Anda di halaman 1dari 12

Sosial, Budaya, Bahasa

ARTIKEL ILMIAH
PROGRAM
PENELITIAN INOVATIF
MAHASISWA
PROVINSI JAWA
TENGAH
JUDUL PENELITIAN
KOTA SALATIGA: REVITALISASI PENINGGALAN BENDA CAGAR
BUDAYA SETELAH INDONESIA MERDEKA TAHUN 1945 - 1965

Oleh:
Mudiyono, 3111411005
Dita Febrianto, 3111411027
Wahyu Adhi Nugraha, 3111411015
Stefhani Tantra Sintara, 7101411420
Dibiayai Oleh
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah
Tahun Anggaran 2016

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


KOTA SEMARANG
Tahun 2015

ABSTRAK
KOTA SALATIGA: REVITALISASI PENINGGALAN BENDA CAGAR
BUDAYA SETELAH INDONESIA MERDEKA TAHUN 1945 - 1965
Mudiyono,1 Dita Febrianto,2 Wahyu Adhi Nugraha,3 Stefhani Tantra Sintara4
Dosen Pembimbing: Drs. Karyono, M.Hum.
Jurusan Sejarah,1,2,3 Fakultas Ilmu Sosial,1,2,3 Jurusan Pendidikan Ekonomi,4
Fakultas Ekonomi,4 Universitas Negeri Semarang, Semarang
Salatiga adalah kota yang dibangun serta didirikan pada masa pemerintah
kolonial hindia-belanda abad XX. Kota ini dibangun tidak lepas dari fungsi kota
salatiga sebagai daerah pertumbuhan ekonomi dan munculnya penduduk yang
mendukung perkembangan ekonomi di salatiga pada khususnya dan jawa tengah pada
umumnya.
Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan
sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan
Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan berada di jalan negara
yang menghubungan Semarang-Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui perhatian dan partisipasi
masyarakat terhadap peninggalan bangunan masa kolonial, (2) untuk mengetahui
kondisi bangunan masa kolonial yang sudah dan belum di revitalisasi setelah
Indonesia merdeaka tahun 1945-1965, serta (3) untuk melihat pembangunan terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat Kota Salatiga.
Hingga saat ini, Kota Salatiga telah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan. Perkembangan yang paling berarti salah satunya adalah pada abad ke 19
hingga abad ke 20 pada saat Bangsa Belanda menduduki kota tersebut. Pada saat itu
banyak sekali kebudayaan Belanda yang masuk dan berkembang di Salatiga serta di
wilayah-wilayah sekitar.
Pascakemerdekaan, segala kebudayaan yang ditinggalkan oleh Belanda menjadi
sesuatu yang amat bernilai. Salah satunya adalah bangunan-bangunan berarsitektur
Eropa. Atas kebijakan pemerintah Kota Salatiga, banyak bangunan yang direvitalisasi
dan dipakai kembali untuk aktivitas publik, sehingga bangunan tersebut lebih menjadi
lebih bernilai.
Kata Kunci: Salatiga, Revitalisasi, Cagar Budaya, Bangunan Kuno, Kolonial

PENDAHULUAN
Kota merupakan suatu daerah terbangun yang didominasi jenis penggunaan
tanah non pertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan ruang yang
cukup tinggi. Dibandingkan perdesaan, penggunaan tanah perkotaan mempunyai
intensitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dalam hal pemakaian modal yang
besar, jumlah orang yang terlibat lebih banyak, nilai tambah penggunaan ruang yang
dihasilkan lebih besar, dan keterkaitan dengan penggunaan tanah yang lain lebih.
Menurut kuntowidjojo kota tidak lahir karena maksimisasi teknologi atau ekonomi,
tetapi suatu pola sosio-kultural. Pemilihan pemukiman kota dapat berdasarkan alasanalasan ekonomis, seperti misalnya kesuburan tanah sekitar, kemudian irigasi, tetapi
pembentukan

kota

selalu

dengan

pertimbangan-pertimbangan

sosio-kultural

(kuntowijoyo, 2003:61).
Dalam perkembangan kehidupannya, suatu kota dapat mengalami perubahan
fungsi dari suatu fungi tertentu menjadi fungsi yang lain. Perubahan-perubahan
fungsi ini sejalan dengan majunya fasilitas perkantoran yang ada, dimana kemajuan
teknologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan kota tersebut.
Kota mempunyai potensi dan latar belakang histotorical, kultural, fisikal, serta
masyarakat yang berbeda-beda (Yunus, 2005: 6). Dapat disimpulkan kota mempunyai
karakteristik yang berdeda-beda, perbedaan itu yang membuat kota menjadi suatu
kajian yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian sejarah kota.
Salatiga adalah kota yang dibangun serta didirikan pada masa pemerintah
kolonial hindia-belanda abad XX. Kota ini dibangun tidak lepas dari fungsi kota
salatiga sebagai daerah pertumbuhan ekonomi dan munculnya penduduk yang
mendukung perkembangan ekonomi di salatiga pada khususnya dan jawa tengah pada
umumnya.
Kota ini berada di lereng timur Gunung Merbabu, sehingga membuat kota ini
berudara cukup sejuk.Perubahan kota salatiga pada tahun 1917 menjadi sebuah
gemeete (kotapraja) dan dipimpin oleh seorang burgermaeester (walikota), perubahan

kota ini membuat salatiga berkembang sangat cepat menghasilkan predikat sebagai
de schoonste stad van midden java yang berarti kota terindah di jawa tengah (eddy
supangkat 2012:1). Arsitektur pembangunan rumah yang terdapat di salatiga terutama
di jalan diponegoro mencirikan bangunan yang berada dikawasan eropa, dahulu disini
merupakan tempat tingal bangsawan eropa yang memerintah kota salatiga. Kawasan
ini sekarang banyak dialih fungsikan setelah masa kemerdekaan dan banyak yang
tidak memdapatkan perhatian dari masyarakat. Banyaknya bangunan yang dialih
fungsikan membuat beberapa bangunan berubah ciri fisiknya bahkan terdapat
bangunan yang dihancurkan dan bangun dengan banguna yang lebih modern yang
tidak mementingkan keadaan lingkungan sekitarnya
METODE

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode historis. Menurut


Gottschlak (1975: 32) Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara
historis rekaman peninggalan masa lampau. Terdapat empat tahapan dalam
pelaksanaan metode historis, yaitu (a) Heuristik, yang merupakan proses atau usaha
untuk mendapatkan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang ada
hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti berupa jejak-jejak masa
lampau, dapat berupa kejadian, benda peninggalan masa lampau dan bahasa tulisan
(Notosusanto, 1971: 18), (b) Kritik Sumber atau upaya untuk mendapatkan otentisitas
dan kredibilitas sumber (Pranoto, 2010: 35). Adapun caranya, yaitu dengan
melakukan dua kritik. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan
rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektivitas suatu
kejadian, (c) Interpretasi, yaitu menentukan makna saling berhubungan diantara
fakta-fakta yang diperoleh. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh suatu rangkaian
peristiwa yang bermakna, dan (d) Historiografi, yang merupakan cara penulisan,
pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan
(Abdurahman, 1999: 67).

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Sejarah Awal Salatiga

Salatiga merupakan salah satu kota di Provinsi jawa Tengah yang letaknya
berada diantara kota Semarang dan Surakarta. Kota ini berbatasan langsung
dengan kabupaten Semarang. Letaknya berada di kaki gunung Merbabu dan
Telomoyo, sehingga membuat daerah ini sejuk, dan memiliki letak yang strategis.
Oleh sebab itu Salatiga dikenal keindahannya pada masa Pemerintahan Belanda,
dan memperoleh sebutan sebagai de Schoonste Stad van Midden-Java atau kota
terindah di Jawa Tengah (Eddy Supangkat, 2007).
Kota Salatiga juga memiliki peranan yang penting dalam bidang politik dan
ekonomi sejak zaman dulu sampai sekarang. Sehingga tidak salah jika Salatiga
merupakan kota yang ideal dengan adanya sektor perdagangan asing terutama
pedagang Cina yang mewarnai kehidupan kota dengan gaya bangunannya,
kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial. Sementara itu dalam sektor kolonial, kota
terdiri dari benteng, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit, rumah ibadah
vrijnetselarij, untuk sektor kelas menengah pribumi yang terkadang kehidupannya
mengelompok didalam sebuah kampung tertentu. Sehingga tidak salah jika diselasela tempat-tempat tersebut terdapat gedung sekolah, pasar, stasiun, dan tempattempat umum lainnya (Kuntowidjojo, 1994). Oleh karena letak yang sangat
strategis diantara jalur utama persimpangan Semarang, Surakarta, dan Magelang,
maka pada tahun 1746 VOC mulai menempatkan pasukannya di Salatiga dan
membangun sebuah benteng yang diberi nama benteng De Hersteller (Eddy
Supangkat, 2012).
Sementara itu sejarah terbentuknya atau asal usul dari Salatiga ada beberapa
petunjuk atau bukti tentang hari jadi salatiga tersebut. Diantaranya prasasti
Hampra atau lebih dikenal dengan prasasti Plumpungan karena prasasti tersebut
berada di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Prasasti
tersebut ditulis dengan menggunakan huruf dan bahasa Sansekerta diatas batu,
bahkan hingga saat ini tulisan yang berada diatas batu tersebut masih dapat dibaca

dengan jelas. Cikal bakal lahirnya Salatiga ini tertulis dalam batu besar berjenis
batu andesit yang berukuran 170 X 160 cm dengan garis lingkar berukuran 5
meter. Menurut perhitungan ahli dalam bidang Epigraf L.C. Damais,
mengungkapkan bahwa prasasti tersebut dibuat pada tahun 750, tepatnya pada
jumat 24 Juni 750 (Eddy Supangkat, 2012: 90).
B. Perkembangan Salatiga Pada Masa Kolonial
Letak Salatiga secara geografis berada pada daerah vulkanisme Merapi dan
Merbabu mengakibatkan daerah ini mengalami kesuburan tanah yang tinggi
sehingga membuat kelompok-kelompok bermukim di daerah tersebut. Kondisi
alam yang sejuk, indah bahkan bersahabat membuat Salatiga menjadi kota pilihan
bagi orang kulit putih pada zaman Hindia Belanda untuk tempat tinggalnya serta
menyatu menjadi kelompok besar masyarakat yang mampu menciptakan karya
budaya. Karya budaya manusia akan tercipta apabila masyarakat pendukungnya
terjamin kesejahteraan hidupnya (Sukarto Karto Atmodjo,dkk 1995 :17 dalam
skripsi Sukma Windyasari: 2013).
Ketika VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) berkuasa di Jawa,
hampir seluruh daerah di Indonesia berada dibawah kekuasaannya,tidak terkecuali
Salatiga. Salatiga yang dipandang sangat strategis letaknya karena berada dijalur
utama persimpangan Semarang, Surakarta, dan magelang. Salatiga juga terkenal
sebagai kota pelajar dan pendidikan, meskipun pada masa kolonial antara tahun
1917 sampai dengan tahun 1942 sekolah yang tinggi tingkatnya masih setingkat
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pendidikan dasar yang diperluas
setingkat sekolah lanjutan pertama (Karyono: 2005).
VOC yang tengah berkuasa di Salatiga memanfaatkan keadaan dengan
menempatkan beberapa pasukannya di Salatiga serta membangun sebuah benteng
untuk pertahanan pasukan Belanda di Salatiga yang diberi nama benteng De
Hersteller. Benteng yang dibangun di Salatiga pada tahun 1746 ini nyatanya
memang mebuat rakyat yang tinggal di Salatiga merasa aman, bahkan Salatiga
dijadikan sebagai tempat untuk perdamaian jika ada pihak yang bertikai. Sehingga

dari sinilah muncul perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 yang melahirkan
Kadipaten Mangkunegaran. Selain benteng de Hersteller, di Salatiga juga terdapat
benteng Hock yang dibangun pada abad ke-19 dan diarsiteki oleh orang Belanda
bernama Mr. Hock. Benteng ini berukuran 1.000 meter persegi yang digunakan
sebagai asrama militer Belanda setelah berakhirnya perang Diponegoro.
Salatiga yang pada tahun 1917 telah menjadi Kotapraja (de gemeente
Salatiga) mengharuskan daerah tersebut dapat mengelola keuangan sendiri dan
mengurus beberapa fasilitas kota sendiri seperti jalan, makam, pasar, selokan,
jembatan, angkutan umum, penerangan jalan, perusahaan air bersih, dll.
C. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengalihan Fungsi Bangunan Kolonial di Salatiga

Dari hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa bangunan-bangunan yang


masuk kategori cagar budaya di Salatiga masih termasuk bangunan yang kurang
mendapat perhatian dari khalayak. Bangunan-bangunan tersebut sebagian besar
tidak terawat, beberapa yang saat ini telah direvitalisasi atau dialih fungsikan
sebagai bangunan pemerintahan pun sebenarnya masih belum bisa disebut terawat.
Partisipasi masyarakat dalam upaya pengalihan fungsi bangunan kolonial tersebut
masih sangat minim.
Sebagian besar masyarakat bersikap tak acuh terhadap bangunan-bangunan
bersejarah tersebut. Sebagaimana hasil dari beberapa wawancara langsung yang
dilakukan oleh Tim Peneliti terhadap masyarakat Salatiga yang berada di sekitar
lokasi bangunan-bangunan cagar budaya. Banyak yang menyebutkan bahwa
mereka memang kurang tahu bagaimana sejarah bangunan-bangunan berarsitektur
kolonial tersebut, sehingga secara tidak langsung telah menjelaskan bahwa
sebagian besar masyarakat tidak mengetahui apa fungsi dari bangunan tersebut
sebelum direvitalisasi dan dialih fungsikan menjadi bangunan yang sekarang ini.
Di sini bentuk partisipasi masyarakat hanya berupa partisipasi dalam hal teknis,
seperti misalnya menjadi petugas untuk membersihkan bangunan atau pun
merenovasinya, namun pihak yang bertanggung jawab atas segala hal yang
dilakukan terhadap pengalih fungsian bangunan tetap berada di

tangan

pemerintah.
D. Kondisi Benda Cagar Budaya di Salatiga Setelah dan Sebelum Revitalisasi
Bangunan-bangunan yang berada di kawasan tersebut memang merpakan bangunan yang
pada awalnya adalah bangunan milik orang-orang Eropa, namun dalam perkembangan zaman
bangunan-bangunan tersebut saat ini telah beralih fungsi dan beralih kepemilikan pula. ;
Kompleks rumah dinas walikota salatiga ini merupakan bangunan yang berdiri di
kawasan Jalan Diponegoro No. 1-3 Salatiga. Bangunan ini dibangun pada sekitar akhir abad ke
19, sehingga masih tampak jelas konsep arsitektur Eropanya, namun pada beberapa titik konsep
tradisional pun masih tampak juga pada bangunan ini Ciri tradisional tersebut tampak dari
beranda yang memiliki konstruksi kayu di bagian depan dan ciri kolonial terlihat pada
konstruksi tembok dan juga kolom-kolom besar. Saat ini bangunan tersebut telah direvitalisasi,
sehingga fungsinya telah beralih menjadi rumah dinas walikota Salatiga. Sebenarnya hampir
sama dengan fungsinya pada zaman sejarah, hanya saja sekarang kekuasaan telah dipegang
penuh oleh pemerintahan Indonesia.
Kantor Asuransi Bumi Putera ini merupakan bangunan yang berada di Jalan Diponegoro
No. 8 Salatiga. Kondisi bangunan saat ini cukup terawat dan telah mengalami perubahan
facade. Bangunan ini dibangun pada masa awal abad ke 20. Konsep desain bangunan yang
digunakan adalah konsep modern, sehingga saat ini menjadi bukti fisik dari kota terencana
dengan konsep kota modern. Bank Salatiga terletak di Jalan Diponegoro No. 10. Bangunan ini
juga hampir sama dengan bangunan Kantor Asuransi Bumi Putera, sebab bentuknya juga
berupa perumahan individu. Akan tetapi bangunan Bank Salatiga ini dibangun pada masa yang
lebih tua jika dibandingkan dengan bangunan Kantor Asurasi Bumi Putera, yaitu poda
pertengahan abad ke 19.
Gereja Yesus Sejati juga merupakan salah satu bangunan tua yang ada di Jalan
Diponegoro Salatiga, tepatnya pada jalan nomor 11. Gereja ini dibangun pada awal abad 20
masehi. Saat ini telah mengalami rekonstruksi, namun tidak direvitalisasi. Sebab sejak awal
pendiriannya, bangunan ini memang telah difungsikan sebagai gereja, dan sampai sekarang pun
masih menjadi sebuah gereja. Bangunan ini memiliki ciri arsitektur kolonial yang sangat kental.
E. Perkembangan Salatiga Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat
Salatiga sejak masa awal terbentuknya hingga pada tahun 1945-1965 dan bahkan sampai
sekarang telah mengalami banyak sekali perkembangan yang menyebabkan terjadinya sebuah
perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi jelas semakin hari semakin menuju kepada arah
yang positif. Salah satu yang sangat tampak dari perubahan yang terjadi di Salatiga adalah
perubahan dalam hal tata kota, serta perubahan dalam hal sosial ekonomi. Bahkan, golongan

masyarakat menengah ke bawah yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadikan bangunanbangunan kolonial tersebut sebagai tempat bisnis bisa mengambil keuntungan dengan mendirikan
usaha-usaha di sekitar bangunan tersebut yang kini telah menjadi area publik yang ramai.
Beberapa bangunan kolonial tersebut yang semula hanya berupa rumah tinggal yang telah
lama tidak ditempati, kini banyak digunakan sebagai tempat bisnis oleh perusahaan-perusahaan
besar, sehingga hal tersebut jelas membuat keadaan ekonomi masyarakat menjadi berubah. Bisa
dikatakan meningkat dari kondisi yang semula.

SIMPULAN DAN SARAN


Kota Salatiga telah ada sejak zaman tahun 750 masehi, hal tersebut sebagaimana yang
tertulis di dalam salah satu prasasti yang menjadi bukti keberadaan Kota Salatiga. Sejarah
terbentuknya atau asal usul dari Salatiga memiliki petunjuk atau bukti tentang hari jadi salatiga
tersebut. Diantaranya prasasti Hampra atau lebih dikenal dengan prasasti Plumpungan.Hingga saat
ini, Kota Salatiga telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Perkembangan yang
paling berarti salah satunya adalah pada abad ke 19 hingga abad ke 20 pada saat Bangsa Belanda
menduduki kota tersebut. Pada saat itu banyak sekali kebudayaan Belanda yang masuk dan
berkembang di Salatiga serta di wilayah-wilayah sekitar.
Pascakemerdekaan, segala kebudayaan yang ditinggalkan oleh Belanda menjadi sesuatu
yang amat bernilai. Salah satunya adalah bangunan-bangunan berarsitektur Eropa yang tampak
berbeda dengan bangunan masyarakat Indonesia pada umumnya, sehingga menjadikan bangunanbangunan tersebut tetap bertahan walaupun telah berumur puluhan bahkan ratusan tahu lamanya.
Pada akhirnya, atas kebijakan pemerintah Kota Salatiga, banyak bangunan yang
direvitalisasi dan dipakai kembali untuk aktivitas publik, sehingga bangunan tersebut lebih menjadi
lebih bernilai.
Konsep revitalisasi memang telah mengubah wajah Salatiga menjadi lebih tampak cantik
dan unik, sekaligus menciptakan perubahan dalam sisi sosial dan ekonomi ke arah yang jauh lebih
baik.
A. Saran
1. Melihat partisipasi masyarakat yang masih minim dalam keikutsertaannya pada proses
revitalisasi bangunan-bangunan kuno di Salatiga tampaknya harus menjadi catatan khusus bagi

pemerintah untuk turut serta menggandeng masyarakat supaya lebih berpartisipasi aktif dalam
proses revitalisasi.
2. Beberapa bangunan yang telah direvitalisasi ternyata masih banyak yang belum layak untuk
dibuka pada publik, karena kondisinya yang memang membutuhkan renovasi, sehingga dengan
demikian perlu adanya proses renovasi pada bangunan-bangunan yang memang membutuhkan
proses tersebut tanpa mengubah nilai keaslian bangunan.
3. Bagi masyarakat dan pemerintah, perlu melakukan aktivitas di ruang publik pada area-area di
sekitar bangunan bersejarah tersebut secara lebih aktif, sekaligus melakukan promosi untuk
menarik minat masyarakat dari luar Salatiga untuk menjadikannya sebagai tempat daerah tujuan
wisata budaya, yang mana hal tersebut akan mendatangkan keuntungan dalam segala hal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Ciputat: PT Logos Wacana


Ilmu.
Basundoro, Purnawan. 2012. Pengatar Sejarah Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Colombijn, Freek. Dkk (ed). 2005. Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di
indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Gootschalk, L. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta:
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Jatayu Prakosa, Abel. 2012. Lima Zaman yang Membentuk sebuah Peradaban Kota
Salatiga. http://kampoengsalatiga.com/lima-zaman-yang-membentuk-sebuahperadaban-kota-salatiga/. Diunduh tanggal 2 April 2014
Karyono. 2005. Kota Salatiga: Studi tentang Perkembangan Kota Kolonial 19171942. Paramita edisi 1 Juni 2005 vol.15. Semarang: Jurusan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah.Yogyakarta. Tiara wacana Yogya
Maharani, Lutvia. 2011. Pengambilalihan Kota Salatiga dari kekuasaan belanda
ke Pemeintahan Republik Indonesia tahun 1945-1950. Skripsi. Semarang:
Program Studi Ilmu Sejarah, Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Semarang.
Mulyasari, Nurrahmi P. 2010. Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, dan
Permasalahan Sosial. Yogyakarta : Ombak
Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada
University Press.
Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan
Sejarah.Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rini, Dewi Puspito. 2012. Membangun Kembali identitas Toentangscheweg di jalan
Diponegoro Salatiga. http://dpuspito.blogspot.com/2012/03/membangunkembali-identitas.html. diunduh tanggal 2 April 2014.
Sabari Yunus, Hadi. 2005. Klasifikasi Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Supangkat, Eddy. 2012. Salatiga: Sketsa Kota Lama edisi Revisi. Salatiga : Griya
Media.
Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral

10

Perguruan Tinggi.
Windyasari, Sukma. 2013. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Salatiga Masa
Pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Skripsi. Salatiga: Program Studi
Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan, Universitas
Kristen Satya Wacana.
Wiyono. 1990. Metode Penulisan Sejarah. Semarang: FPIPS Jurusan Sejarah IKIP
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai