat, kram otot, lemah dan penurunan produksi air kemih
Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan mata menjadi cekung
dan kulit jari-jari tangan menjadi keriput.
Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume darah dan peningkatan konsentrasi
garam bisa menyebabkan gagal ginjal, syok dan koma.
Gejala biasanya menghilang dalam 3 6 hari. Kebanyakan penderita akan
terbebas dari organisme ini dalam waktu 2 minggu, tetapi beberapa diantara
penderita menjadi pembawa dari bakteri ini
a. Cara dan penanganan kolera
Yang sangat penting adalah segera mengganti kehilangan cairan, garam
dan mineral dari tubuh, dengan menilai derajat dehidrasi, dengan
pemberian oralit ad lib.
70

Untuk penderita yang mengalami dehidrasi berat, cairan rehidrasi


diberikan melalui infus (cairan Ringer Lactat atau bila tidak tersedia bisa
menggunakan cairan NaCl 0,9%). Di daerah wabah, kadang-kadang cairan
diberikan melalui selang yang dimasukkan lewat hidung menuju ke
lambung.
Penggunaan antibiotik
o Tetracycline
Anakanak : 12,5 mg/kgBB ( 4 x sehari selama 3 hari )
Dewasa : 500 mg ( 4 x sehari selama 3 hari )
o Trimethoprim (TMP) Sulfamethoxazole (SMX)
Anak-anak : TMP 5 mg/kgBB dan SMX 25 mg/kgBB (2 x

sehari selama 3 hari)


Dewasa : TMP 160 mg dan SMX 800 mg (2 x sehari
selama 3 hari)
Bila dehidrasi

sudah

diatasi

tujuan

pengobatan

selanjutnya adalah menggantikan jumlah cairan yang


hilang karena diare dan muntah. Makanan padat bisa
diberikan setelah muntah-muntah berhenti dan nafsu
makan sudah kembali.
Pengobatan awal dengan tetrasiklin atau antibiotik
lainnya bisa membunuh bakteri dan biasanya akan
menghentikan diare dalam 48 jam.
Lebih dari 50% penderita kolera berat yang tidak
diobati meninggal dunia. Kurang dari 1% penderita
yang mendapat penggantian cairan yang adekuat,
meninggal dunia
Peran kader dalam kesehatan dapat dilihat sebagai berikut :
o Pengobatan ringan / sederhana, pemberian obat cacing, pengobatan
terhadap diare dan pemberian larutan gula garam, obat obatan
sederhana dan lain lain.
o Penimbangan dan penyuluhan gizi.
o Pemberantasan penyakit menular,

pencarian

kasus,

pelaporan

vaksinasi, pemberian distribusi obat / alat kontrasepsi KB penyuluhan


dalam upaya menamakan NKKBS.
o Penyediaan dan distribusi obat / alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam
upaya menamakan NKKBS.
o Penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkugan,
oembuatan jamban keluarga dan saran air sederhana
71

Pada penyelenggaraan pelatihan kader posyandu meliputi tahap persiapan,


pelaksanaan serta pemantauan, penilaian dan pelaporan.
o Persiapan pelatihan
Paling sedikit 2 minggu sebelum penylenggaraan pelatihan,
panitia penyelenggara sudah harus menyiapkan hal hal
berikut :
Penggandaan makalah dan bahan bahan lainnya
Menghubungi dan memanggil peserta pelatihan
Menghubungi dan memberitahuan pelatih / fasilitator
Pengiriman jadwal dan paket pelatihan kepada pelatih

dan meminta bahan bahan yang perlu digandakan.


Menyiapkan tempat pelatihan, akomodasi, perlengkapan

dan alat alat yang diperlukan


Memberitahukan pihak pihak yang berwenang dan

terkait dengan penyelenggaraan pelatihan


Menyelesaikan izin pelatihan kader yang diperlukan
Selama seminggu sebelum penatalaksanaan pelatihan,
dilakukan kegiatan dan pembahasan dengan segenap
anggota Panitia Penyelenggara dan Tim Pelatih /

fasilitator, meliputi :
Peninjauan persiapan pelatihan dalam melakukan

perubahan dan penyempurnaan apabila diperlukan


Persiapan bahan dan alat / media yang diperlukan
Pengecekan kesiapan bahan dan alat / media yang

diperlukan.
o Pelaksanaan pelatihan
Kegiatan pelatihan teori dan praktek dalam kelas dilaksanakan
sesuai dengan jadwal yang sudah disusun. Namun dapat
disesuaikan dengan keadaa. Keberhasilan kegiatan ini banyak
ditentukan oleh penyediaan bahan bahan, kesiapan pelatih /

fasilitator dan peserta pada waktu yang tepat.


Sehari sebelum pelatihan dimulai, diadakan pendaftaran calon
peserta pelatihan. Pada saat pendaftaran, calon peserta
pelatihan diminta mengisi formulir, biodata, dan menyerahkan

pasfoto 4x6 berwarna sebanyak 3 lembar


Hari hari selanjutnya diselanggarakan pelatihan mencakup
upacara pembukaan, bina suasana, penyajian materi materi

72

pelatihan, evaluasi, rencana tindak lanjut, dan pembukaan


ppelatihan serta uoacara penutupan.
o Pemantauan, penilaian, dan pelaporan
Pemantauan
Panitia penyelenggara harus melaksanakan pemantauan terus
menerus terhadap seleuruh proses pelatihan. Apabila ada permasalahan harus
dicari jalan pemeceahannya seawal mungkin.

Program Pemerintah dalam Menangani Kolera


Pemberian imunisasi dan vaksin merupakan salah satu cara pemerintah untuk
menggulangi masalah kesehatan yang terjadi karena dalam waktu 4-6 minggu setelah
imunisasi akan timbul antibodi spesifik yang efektif mencegah penularan penyakit,
sehingga anak tidak mdah tertular infeksi, tidak menderita sakit berat, serta tidak
terjadi wabah dan kematian. Program imunisasi nasional pada anak sangat efektif
untuk mencegah penyakit dan kematian. Pentingnya imunisasi didasarkan pada
pemikiran paradigma sehat bahwa upaya promotif dan preventif merupakan hal yang
terpenting dalam peningkatan status kesehatan. Salah satu upaya preventif yang bisa
dilakukan adalah meningkatkan cakupan dan kelengkapan imunisasi. Vaksinasi
dilakukan secara besar besaran melalui penyuntikan sehingga penderita kolera
akhirnya dapat dibatasi jumlahnya.3,4
Untuk menuntaskan masalah kesehatan yang terjadi khususnya kematian pada
anak aibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasim cakupan dan kelengkapan
imunisasi dsara yang belum mencapai target maka solusi yang harus ditempuh ialah
melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat untuk mencegah dan meningkatkan
status kesehatan dan menata lingkungan sehat secara mandiri dengan anggaran yang
kecil serta mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Dalam upaya
promotif dan preventif masyarakat tidak berperan sebagai objek atau sasaran program
melainkan masyarakat harus dijadikan sebagai subjek yang melaksanakan upaya
peningkatan kesehatan secara mendiri berawal dari pribadi, keluarga dan masyarakat
secara luas. 3,4
Selain itu ada beberapa alternatif solusi yang bisa ditempuh untuk
menyelamatkan anak indonesia melalui imunisasi antara lain : mengaktifkan program
srveilens secara baikm menutamakan promotif dan preventi dengan tidak
73

mengabaikan rehabilitatif dan kuratif, menggerakkan lintas sektor, membina suasana


yang kondusif, advokasi, pengoranisasian masyarakat, pengembangan sumber daya
manusia, alokasi dana yang cukup, serta melakukan evaluasi secara alamiah dengan
melakukan penelitian.
Alur Pelaporan Kasus
Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP (LB), SPRS
(RL), STP dan rekapitulasi kolera. Karena kolera termasuk penyakit yang dapat
menimbulkan wabah maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk dapat
membuat laporan rutin perlu pencatatan setiap hari (register) penderita kolera yang
datang ke sarana kesehatan, posyandu atau kader agar dapat dideteksi tandatanda
akan

terjadinya

KLB/wabah

sehingga

dapat

segera

dilakukan

tindakan

penanggulangan secepatnya.
Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas RR/Diare di Puskesmas kemudian
dilaporkan ke Tingkat Kabupaten/Kota melalui laporan bulanan (LB) dan STP setiap
bulan.Petugas/Pengelola Diare Kabupaten/Kota membuat rekapitulasi dari masingmasing Puskesmas dan secara rutin (bulanan) dikirim ke tingkat Propinsi dengan
menggunakan formulir rekapitulasi diare. Dari tingkat Propinsi direkap berdasarkan
kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan dikirim ke Pusat.1
Prevalensi, Insidensi, Attack Rate4
a. Prevalensi : prevalensi kolera 1-3 kasus per 1000 penduduk.
b. Insidensi : Jika menyerang suatu daerah yang baru, maka insidensi
paling tinggi terjadi pada laki laki muda. Tetapi ketika di daerah
endemik, maka insidensi meningkat pada wanita dan anak anak.
c. Attack rate : 0,5 0,6@ pada anak anak <1 tahun, anak anak
berumur 1-4 tahun dan anak anak yang lebih besar serta orang
dewasa.
Daftar Pustaka
1. Kepmenkes, 2008. Cakupan Penemuan dan Penanganan Penderita Penyakit.
Jakarta, Departemen kesehatan dan Kesos.
2. Amelia S, 2006. Vibrio Cholerae. Medan, Universitas Sumatera Utara.
3. Puspandari N, 2010. Investigasi Penyebab Kejadian Luar Biasa Kolera di
Jember Terkait Cemaran Sumber Air. Available online at : http:/ ejournal.akbid-purworejo.ac.id.

74

4. Yasir

M,

2011.

Catatan

Epidemiologi.

Available

online

at

http://epiders.blogspot.co.id/2011/07/kriteria-klb-menurut-permenkes1501.html

Tinjauan Pustaka
Morbus Hansen
Pendahuluan
A. Agent Mycobakterium Lepra.
Organisme ini belum bisa dibiakkan pada media bakteri atau kultur sel. Bateri ini
dapat dibiakkan pada jaringan telapak kaki tikus dengan jumlah mencapai 106 per
gram jaringan; pada percobaan infeksi melalui binatang armadillo, bakteri ini bisa
tumbuh hingga 109 sampai 110 per gram jaringan.
B. Host
Kelangsungan dan tipe penyakit lepra sangat tergantung pada kemampuan tubuh
untuk membentuk cell mediated kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah
prosedur penyuntikan M. Lepra yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi
dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda
negatif pada lepra jenis lepromatosa dan positif pada lepra tipe tuberkuloid, pada
orang dewasa normal. Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas
dan sebagai pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Lepra di WHO menganjurkan
agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes
yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan
tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. lepra dan
terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. lepra diantara orang yang kontak dengan
penderita lepra menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya
sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit lepra.
C. Reservoir
75

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai
reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang armadillo liar diketahui secara alamiah dapat
menderita penyakit yang mempunyai lepra seperti pada percobaan yang dilakukan
dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari armadilo
kepada manusia. Penularan lepra secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan
simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
D. Cara Transmisi
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di
dalam rumah tangga dan konta/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya
sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung
pada penderita lepra tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat
hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita lepra
lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk
melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anakanak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.1
E. Lima Langkah Awal Ketika Penemuan Kasus Lepra
1. Penemuan pasien, dilaksanakan secara pasif diikuti dengan penanganan daerah
focus yaitu pemeriksaan kontak keluarga dan tetangga. Bila diperlukan dapat
dilakuakan kegiayan penemuan aktif lainnya
2. Diagnosis ditegakkan oleh petuhas PRK/RSUD/Wasor. Biala puskesmas non
PRK menemukan suspek, harus dirujuk ke PRK/ RSUD/wasor untuk
konfirmasi diagnosis atau sebaliknya
3. Pengobatan, regimen pengobatan diberikan oleh petugas PRK/RSUD/wasor.
4. Pemantauan pengobatan dilakukan oleh petugas puskesmas non PRK dan
pasien harus mendapatkan informasi penting berkaitan dengan pengobatan
5. Pemeriksaan POD (Prevention of Disability) dilakukan oleh petugas di
PRK/RSUD.1,3
F. Cara Pencegahan Penyebaran Penyakit Lepra
1. Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita lepra,
agar bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan pada orang lain.
2. Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang lama.
3. Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan.
4. Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga dan
meningkatkan pemenuhan nutrisi.
76

5. Tidak bertukar pakaian dengan penderita, karena basil bakteri juga terdapat
pada kelenjar keringat
6. Memisahkan alat-alat makan dan kamar mandi penderita lepra.
7. Untuk penderita lepra, usahakan tidak meludah sembarangan, karena basil
bakteri masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
8. Isolasi pada penderita lepra yang belum mendapatkan pengobatan. Untuk
penderita yang sudah mendapatkan pengobatan tidak menularkan penyakitnya
pada orang lain.
9. Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita lepra.
10. Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai mekanisme penularan
lepra dan informasi tentang ketersediaan obat-obatan yang efektif di
puskesmas.1
G. Kriteria Kasus Kejadian Luar Biasa
Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah :
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitny
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per
bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.1,
H. Sumber Penularan Lepra

77

Penyebab penyakit lepra yaitu Mycobacterium lepra, sampai saat ini hanya manusia
satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman lepra dapat
hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyak
kelenjar tymus. Kuman lepra banyak ditemukan dimukopsa hidung manusia. Kuman
ini mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahuntahun. Penularan terjadi apabila M.lepra yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien
dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan pasien, hanya sedikit orang yang akan
terjangkit lepra setelah kontak dengan pasien lepra, hal ini disebabkan oleh kekebalan
tubuh.1,3
I. Epidemiologi Penyakit Lepra
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari distribusi, frekuensi dan faktorfaktor yang menentukan kejadian penyakit yang berhubungan dengan masalah
kesehatan pada masyarakat dan aplikasinya dengan pengendalian masalah tersebut.
Timbulnya penyakit adalah interaksi dari baerbagai fakrtor penyebab yaitu :
pejamu (host), kuman (agent) dan lingkungan (environment) melalui suatu proses
yang dikenal sebagai rantai penularan yang terjadi dari 6 komponen yaitu: penyebab,
sumber penularan, cara keluar dari sumber penularan, cara penularan, cara masuk ke
pejamu dan pejamu. Dengan diketahuinya proses terjadinya infeksi atau penularan
penyakit maka intervensi yang sesuai dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai
penularan tersebut.
Jumlah kasus baru lepra pada tahun 2011adalah sekitar 219.075. dari jumlah
tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (160.123) diikuti regional
Amerika (36.832), regional Afrika (12.673) dan sisanya berada di regional lainnya.
Tabel dibawah ini menggambarkan penemuan kasus baru dan prevalensi lepra.

78

Setelah diketahui distribusinya, kemuadian dipelajari proses terjadinya infeksi


maka dapat dilakukan intervensi yang sesuai dengan terapi lepra di tempat-tempat
yang masih memiliki angka kejadian baru dan prevalens sehingga dapat memutuskan
mata rantai penularan lepra dan angka prevalensi akan menurun.1
J. Kejadian Luar Biasa Tipe Endemik
Kejadian luar biasa adalah kejadian atau peristiwa dalam masyarakat atau wilayah
dari suatu kasus penyakit tertentu yang secara nyata melebihi dari jumlah yang
diperkirakan.
Berdasarkan sifat wabah terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Common Source Epidemic (Point Source Epidemic)
Adalah suatu letusan penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya sejumlah orang
dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam waktu yang relatif
singkat. Adapun Common Source Epidemic itu berupa keterpaparan umum, biasa
pada letusan keracunan makanan, polusi kimia di udara terbuka, menggambarkan satu
puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan kasus, selanjutnya hanya dalam
hitungan jam, tidak ada angka serangan ke dua.1,2,3
K. Ciri-ciri Epidemik
Epidemik istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah
yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar
tersebut. Dalam epidemiologi, epidemi berasal dari bahasa Yunani yaitu epi ~ pada
atau tentang, demos ~ penduduk, dan logos ~ ilmu pengetahuan. Dengan kata lain,
epidemi adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Adapun
79

yang menjadi cirri-ciri: timbulnya gejala penyakit cepat, masa inkubasi yang pendek,
episode penyakit merupakan perinstiwa tunggal dan waktu munculnya penyakit jelas.3
L. Langkah-Langkah Penanggulangan Lepra
1. Metode pemberantasan dan pengobatan
2. Metode rehabilitasinyang terdiri dari rehab medis, rehab sosial, rehab karya,
dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi,
dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok
tersendiri.4
M. Teknik Penemuan Pasien Lepra
Penemuan pasien lepra secara garis besar terdiri dari penemuan aktif dan penemuan
pasif.
1. Penemuan secara sukarela/pasif: adalah pasien yang ditemukan karena datang
ke puskesmas/sarana kesehatan lainnya atas kemauan sendiri atau saran orang
lain. Faktor-faktor yang menyebabkan pasien terlambat berobat: disebabkan
oleh aspek:
a. Aspek dari sisi pasien: tidak mengerti tanda dini lepra, malu datang ke
puskesmas, tidak tahu bahwa ada obat gratis dipuskesmas, jarak rumah
ke puskesmas/sarsna kesehatan yang jauh, dll
b. Aspek dari penyedia layanan kesehatan: ketidakmampuan mengenali
tanda lepra dan mendiagnosis, pelayanan yang tidak mengakomodasi
kebutuhan klien,dll.
2. Penemuan aktif:pasien yang ditemukan secara aktif, melalui kegiatan-kegiatan
seperti:
a. Pemeriksaan kontak: kegiatan penemuan pasien dengan melalukan
kunjungan ke rumah pasien yang baru ditemukan kasus (kasus indeks).
Kegiatan ini memerlukan biaya yang rendah namun memiliki
efektifitas yang tinggi sehingga wajib dilakukan.
b. Rapid Village Survey: terdiri dari dua tahap, diamana tahap pertama
diadakan sesuai dengan tanggal yang ditetapkan dan dilakuakn
penyuluhan dan diskusi mengenai lepra. Tahap ke dua dilakuakan
pemeriksaan seluruh desa untuk mencari subjek yang dijaring dan
dibuatkan kartu untuk diberikan pengobatan serta penyuluhan yang
mendalam.
3. Case survey: kegiatan penemuan pasien lepra secara aktis dengan
mengunjungi wilayah tertentu berdasrkan informasi dari berbagai sumber
tentang keberadaan suspek lepra di daerah tersebut.
80

4. Pemeriksaan anak SD dan sederajat: kegiatan ini diprioritaskan pada wilayah


yang terdapat kasus anak, supaya lebih efisisen sebaiknya kegiatan ini
diintegrasikan dengan usaha kesehatan sekolah (UKS)
5. Leprasy Elimination Campaign (LEC)
6. Special Action program for Elimination Leprosy (SAPEL).1
N. Teknik Penyuluhan
1. Tingkat pusat membuat pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan operasional
program PPM, menyediakan sarana antara lain obat-obatan, buku petunjuk,
leaflet, formulir dan lai-lainnya.
2. Tingkat propinsi mengadakan pelatihan petugas tingkat kabupaten dan
melakukan pembinaan sesuai dengan petunjuk pusat ke tingkat kabupaten dan
puskesmas dan mendistribusikan kebutuhan sarana program ke tingkat
kabupaten
Tingkat kabupaten mengadakan pelatihan tenaga kesehatan tingkat puskesmas dan
kader. Dan mendistribusikan sarana ke tingkat puskesmas.1,4
O. Tugas Kader
1. Persiapan Alat yang harus dibawa : buku, catatan, blangko pencatatan,
kapas, jarum, obat DDS.
2. Penyuluhan Memeberikan penyuluhan pada penderita lepra, keluarga dan
masyarakat diwilayah kerjanya tentang penyakit lepra (materi penyuluhan ada
pada selebaran lepra, buku lepra bergambar, buku kader)
3. Penemuan penderita Membantu petugas kesehatan pemerikksaan kontak
serumah. mencacat tersangka penderita lepra di lingkungannya.
4. Pengobatan penderita
5. Pencatatan dan pelaporan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam usaha peningkatan peran kader
dengan pembinaan :
1. Pasca posyandu Mengadakan pertemuan dengan kader untuk
membicarakan masalah dan usul perbaikan pelaksanaan program antara
lain pengertian dan tugas yang diberikan pada kader.
2. Pertemuan berkala di desa Dilaksanankan sebulan sekali. Dsini juga
dibahas kegiatan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan program.
3. Pertemuan berkala dipuskesmas

81

4. Perlombaan Perlombaan antar desa binaan tentang materi yang


berkaitan dengan program.
5. Penyegaran
Dilakukan 6 bulan sekali
6. Wisata karya
7. Forum pemecahan masalah penghargaan dan stimulasi.1,3
P. Pelatihan Kader
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kebijakan program P2 kusta dan pengendalian penyakit kusta


Penemuan penderita kusta (case finding)
Diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta
Pengobatan, pengendalian, dan pemantauan pengobatan pada penderita kusta
Pencegahan cacat dan perawatan diri
Penanganan penderita reaksi
Promosi pengendalian penyakit kusta
Monitoring dan evaluasi program P2 kusta.1,2

R. Langkah-Langkah Perbaikan Program

Melantik dan melatih kader untuk tanda dan gejala kusta serta gejala

reaksi kusta.
Melantik dan melatih kader untuk pemantauan makan obat pasien

kusta
Penyuluhan berkala tentang kusta dan pencegahannya.2

S. Dampak terhadap Kejadian Kusta


Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma
psikis. Sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita antara lain sebagai berikut :
a. Dengan segera mencari pertolongan pengobatan.
b. Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia
atau keluarganya menderita penyakit kusta.
c. Menyembunyikan (mengasingkan) diri

dari

masyarakat

sekelilingnya, termasuk keluarganya.


d. Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat
masa bodoh terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas timbullah berbagai masalah antara lain:
1. Masalah terhadap diri penderita kusta Pada umumnya penderita kusta merasa
rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya
kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap
penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis,
82

karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain (jadi
pengemis, gelandangan dsb).
2. Masalah Terhadap Keluarga. Keluarga menjadi panik, berubah mencari
pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa
takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya, berusaha menyembunyikan
penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan
penderita dari keluarga karena takut ketularan.
3. Masalah Terhadap Masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit
kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta
merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit
keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat
kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit
untuk diterima di tengah-terigah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga
dari perideita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong
agar penderita dan keluarganya diasingkan.2,3
T. Alur Pelaporan Kasus Lepra ke Pusat
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting untuk
mendapat gambaran dan informasi kegiatan disemua tingkat pelakksana program
penyakit lepra.

1. Puskesmas dan rumah sakit melaksakan pencatatan dengan menggunakan formulir


a. Kartu pasien
83

b. Register kohort PD dan MB


c. Formulir pencatatan pencegahan cacat
d. Formulir evaluasi pengobatan reaksi berat
e. Data pokok program eliminasi
f. Formulir register stok obat MDT
g. Formulir permintaan MDT-3, MDT-4
2. Kabuapaten/kota, pencatatan hasil kegiatan program lepra di Dinas Kesehatan
kabupaten/Kota menggunakan pencatatan dan pelaporan elektronik, dengan mengisi
formulir
a. Rekapitulasi laporan program P2 lepra kabupaten
b. Data pokok program P2 lepra
c. Formulir registrer stok obat MDT
d. Formulir permintaan MDT1 MDT 4
3. Propinsi, dinas kesehatan provinsi menggunakan formulir pencacatan sebagai
berikut:
a. Rekapitulasi laporan program P2 lepra kabupaten
b. Data pokok program P2 lepra
c. Formulir register stok obat
d. Formulir permintaan MDT1 MDT 4.1,4
U. Kriteria Endemis di Daerah sporadic/ Daerah bebas
V. Pencegahan Penyakit Lepra
Upaya-upaya pencegahan cacat dapat dilakukan baik di rumah, puskesmas maupun
unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit rujukan. Pasien
harus mengerti bnahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman lepra. Tetapi cacat
mata, tangan atau kaki sudahj terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya,
sehingga harus bisa melakukan perawatan diri dengan teratur agar cacatnya tidak
bertambah berat.
1. Kegiatan pencegahan cacat di rumah
Dilakukan sendriri oleh pasien. Petugas jangan hanya memberikan teori saya
kepada pasien, tetapi peragakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan
bantulah pasien supaya dapat melakukan sendiri. Akan efektif bila pasien
sendiri yang bertanggungjawab atas kondisi tubuhnya. Petuhas lepra harus
memperhatikan pasien dengan cacat menetap dan menentukan tindakan
84

perawatan diri apa yang perlu dilakukan pasien itu dengan menguupayakan
penggunaan material yang mudaj diperoleh disekitar lingkungan pasien.
Prinsip pencegahan cacar dan bertambah beratnya cacat pada pasien dasarnya
adalaj 3M yaitu:
1. Memeriksan mata, tangan dan kaki selalu teratur
2. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
3. Merawat diri
-

Untuk mencegah kerusakan mata

a. Memeriksa: sering bercermin untuk melihat apakah ada kemerahan atau benda
yang masuk ke mata.
b. Melindungi: melindungi mata dari debu dan angin yang dapat melukai
mata/mangeringkan mata, dengan cara: memakai kaca mata, menghindari
tugas-tugas dimana ada debu misalnya mencengkul, menggiling padi dan
membakar sampah.
c. Merawat diri: tetes mata mengandung saline, jika mata sangat kering waktu
istirahat tutup mata dengan menggunakan sepotong kain basah
- Untuk mencegah kerusakan tangan
a. Untuk tangan yang mati rasa
Tangan yang mati rasa dapat teluka, untuk mencegah lika pada tangan yang
mati rasa dengan cara:

85

a. Memeriksa: sangatlah sering berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah
ada luka atau lecet yang sekecil apapun.
b. Melindungi: lindungilah tangan dari benda yang panas, kasr ataupun tanjam
dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain dan mencegah luka dengan
membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian yang
berbahaya bagi tangan yang mati rasa.
c. Merawat luka: jika luka, memar atau lecet sekecilapaun, rawatlah dan
istirahatkan bagian tangan sampai sembuh.
b. Untuk kulit Tangan yang Kering
Kekeringan akan mengakibatkan luka-luka kecil yang mudah terinfeksi
a. Mencegah: umumnya jika kulit tangan kering sudah disertai dengan mati rasa,
sehingga selalu periksa kemungkinan kekeringan, retak dan kulit pecah-pecah
yang tidak terasa.
b. Melindungi: melindungi kuli tangan dari benda-banda tajam yang budah
menimbulkan luka
c. Merawat: rendam selama 20 menit setiap hari dalam air, menggosok bangian
kulit yang tebal kemudian langsung mengolesi minyak kelapa atau minyak
lain yang dapat menjaga kelembaban kulit.
c. Untuk Jari Tangan yang Bengkok
Kalau dibiarkan bengkok, sendi akan menjadi kaku dan otot akan memendek
sehingga jari akan menjadi lebih kaku dan tidak dapat digunakan, untuk
mencegahnya:
a. Memeriksa: tangan secara rutin luka mungkin terjadiakibat penggunaan
tangan dengan jari yang bengkok
b. Melindung: menggunakan alat bantu untuk aktivitas sehari-hari yang
dimodifikasi untuk digunakan oleh jari bengkok.
86

c. Merawat: sesering mungkin setiap hari memakai tangan lain untuk


meluruskan sendi-sendi dan mencegah supaya jangan sampai terjadi
kerusakan yang lebih berat.
Untuk Mencegah Kerusakan Kaki
Untuk kaki yang semper
Kalau kaki simper dibiarkan tergantung, otot pergelangan kaki bagaian belakang akan
memendek sehingga kaki itu tetap tidak bisa diangkat. Untuk pencegahannya:
a. Memeriksa: apakah ada luka atau tidak?
b. Melindungi: untuk mencegah agar kaki yang simper tidak bertambah cacat
maka dianjurkan:
- mengangkat lutut tinggi waktu berjalan
- selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan luka
- pakai kain karet antara lutut dan sepatu guna mengangkat bagian kaki bagian
dengan waktu berjalan.
c. Merawat: kaki simper agar tidak makin parah dengan cara duduk atau dengan
kaki lurus ke depan. Paiakilah kain panjang atau sarung yang disangkutkan
pada baggian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh, jika kelemahan saja yang
terjadi, latih kaki dengan mengikatkan karet pada tiang atau kaki meja, dan
tarik tali karet itu dengan punggung kaki, lalu tahan beberapa saat dan
kemudian ulangi beberapa kali.
b. Untuk Kulit Kaki yang Kering
Kulit yang kering akan mengakibatkan luka-luka kecil yang mudah terinfeksi
a. Memeriksa: secara rutin apakah ada bagian kaki yang kering mengalami retak
dan luka
b. Melindungi dan Merawat: melindungi kuli tangan dari benda-banda tajam
yang budah menimbulkan luka. Cara merawat kaki rendam selama 20 menit
setiap hari dalam air, menggosok bangian kulit yang tebal kemudian langsung
mengolesi minyak kelapa atau minyak lain yang dapat menjaga kelembaban
kulit.
c. Untuk Kaki yang Mati Rasa
untuk mencegah caranya:
a. Memeriksa: sering berhenti dan memeriksa kaki dengan teliti apakah ada luka
atau memar atau lecet yang kecil sekalipun.

87

b. Melindungi: lindung kaki dengan selalu memakai alas kaki, memilih alas kaki
yang tepat yaitu: empuk di dalam, keras di bagian bawahnya supaya benda
tajam tidak dapat tembus, tidak mudah lepas,
c. Merawat: cegah terjadinya luka dengan cara langsung raway dan istirahaykan
kaki.
d. Untuk luka borok/ulkus
luka terjadi karena menginjak benda tajam, panas atau kasar atau memar yang tidak
dihiraukan karena pasien tidak merasa sakit/mati rasa. Kaki tetap dipakai untuk
berjalan sementyara kaki menampung beban berat badan, akibatnya luka tersebut
semakin hancur /rusak. Sebenarnya luka dapat sembuh sendiri selama beberapa
minggu.
Perawatan yang tepat ialah bersihkan luka dengan sabun kemudian rendam kaki
dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pnggiran luka yang menebal dengan batu
apunh, seteleh dikeluarkan dari air, beri minyak bagian kaki yang tidak luka, balut
lalu istirahatkan bagian kaki itu (jangan diinjakkan pada waktu berjalan, berjalanlah
pincang pakai tongkat, kruk atau sepeda).1,2
W. Penanganan Lengkap
WHO merekomendasikan pengobatan lepra dengan Multi Drug Therapy (MDT)
untuk tipe PB dan MB. MDT adalah kombinasi dua atau lebih oabat lepra, salah
satunya rifampisin sebagai anti lepra yang bersifat bakterisidal kuat sengakan
antilepra lain bersifat bakteriostatik
1. Pasien paisibasiler (PB) Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifammpisin @ 300 mh (600mg)
1 tablet dapson /DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1tablet dapson/DDS
2. Pasien dewada multibasiler (MB)
2 kapsul rifammpisin @ 300 mh (600mg)
3 tablet lampren @100 mg (300 mg)
1 tablet dapson /DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS
1 tablet lampren @100 mg.1
88

X. Penemuan Kontak
Sampai saat ini penyebab penularan penyakit kusta yang pasti masih belum diketahui,
namun para ahli mengatakan bahwa penyakit Kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan juga melalui kulit.
Walau tidak terdapat hukum-hukum pasti penularan Kusta ini, perlu diketahui
bahwa jalan keluar dari kuman Kusta ini adalah melalui selaput lendir hidung
penderita. Namun ada beberapa artikel yang menyatakan bahwa penularan Kusta ini
melalui sekret hidung penderita yang telah mengering dimana basil dapat hidup 2 -7
hari. Cara penularan lain yang umumnya diungkapkan adalah melalui kulit ke kulit,
namun dengan syarat tertentu. Karena tidak semua sentuhan kulit ke kulit itu dapat
menyebabkan penularan.
89

Sampai saat ini masih belum ditemukan vaksinasi terhadap Kusta, namun
berdasarkan beberapa sumber, dikatakan bahwa apabila kuman Kusta tersebut masih
utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk
kuman yang telah hancur akibat pengobatan. Sehingga, perlu ditekankan bahwa
pengobatan merupakan jalan untuk mencegah penularan penyakit Kusta ini.4,6

Daftar Pustaka
1. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan
RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta, 2012
2. Modul pelatihan komunikasi interpersonal dan advokasi P2 kusta. Departemen
Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Jakarta,2005
3. Kosasih, A, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, Kusta, Edisin-6. FK-UI,
2010.
4. Peran Surveilans Dalam Upaya penanggulangan KLB Penyakit Menular dan
keracunan. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM&PLP, Jakarta,
2011
5. Saya bisa melakukannya sendiri. Petunjuk praktis bagi orang yang terkena
kusta yang ingin mencegah kecacatan. New Delhi: WHO, 2007
6. Modul 4. Kecacatan & pencegahan cacat bagi petugas pengelola program P2
kusta tingkat propinsi/kabupaten. Pusat latihan kusta nasional Makassar, 2005.
7. Wisnu IM, Hadilukito G. Pencegahan cacat kusta. Dalam: Daili ESS, Menaldi
SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editors. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI, 2000:
83-92.

90

Tinjauan Pustaka
Pnemumonia
Identifikasi
Infeksi ini umum menyerang saluran pernafasan bagian bawah dengan gejala febris.
Walaupun sangat jarang faringitis dapat berkembang menjadi bronkhitis dan berlanjut
menjadi pneumonia. Perjalanan penyakit berlangsung secara graduli berupa sakit
kepala, malaise, batuk biasanya paroxysmal, sakit tenggorokan, kadang sakit pula
didada kemungkinan pleuritis.

Penyebab penyakit : Mycoplasma pneumoniae, bakteri keluarga Mycoplasmatacea.


Distribusi penyakit : Tersebar diseluruh dunia, sporadis, endemis dan kadang-kadang
muncul sebagai wabah terutama menyerang anggota militeratau institusi tertentu.
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur dan sangat ringan pada anak
balita, basanya penyakit dengan gejala klinis yang jelas adalah pada anak usia sekolah
atau dewasa muda.
Reservoir; Manusia.
Cara penularan : Menular dengan melalui percikan ludah yang dihirup oleh orang
91

lain, melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau dengan benda-benda
yang tercemar dengan discharge hidung dan tenggorokan dari penderita akut dan
penderita batuk.

Masa inkubasi : Dari 6 sampai 32 hari.


Masa penularan : Diperkirakan kurang dari 20 hari. Pengobatan yang diberikan
tidak dapat membasmi organisme dari saluran pernafasan dan bakteri ini dapat terus
bertahan sampai 13 minggu.
Kerentanan dan kekebalan: Pneumonia klinis terjadi pada 3% - 30% infeksi yang
disebabkan oleh M.Pneumoniae, dan sangat tergantung pada usia. Gejala klinis
bervariasi mulai dari faringitis ringan tanpa demam sampai dengan penyakit dengan
gejala demam sebagai akibat infeksi menyerang saluran pernafasan bagian atas dan
bawah. Lamanya kekebalan bertahan tidak diketahui dengan pasti. Kekebalan yang
muncul setelah terjadi infeksi dikaitkan dengan terbentuknya antibodi humoralyang
bertahan sampai dengan 1tahun. 2
Pedoman ini digunakan untuk tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, pengelola
Program P2 ISPA) dalam tatalaksana anak dengan batuk dan atau kesukaran bernapas.
Dalam pedoman ini proses manajemen kasus disajikan dalam suatu bagan yang
memperlihatkan urutan langkah-langkah cara pelaksanaannya.
Lima langkah penggunaan bagan tatalaksana anak batuk dan atau kesukaran
bernapas adalah sebagai berikut:
1. Menilai anak batuk dan atau kesukaran bernapas
Menilai berarti memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan anamnesis
(mengajukan pertanyaan kepada ibu) dan pemeriksaan fisik Balita dengan cara
melihat dan mendengarkan pernapasan. Cara pemeriksaan fisik yang digunakan
adalah dengan mencari beberapa tanda klinik tertentu yang mudah dimengerti dan
diajarkan tanpa penggunaan alat-alat kedokteran seperti stetoskop, pemeriksaan
92

penunjang baik laboratorium, radiologi ataupun pemeriksaan lainnya. Tanda klinik


tersebut adalah: napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK)
dan suara napas tambahan (wheezing dan stridor).
2. Membuat klasifikasi dan menentukan tindakan sesuai untuk 2 kelompok umur
balita
Membuat klasifikasi berarti membuat sebuah keputusan mengenai kemungkinan
tingkat keparahannya. Klasifikasi merupakan suatu kategori untuk menentukan
tindakan yang akan diambil oleh tenaga kesehatan dan bukan sebagai diagnosis
spesifik penyakit. Klasifikasi ini memungkinkan seseorang dengan cepat menentukan
apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius atau bukan, apakah perlu
dirujuk segera atau tidak. Dalam membuat klasifikasi harus dibedakan menjadi 2
(dua):

Kelompok umur <2 bulan

Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun.

Menentukan tindakan berarti mengambil tindakan pengobatan terhadap infeksi bakteri


yang secara garis besar dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

Rujuk segera ke rumah sakit

Beri antibiotik di rumah

Beri perawatan di rumah

Pemilihan pengobatan dengan antibiotik disini lebih bersifat empiris, bukan


berdasarkan diagnosis etiologis.
3. Menentukan pengobatan dan
Menentukan petunjuk pengobatan yang tepat berarti memiliki ketrampilan untuk
pemberian antibiotik, menjelaskan petunjuk perawatan di rumah bagi ibu/pengasuh,
pengobatan demam dan wheezing.
4. Memberikan konseling bagi ibu
Memberi konseling bagi ibu berarti juga termasuk menilai cara pemberian makan
Balita termasuk pemberian ASI, memberi anjuran pemberian makan yang baik serta
kapan harus membawa anaknya kembali ke fasilitas kesehatan.
5. Memberikan pelayanan tindak lanjut
Memberi pelayanan tindak lanjut berarti menentukan tindakan dan pengobatan pada
saat anak datang untuk kunjungan ulang. 3
Pencegahan Pneumonia dapat dilakukan dengan cara hidup bersih dan sehat dan
93

memberikan nutrisi yang baik pada balita. Disamping itu, perlu diberikan vaksin
pneumokokus pada bayi dan anak sedini mungkin. Pencegahan pneumonia dapat
dilakukan dengan cara :
a. Memberikan vaksinasi pneumokokus atau sering juga disebut sebagai vaksin
IPD.
b. Memberikan imunisasi pada anak sesuai waktunya.
c. Menjaga keseimbangan nutrisi anak.
d. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara cukup istirahat dan juga banyak
olahraga.
e. Mengusahakan agar ruangan tempat tinggal mempunyai udara yang bersih dan
ventilasi yang cukup.
Perawatan kesehatan dan preventif merupakan suatu tindakan yang
berkelanjutan yang meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pemereiksaan
preventif primer ditujukan untuk mencegah gangguan kesehatan sebelum muncul,
seringkali penekanan pada mereka yang beresikko tinggi untuk terkena penyakit.
Pemeriksaan primer biasanya lebih berhasil jika pemeriksaan didasarkan pada
pemahaman tentang etiologi, pathogenesis, dan sifat alami penyakit. Pemeriksaan
preventif sekunder adalah keadaan dimana kondisi atau pertanda telah terindentifikasi
sejak awal dan dilakukan perawatan efektif untuk memulihkan kondisi sebelum
berkembang atau untuk menghilangkan pertanda. Pencegahan tersier bertujuan untuk
memperbaiki atau menghilangkan ketidakmampuan karena suatu penyakit
Dokter dapat memerankan bagian integral dalam melindungi kesehatan anak pada
tiga tingkat diatas yaitu:
1.
2.
3.
4.

sebagai penyelenggara langasung dari jasa pencegahan klinis


sebagai coordinator jasa
sebagai pemimpin program untuk masyarakat
sebagai penganjur bagi kesehatan anak.

Agar dapat menjalankan peranan diatas dengan baik, dokter harus berpengetahuan
dasar tentang prinsip pencegahan, pemahaman tentang epidemiologi dan menghargai
proses perencanaan program fan pentingnya penyuluhan yang efektif
Penentuan apakah terjadi KLB ridak selalu bias dilakukan begitu saja dan tidak ada
definisi yang jelas mengenai ambag batas KLB untuk semua penyakit
94

a. penyakit-penyakit yang bisa menunjukkan terjadinya KLB melalui satu kasus


tunggal: kolera, campal. Demam kuning, shigellla, demam berdarah karena
virus
b. meningitis meningokokus: untuk populasi diatas 30.000 orang: 15
kasus/100.000 orang/ minggu dalam satu minggu menunjukkan terjadinya
KLB, meskipun demikian dengan resiko kejadian KLB yang tinggi(yaitu tidak
terjadi KLB selama lebih dari 3 tahun dan cakupan vaksinasi <80%), ambang
batas ini turun menjadi 10 kasus/100.000/minggu. Dalam populasi penduduk
kurang dari 30.0000, lima kasus dalam seminggu atau lipat duan kasus selama
tiga minggu menandakan terjadinya KLB
c. malaria:
ada definisi yang tidak terlalu spesifik. Namun demikian,
meningkatnya jumlah kasus lebih dari yang diduga selama jangka waktu tahun
tertentu diantara penduduk tertentu disebuah wilayah tertentu bisa
menandakan terjadinya KLB

Dari beberapa pengertian diatas, ada 3 faktor pokok dalam epidemiologi, yaitu : 4
a. Frekuensi yaitu besarnya masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat.
Dengan mengetahui besarnya masalah, kita bisa mengetahui masalah mana yang
harus mendapat penanganan terlebih dahulu.
b. Penyebaran atau distribusi, adalah pengelompokan masalah kesehatan menurut
keadaan tertentu. Pengelompokan ini berupa komunitas yang mengalami masalah
kesehatan (orang/man), tempat (place) dan waktu (time) terjadinya masalah
kesehatan.
c. Determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhi.
Determinan adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya masalah
kesehatan, baik dalam banyaknya masalah atau frekuensi maupun proses penyebaran
masalah kesehatan.
Penemuan penderita pneumonia
Penemuan dan tatalaksana Pneumonia merupakan kegiatan inti dalam pengendalian
Pneumonia Balita.
a. Penemuan penderita secara pasif. Dalam hal ini penderita yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan seperti : Puskesmas, Puskesmas Pembantu,
95

Rumah Sakit dan Rumah sakit swasta.


b. Penemuan penderita secara aktif : Petugas kesehatan bersama kader secara
aktif menemukan penderita baru dan penderita pneumonia yang seharusnya
datang untuk kunjungan ulang 2 hari setelah berobat.
Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut:

Menanyakan Balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas

Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian bawah ke


dalam (TDDK) dan hitung napas.
Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur <2 bulan dan 2 bulan <5 tahun
Melakukan klasifikasi Balita batuk dan atau kesukaran bernapas; Pneumonia berat,
pneumonia dan batuk bukan pneumonia.
Perkiraan jumlah penderita Pneumonia Balita suatu Puskesmas didasarkan pada angka
insidens Pneumonia Balita dari jumlah Balita di wilayah kerja Puskesmas yang
bersangkutan. Jika angka insidens pneumonia untuk suatu daerah belum diketahui
maka dapat digunakan angka perkiraan (nasional) insidens pneumonia Balita di
Indonesia yang dihitung 10 % dari total populasi balita.
Jumlah Balita di suatu daerah diperkirakan sebesar 10% dari jumlah total penduduk.
Namun jika provinsi, kabupaten/kota memiliki data jumlah Balita yang resmi/riil dari
pencatatan petugas di wilayahnya, maka dapat menggunakan data tersebut sebagai
dasar untuk menghitung jumlah penderita pneumonia Balita. 5
Rumus perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita di suatu wilayah kerja per tahun
adalah sebagai berikut :
c.

Bila jumlah Balita sudah diketahui


Insidens pneumonia Balita = 10%

d.

Contoh:Jumlah Balita di Puskesmas Rembulan = 10.000 Balita Maka perkiraan


jumlah penderita pneumonia Balita = 10% x 10.000 = 1.000 Balita Atau :

e.

Bila jumlah Balita belum diketahui


Perkiraan jumlah Balita = 10% jumlah penduduk
Contoh:
Target penemuan penderita pneumonia Balita adalah jumlah penderita pneumonia
Balita yang harus ditemukan/dicapai di suatu wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan
kebijakan yang berlaku setiap tahun secara nasional.
96

Berarti Puskesmas Melati tidak mencapai target 70%, oleh karena itu perlu dianalisis
penyebab permasalahannya sehingga dapat diketahui pemecahan masalah dan dapat
ditindaklanjuti untuk tahun berikutnya.
Penyuluhan bagi ibu
1. Ibu memberi dosis pertama pada anak
Pemberian obat dosis pertama hendaknya dilaksanakan di Puskesmas, baik
anak yang akan dirujuk ke rumah sakit, maupun yang akan meneruskan perawatannya
di rumah. Apabila jarak ke rumah sakit rujukan sampai dengan mendapat pelayanan
bisa ditempuh kurang dari satu jam, misalnya di daerah perkotaan, pemberian dosis
pertama di Puskesmas ini tidak perlu. Jika anak dirawat oleh ibu di rumah, saat ini
merupakan kesempatan yang baik bagi petugas kesehatan untuk memberi contoh
bagaimana cara pemberian obat yang benar.
Gunakan bagan pengobatan untuk menentukan obat dan dosis yang sesuai.

Beritahukan ibu alasan pemberian obat kepada anak, termasuk

mengapa diberi obat oral dan masalah apa yang diobati.


Peragakan cara mengukur satu dosis
Bila Saudara memberi tablet, Tunjukkan kepada ibu jumlah obat dalam
satu dosis, bila perlu peragakan cara membagi/membelah tablet. Bila
tablet harus digerus sebelum diberikan, tambahkan beberapa tetes air
matang; diamkan 1-2 menit. Air akan membuat tablet menjadi lebih

lunak sehingga mudah digerus.


Bila Saudara memberi sirup: Peragakan cara mengukur dosis dalam
milimeter (ml) secara benar dengan menggunakan sendok takar obat

atau sendok makan (sendok rumah tangga)


Amati cara ibu menyiapkan obat satu dosis

2. menjelaskan bahwa antibiotic yang diminum harus sesuai jadwal meskipun


97

keadaan anak sudah membaik


Berikan antibiotik cukup untuk 3 hari. Jelaskan kepada ibu bahwa ia harus
memberikan antibiotik selama 3 hari. Selesaikan pemberian sampai 3 hari penuh,
walaupun anak sudah tampak sehat sebelum 3 hari. Jelaskan bahwa bakteri tetap
berada dalam tubuh
Waspadai gangguan pemberian makan pada anak:
Bersihkan hidung agar tak mengganggu pemberian makanan.Bersihkanlah
lubang hidung dari ingus/lendir yang telah mengering dengan kain bersih yang
dibasahi air supaya hidung tidak tersumbat. Mengatasi demam tinggi. Demam >
38.50C bisa juga mengganggu pemberian makanan dan harus diobati dengan
parasetamol.
Pemberian makanan pada bayi yang tidak bisa mengisap dengan baik.
Stomatitis (radang dalam mulut) yang berat dapat mengganggu anak mengisap ASI
dengan baik. Ajarkan ibu untuk memeras ASI ke dalam mangkuk, atau menyiapkan
susu buatan yang baik, kemudian memberikan kepada anaknya dengan sendok.
Pemberian makanan pada anak yang muntah. Perlu diperhatikan pada kasus batuk
rejan (pertusis) yang sering kali muntah pada akhir rentetan batuk. Anak yang sering
muntah bisa mengalami malnutrisi. Ibu harus memberikan makanan pada saat
muntahnya reda. Usahakan pemberian makanan sesering mungkin selama sakit dan
sesudah sembuh. Bawalah kembali ke petugas kesehatan bila anak tidak bisa makan
dan berat badan menurun.
Pemberian makanan selama anak sakit.Untuk anak berumur 6 bulan atau lebih,
berilah makanan dengan nilai gizi dan kalori yang tinggi. Dengan melihat umurnya,
berilah campuran tepung dengan kacang-kacangan, atau tepung dengan daging atau
ikan. Tambahkan minyak untuk memperkaya energi. Bisa juga ditambahkan makanan
dari susu dan telur. Berilah makanan pada anak selama anak masih menghendaki. Bila
umur anak kurang dari 6 bulan atau belum mendapat makanan tambahan, anjurkan
ibunya untuk lebih sering memberikan ASI.
Pemberian makanan setelah anak sembuh. Pada umumnya anak yang sedang
sakit hanya bisa makan sedikit. Karena itu setelah sembuh, usahakan pemberian
makanan tambahan setiap hari selama seminggu atau sampai berat badan anak
mencapai normal. Hal ini akan mempercepat anak mencapai tingkat kesehatan semula
serta mencegah malnutrisi. Malnutrisi akan mempermudah atau memperberat
98

penyakit infeksi.
Pemberian cairan
Berilah minuman lebih banyak pada anak.Anak dengan infeksi saluran pernapasan
dapat kehilangan cairan lebih banyak dari biasanya terutama demam. Anjurkan ibunya
untuk memberi cairan tambahan: lebih banyak memberi ASI, susu buatan, air putih,
sari buah dan sebagainya. Pemberian ASI.Bila anak belum menerima makanan
tambahan apapun, anjurkan ibunya untuk memberikan ASI lebih sering daripada
biasanya.
Kembali segera
Lingkari tanda-tanda untuk kembali segera. Mintalah ibu untuk mengamati
kemungkinan timbulnya tanda-tanda pneumonia dan jika timbul mintalah segera
membawa kembali anaknya ke petugas kesehatan. Tanda-tanda pneumonia yang bisa
diamati oleh ibu ialah :

Pernapasan menjadi sulit.


Pernapasan menjadi cepat.
Anak tidak mau minum.
Sakit anak tampak lebih berat.

mengajari ibu untuk menggunakan bahan yang aman untuk meredakan batuk dirumah
Hindari penggunaan bahan yang membahayakan. Jangan menggunakan obat batuk
yang mengandung bahan-bahan berbahaya seperti: atropin, codein dan turunannya
atau alkohol. Bahan-bahan tersebut dapat menurunkan kesadaran anak sehingga
mengganggu jadwal makan anak. Selain itu obat-obat tersebut juga mempengaruhi
kemampuan anak untuk mengeluarkan lendir dari paru-paru. Obat tetes hidung juga
harus dihindari penggunaannya, kecuali tetes hidung yang hanya mengandung larutan
garam.
Tugas kader di posyandu.
1)Persiapan hari buka posyandu.
Menyiapkan alat dan bahan, yaitu : alat penimbangan bayi, KMS, alat
pengukur LILA, alat peraga dll
Mengundang dan menggerakkan masyarakatuntuk datang ke posyandu
Menghubungi pokja posyandu, yaitu menyampaikan rencana kegiatan kepada
kantor desa
99

Melaksanakan pembagian tugas, yaitu menentukan pembagian tugas diantara


kader posyandu baik untuk persiapan maupun pelaksanaan kegiatan
2)Melaksanakan pelayanan 5 meja.

Meja 1: Pendaftaran bayi, balita, bumil, menyusui dan PUS.

Meja 2: Penimbangan balita dan mencatat hasil penimbangan

Meja 3: Mengisi buku KIA / KMS

Meja 4:
Menjelaskan data KIA / KMS berdasarkan hasil timbang
Menilai perkembangan balita sesuai umur berdasarkan buku KIA. Jika
ditemukan keterlambatan, kader mengajarkan ibu untuk memberikan
rangsangan dirumah
Memberikan penyuluhan sesuai dengn kondisi pada saat itu
Memberikan rujukan ke Puskesmas, apabila diperlukan

Meja 5: Bukan merupakan tugas kader, melainkan pelayanan sector yang


dilakukan oleh petugas kesehatan, PLKB, PPL, antara lain :
Pelayanan imunisasi
Pelayanan KB
Pemeriksaan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu nifas dan ibu
menyusui
Pemberian Fe / pil tambah darah, vitamin A (kader dapat membantu
pemberiannya), kapsul yodium dan obat-obatan lainnya
\ Untuk meja 1-4 dilaksanakan oleh kader kesehatan dan untuk meja 5
dilaksanakan oleh petugas kesehatan diantaranya dokter, bidan, perawat, juru
imunisasi dan sebagainya.
3). Tugas kader setelah hari buka posyandu.

Memindahkan catatan dalam KMS ke dalam buku register atau buku bantu kader
Mengevaluasi hasil kegiatan dan merencanakan kegiatan dari posyandu yang akan

datang
Melaksanakan penyuluhan kelompok (kelompok dasa wisma)
Melakukan kunjungan rumah (penyuluhan perorangan) bagi sasaran posyandu yng
bermasalah antara lain :
1

Tidak berkunjung ke posyandu karena sakit

Berat badan balita tetap Selama 2 bulan berturut turut


100

Tidak melaksanakan KB padahal sangat perlu

Anggota keluarga sering terkena penyakit menular

Meliputi:
a. Penemuan penderita ISPA (pneumonia Balita)
b. Penentuan diagnosa ISPA (pneumonia Balita)
c. Pengobatan penderita ISPA (pneumonia Balita)
d. Rujukan penderita ISPA (pneumonia Balita)
e. Penyuluhan ISPA (pneumonia Balita)
f. Peran serta masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan kader
g. Pencatatan dan pelaporan mengenai kasus ISPA (pneumonia Balita).
Dilakukan 1x/ tahun. Dengan tujuan memberikan pengetahuan kepada
para kader berupa pengenalan mengenai gejala penyakit ISPA ringan, sedang dan
berat berdadarkan perhitungan frekuensi napas denganmenggunakan sound timer
atau jam tangan, serta usaha-usaha pencegahan ISPA. 6
Pelatihan Pengendalian ISPA Bagi Tenaga non Kesehatan
Keberhasilan Pengendalian ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita sangat
ditentukan oleh peran serta masyarakat baik untuk menggerakkan masyarakat dalam
berperan untuk melaksanakan program (kader, TOMA, TOGA dan sebagainya)
maupun dalam menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan sarana dan pelayanan
kesehatan. Dalam mengembangkan dan meningkatkan peranan masyarakat dalam
Pengendalian ISPA dilaksanakan pelatihan Pengendalian ISPA bagi tenaga non
petugas kesehatan.
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan kegiatan promosi
pengendalian Pneumonia Balita melalui penyampaian informasi Pneumonia yang
benar kepada orang tua/pengasuh Balita dan masyarakat umum.
Sasaran:
Kader
a.

TP PKK desa dan kecamatan

b.

TOMA

c.

TOGA
101

Materi:
d.

Buku pemberdayaan kader


Penyelenggaraan:

Jumlah peserta diupayakan maksimal: 30 orang per kelas

Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 10

Lama pelatihan: 1 hari


Strategi Pengendalian ISPA di Indonesia adalah sebagai berikut : 7
1. Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan di semua tingkat dengan
melaksanakan advokasi dan sosialisasi pengendalian ISPA dalam rangka pencapaian
tujuan nasional dan global.
2. Penguatan jejaring internal dan eksternal (LP/LS, profesi, perguruan tinggi, LSM,
ormas, swasta, lembaga internasional, dll).
3. Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif.
4. Peningkatan mutu pelayanan melalui ketersediaan tenaga terlatih dan logistik.
5. Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia Balita
danpencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
6. Pelaksanaan Autopsi Verbal Balita di masyarakat.
7. Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza melalui penyusunan
rencanakontinjensi di semua jenjang, latihan (exercise), penguatan surveilans dan
penyiapansarana prasana.
8. Pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap dengan sistem
komputerisasi berbasis web.
9. Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan
berkala.
10. Evaluasi program dilaksanakan secara berkala
Indikator luaran (Evaluasi)
1. Cakupan penemuan Pneumonia Balita Pembilang (a): Jumlah kasus Pneumonia
Balita yang ditemukan di suatu wilayah kerja Puskesmas dalam 1 tahun.
Penyebut (b): Perkiraan jumlah penemuan Pneumonia Balita di wilayah kerja
Puskesmas tersebut dalam 1 tahun (10% dari jumlah Balita).
Cara penghitungan: a/b x100%
102

2. Jumlah Kasus dan CFR di rumah sakit


3. Cakupan profilaksis massal pada penanggulangan episenter pandemi
Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian ISPA berjalan sesuai
dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam pedoman baik di provinsi,
kabupaten/kota, Puskesmas dan rumah sakit menggunakan instrumen supervisi
(terlampir). Supervisi dilakukan secara berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota,
Puskesmas yang:
pencapaian cakupan rendah
pencapaian cakupan tinggi namun meragukan
kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik
Pelaksana supervisi:

Petugas pusat, petugas provinsi, petugas kabupaten/kota, petugas Puskesmas.


Alat: Formulir (checklist) untuk supervisi mencakup aspek manajemen

program (pencapaian target, pelatihan, logistik) dan aspek tatalaksana.


Luaran dari kegiatan supervisi dan bimbingan teknis pengendalian ISPA

adalah data umum wilayah


data pencapaian target program
data pelatihan
data logistik
identifikasi masalah.
cara pemecahan masalah
langkah tindak lanjut, dan
laporan supervisi dan bimbingan teknis.

Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA


Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan dengan
segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala (mingguan, bulanan,
triwulan).
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output yang diperlukan untuk
koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6 bulan, tahunan dan lima tahunan.
Keberhasilan pelaksanaan seluruh kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan
bagi perencanaan tahun/periode berikutnya.
Beberapa komponen yang dapat dipantau/evaluasi adalah:
a. Sumber Daya Manusia
i. Tenaga Puskesmas terlatih dalam manajemen program dan teknis
ii. Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota dan provinsi
b. Sarana dan Prasarana
103

i. RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki ruang isolasi, ruang rawat
intensif/ ICU dan ambulans sebagai penilaian core capacity penanggulangan pandemi
influenza.
ii. Ketersediaan alat komunikasi baik untuk rutin maupun insidentil (KLB).
c. Logistik
i. Obat:
Ketersediaan antibiotik
Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
ii. Alat:
Tersedianya ARI sound timer
Oksigen konsentrator
Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas dan
lapangan
iii. Pedoman (ketersedian dan kondisi sesuai standar)
iv. Media KIE dan media audio visual
v. Tersedianya formulir pencatatan dan pelaporan
Mekanisme pelaporan
Tingkat puskesmas
1. Laporan dari puskesmas pembantu dan bidan di desa disampaikan ke
pelaksana kegiatan di puskesmas
2. Pelaksana pelaksana merekapitulasi yang dicatat baik didalam maupun
diluar gedung serta laporan yang diterima dari puskesmas ppembantu
dan bidan di desa.
3. Hasil rekapitulasi pelaksanaan kegiatan dimasukkan ke formulir
laporan sebanyak dua rangkap, untuk disampaikan kepada koordinator
SP2TP
4. Hasil rekapitulasi pelaksanaan kegiatan diolah dan dimanfaatkan untuk
tindak lanjut yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja kegiatan.
Tingkat Kabupaten/Kota
104

1. Pengolahan data SP2TP di kab/kota menggunakan perangkat lunak yang


ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan
2. Laporan SP2TP dari puskesmas yang diterima dinas kesehatan kab/kota
disampaikan kepada pelaksana SP2TP untuk direkapitulasi / entri data.
3. Hasil rekapitulasi dikoreksi, diolah, serta dimanfaatkan sebagai bahan untuk
umpan balik,

bimbingan teknis ke puskesmas dan tindak lanjut untuk

meningkat kinerja program.


4. Hasil rekapitulasi data setiap 3 bualn dibuta dalam rangkap 3 (dalam bentuk
soft file) untuk dikirimkan ke dinas kesehatan Dati I, kanwil depkes Provinsi
dan Departemen Kesehatan.
Tingkat Provinsi
1. Pengolahan dan pemanfaatan data SP2TP di provinsi mempergunakan
perangkat lunak sama dengan kab/kota
2. Laporan dari dinkes kab/kota, diterima oleh dinas kesehatan provinsi dalam
bentuk soft file dikompilasi / direkapitulasi.
3. Hasil rekapitulasi disampaikan ke pengelola program tingkat provinsi untuk
diolah dan dimanfaatkan serta dilakukan tindak lanjut, bimbingan dan
pengendalian.
Tingkat Pusat
Hasil olahan yang dilaksanakan Ditjen BUK paling lambat 2 bulan setelah
berakhirnya triwulan tersebut disampaikan kepada pengelola program terkait dan
Pusat Data Kesehatan untuk dianalisis dan dimanfaatkan sebagai umpan balik,
kemudian dikirimkan ke Dinkes Provinsi.
Pengobatan pneumonia 5
Pemberian antibiotic oral
Beri antibiotik oral PILIHAN PERTAMA (KOTRIMOKSAZOL) bila tersedia. Ini
dipilih karena sangat efektif, cara pemberiannya mudah dan murah. Antibiotik
PILIHAN KEDUA (AMOKSISILIN) diberikan hanya apabila obat pilihan pertama
tidak tersedia atau apabila dengan pemberian obat pilihan pertama tidak memberi
hasil yang baik.
Untuk menentukan dosis antibiotik yang tepat:

Lihat kolom yang berisi daftar kandungan obat dan sesuaikan dengan
105

sediaan tablet atau sirup yang ada di Puskesmas.


Selanjutnya pilih baris yang sesuai dengan umur atau berat badan anak.
Untuk menentukan dosis yang tepat, memakai berat badan lebih baik
daripada umur. Dosis yang tepat tertera pada perpotongan antara kolom

jenis obat dan baris umur atau berat badan.


Antibiotik diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian 2 kali per

hari.
Jangan memberikan antibiotik bila anak atau bayi memiliki riwayat
anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.
Gunakan jenis antibiotik lain. Kalau tidak mempunyai antibiotik yang lain
maka rujuklah.

Pengobatan demam
Anak dengan demam tinggi bisa diturunkan dengan parasetamol sehingga anak akan
merasa lebih enak dan makan lebih banyak. Anak dengan pneumonia akan lebih sulit
bernapas bila mengalami demam tinggi. Beritahukan ibunya untuk memberikan
parasetamol tiap 6 jam dengan dosis yang sesuai) sampai demam mereda. Berikan
parasetamol kepada ibu untuk 3 hari.
Beritahukan ibunya untuk anak yang demam berilah pakaian yang ringan. Tak perlu
dibungkus selimut terlalu rapat atau pakaian yang berlapis, sebab justru akan
menyebabkan tidak enak dan menambah demam.
Demam itu sendiri bukan indikasi untuk pemberian antibiotik, kecuali pada bayi
kurang dari 2 bulan. Pada bayi kurang dari 2 bulan kalau ada demam harus dirujuk;
jangan berikan parasetamol untuk demamnya.
Pengobatann wheezing
Sebelum memberikan bronkhodilator carilah apakah ada tanda distress pernapasan.
Tanda distress pernapasan:

Anak tampak gelisah karena paru tidak mendapat udara yang cukup - Bisa
terjadi gangguan/ kesulitan sewaktu makan dan bicara
Berilah bronkhodilator kerja cepat (rapid acting) sehingga pernapasan anak
sudah membaik sebelum dirujuk Kalau di Puskesmas tidak tersedia
bronkhodilator

kerja

cepat,

berilah

satu

dosis

bronkhodilator

oral.

Bronkhodilator adalah obat yang membantu pernapasan anak dengan jalan


106

melebarkan saluran udara dan melonggarkan spasme (penyempitan) bronkhus.


Berikut ini

adalah

uraian

tentang

bronkhodilator kerja cepat dan

bronkhodilator oral.
Berikan dengan salah satu cara berikut:
A. Salbutamol nebulisasi
B. Salbutamol dengan MDI (metered dose inhaler) dengan spacer
C. Jika kedua cara tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) secara subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian Salbutamol tidak tersedia, beri suntikan Epinefrin
(Adrenalin) subkutan dosis 0,01 ml/kg dalam larutan perbandingan 1:1000 (dosis
maksimum: 0,3 ml), menggunakan semprit 1 ml.
Jika 20 menit setelah pemberian Adrenalin sub kutan tidak ada perbaikan maka ulangi
dosis satu kali lagi.
Bayi muda berumur <2 bulan dengan pneumonia lebih mudah meninggal dibanding
bayi yang lebih tua sehingga pemberian oksigen secara tepat merupakan hal penting.
Jagalah sungguh-sungguh pada bayi prematur untuk menghindari pemberian oksigen
terlalu banyak karena dapat mengakibatkan kebutaan.
Angka kematian pneumonia balita
Hingga saat ini Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Kematian pada Balita (berdasarkan Survei
Kematian Balita tahun 2005) sebagian besar disebabkan karena pneumonia 23,6%.

107

Angka kesakitan pneumonia balita


Selama ini digunakan estimasi bahwa insidens pneumonia pada kelompok umur
Balita di Indonesia sekitar 10-20%.
Angka Kesakitan Pneumonia menurut SDKI 1991-2003 dan Survei Morbiditas ISPA
2004 melaporkan data persentase anak yang menderita batuk dengan napas cepat
dalam dua minggu sebelum survei, sebagai berikut:

Di Indonesia, angka kesakitan pneumonia juga cukup tinggi. Cakupan


penemuan pneumonia pada tahun 2007 adalah 21,52% dengan jumlah kasus 477.420
(Profil Kesehatan Indonesia 2007). Jumlah ini meningkat pada tahun 2010 dimana
cakupan penemuan pneumonia pada balita pada tahun 2010 adalah sebesar 23 %,
dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 499.259 kasus (Profil Kesehatan
Indonesia 2010). Tingginya angka morbiditas juga disertai dengan tingginya angka
mortalitas. Berdasarkan Riskesdas 2007, penyebab kematian perinatal (0-7 hari) yang
terbanyak adalah gangguan pernapasan (35,9%). Sedangkan pneumonia menjadi
penyebab kematian tertinggi kedua setelah diare pada bayi dan balita yaitu dengan
prevalensi 23% pada bayi dan 15,5% pada balita. Jumlah ini meningkat pada tahun
2011. Survei Kesehatan Nasional 2011 mencatat sekitar 27,6% balita di Indonesia
meninggal karena pneumonia.

Menurut data Riskesdas 2007, prevalens pneumonia (berdasarkan pengakuan


pernah didiagnosis pneumonia oleh tenaga kesehatan dalam sebulan terakhir sebelum
survei) pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang antar provinsi sebesar 013,2%. Prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%),
sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%

108

Gambaran persebaran kasus diperoleh berdasarkan data insiden pneumonia


balita berobat, yaitu jumlah penderita pneumonia balita yang diobati dibagi dengan
total populasi balita di wilayah program dikali seratus persen. Insiden pneumonia
berada pada rentang 2,2 hingga 4,9 pada tahun 2000 hingga 2009 (Gambar.6). Bila
dilihat berdasarkan pembagian kategori tinggi rendahnya insidens pneumonia, maka
rata-rata insidens nasional berada pada daerah kuning (insidens 1-4%) kecuali pada
tahun 2001 dan 2004 masuk dalam kategori merah/tinggi (>4%). Namun bila dilihat
dari kelengkapan laporan yang masih kurang, maka terdapat kemungkinan data
insidens ini masih lebih rendah dari yang sebenarnya.

Daftar pustaka
1. Depkes RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
pada Anak, Jakarta, 2006
109

2. Behrman, Kliegman, Arvin. ilmu kesehatan anak.2006. edisi 15, halaman 23,
Jakarta: EGC. Hal
3. Theresia. 2009. Jangan Anggap Enteng Pneumonia. http://kesehatan.kompas.
com/read/2009/09/12/13191250/Jangan.Anggap.Enteng.Pneumonia.di

akses

tanggal 4 juni 2010 jam 19.15 wib


4. Pedoman pengendalian infeksi saluran pernapasan akut. Kementerian
kesehatan republic Indonesia direktorat jenderal pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan
5. Modul tatalaksana standar pneumonia. Kementerian kesehatan republic
Indonesia direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan 2012.
6. Pneumonia balita. Pusat data dan surveilans epidemiologi. Kementerian
kesehatan republik Indonesia.
7. Zulkifli. (2003). Posyandu dan Kader Kesehatan. Pelaksanaan Program
Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita di Posyandu

110

Anda mungkin juga menyukai