Anda di halaman 1dari 16

Menanggapi kekejaman Israel, Dewan Hak Asasi Manusia PBB dalam sidang khusus kedua,

Jumat 11 Agustus 2006 di Markas Besar PBB Geneva, Swiss, telah mengesahkan resolusi
yang mengutuk pelanggaran HAM oleh Israel di Lebanon. Hak yang dilanggar antara lain
hak hidup, hak-hak dasar rakyat sipil termasuk wanita dan anak-anak. Sayangnya resolusi ini
tidak didukung oleh seluruh anggota dewan yang berjumlah 47 negara. Resolusi itu didukung
27 anggota termasuk Indonesia, 11 anggota menolak, delapan abstain, dan satu anggota tidak
hadir. Penolak resolusi ini termasuk Negara-negara Eropa.
Kedua, agresi Israel juga dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 7
Statuta Mahkamah Pidana Internasional merumuskan secara gamblang deinisi kejahatan
terhadap kemanusiaan ( crime against humanity ) adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik bahwa serangan tersebut ditujukan
terhadap penduduk sipil, berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan, pembasmian ;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
bobotnya setara;
8. persekusi terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
11. tindak tidak manusiawi lainnya yang sejenis yang secara sengaja menyebabkan
penderitaan besar, atau cedera serius pada badan atau kesehatan mental atau fisik
Ketiga, Israel melanggar Resolusi 1701. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengatakan, ia
sangat khawatir oleh tindakan Israel melanggar resolusi Dewan Keamanan tentang
penghentian permusuhan di Libanon. Pernyataan yang dikeluarkan hari Sabtu tersebut
merupakan pertama kali pejabat badan dunia itu menyebut terjadi pelanggaran terhadap
resolusi yang berlaku mulai hari Senin tanggal 14-08-2006. Lanjutnya,.serangan Israel di
Libanon timur Sabtu pagi mengancam ketenangan rapuh di kawasan sana dan merongrong
otoritas pemerintah Libanon. ( VOA, Agustus 2006)
Pernyataan itu juga mengatakan bahwa pasukan PBB di Libanon mencatat beberapa
pelanggaran udara oleh pesawat militer Israel.
Keempat, agresi Israel juga masuk kategori kejahatan perang ( war crime ). Konvensi Jenewa
1949 yang berisi aturan internasional tentang perlakuan terhadap tawanan perang dan warga
sipil di wilayah yang diduduki mengatur tentang pelanggaran berat ( Grave breaches ) dalam
perang antara lain sebagai berikut : melakukan pembunuhan disengaja, penganiayaan atau
perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis, menyebabkan
dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta
penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan
oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum serta dengan
semena-mena, menyebabkan dengan sengaja penderitaan berat atau luka parah atas badan
atau kesehatan, memaksa seorang tawanan perang untuk berdinas dalam ketentaraan Negara
musuh, atau dengan sengaja merampas hak-hak tawanan perang atas peradilan yang adil dan
wajar yang ditentukan dalam Konvensi ini dan penahanan secara melanggar hukum terhadap

warga sipil. ( Pasal 50, 51, 130, dan 147 Konvensi Jenewa dan pasal 11, 85 Protokol I
Tambahan )
Agresi Israel tidak dapat dibantah telah melanggar hukum perang. Sebagai contoh serangan
Israel ke Qana, yang kemudian dikenal dengan tragedi Qana. Dalam serangan ke pemukiman
sipil tersebut 56 warga sipil 34 di antaranya adalah anak-anak, gugur. Selain korban jiwa
serangan Israel yang juga merusak objek-objek sipil seperti jalan raya, gedung-gedung
apartemen, rumah sakit, jembatan, wilayah perumahan desa-desa di Lebanon dan bahkan
markas UNIFIL. Fakta tersebut mengukuhkan Israel sebagai sebagai penjahat perang.
Damai Dengan Keadilan
Secara teori International Criminal Court ( Mahkamah Pidana Internasional ) dapat menjerat
semua orang tanpa kecuali, termasuk kepala negara, pejabat tinggi sipil atau militer, prajurit
dan setiap warga negara. Pada 17 Juli 2002, ICC disahkan sekaligus seluruh ketentuan
perjanjian Roma dan segenap dokumen pendampingnya berlaku tidak hanya bagi negara
penanda tangan tapi untuk semua negara, termasuk negara yang menolaknya.
Statuta Roma memberi prioritas kepada pengadilan dalam negeri untuk memburu,
menangkap, memeriksa, menyidik, menuntut, serta mengadili kejahatan yang oleh hukum
internasional dianggap kejahatan internasional. Baru setelah terbukti bahwa suatu negara
tidak bersedia atau tidak mampu mengadili penjahat yang berada dalam wilayah
kedaulatannya, ICC mengambil alih.
Dengan semua kesalahan Israel di atas, sebenarnya sudah cukup menjadi alasan menyeret
Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC = International Criminal Court ). Karena
yurisdiksi ICC mencakup kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Tetapi permasalahan tidak sesederhana membalik telapak
tangan. Karena masih ada satu lagi factor kunci yang selama ini sangat berperan melindungi
setiap tindak-tanduk Israel dari tuntutan masyarakat internasional. Factor tersebut adalah hak
veto Amerika.
Pertama, Israel pasti akan lolos dari sanksi PBB karena sesuai Bab VII Piagam PBB yang
terdiri dari 13 pasal, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) memiliki tanggung jawab untuk
melakukan tindakan terdapat ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian ataupun suatu
tindakan agresi. Amerika sebagai pemegang veto, menurut saya untuk saat ini tidak akan
memperbolehkan DK PBB memberikan sanksi kepada Israel.
Kedua, apabila pelanggaran Israel dicoba membawanya ke ICC, maka rencana tersebut bisa
dipastikan bakal kandas. Karena pengaturan pasal 13 Statuta Roma yang berisikan
kewenangan DK PBB untuk menyerahkan kasus kejahatan serius kepada penuntut ICC
dengan menyimpangi prakondisi utama yang diperlukan ICC untuk melaksanakan
jurisdiksinya, memberi kewenangan Amerika untuk bermain di dalamnya.
Israel Sebagai Hostis Humanis Generis
Israel sebagai musuh seluruh umat manusia haruslah menjadi kesadaran yang massif di
kalangan masyarakat internasional. Artinya dengan segala tindak tanduk Israel yang
menyalahi hukum dan moral tetapi belum ada satupun otoritas organ internasional yang
mampu mengadilinya, maka satu satunya cara yang dapat kita lakukan saat ini menjadikan
Israel sebagai musuh umat manusia seluruhnya. Apabila kesadaran yang massif ini dapat
terwujud maka dengan sen

Kemudian, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan Dalam hal sengketa


bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu
Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Orang-orang yang tidak mengambil
bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah
meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat)
karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun
harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang
didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan,
atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut
dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang orang tersebut di atas pada
waktu dan di tempat apapun juga :
a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan,
perlakuan kejam dan penganiayaan;
b. Penyanderaan;
c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan
martabat;
d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan
oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan
peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban
sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain
itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asasasas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari
sengketa bersenjata itu sendiri.
Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama
perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan
juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan
dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional
dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam
sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-

persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan
hukum pihak-pihak dalam sengketa. Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam
sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuanpersetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara
tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 3 ayat 1.
Selanjutnya,

kalimat

diadakannya

perjanjian-perjanjian

demikian

antara

pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum
pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah semata-mata
didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam
negeri suatu negara. Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa :
1. Dengan adanya Pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa
senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.
2. Pasal 3 tidak mengurangi hakpemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang
yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya
sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa
bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.
Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari sisi
pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan wanita. Dalam
proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu ini sekiranya harus
diselesaikan secara proporsional antara pemerintah Rwanda sendiri dan kedua pihak yang
bertikai. Persoalan bahwa antara Tutsi maupun Hutu berusaha untuk menancapkan
kekuasaannya dalam tubuh pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Tutsi dan Hutu harus
membuka diri bagi persoalan ini.
Peran dunia Internasional harus ditingkatkan demi terwujudnya Rwanda yang
lebih baik. Negara-negara Afrika sebagai tetangga terdekat harus turun tangan. Demikian pun
halnya dengan PBB dan Uni Eropa.

Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan


kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini
melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi caracara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari
hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum
Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional.
Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu :
a. Hukum Jenewa, yang disusun untuk melindungi personil militer yang tidak lagi ambil
bagian dalam pertempuran dan orang orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan,
yaitu penduduk sipil, sedangkan
b. Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihak pihak yang berperang
dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan batasan mengenai sarana yang
boleh dipakai untuk mencelakai musuh5.
Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama adalah konvensi-konvensi Jenewa 12
Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara
universal. Untuk menlengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol pada 1977
yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang
Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk
Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik
Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama hukum humaniter adalah
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977.6
Hingga saat ini 194 negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi
Konvensi Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol Tambahan I
dan II Indonesia belum meratifikasi7.

2. Konvensi Jenewa 1949.


Konvensi Jenewa terdiri dari Konvensi I s.d IV dan dilengkapi dengan dua Protokol
Tambahan I dan II tahun 1977. Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut menetapkan bahwa
penduduk sipil dan orang-orang yang tidak lagi ikut serta secara aktif dalam tindakan
permusuhan harus diselamatkan dan diperlakukan secara manusiawi. Sedangkan Konvensi
Jenewa yang mengatur langsung perlindungan kepada para penduduk sipil dalam peperangan
adalah Konvensi Jenewa IV 1949. Konvensi ini mengatur permasalahan masalah orangorang sipil yang berada dibawah kekuasaan musuh. Dua Protokol Tambahan tahun 1977
merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi
penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan
yang mengatur tindak permusuhan.
Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi dengan Protokol
Tambahan 1977 yaitu :
a. Protokol Tambahan - I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang
Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.

b. Protokol Tambahan - II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang


Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Aturan yang menangani permasalahan orang-orang sipil yang berada dibawah kekuasaan
musuh adalah Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yang diatur dalam :
Pasal 4, menyebutkan bahwa masalah orang sipil di wilayah musuh dan penduduk sipil
dibawah pendudukan musuh,
Pasal 35 menyebutkan masalah orang sipil yang berada di wilayah musuh harus
diperbolehkan untuk pergi.
Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa
yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan
memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan.
a. Konvensi Jenewa IV 1949.
1) Pasal 27 menyebutkan bahwa kejahatan perang karena terjadi pada situasi perang dan
yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anakanak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer
dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja,
melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan
sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi
menurut konvensi.
2) Pasal 49 menyebutkan bahwa setiap kasus yang termasuk kejahatan internasional
(pelanggaran berat) maka pelaku harus mempertanggunjawabkannya secara individu. Orang
yang pertama kali diminta pertanggungjawabannya ketika terjadi pelanggaran adalah orang
yang secara langsung melakukan pelanggaran tersebut.
3) Pasal 50 menyebutkan bahwa pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai
pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek
yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan :
a)

Pembunuhan disengaja.

b)

Penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan.

c)
Percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas
badan atau kesehatan yang berat.
d)

Penghancuran yang luas.

e)
Tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer
dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena.
b. Protokol Tambahan I tahun 1977.
1) Pasal 51 ayat 3 menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat
situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya

wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan
bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer
dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dengan
sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenangwenang.
2) Pasal 86 menyebutkan, Art 86 Failure to act :
a) The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall repress grave breaches,
and take measures necessary to suppress all other breaches, of the Conventions or of this
Protocol which result from a failure to act when under a duty to do so.
b) The fact that a breach of the Conventions or of this Protocol was committed by a
subordinate does not absolve his superiors from penal or disciplinary responsibility, as the
case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in
the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach
and if they did not take all feasible measures within their power to prevent or repress the
breach.
Inti dari pasal 86 Protokol Tambahan I adalah menyebutkan bahwa menurut hukum
humaniter, fakta suatu pelanggaran yang dilakukan oleh seorang bawahan sama sekali tidak
membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana atau disiplin, apabila atasannya tersebut
mengetahui atau telah mendapat keterangan yang seharusnya memungkinkan mereka dalam
keadaan pada saat itu untuk menyimpulkan bahwa bawahannya tengah melakukan atau akan
melakukan pelanggaran dan apabila mereka tidak melakukan tidakan dalam batas kekuasaan
mereka untuk mencegah pelanggaran atau menindak pelanggar tersebut, sedangkan :
3) Pasal 87 menyebutkan, Art 87 Duty of commanders :
a) The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall require military
commanders, with respect to members of the armed forces under their command and other
persons under their control, to prevent and, where necessary, to suppress and to report to
competent authorities breaches of the Conventions and of this Protocol.
b) In order to prevent and suppress breaches, High Contracting Parties and Parties to the
conflict shall require that, commensurate with their level of responsibility, commanders
ensure that members of the armed forces under their command are aware of their obligations
under the Conventions and this Protocol.
c) The High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require any commander
who is aware that subordinates or other persons under his control are going to commit or
have committed a breach of the Conventions or of this Protocol, to initiate such steps as are
necessary to prevent such violations of the Conventions or this Protocol, and, where
appropriate, to initiate disciplinary or penal action against violators thereof.
Intisari dari pasal 87 Protokol Tambahan I, menyebutkan bahwa kewajiban Komandan
mengenai pertanggungjawaban komando berdasarkan hukum humaniter tidak terbatas
tingkatannya, artinya seorang Komandan di tingkat tertinggi pun dapan dikenakan
pertanggungjawaban secara pidana, apabila dapat dibuktikan adanya rantai komando dan
hubungan causal antara pelanggaran yang terjadi dengan kelalaian dari Komandan dalam

melaksanakan kewajibannya tersebut, baik dalam hal melakukan pencegahan atau menindak
pelaku pelanggaran. Agar supaya dapat mencegah terjadinya pelanggaran maka negara harus
meminta Komandan sesuai dengan tanggung jawab mereka untuk menjamin bahwa para anak
buahnya menyadari kewajiban-kewajiban mereka terhadap Konvensi dan Protokol ini.
Komandan harus dapat menjamin bahwa anak buahnya mengerti dan memahami hukum
humaniter dengan cara :
a) Memberikan penyuluhan dan melatihkan hukum humaniter tersebut sebelum terjun ke
lapangan, karena akan sangat mempermudah mereka ketika melakaukan operasi militer,
mereka sudah tahu hak-hak dan kewajiban sebagai peserta tempur serta mampu menentukan
sasaran yang sah dan tidak.
b) Prinsip-prinsip hukum humaniter betul-betul diterapkan oleh Komandan, sehingga
walaupun nantinya laporan intelijen berbeda dengan fakta di lapangan, seorang prajurit yang
profesional tidak akan dengan gegabah melakukan tindakan yang melanggar hukum dan
diharapkan akan mampu mempertanggungjawabkan semua tindakannya berdasarkan hukum.
c) Menjamin sistem pelaporan yang efektif dan melakukan monitor terhadap sistem
pelaporan tersebut.
d) Melakukan tindakan korektif ketika mengetahui bahwa anak buahnya akan atau telah
melakukan tindakan pelanggaran.
c. Protokol Tambahan II tahun 1977.
1) Pasal 52 menyebutkan bahwa apabila ada keraguan untuk menentukan apakah itu sasaran
militer atau bukan maka sasaran itu harus dianggap bukan sasaran militer.
2) Pasal 57 ayat 2b menyebutkan bahwa suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda
apabila menjadi jelas bahwa sasarannya adalah bukan sasaran militer atau dibawah
perlindungan khusus, atau apabila serangan itu akan mengakibatkan kerugian yang tidak perli
berupa tewasnya penduduk sipil atau rusaknya obyek-obyek sipil.

BAB III ANALISIS KEJADIAN


1. Pertanggungjawaban Komando (command
responsibility)
Ketentuan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum pertanggung jawaban komando adalah
Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I 1977. Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang
mengatur tentang pertanggungjawaban komando tersebut mengandung 3 aspek penting yang
harus dipenuhi untuk menentukan seorang perwira atau komandan harus bertanggung jawab
atas tindakan kejahatan bawahannya8 :
a. Ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah
dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb.

b. Atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh bawahan.
Komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum) pelaku kejahatan
tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang berwenang.
Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas tindakan kejahatan perang dan kejahatan
kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa:
a.

Prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh.

b. Atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau
diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat tindak
kejahatan tersebut berlangsung.
c. Atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi
tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada
kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.
d. Atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara
sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice).
e. Atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya
untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan
kekuasaan untuk melakukan hal tersebut.
Dari hasil analisa pelanggaran hukum humaniter pada pembantaian di May Lai oleh
pasukan Amerika dari aspek pertanggungjawaban komando adalah sebagai berikut :
a. Letkol Frank A Barker, sebagai Komandan Task Force
1) Sebagai Komandan Task Force, Letkol Frank Barker berwenang dan bertanggungjawab
memberikan tugas pokok kepada Komandan Kompi C (Kapten E. Medina). Secara hirarkhi,
konsep operasi yang dikembangkan oleh Kapten Medina berdasarkan pada Perintah
Operasi dari Komandan Task Force atau Komandan Gusus Tugas. Perintah yang diberikan
oleh Kapten Medina sebagai Komandan Kompi C kepada Letnan William Calley sebagai Dan
Ton 1 C masih merupakan tanggung jawab pengawasan dan pengendalian Letkol Frank
Baker sebagai Komandan Task Fors / DAN GT.
2) Dari permasalahan pemabantaian di desa My Lai, maka Letkol Frank Barker telah dapat
dikenakan sanksi pasal 87 ayat 2 dan 3 adalah :
a) Seorang Komandan tidak berusaha menyebar luaskan atau memberitahukan /
mensosialisasikan tentang Hukum Humaniter, hal ini melanggar pasal 87 ayat 2.
b) Seorang Komandan tidak berusaha mengambil tindakan yang harus diambil pada saat
bawahan melakukan pelanggaran dan telah mememprakarsai terjadinya pelanggaran Hukum
Humaniter, hal ini melanggar pasal 87 ayat 3.
b. Kapten Medina sebagai Komandan Kompi C

1) Pada saat briefing, Kapten Medina sebagai seorang Komandan kompi C memerintahkan
kepada anak buahnya untuk menghancurkan My Lai dengan cara membakar rumah
penduduk, membunuh hewan peliharaan penduduk dan membunuh apa saja yang hidup di
desa tersebut. Kapten Medina juga tidak mengaahkan untuk menganalisa ulang data intelijen
yang diinformasikan oleh komando atas.
2) Pada saat Danton 1 C / Letnan William Calley melaporkan perkembangan situasi di My
Lai melalui radio, justru Kapten Medina memerintahkan untuk membunuh penduduk sipil di
My Lai.
3) Sesuai dengan Protokol I 1977, maka tindakan Kapten Medina tersebut telah melanggar
pasal :
a) Pasal 87 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa : Seorang Komandan tidak mencegah adanya
pelanggaran terhadap Konvensi-konvensi dan protokol ini yang dilakukan oleh anggota
Angkatan Bersenjata yang berada dibawah komandonya dan juga oleh orang lain yang
dibawah pengawasannya.
b) Pasal 87 ayat 2, Seorang Komandan tidak berusaha menyebar luaskan tentang Hukum
Humaniter, khususnya kepada anak buahnya di kompi C.
c) Pasal 87 Ayat 3, yang menyebutkan bahwa Seorang Komandan tidak mengambil
tindakan yang harus diambil pada saat bawahannya melakukan pelanggaran dan justru
memberikan perintah yang mengakibatkan pelanggaran Hukum Humaniter
c. Letnan William Calley, sebagai Komandan Peleton 1 C
1) Tindakan yang diambil oleh Letnan Calley merupakan tindakan yang berdasarkan
perintah dari kapten Medina sebagai komandan kompi C.
2) Letnan William Calley sebagai seorang prajurit telah mentaati perintah dari komandan
kompi / atasan langsung untuk melaksanakan membunuh penduduk yang ada di desa My
Lai. Letnan William Calley juga secara langsung melakukan penembakan secara membabi
buta terhadap penduduk sipil termasuk, wanita, laki-laki berusia lanjut dan anak - anak.
3) Analisa terhadap tindakan Letnan William Calley :
a) Tidak sesuai dengan Azas Hukum Humaniter yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity).
Di dalam Azas Hukum Humaniter dikenal tiga yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity), Azas
Kepentingan Militer dan Azas Kesatriaan (Chivalry)9. Bila dihubungkan dengan tindakan
yang dilakuakan oleh Letnan William Calley, maka perwira tersebut telah melanggar Azas
Perikemanusiaan dimana pihak pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan
perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
Namun tindakan Letnan William Calley justru melakukan pembunuhan tidak manusia,
dengan cara menembak penduduk sipil secara membabi buta terhadap orang-orang yang
seharusnya.

a) Melanggar Konvensi Jenewa IV tahun 1949. Letnan William Calley secara langsung
telah bertindak yang menjadikan penduduk sipil (perempuan, laki-laki tua dan anak-anak),
yang tidak terlibat dalam perang sebagai sasaran penembakan dan seharusnya wajib untuk
mendapatkan perlindungan dari pihak yang bersengketa.
b) Melanggar Protokol Tambahan I 1977, yang merupakan tindak lanjut dari Konvensi
Jenewa 1949, yaitu :
(1) Melanggar pasal 50, 51 dan 56 Tidak menempatkan orang atau obyek yang yang tidak
berbahaya sebagai mestinya.
(2) Telah menggunakan senjata serta cara-cara membunuh yang mengakibatkan luka yang
berlebihan dan atau penderitaan yang tidak perlu, hal ini melanggar ketentuan laranganlarangan yang berlaku dalam sengketa bersenjata.
(3) Tidak memberlakukan orang yang dianggap musuh dan atau musuh yang sudah menyerah
secara baik dan telah dijadikan sebagai sasaran serangan, hal ini melanggar ketentuan
larangan-larangan yang berlaku dalam sengketa bersenjata.
d. Pelanggaran yang dilakukan anak buah.
Pertanggung jawaban komando di dalam Hukum Humaniter Internasional, selain melibatkan
atasan, maka yang menjadi bagian rantai komando adalah juga anak buah / bawahan
langsung yang melakukan pembunuhan / pelanggaran :
Melanggar Azas Hukum Humaniter (Humanity) yaitu Azas Perikemanusiaan,
Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 (anak buah melakukan
tindakan yang sama dengan apa yang dilakuakn oleh Danton-nya (Letnan Wlliam Calley)
Dari uraian analisa yang sudah dijelaskan diatas, maka para komandan yang berkaitan dengan
pembantaian di My Lai telah melakukan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus
194910 antara lain :
a. Pembunuhan yang disengaja;
b. Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia, termasuk percobaanpercobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan penderitaan hebat;
c. Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan dengan semena-mena;
d. Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa Perang;
e. Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan
teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa III;
f. Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan paksa;
g. Menjatuhkan hukum kurungan;

h. Melakukan penyanderaan
Selain melanggar Konvensi Jenewa 1949, para komandan tersebut, juga telah
melakukan tindakan pelanggaran berat menurut Protocol I 1977 adalah sebagai
berikut :
a. Menjadikan penduduk sipil atau orang sipil sebagai sasaran;
b. Serangan membabi buta yang menimbulkan kerugian yang besar pada sipil atau obyekobyek sipil;
c. Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan atau demiliterised zone sebagai
sasaran serangan;
d. Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai sasaran serangan;
e. Menyalahgunakan lambang-lambang perlindungan seperti lambang Palang Merah
Internasional dan lambang-lambang lainnya yang diakui oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan
protokolnya.

Sanksi terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional diatur di dalam Konvensi


Jenewa 1949 dalam ketentuan tentang penal sanctions. Menurut Starke, sanksi-sanksi
hukum humaniter internasional terhadap kejahatan perang antara lain pembalasan (reprisal),
penghukuman baik selama maupun sesudah permusuhan berakhir terhadap penjahat-penjahat
perang melalui suatu pengadilan yang layak. Menurut Lauterpacht, sarana-sarana yang dapat
dipakai untuk menjamin berlangsungnya suatu legitimate warfare yakni: a) Measures of selfhelp, seperti reprisal, penghukuman prajurit yang melaksanakan kejahatan perang,
penyanderaan; b) Protes (complaints) yang disampaikan kepada musuh, atau kepada negara
netral, jasa-jasa baik, mediasi dari negara netral; c) Kompensasi.
Selanjutnya, dalam hukum humaniter internasional dikenal suatu istilah collective
responsibility, yang berarti bahwa apabila terjadi pelanggaran, bukan saja pelaku pelanggaran
yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, akan tetapi negara juga tidak terlepas
dari tanggung jawab. Ketentuan mengenai collective responsibility ini dapat ditemukan baik
dalam Hague Regulations 1907 (Regulasi Den Haag 1907) maupun dalam Konvensikonvensi Jenewa 1949 atau Protokol Tambahan 1977.
Sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut, negara harus membayar ganti rugi atau
kompensasi dan biasanya diatur dalam perjanjian perdamaian. Contoh perjanjian perdamaian
tersebut antara lain The 1947 Peace Treaty with Italy, The 1951 Peace Treaty with Japan
dan perjanjian perdamaian Indonesia-Jepang 1958
Tidak dapat diragukan lagi bahwa PBB merupakan lembaga internasional yang memilki
organ yang paling luas dan paling besar yang pernah ada di dunia hingga sekarang ini.
Dengan anggota yang sangat besar (lebih kurang 180 negara), dimana hampir semua negara
di dunia menjadi anggotanya. Maka dapat dimengerti betapa besar pengaruh PBB dalam
mengatur hubungan internasional, dan ini sekaligus menunjukan betapa besarnya harapanharapan yang disandarkan kepadanya oleh negara-negara. PBB juga memilki peranan yang

sangat besar atas perkembangan hukum internasional, dimana dalam hal ini telah banyak
perjanjian internasional yang dibuat atas prakarsa PBB.
Pelarangan penggunaan kekerasan oleh Piagam PBB tidak bisa dilepaskan dari konteks
kelahiran PBB itu sendiri. PBB lahir sebagai reaksi yang diakibatkan oleh kekejaman Perang
Dunia II. Terutama diusung oleh pimpinan negara-negara yang diktator dan represif Nazi di
Jerman, Musollin di Italia dan juga Stallin di Soviet. Sebagaimana telah dinyatakan, bahwa
pengadopsian Piagam merupakan sebuah bentuk tindakan yang ditujukan bagi pelarangan
peperangan.
Pelarangan penggunaan kekerasan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 pada
saat ini sesungguhnya telah merupakan bagian dari jus cogen. Sebelum masa Liga BangsaBangsa (LBB) hukum internasional merupakan sebuah sistem hukum yang sangat
terdesentralisir. Sebab, negara-negara memiliki kebebasan absolut atas dasar prinsip
kedaulatan negara, sehingga walau sudah terdapat ketentuan-ketentuan yang terkait dalam
hukum kebiasaan internasional tidak mengherankan ada saja yang melakukan pelanggaran.
Perubahan dramatis saat ini adalah keadaan menjadi tidak menentu oleh karena setiap negara
mengklaim sebagai yang benar dengan mendasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh
dirinya sendiri. Pemahaman yang mencoba membedakan antara perang adil (bellum justum)
dan perang tidak adil (bellum injustum) yang merupakan warisan dari abad pertengahan
tampaknya semakin tidak jelas.
Pemahaman atas kekerasan atau kekuatan memiliki perbedaan antara pemahaman yang
dimiliki oleh negara berkembang dan negara maju. Pemahaman di Negara-negara
berkembang (Developing Country) memahaminya penggunaan kekerasan juga mencakup
tekanan ekonomi sedangkan Negara-negara maju (Developing Country) lebih terbatas, hanya
meliputi kekerasan fisik. Akan tetapi bilamana dilihat dalam praktek yang terjadi di PBB
pemahan yang dimiliki oleh negara-negara berkembang mendapatkan tempatnya seperti
dalam berbagai resolusi PBB, seperti the Declaration on Friendly Relations.
Persoalan yang dapat dijadikan dasar bagi diberlakukannya sebuah intervensi humaniter
adalah telah terjadi pelanggaran atas norma jus cogen.
A. Sanksi Yang Berbentuk Non Militer
Dalam hal ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian, Piagam PBB menjelaskan bahwa
bila pasal 40 Piagam merujuk pada tindakan-tindakan sementara sebelum Dewan membuat
rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan yang diperlukan sesuai dengan Pasal 39,
Pasal 41 dapat memutuskan tindakan-tindakan yang harus diambil dan yang tidak
menggunakan pasukan bersenjata. Pasal 41 ini hanya bisa dilaksanakan bila Dewan
Keamanan telah dapat menentukan bentuk dari keadaan. Setelah diketahui bentuk dari
keadaan tersebut barulah Dewan dapat bertindak dengan mengambil keputusan-keputusan.
Walaupun Dewan hanya dapat sekedar meminta negara-negara untuk melaksanakan
keputusannya namun dengan mengkombinasikan Pasal 41 dengan 25 Piagam. Dewan telah
dapat menampilkan sifat mengikat dari keputusan-keputusan yang diambilnya.
.
Bebeda dari tindakan-tindakan sementara, keputusan-keputusan yang diambil Dewan
merupakan tindakan-tindakan kekerasan. Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 49 dan 50 Piagam berusaha untuk memberikan cara-cara yang konkrit kepada
negara-negara anggota untuk menghormati secara efektif tindakan-tindakan paksaan yang
diputuskan oleh Dewan. Sehubungan dengan itu ketentuan-ketentuan tersebut berisikan
bantuan timbal balik antara negara-negra anggota PBB dan konsultasi dengan Dewan bagi
negara-negara yang perekonomian terganggu sebagai akibat pelaksanaan keputusankeputusan yang diambil Dewan. Sebagai contoh dalam kasus Irak-Kuwait tahun 1990,
Dewan Keamanan membentuk suatu Komite Sanksi yang juga mempunyai tugas untuk
menentukan negara mana saja yang harus mendapatkan bantuan keuangan dan ekonomi
sebagai akibat embargo terhadap Irak. Kecuali resolusi Majelis Umum tanggal 15 Mei 1951
yang merekomendasikan embargo atas bahan strategis terhadap Korea Utara, Dewan
Keamanan telah menjatuhkan sanksi-sanksi dalam peristiwa Rhodesia tahun 1965, invasi
Kuwait oleh Irak tahun 1990, terhadap Libya tahun 1992 dan 1993, pihak-pihak yang
bersengketa di Yugoslavia semenjak tahun 1991, Liberia tahun 1992, Haiti tahun 1993,
Angola tahun 1993 dan Sudan tahun 1996.
Atas dasar Bab VII Piagam, Dewan Keamanan dalam resolusinya No. 232 tanggal 16
Desember 1966 menjatuhkan sanksi-sanksi ekonomi kepada Rhodesia Selatan. Resolusi
tersebut diperkuat dengan 2 resolusi lainnya yang melarang semua hubungan dagang dan
keuangan denga Rhosedia Selatan, penarikan wakil-wakil dagang dan keuangan asing,
penghentian semua sarana transport dan pemutusan hubungan diplomatik. Penggunaan Pasal
41 ini juga mempunyai batas-batas pula dalam pelaksanaannya. Kadang-kadang sulit untuk
mengharapkan semua negara untuk mematuhi sepenuhnya ketentuan sanksi tersebut. Portugal
dan Afrika selatan misalnya tetap melakukan perdagangan dan mengirim minyak di
Rhosedia.
Mengenai invasi Irak terhadap Kuwait yang terjadi tanggal 2 Agustus 1990, Dewan
Keamanan dalam resolusinya No. 661 tanggal 6 Agustus 1990 meminta negara-negara
anggota dan bukan anggota PBB untuk mengenakan embargo menyeluruh terhadap Irak.
Lima hari kemudian, invasi militer Irak tersebut dinyatakan sebagai sebagai invasi
berdasarkan ketentuan Bab VII Piagam, namun kata agresi tetap tidak dipakai oleh Dewan
Keamanan. Boikot total hubungan militer, perdagangan, keuangan terhadap Irak yang
didasarkan atas pelaksanaan Bab VII Piagam berjalan baik bahkan Swiss yang bukan anggota
PBB juga ikut melakukan embargo. Embargo ini juga diperkuat dengan keputusan Dewan
Keamanan untuk melakukan blokade Laut.
Paling menarik diantara semua ini adalah penggunaan kekerasan yang dilegitimasi oleh DK
tidak dalam kaitanya dengan persoalan agresi, tapi lebih ditujukan pada persoalan-persoalan
yang bersifat internal, dan dalam fakta negara-negara yang tidak mau menerima sering kali
mendapatkan gencatan senjata yang diprakarsai oleh PBB. Sedangkan yang lainnya
mengamankan mengamankan pengiriman bantuan di Yugoslavia; untuk melindungi save
haven dan menegakkan wilayah no-fly di Bosnia; untuk mengembalikan demokrasi; untuk
melindungi kamp pengungsi di Rwanda yang sekaligus juga menerapkan sanksi ekonomi
sesuai Pasal 41 Piagam.
B. Sanksi Yang Berbentuk Militer
Bila mana diperhatikan pada Piagam PBB Bab VII, maka Dewan Keamanan (DK)
merupakan organ PBB yang paling terkait dengan urusan perdamaian dan keamanan

internasional. Dalam Bab VII, Dewan Keamanan mendapatkan kewenangan untuk bertindak
atas nama semua negara, untuk menggunakan kekerasan terhadap negara-negara pelanggar.
Di samping itu, Dewan Keamanan memiliki hak untuk mendapatkan laporan dari negaranegara yang telah menggunakan kekerasan sebagai bentuk self-defence-nya. Peran utama
yang dimiliki oleh Dewan Keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan kekerasan dapat
dikarenakan dalam persoalan invasi Irak.
Maksud utama dari Piagam adalah dalam hal pengontrolan kekerasan diberikan kepada PBB
yang kemudian diberikan kewenangan kepada Dewan untuk mengambil tindakan atas
tindakan-tindakan yang menurutnya dapat mengancam perdamaian dan keamanan
internasional. Akan tetapi, praktek maksud utama dari Piagam tersebut telah diperbaiki.
Praktek yang dimaksud dapat ditemukan dalam pada masa Perang dingin di mana hak veto
yang dimiliki kelima anggota tetap telah mengakibatkan impotensi Dewan. Menurut Pasal 39
Piagam, Dewan memiliki kewenangan untuk menentukan apakah terdapat ancaman,
pelanggaran terhadap perdamaian atau adanya tindakan agresi dan kemudian memberikan
rekomendasi atau atau memutuskan tindakan-tindakan apa yang akan diambil dengam
memperhatikan Pasal 41 dan 42, untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan
internasional.
Perlu diperhatikan disini apabila tidak hanya tindakan-tindakan yang bersifat militer yang
dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional tapi
juga meliputi pelanggaran-pelanggaran HAM. Kemudian diteruskan dengan Pasal 40 yang
menuntut para pihak yang terlibat untuk menuruti rekomendasi yang dibuat oleh Dewan demi
terhindarnya situasi yang makin memburuk.
Pasal 42 yang merupakan inti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab VII Piagam
memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan militer, udara,
laut dan darat yang diperlukan untuk memelihara dan memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional. Namun dinyatakan pula bahwa ketentuan tersebut baru dilakukan bila
tindakan-tindakan kekerasan non militer tidak memadai atau mengalami kegagalan. Kalau
dibanding dengan LBB yang menjadikan pelaksanaan sanksi-sanksi militer bersifat fakultatif
bagi negara-negara anggota, selanjutnya PBB bukan saja dapat memutuskan penggunaan
kekerasan tetapi juga ikut melaksanakannya.
Pelaksanaan ketentuan ini akan ideal apabila apabila dari segi militer, PBB mempunyai
persenjataan sendiri yang dapat menangkal agresi yang tidak dilakukan oleh salah satu
anggota tetap Dewan Keamanan. PBB pada hakekatnya tidak membentuk angkatan
bersenjata internasional yang bebas dari negara-negara anggota menyerahkan kepada Dewan
Keamanan pasukan-pasukan bersenjata yang diperlukan atas dasar kesepakatan-kesepakatan
khusus dengan Dewan Keamanan. Tetapi yang ada hanya himpunan dari pasukan berbagai
negara yang dikoordinasikan oleh Dewan Keamanan. Satu-satunya organ bersama adalah
Komite Kepala-kepala Staf yang terdiri dari kepala-kepala staf dari kelima anggota tetap
untuk membantu Dewan dalam masalah-maslah militer seperti yang disebut dalam pasal 47
Piagam.

Anda mungkin juga menyukai