Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran dan pengaruhnya dari eksistensi lembaga-lembaga negara di Indonesia menjadi
sebuah bahasan yang selalu menarik seiring dengan perkembangan dan dinamika yang terus
berjalan dari waktu ke waktu. Pola peran dan hubungan interaksi yang dihasilkan antar
lembaga pada setiap masa-nya turut mempengaruhi jalannya suatu sistem politik maupun
sistem hukum dalam kehidupan bernegara di negeri yang menganut azas demokrasi ini. Oleh
karenanya kerap terjadi gesekan antar kepentingan yang tak pelak memicu sebuah konflik
atas terlanggarnya sebuah peraturan yang tertuang dalam konstitusi. Karena pada nyatanya
meski pembagian kekuasaan dan kewenangan yang diberikan pada lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan
sebagai landasan konstitusi tertingi, namun kerap diartikan sebagai sesuatu yang salah baik
antar lembaganya maupun di mata masyarakatnya. Seperti contoh, pemerintahan eksekutif
bersama eksekutif berwenang untuk membahas dan merumuskan kenaikan harga bahan
bakar minyak, maka sebagian dari masyarakat akan menganggap pemerintahan tidak prorakyat. Atau dalam keadaan lain, bila pemerintahan eksekutif memiliki rumusan untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak karena beberapa alasan yang dianggap urgent, tetapi
ditolak oleh parlemen karena dianggap kenaikan harga belum begitu diperlukan.
Berbicara ke hal lain terkait mengenai pembangunan hukum, perkembangan dari
masa ke masa kepemimpinan eksekutif dan pemerintahan memiliki gaya dan konsentrasi
yang hampir berbeda-beda dalam penegakan hukumnya yang juga dipengaruhi oleh
dinamika perkembangan sistem hukum dan politik yang terjadi. Di era kepemimpinan
Soeharto, penegakan hukum tegas dengan gaya militeristik yang kental dan cenderung
tertutup nan otoriter, orang-orang yang tidak pro pada pemerintahan dengan mudah hilang
atau diasingkan. Sehingga kejahatan kerah putih pada masa ini cenderung tidak terekspose oleh khalayak dan ditutup-tutupi. Hingga pada puncaknya masa kepemerintahan
Soeharto diturunkan atas tuntutan reformasi oleh masyarakat luas atas beragam kekisruhan
ekonomi dan politik di masa itu. Korupsi masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di
1

era itu. Berbeda dengan era kepemimpinan Soeharto, di era reformasi hingga saat ini yang
bentuk pemerintahannya lebih terbuka dan transparan, penegakan hukum tidak hanya untuk
warga sipil yang melakukan tindakan melanggar hukum, tetapi juga penegakan hukum atas
kejahatan kerah putih di berbagai elemen lembaga pemerintahan terkait tindak korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang kemudian terungkap satu demi satu.
Semangat pemberantasan korupsi terus berjalan hingga di masa kepemimpinan
Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri yang mendirikan sebuah lembaga yang khusus
dibentuk untuk menjadi lembaga yang berwenang untuk menginvestigasi hingga memvonis
tindak pidana korupsi untuk diadili melalui pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).
Semangat itu pun diteruskan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
hingga kepemimpinan Presiden Joko Widodo kini. Permasalahan yang akan penulis bahas
dalam makalah ini adalah dengan mengambil studi kasus: pemberantasan kasus korupsi di
era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan melihat dari peran dan
kedudukannya sebagai seorang Presiden dalam upaya pembangunan hukum di Indonesia,
karena dalam masa kepemerintahannya, beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu
tersandung permasalahan korupsi, belum lagi beberapa kader Partai Demokrat (partai
bentukan SBY) dalam parlemen yang juga tersandung kasus korupsi. Peran atas hak-hak
terkait hukum yang dimiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun diuji dalam masa
pemerintahannya, seperti saat ia memberikan grasi kepada salah satu narapidana tindak
korupsi. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi lokus masalah dan akan penulis coba untuk
dijelaskan dalam pembahasan makalah ini
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan 2 poin rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana peran dan kedudukan Presiden dalam pembangunan hukum di Indonesia
dilihat dari tugas serta wewenangnya yang tertuang di dalam konstitusi dan struktur
politik di Indonesia?
2. Bagaimana upaya dan hasil pemberantasan korupsi di era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam perspektif pembangunan hukum di Indonesia dilihat dari beberapa
kasus tindak pidana korupsi dan pemberian grasi kepada tersangka korupsi Syaukani
Hassan Rais?

1.3 Tujuan Penulisan


Melihat dari rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini, adalah:
1. Menjelaskan bagaimana peran dan kedudukan Presiden dalam pembangunan hukum di
Indonesia dilihat dari tugas serta wewenang yang tertuang di dalam konstitusi dan
struktur politik Indonesia.
2. Mengetahui upaya dan hasil pemberantasan korupsi pada era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam perspektif pembangunan hukum di Indonesia dilihat dari beberapa
kasus tindak pidana korupsi dan pemberian grasi kepada tersangka korupsi Syaukani
Hassan Rais.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Struktur Politik di Indonesia
Berdasarkan ajaran trias politica dan pembagian kekuasaan murni yang diajarkan oleh
Montesque bahwa kekuasaan negara terbagi menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif yang mana kekuasaannya terpisah dari satu
dengan yang lainnya. Kekuasaan legislatif merupakan kewenangan untuk membuat peraturan
dan undang-undang, kekuasaan eksekutif berwenang untuk melaksanakan/menjalankan
undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kewenangan untuk mengadili atas
tindakan/pelanggaran peraturan perundang-undangan. Indonesia pun juga menganut asas trias
politica ini bila diperhatikan dalam pelaksanaanya yang membentuk pembagian kekuasaan
secara seimbang untuk membentuk check and Balances, meskipun secara konstitusional tidak
tertulis secara eksplisit bahwa pembagian kekuasaan di Indonesia berasal dari ajaran trias
politica. Yang memegang kewenangan legislatif di Indonesia adalah DPR/DPD, kekuasaan
eksekutif dipegang oleh Presiden, kementrian dan setingkatnya, dan yudikatif yang dipegang
oleh Mahkamah Konstitusi.
2.2 Kedudukan dan Peran Presiden di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang dalam perjalanan panjang
dinamika dan perkembangan politiknya membentuk negara republik yang menjalankan sistem
Presidensiil, sehingga sama halnya seperti negara-negara dengan bentuk republik lainnya,
Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang dipilih oleh rakyat yang disebut sebagai Presiden.
Seorang Presiden di Negara Republik memiliki dua tugas dan jabatan sekaligus yaitu sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dengan sistem Presindensiil, maka Presiden di
Indonesia memiliki Hak Prerogratif dan Hak Politik sehingga secara umum Presiden sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintah menjadi suatu simbol pemimpin negara sekaligus
dapat mencampuri masalah pemerintahan dan legislatif, serta memimpin seperangkat
pemerintahan birokrasi dan kementerian yang dibentuk dalam suatu kabinet. Presiden dalam
sistem ini juga berkewajiban untuk menjalankan kebijakan dalam Negeri yang telah
4

ditetapkan oleh konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan
bahwa kekuasaan eksekutif tertinggi di Indonesia dimiliki oleh Presiden dibantu oleh Wakil
Presiden dan jajaran Kementerian. Tugas, kewajiban, wewenang, serta mekanisme pemilihan
seorang Presiden pun tertuang jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Tugas Presiden sebagai Kepala Negara dalam UUD 1945, antara lain;
1. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara. (UUD 1945 Pasal 10)
2. Presiden mengangkat duta dan konsul. (UUD 1945 Pasal 13 Ayat 1)
3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR. (UUD 1945 Pasal 13 ayat 3)
b. Tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dalam UUD 1945, antara lain;
1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar (UUD 1945 Pasal 4 Ayat 1)
2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2)
3. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (Pasal 17 ayat 2)
4. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang. (Pasal 23 ayat 2)
5. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan DPR. (Pasal 23 ayat 2)
6. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden.
7. Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dean Perwakilan Rakyat
untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh
Presiden. (Pasal 24A Ayat 3)
8. Anggota Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. (Pasal 24B Ayat 3)
9. Mahkamah Konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(Pasal 24C Ayat 3)

c. Wewenang Presiden yang tertuang dalam UUD 1945, antara lain;


1. Presiden, berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. (UUD 1945 Pasal 5 Ayat 1)
2. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (UUD 1945 Pasal 11 Ayat 1)
3. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebab keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Presiden menyatakan keadaan bahaya. (UUD 1945 Pasal 12)
5. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung ( UUD Pasal 12)
6. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat. (UUD 1945 Pasal 14 Ayat 2)
7. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang, (UUD 1945 Pasal
8. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. (UUD
1945 Pasal 16)
9. Berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22
Ayat 1)
Dari penjabaran mengenai tugas dan wewenang Presiden yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat dilihat bahwa Presiden memiliki peran eksekutif
yang cukup luas dan kuat sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang
mempengaruhi proses jalannya pemerintahan hingga penegakan dan menjalankan sistem
hukum di Indonesia, mulai dari dapat merumuskan sebuah peraturan yang dapat
menggantikan perundangan, hingga menetapkan unsur-unsur penting dalam sistem hukum
seperti penetapan Hakim Agung dan memberikan grasi/rehabilitasi terhadap suatu narapidana.
2.3 Pemberantasan Korupsi Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Dizaman reformasi ini korupsi merupakan salah satu epidemi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Setiap sektor yang ada di Indonesia sudah terjangkit wabah yang
bernama korupsi,mulai dari tingkat bawah hingga yang paling atas hampir semuanya sudah
6

terjangkit virus korupsi. Bila terus-menerus dibiarkan maka akan berdampak pada
lambatnya pembangunan negara karena uang negara terus-menerus dikeruk untuk
kepentingan pribadi. Lambatnya pembangunan negara akan membuat Indonesia terjebak
dalam label Negara Berkembang dan sangat sulit untuk menjadi negara maju. Jangankan
untuk menjadi negara maju Indonesia hanya akan menuju jurang negara gagal apabila
permasalahan korupsi tidak segera ditangani.
Pada tahun 2012 Indonesia masih belum tergolong sebagai negara antikorupsi.
Pernyataan tersebut terbukti dengan indeks persepsi korupsi Indonesia hanya sebesar 32
poin dari 100 poin,bahkan Indonesia masih kalah dengan Negara Ethiopia yang mempunyai
indeks persepsi korupsi sebesar 33. Indeks tersebut membuat Indonesia berada pada
peringkat 114 negara antikorupsi. Data diatas menunjukkan bahwa tingkat korupsi Indonesia
tidak mengalami penurunan bahkan cenderung stagnan.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pemberantasan korupsi masih belum
optimal. Walaupun cukup banyak koruptor kelas kakap yang tertangkap akan tetapi kasuskasus korupsi baru terus-menerus muncul selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Tidak hanya itu bahkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdapat
tiga menteri aktif yang menjadi tersangka kasus korupsi. Ketiga menteri tersebut antara lain;
1. Andi Mallarangeng
Menpora Andi Mallarangeng tersangkut pada kasus dugaan korupsi Hambalang. Dalam
kasus dugaan korupsi Hambalang, KPK sebelumnya menetapkan Deddy Kusdinar,
mantan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pemuda dan Olahraga yang saat ini
masih menjabat Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan
Olahraga, sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang pada 23 Juli lalu. Dalam
kasus ini, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan bahwa Andi
tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penetapan pemenang lelang atas
pengadaan barang/jasa di atas Rp 50 miliar sesuai dengan Keputusan Presiden No.
80/2003 Pasal 26.
2. Suryadharma Ali
Pada tanggal 22 Mei 2014 yang lalu, KPK menetapkan Suryadharma Ali sebagai
tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013. Kasus dugaan
korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013 terkait
7

dana pemondokan, katering, dan transportasi. Suryadharma Ali diduga melakukan


penyalahgunaan wewenang yang bisa merugikan keuangan negara.
3. Jero Wacik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Jero Wacik (JW) sebagai tersangka. Jero diduga melakukan tindak pidana
korupsi terkait dengan pengadaan proyek di Kementerian ESDM pada 20112013. Ketua KPK Abraham Samad sebelumnya menyebutkan, KPK menemukan
indikasi pemerasan terkait dengan proyek tersebut. KPK telah melakukan ekspose atau
gelar perkara terkait dugaan keterlibatan Jero dalam proyek pengadaan di Kementerian
ESDM tersebut. Penyelidikan terkait proyek pengadaan di Kementerian ESDM ini
merupakan hasil pengembangan proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan di
Sekretariat Jenderal ESDM yang menjerat mantan Sekretaris Jenderal ESDM Waryono
Karno.Indikasi penyelewengan itu muncul setelah KPK menemukan adanya perintah
Jero kepada Waryono Karno saat Waryono masih menjabat sekretaris jenderal untuk
"memainkan" anggaran di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Keterkaitan menteri yang aktif menjabat dengan kasus korupsi menunjukkan
kurangnya pengawasan presiden terhadap menteri, sehingga membuat terjadinya
penyalahgunaan wewenang. Karena menteri dipilih secara langsung oleh presiden sehingga
presidenlah yang bertanggung jawab atas kinerja menteri.
Tidak hanya itu inkosistensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberantas
kasus korupsi juga ditunjukkan dengan pemberian remisi bahkan grasi pada koruptor. Pada
lebaran tahun 2011 presiden memberikan remisi pada 235 narapidana yang tersangkut kasus
korupsi,tidak hanya itu karena pemberian remisi tersebut sebanyak 8 orang narapidana kasus
korupsi langsung bebas. Tidak hanya pemberian remisi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bahkan juga memberikan grasi pada Syaukani Hassan Rais.
2.4 Pemberian Grasi Pada Kasus Syaukani Hassan Rais
Koruptor ini sudah Pada 18 Desember 2006 ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam
kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu yang diduga merugikan negara sebesar
Rp 15,36 milyar, namun segera setelah itu Syaukani langsung menjalani perawatan rumah
sakit selama sekitar 3 bulan dan tidak kembali ditahan setelah selesai menjalani perawatan.
8

Pada 16 Maret 2007, Syaukani akhirnya dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai
Kertanegara di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) pada 14 Desember 2007, memvonis Syaukani dengan hukuman penjara
dua tahun enam bulan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga
2005 dan merugikan negara Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan Syaukani
adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi
kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos
anggaran kesejahteraan masyarakat. Sampai hari ini, Syaukani tercatat sebagai pasien dalam
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dan kemarin, melalui surat Grasi No. 7/G
Tahun 2010 tertanggal 15 Agustus 2010 yang ditandatangani Presiden SBY, hukuman
mantan Ketua DPD Partai Golkar Kaltim tersebut, dikurangi dari tadinya enam tahun
menjadi tiga tahun penjara.
Masalah sebenarnya bukan disini, tapi Syaukani sebelumnya telah menjalankan
hukuman bui dalam kurun waktu tiga tahun dari sisa hukuman 6 tahun, maka setelah SBY
menurunkan keputusan grasi tersebut, otomatis dia dinyatakan warga bebas. Pada 18
Agustus lalu, surat pembebasan diantar staf Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang
kepada Syaukani yang sedang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Dari sinilah masyarakat
menuai protes.
Menurut Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM kondisi kesehatan Syaukani yang
memprihatinkan membuatnya pantas mendapat grasi dari Presiden. Faktanya, berdasarkan
UU Nomor 22 Tahun 1995 dan PP tahun 1996, semua mengatur remisi pada siapapun dan
harus ada klarifikasi. Saat ini ada empat koruptor yang dapat remisi di antaranya Aulia
Pohan dan Syaukani. Semuanya sudah bebas bersyarat dan sudah ada waktunya. Sedangkan
Syaukani harus membayar Rp45 miliar dan suratnya sudah ada di KPK. Walau Syaukani
sudah terlepas dari hukuman bui, dia tetap diwajibkan oleh Negara untuk mengganti kas
keuangan yang telah ia raup, meski hanya 1/3 dari total 113 M. Bukan berarti dia bebas lalu
tidak membayar, tidak begitu.
Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa mengakui jika institusinya
memberikan pertimbangan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan
grasi terhadap mantan terpidana kasus korupsi, Syaukani. Menurut keterangan dokter Cipto
9

Mangunkusumo, Syaukani akan alami cacat permanen dan stroke berat. Jika diteruskan
dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo justru akan merugikan keuangan negara.
Harifin menjelaskan, awalnya kuasa hukum Syaukani mengusulkan grasi pada 2009. Saat
pengajuan grasi, kuasa hukum Syaukani menyertakan surat keterangan dokter tentang
kondisi Syaukani yang sudah tidak dapat bergerak. Kemudian, Ketua MA menyerahkan data
tersebut pada salah satu hakim agung untuk menelaah usulan grasi tersebut. Akhirnya, MA
memutuskan merekomendasikan pada Presiden untuk memberi grasi pada Syaukani.
a. Tujuan Politis dibalik Pemberian Grasi
Beberapa pihak menyatakan kontra dengan keputusan yang telah diputuskan oleh
pemerintah, yaitu pemberian grasi kepada koruptor. Dalam hal ini, bukan sisi manusiawilah yang perlu kita pertanyakan, tapi sikap kebijakan dan ketegasan dari pemerintah itu
sendiri. Terutama dalam salah satu program kerja terpilih yang SBY deklrasikan dalam
pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu jilid Satu (yang dinilai kurang memuaskan) dan
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (yang masih berjalan). Poin yang perlu diangkat disini,
terutama adalah poin pertama dalam total 15 progker terpilih, yaitu pemberantasan mafia
hukum.
Sejumlah pihak menilai, hal itu justru memperlemah upaya pemerintah dalam
memberantas korupsi. Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, pemberian
grasi kepada terpidana koruptor mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur,
Syaukani Hassan Rais, merupakan strategi pengalihan isu dari pemerintah. Tapi disini
terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses pemberian grasi maupun remisi. Salah
satunya pemberian grasi kepada Syaukani. Koruptor yang mengakibatkan kerugian
negara hingga Rp113 miliar itu telah mengajukan grasi sebanyak tiga kali. Padahal,
terpidana baru bisa mengajukan grasi kembali, setelah dua tahun pengajuan grasi
sebelumnya. Tapi, pada kenyataanya Syaukani sudah mengajukan grasi yang ketiga pada
tahun ini. Seharusnya untuk tahun ini, dia baru bisa mengajukan grasi yang kedua.
Sehingga, jika pengajuan grasi ketiga diterima, pemerintah telah melakukan pelanggaran
hukum dalam proses pemberian grasi. Tepatnya pelanggaran UU RI no.22 Tahun 2002
Bab II Pasal 2 ayat 3c yang berbunyi: terpidana yang pernah ditolak permohonan
grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi
tersebut.
10

Bahkan korupsi, menurut Direktur Reforms Institute Yudi Latif adalah kriminal
dan kejahatan besar yang bahkan di beberapa negara lain dihukum mati. Menurut dia,
pernyataan ini berlawanan dengan pemberantasan korupsi. Otoritas terkait (pemerintah)
justru melakukan pelanggaran hukum.
Disamping Syaukani, ada beberapa nama yang memperoleh grasi dari presiden
langsung. Adapun nama-nama tersebut seperti: Mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan
yang mendapat remisi 3 bulan, padahal dia belum menjalani masa tahanan dua tahun
lamanya seperti tersebut dalam UU pengaturan grasi. Menurut perhitungan ICW, pada
tahun 2009, terpidana tiga tahun penjara itu belum layak menerima remisi. Pasalnya,
Aulia yang ditahan sejak 27 November 2008 belum menempuh sepertiga masa
pidananya.
MA dalam putusan kasasi menjatuhkan tiga tahun penjara dan denda Rp 200 juta
untuk para bekas deputi gubernur Bank Indonesia, yakni Aulia Pohan, Maman S
Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Berkat remisi tiga bulan dari
presiden, dan satu tahun khusus untuk Aulia Pohan, kini mereka sudah melenggang
bebas. Dana yang terkumpul belum mencapai 100 M seperti kas Negara yang telah
mereka lahap dengan rakusnya untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI. Ada juga
nama-nama lain seperti Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan Widjanarko Puspoyo
juga mendapat pengurangan hukuman. Presiden SBY pun dinilai tak komitmen dengan
aksi pemberantasan korupsi yang telah berulang-ulang ia katakan. Para pelaku korupsi
dapat menggunakan alasan apapun untuk lepas dari tuntutan hukuman.
Bahkan berdasarkan data yang dilansir Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM, jumlah narapidana kasus korupsi yang memperoleh
remisi hari kemerdekaan tahun ini mencapai 330 orang dari total 471 narapidana di
seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia. Sebelas orang di antaranya bebas.
b. Pro dan Kontra atas Pemberian Grasi
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan Presiden SBY mengabulkan
grasi Syaukani dengan pertimbangan kemanusiaan. Namun, sebelumnya Presiden
menolak grasi Syaukani hingga dua kali.
Hal ini dikatakan Sudi Silalahi di Istana Kepresidenan, 20 Agustus 2010. "(Grasi)
akhirnya diterima setelah diyakinkan pertimbangan semua aspek kemanusiaan," kata
Sudi.

11

Sudi kemudian menjelaskan, Presiden mendapatkan keterangan mengenai kondisi


kesehatan Syaukani dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. "Setelah dilihat
kondisi secara fisik, Presiden mengabulkan," ujar Sudi.
Patrialis sendiri menegaskan bahwa grasi itu dikeluarkan dengan berdasar pada
pertimbangan kemanusiaan. "Syaukani dalam kondisi sakit. Badannya sudah seperti
mayat," kata Patrialis.
Patrialis menjelaskan, grasi yang mencapai setengah masa tahanan tersebut
diberikan Presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung.
Ketua MA Harifin Tumpa menjelaskan, pengacara Syaukani mengajukan permohonan
pertimbangan pemberian grasi pada Februari 2009. Mahkamah mempertimbangkan
keterangan dokter spesialis internis dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), dr.
Suprayitno, yang menyatakan Syaukani menderita penyakit kompleks. "Dia (Syaukani)
tidak bisa melihat, berbicara, syaraf kepala rusak," kata Tumpa.
Tim dokter yang menangani Syaukani menyatakan pesimis pasiennya dapat
sembuh, apalagi sembuh total. Secara medis, kata dia, otak Syaukani sudah tidak bisa
bekerja lagi. Syaukani tercatat mengalami stroke sejak tiga tahun lalu. Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo merawat Syaukani sejak setahun terakhir. Sejak itu anggota tubuhnya
tidak bisa bergerak lagi. Bicaranya juga melantur.
Dukungan juga disuarakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif. Ia
menilai grasi Presiden sudah tepat menimbang kondisi Syaukani yang sudah sangat
memprihatinkan.
Ketua DPR Marzuki Alie menjelaskan bahwa keputusan SBY itu sudah melalui
pertimbangan yang matang. Apalagi, kondisi Syaukani saat ini sudah sangat tidak
memungkinkan untuk dipenjara. Karena itu mohon semua pihak tidak mencari-cari
kesalahan SBY karena mengabulkan grasi tiga tahun untuk Syaukani. Janganlah seolah
Presiden dianggap salah menggunakan kekuasaan dengan mengutamakan faktor
kekuasaan. Ini jelas ada pertimbangan kemanusiaan. Pemberian grasi juga tidak
bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Sebab pemberian grasi dan remisi
merupakan hal berbeda dan menjadi hak setiap narapidana.
Juru bicara Kepresidenan bidang dalam negeri Julian Aldrin Pasha juga
mengungkapkan bahwa proses grasi sudah melalui uji materi kepatutan dan kelayakan di
tingkat Kementerian Hukum dan HAM. Pemberian grasi memang kewenangan di tingkat
Presiden, jadi hanya Presiden yang memiliki grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi,

12

sampai di tingkat keluarkan grasi yang lain ada pertimbangannya berdasarkan masukan
Kementerian Hukum dan HAM dan pihak yang memiliki otoritas bidang hukum.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengingatkan pemerintah
untuk berhati-hati dalam memberikan remisi dan grasi kepada para terpidana kasus
korupsi. Pemberian grasi dan remisi untuk koruptor itu dinilai Din tengah mengusik rasa
keadilan masyarakat.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap pemberian grasi
kepada Syaukani tidaklah logis. Pemberian keringanan hukuman itu dinilai tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada. Untuk itu, ICW bakal mendesak agar remisi dan grasi tidak
diberlakukan kepada pelaku korupsi. Lebih jauh, LSM antikorupsi ini akan mengusulkan
agar ke depan hukuman kepada para pelaku korupsi adalah juga berupa pemiskinan.
Selama ini, kata peneliti ICW Donal Fariz, terpidana korupsi dan keluarganya
masih bisa hidup mewah dengan menikmati hasil korupsinya, termasuk ketika mereka
ditahan di penjara. Donal menyoroti, sejak ditahan tahun 2008, Syaukani sudah
mengajukan surat permohonan grasi sebanyak tiga kali kepada Presiden. Menurutnya,
sesuai ketentuan, permohonan grasi baru bisa diajukan dua tahun setelah penolakan
permohonan yang pertama. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga
menyayangkan pemberian grasi itu.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Presiden sebagai elemen eksekutif tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki dua peran dan kewenangan sekaligus yaitu menjadi Kepala Negara dan juga
Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu peran dan kedudukan Presiden di Indonesia sebagai
lembaga eksekutif tertinggi menjadi sangat penting sekaligus krusial dalam menentukan arah
dan jalannya sistem bernegara dalam berbagai aspek baik aspek politis maupun aspek
hukum, karena Presiden secara konstitusional memiliki wewenang dan hak-hak politik yang
berpengaruh cukup luas dalam kehidupan dan sistem bernegara.

13

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu bentuk upaya pembangunan hukum


yang kuat untuk memberantas kejahatan kerah putih yang merugikan uang negara.
Menelisik beberapa era kepemimpinan Presiden, dapat dilihat perbedaan sikap dalam
penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus korupsi. Menyoroti pada era
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semangat pemberantasan korupsi
semakin digiatkan setelah proses reformasi yang panjang sejak era kepemimpinan
sebelumnya. Ditunjukkan dengan banyak terungkapnya kasus korupsi luar biasa yang
melibatkan kalangan kementerian hingga jajaran anggota dewan yang berasal dari partai
pengusung Sang Presiden, meskipun nyatanya belum mencapai hasil yang optimal dilihat
dari index of corruption yang menyatakan bahwa Indonesia masih belum dapat dikatakan
sebagai negara anti korupsi dan cenderung pada peringkat bawah yang stagnant.
Pemberian grasi kepada tersangka tindak pidana korupsi Syaukani Hassan Rais pada
masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga dianggap menyalahi
semangat pemberantasan korupsi yang digadang-gadangkan, meskipun banyak yang
menyatakan alasan pemberian grasi adalah alasan kemanusiaan atas buruknya kondisi
kesehatan tersangka yang bersangkutan. Namun secara umum pemberian grasi atau
pengurangan masa hukuman kepada tersangka tindak pidana korupsi yang telah merugikan
uang rakyat dan negara dengan alasan apapun, akan membuah preseden buruk dan
menjadikan sebuah hal yang sia-sia dalam menjalankan semangat pemberantasan korupsi.
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa upaya pembangunan hukum dalam pemberantasan
korupsi di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum optimal.

14

Anda mungkin juga menyukai