I.
Pendahuluan
Sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic country) terbesar di dunia, Indonesia
dikaruniai pulau besar dan kecil yang berjumlah sekitar 17.500an dan dengan garis
pantai sepanjang 95.181 km menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki
sumberdaya pesisir dan laut yang penting di dunia. Dengan panjang pantai yang
merupakan urutan ke 4 dunia setelah Canada, Amerika Serikat dan Rusia (World
Resources Institute, 2001), Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dan
diantaranya merupakan delta yang memiliki karakteristik khas.
Dalam dasawarsa
terakhir ini, pembangunan berbasiskan pesisir dan lautan mulai mendapat perhatian Hal
ini merupakan suatu hal yang wajar, mengingat demikian besarnya potensi sumberdaya
di wilayah pesisir dan lautan.
Pertemuan
antara ekosistem daratan dan lautan inilah yang menyebabkan keragaman ekologi
wilayah pesisir menjadi sangat tinggi. Selain memiliki karakter darat dan laut, wilayah
pesisir juga memiliki kekhasan endemik wilayah pesisir yang tidak dijumpai di ekosistem
daratan maupun lautan.
pesisir antara lain : ekosistem mangrove, hutan pantai, hutan rawa pantai, estuaria,
terumbu karang, padang lamun, lahan basah, pantai lumpur, pantai berbatu dan
ekosistem pelagis dangkal.
hayati yang besar dan sekaligus rentan terhadap perubahan yang melebihi kapasitas
daya dukungnya.
Kawasan pesisir
selain menyimpan sumberdaya hayati yang tinggi juga menyediakan berbagai jasa
lingkungan, seperti sebagai areal pelabuhan, jalur transportasi, kawasan industri,
kawasan pariwisata dan rekreasi, kawasan tambak dan tempat pembuangan limbah.
Salah satu kawasan pesisir yang perlu segera mendapat perhatian karena tekanan yang
tinggi untuk kepentingan ekonomi adalah delta, sehingga perlu dilakukan upaya untuk
mengelolanya secara berkelanjutan.
Luas hutan mangrove di Delta Mahakam semula diperkirakan mencapai 120.00 ha,
namun saat ini yang tersisa hanya 20 %-nya (Creocean, 2000). Gambar 1 berikut
adalah gambaran perubahan penggunaan lahan dari tahun 1992-1998.
Gambar 1. Gambaran sebagian Delta Mahakam dari Citra satelit SPOT. Warna merah
mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk hutan mangrove. (a) Tahun
1992, tambak udang hanya meliputi 4 % dari luas hutan mangrove. (b).
Tahun 1998, tambak udang telah merusak 41% dari luas hutan mangrove.
(c) Inset dari daerah di dalam kotak bergaris putih pada gambar (b),
menunjukkan pola tambak yang berkembang di kawasan tersebut.
(Diadaptasi dari berbagai sumber, 2009)
Demikian pula laju perubahan di lahan mangrove di atas diikuti dengan meningkatnya
secara drastis luasan tambak yang dibuka, hal ini menunjukkan keterkaitan kuat bahwa
deforestasi yang terjadi adalah untuk dibuka menjadi tambak dan pemukiman. Laju
deforestasi besar-besaran terjadi sekitar tahun 1991-1996.
Gambar 2 menunjukkan
Gambar 2. Laju Deforestasi Delta Mahakam dari Tahun ke Tahun (Creocean dalam
PKSPL IPB, 2009)
Gambar 3. Proses perubahan lahan secara drastis di Delta Mahakam sebagai dampak
krisis moneter. Perubahan paling besar dialami oleh hutan nipah
(dimodifikasi dari Bourgeois et al., 2002).
Hilangnya hutan mangrove berpengaruh terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir,
yang dapat berakibat pada penurunan potensi sumberdaya perikanan, intrusi air laut,
peningkatan laju abrasi dan hilangnya biodiversitas. Semenjak tahun 1996, laju abrasi
diperkirakan mencapai sekitar 1.4 km2 per tahun; sementara sebelumnya hanya sekitar
0.13 km2 per tahun (Levang, 2002).
Akibat laju deforestasi ini juga berupa peningkatan laju abrasi pantai sebesar 10 kali
lipat yang diakibatkan oleh tidak adanya greenbelt. Dampak lainnya yang sekarang
dirasakan adalah intrusi air laut ke sumur-sumur di wilayah-wilayah hilir delta sampai
puluhan kilometer, sehingga air menjadi payau, terutama saat musim kemarau. Hal ini
terjadi karena ekosistem mangrove yang dulu menjadi filter alam sekarang sudah hilang
sehingga air laut jauh masuk ke wilayah delta.
Ancaman terbesar dari hilangnya ekosistem mangrove adalah hilangnya
sumber
kehidupan alami bagi sumberdaya hayati perikanan maupun non perikanan, seperti
hilangnya spesies air tawar, jenis mangrove yang tidak tahan air asin karena masuknya
air laut sampai jauh, hilangnya tempat bertelur, sumber pakan ikan, tempat memijah dan
tempat pengasuhan bagi sumberdaya ikan laut, sehingga stok ikan di laut berkurang.
Bila melihat kondisi nyata Delta Mahakam maka sangat mendesak dilakukan langkahlangkah untuk memperbaiki kondisi yang mengkhawatirkan tersebut. Beberapa program
pengelolaan Delta Mahakam telah diusahakan, namun belum dapat mengatasi masalah
yang dihadapi, diantaranya diakibatkan oleh factor-faktor yang menjadi kendala yakni
belum adanya penataan ruang yang baik dan memiliki kekuatan hukum, tumpang tindih
kewenangan dan kelembagaan dalam pengelolaan, berkembangnya aktivitas yang
merusak kawasan delta, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola
lingkungan.
berbasis ekosistem yang luas (large based ecosystem) karena adanya keterkaitan yang
erat antara DAS, pesisir maupun laut/lautan. Sehingga konsepsi ICM dikembangkan
menjadi IRCOM (Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management). Konsep
dasar dari IRCOM ini adalah bahwa dalam pengelolaan pesisir, kondisi ekologi, ekonomi
dan sosial yang dikaji tidak hanya wilayah pesisirnya saja, tetapi juga kondisi yang sama
untuk wilayah DAS, karena justru sebagian besar limbah dan partikel tersuspensi yang
masuk ke wilayah pesisir berasal dari DAS. Limbah dan partikel tersuspensi tersebut
tidak saja terbawa oleh aliran air pada saat hujan, tetapi secara terus menerus dibuang
ke sungai melalui saluran pembuangan limbah sehingga andilnya sangat besar terhadap
pencemaran yang terjadi di wilayah delta. Selain hal tersebut, pengelolaan pesisir juga
dipengaruhi oleh aktivitas laut/lautan diantaranya arus, gelombang, polusi maupun
bencana yang berasal dari laut/lautan, perubahan permukaan laut sehingga perspektif
pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan laut/lautan sebagai faktor penting bagi
keberhasilan pengelolaan (Kusumastanto, 2008).
Melalui IRCOM, tidak saja akan diketahui tingkat pencemaran yang terjadi di wilayah
pesisir, tetapi juga akan diketahui proses-proses alami yang terjadi di sekitar DAS
seperti siklus air, transfer material dan energi yang terjadi di sekitar DAS serta
pengaruhnya pada wilayah pesisir. Selain itu, akan diketahui pula aktivitas-aktivitas
manusia yang berada di sekitar DAS dan wilayah pesisir yang mempengaruhi prosesproses alami yang terjadi seperti urban development (perumahan, industri dan
sebagainya), rural activities (kehutanan, peternakan, pertanian, perikanan, dan
sebagainya), serta infrastruktur (irigasi, bendungan, pintu air dan dam). Dari sisi laut
dapat diketahui dan sekaligus direncanakan berbagai implikasi dari kegiatan ekonomi
maupun aktivitas laut seperti gelombang, arus serta berbagai aspek perubahan laut
yang diakibatkan oleh perubahan iklim (sea level rise dlsb) serta mitigasi bencana yang
diakibatkan gempa di laut (dampak tsunami), polusi yang berasal dari laut/lautan.
Pendekatan IRCOM bukan pendekatan yang instan dan singkat, tetapi merupakan
sebuah pendekatan yang terintegrasi, menyeluruh dan rinci, karena meliputi beberapa
proses perencanaan pengelolaan lingkungan yang mendetail. Dalam konsep IRCOM,
dilakukan beberapa tahapan antara lain analisis kondisi eksisting, identifikasi konflik dan
peluang, identifikasi tujuan dan alternatif pengelolaan lingkungan untuk rencana aksi,
pengembangan strategi, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Dengan demikian
Gambar 4.
1999)
masalah ini pada prinsipnya dapat dilakukan melalui pendekatan ekosistem, ekonomi,
sosial dan kelembagaan.
5.1. Pendekatan Ekosistem
Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan kawasan delta adalah pengelolaan yang
dilakukan dengan berbasiskan kepada pengetahuan dan pemahaman kondisi ekosistem
perairan di kawasan delta.
pesisir, semi tertutup dan merupakan perairan yang sangat dipengaruhi oleh masukan
air dari daratan melalui sungai maupun dari laut. Dalam arti kata, ekosistem perairan
pesisir, delta tidak berdiri sendiri dan sangat dipengaruhi oleh ekosistem daratan melalui
sungai dan laut lepas. Sehingga, pengelolaan kawasan delta tidak bisa di lepaskan dari
pengelolaan kawasan DAS serta lautan.
sesuai dengan pendekatan IRCOM menjadi penting mengingat, khususnya dalam hal
pencemaran perairan, sumbangan bahan pencemar terbesar nampaknya masih
didominasi oleh masukan dari sistem DAS. Demikian pula ekosistem dan aktivitas
berbasiskan laut juga berpengaruh terhadap pengelolaan delta, misalkan red tide,
dampak perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya paras muka laut, tsunami atau
pencemaran minyak yang berasal dari laut (seaborne).
5.3.
Pendekatan Sosial-Politik
10
juga
Oleh karena itu pengaturan hukum dan kelembagaan hanya akan dapat
11
6. Penutup
Pengelolaan delta sebagai bagian pengelolaan pesisir sangat mendesak untuk
dilaksanakan mengingat telah terjadi kerusakan ekosistem delta yang tedapat di
berbagai wilayah di Indonesia. Konsepsi pengelolaan delta harus dalam perspektif yang
lebih luas dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, mengingat keterkaitan
ekosistem DAS maupun laut/lautan yang sangat erat.
maka berbagai aspek yang meliputi aspek ekosistem, sosial dan ekonomi pada ke tiga
ekosistem utama yang berpengaruh pada pengelolaan delta dipertimbangkan secara
terintegratif sehingga pengelolaan delta dapat lebih komprehensif guna mencapai
keberlanjutan delta serta memberi manfaat pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of
Environmental Disasters in Small Islands Regions. Environmental Impact Assessment
Review 22 : 393-414 pp.
Adrianto, L and Y. Matsuda. 2004. Study on Assessing Economic Vulnerability of Small
Islands Regions. Environment, Development and Sustainability 6 : 317-336 pp.
Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic Vulnerabilities.
World Development, 23 (9), 1615-1632.
Briguglio, L. 2000. An Economic Vulnerability Index and Small Island Developing
States : Recent Literatures. Working Paper, Kagoshima University Pacific Islands
Studies Center. Kagoshima, November 29, 2000.
Debance, K.S. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island.
[online]. Available online at http://www.insula.org/islands/small-islands.html. Accessed
in May 25, 1999.
Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands, in : Beller, W., P.
dAyala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of
Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Paris, France, New Jersey, USA. pp. 3544.
Kusumastanto, T. 2001. Management Model in the Implementation of Sustainable
Coastal Develeopment in Kusumastanto et al (Eds.). 2001. Optimizing Development and
Environmental Issues at Coastal Area: Problems and Solutions for Sustainable of
12
Mahakam Delta. Proceeding of International Workshop. Center for Coastal and Marine
Resources Studies. Bogor Agricultural University. Bogor.
Kusumastanto, T, 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negara Bahari di Era Otonomi
Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kusumastanto, T. 2008. Current Status of Integrated Coastal Zones Management in
Indonesia. In Mimura, N (Ed.) 2008. Asia Pasific Coasts and Their Management. State of
Environment. Springer and EMECS. The Netherlands.
Kusumastanto, T. 2009. Penyelamatan Delta Mahakam. Seminar Delta Mahakam.
Samarinda, Kalimantan Timur.
Lonergan, S and B. Kavaragh. 1991. Climate Change, Water Resources and Security in
the Middle East. Global Environmental Changes 1 (4), 272-290.
13