Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian utama di
seluruh dunia. Berdasarkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2010
sedikitnya 30% atau setara dengan 17,5 juta kematian diseluruh dunia disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular.1 Diperkirakan sedikitnya ada 1 miliar penderita
penyakit jantung. Di Amerika tercatat ada 50 juta penderita, di China sebanyak
13,6% dari jumlah penduduknya diketahui memiliki penyakit jantung. Di Kanada
sekitar 22% dari jumlah penduduk, di Mesir kurang lebih 26,3% dan di Indonesia
penderita penyakit jantung diperkirakan sekitar 6-15 % dari jumlah penduduk. 2
Insidensi perikarditis post infark yang dipaparkan European Society of Cardiology
adalah 0,5-5%.3
Penyakit infark miokard merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.4
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan salah
satunya Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner
yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Infark
miokard (IM) sulit dibedakan dengan perikarditis dan repolarisasi pada pasien
yang datang dengan nyeri dada dan ST-segmen elevasi pada elektrokardiogram.5

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1

2.2

IDENTITAS
Nama

: Tn. NC

Jenis kelamin

: Laki-laki

Usia

: 45 Tahun

Alamat

: Perumnas Lingke

Pekerjaan

: Karyawan Swasta

Agama

: Islam

No. MR

: 0-84-31-28

TMRS

: 17/06/2016

Tanggal Pemeriksaan

: 01/07/2016

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama

: Nyeri dada

2. Keluhan Tambahan

: Sesak napas (+), mual (+), nyeri di ulu hati (+),


perut terasa penuh (+), cepat kenyang (+)

3. Riwayat penyakit sekarang

: Pasien datang datang dengan keluhan nyeri

dada sejak 1 jam SMRS, nyeri dada menjalar dari dada kiri ke bahu,
lengan kiri hingga ke punggung pasien. Nyeri dada dirasakan seperti
ditusuk. Nyeri dada memberat bila pasien bergerak maupun istirahat.
Lamanya nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit. Keluhan nyeri dada
tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi. Pasien juga mengeluhkan sesak
nafas yang bertambah berat bila nyeri dada timbul. Selama dirawat pasien
mengeluh mual, nyeri di ulu hati, perut terasa penuh dan cepat kenyang.
Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat dispepsia (+)

Riwayat Hipertensi disangkal

Riwayat DM disangkal

4. Riwayat Pengobatan

Riwayat pemakaian obat herbal (habatussauda, air kunyit, jus daun


sop) apabila merasakan sakit, dan pemakaian dihentikan apabila
pasien sudah merasa lebih baik.

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Tidak ada riwayat hipertensi dan DM dalam keluarga.
7. Riwayat Kebiasaan dan Sosial
Pasien memiliki kebiasaan makan makanan berlemak, jarang berolahraga,
merokok sejak SMP hingga saat ini sebanyak 1 bungkus perhari.
2.3

PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Present
1. Keadaan umum

: Lemah

2.

Kesadaran

: Compos Mentis

3.

Pengukuran Tanda vital


Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Suhu

: 100/70 mmHg
: 84 kali/menit, regular
: 18 kali/menit
: 36,3 C

B. Status Generalis
1. Kulit

Warna

: sawo matang

Sianosis
Turgor
Kelembaban
Pucat
Lain-lain

: tidak ada
: cepat kembali
: cukup
: tidak ada
: tidak ada

2. Kepala : Bentuk

: normosefali

Rambut : Warna
: hitam
Mata
: Bentuk
: Dalam Batas Normal
Palpebra
: edema (-/-)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva
: pucat (-/-)
Sklera
: ikterik (-/-)
Pupil : Diameter : isokor, normal
Reflek cahaya : (+/+)

Kornea
Telinga : Bentuk
Sekret
Serumen
Nyeri
Hidung : Bentuk
Pernafasan
Epistaksis
Sekret
Mulut : Bentuk
Bibir
Gusi
Gigi-geligi
Lidah : Bentuk
Pucat/tidak
Tremor/tidak
Kotor/tidak
Warna

: jernih/jernih
: simetris
: tidak ada
: minimal
: tidak ada
: simetris
: cuping hidung (-)
: tidak ada
: tidak ada
: simetris
: mukosa bibir basah
: pembengkakan tidak ada, berdarah tidak ada
: normal
:
:
:
:

normal
tidak pucat
tidak
tidak kotor

: kemerahan

Faring : Hiperemi
: tidak ada
Edema
: tidak ada
Tonsil : Warna
: kemerahan
Pembesaran
: tidak ada
Abses/tidak
: tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
3. Leher :
Vena Jugularis

: 5- 2 cmH2O

Pembesaran kelenjar

: pembesaran KGB (-)


Pembesaran Tiroid (-)

4. Toraks :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk
: simetris
Retraksi
: tidak ada
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara Napas Dasar :Vesikuler (+/+)
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra,


kuat angkat, irama regular

Perkusi
:
Batas Atas
Batas Kanan
Batas Kiri

: ICS II midclavicularis sinistra


: ICS IV LPS dekstra
: ICS V midclavicularis sinistra

Auskultasi : BJ 1 > BJ 2. Reguler (+), Bising (-)


5. Abdomen :
Inspeksi
Palpasi

Perkusi

: Bentuk
: datar, simetris, benjolan (-)
: Soepel (+), nyeri tekan daerah epigastrium (+)
Hati
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Ginjal
: tidak teraba
Massa
: tidak ada
: Timpani/pekak : timpani
Asites
: tidak ada

Auskultasi : bising usus (+) normal


6. Ekstremitas :
7. Neurologis
Tanda

Umum

akral hangat, edem tidak ada

:
Lengan

Tungkai

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Gerakan

Bebas

Bebas

Bebas

Bebas

sensibilitas

Normal

Normal

Normal

Normal

Tanda

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Meningeal

2.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan

17-06-2016
HEMATOLOGI
Hasil

Nilai Normal

KIMIA KLINIK
JANTUNG
Troponin I
CK/MB
ELEKTROLIT
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
DIABETES
Glukosa darah puasa
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum
Kreatinin

0,10
48

<1,5
<25

146 mmol/L
4,0 mmol/L
113 mmol/L

135-145
3,5-4,5
90-110

145 mg/dl

200

20 mg/dl

13-43

0.95 mg/dl

0,51-0,95

B. EKG
Interpretasi EKG (17/06/16) :

(Ruangan:
EKG
terakhir)
EKG
(IGD:terakhir
17 Juni
(29/06/16)
2016/
pre fibrinolitik)

Ritme
Rate
Axis
Gel. P
Interval PR
Kompleks QRS
ST Elevasi
ST Depresi
T Inverted
Kesimpulan

: Sinus bradikardia dan reguler


: 49x/menit
: Normoaxis
: 0,08 detik, 0,04 mV
: 0,020 detik
: 0,10 detik, LVH (-), RVH (-)
: II, III, aVF, V2, V3, V4, V5, V6
:: V1
: Sinus bradikardia reguler dengan HR 49x/menit dan

normoaxis serta infark anterior ekstensif dan inferior.


Interpretasi EKG (22/06/16)
Ritme
: Sinus ritme dan reguler
Rate
: 92x/menit
Axis
: Left Axis Defiation (LAD)
Gel. P
: 0,08 detik, 0,04 mV
Interval PR
: 0,18 detik
Kompleks QRS
: 0,06 detik, LVH (-),
RVH (-)
ST Elevasi
: I, II, III, aVF, V2-V6
ST Depresi
: aVR, V1
T Inverted
: Kesimpulan
: Sinus ritme reguler dengan HR 92x/menit, LAD, infark
anterolateral dan inferior, dan ST depresi anterior
Interpretasi EKG terakhir (29/06/16)
Ritme
: Sinus ritme
Rate
: 88x/menit
Axis
: LAD (Left Axis Defiation)
Gel. P
: 0,06 detik, 0,06 mV
Interval PR
: 0,020 detik
Kompleks QRS
: 0,05 detik, LVH (-), RVH (-)
ST Elevasi
: II, III, aVF, V2, V3, V4, V5, V6
ST Depresi
: aVR, V1
T Inverted
: II, V5, V6
Kesimpulan
: Sinus ritme dengan HR 88x/menit, LAD, serta infark
anterior ekstensif dan inferior.
C. Ekokardiografi (24 Juni 2016)
Kesimpulan : PJK + Efusi Perikard masif

D. Foto Thoraks (19 Juni 2016)

2.5

Kesimpulan : Kardiomegali + efusi pelura minimal

DIAGNOSIS
I.

STEMI Post Fibrinotik

II.

Pericarditis Post IMA + Efusi Pleura Massive

2.6 PENATALAKSANAAN
1. Non-Medikamentosa
-

Bed rest

2. Medikamentosa

1. Terapi di IGD (17/6/16, pukul 20:10): Nyeri dada (+), Mual (+), muntah
(+),Berkeringat dingin

02 4 L/menit via nasal canul

pasang monitor

Persiapan fibrinolitik

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Drip Dopamin 5 meq/KgBB (bila TD < 100mmHg)
Sreptokinase 1,5 juta IU (habis dalam 1 jam),mulai 21:50 wib

Inj. Sulfas Atropin 2 Amp extra

ISDN 3 x 5 mg

Inj. Morfin 3 x 2 mg

Inj. Ranitidin 2 x 50 mg(k/p)

Loading dose Clopidogrel 4 x 75 mg

Loading dose Aspilet 4 x 80 mg

6 jam post streptokinase


o SC Arixtra1 x2,5 mg
o Atorvastatin 1x 40 mg

Pantau tanda-tanda vital dan perdarahan


Evaluasi irama jantung

2. Tanggal 18 Juni 2016/ICCU: Sesak napas (+), Nyeri dada (+),Nyeri ulu hati (+)

O2 4 L
Drip NaCL 24 gtt/i
Aspilet 1x80 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Atorvastatin 1x40 mg
Sc Arixtra 2,5 mg/24 jam
ISDN 3x5 mg
Drip Dopamin 5mg/kgBB
Inj. Ranitidin
Loading Amiodaron 150 mg selanjutnya drip amiodaron 300 mg/6 j

selanjutnya amiodaron 600 mg/8 j


O2 simple mask

10

3. Tanggal 19 Juni 2016 : sesak nafas, nyeri dada, nyeri ulu hati

O2 4 L

Drip NaCL 24 gtt/i

Drip amiodaron 600 mg/18 jam

Drip NTG 5 mcg/jam

Sc Arixtra 2,5 mg/24 jam

Inj. Ranitidin 1 Am (ekstra)

Aspilet 1x80 mg

Clopidogrel 1x75 mg

Atorvastatin 1x40 mg

ISDN 3x5 mg

Lasix 2 Amp/8 jam

4. Tanggal 25 Juni 2016: Dada terasa tertekan ,BAB hitam, lemas (+)

IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/i


Inj. Cefoperazone Sulbactam (H6)
Furosemid tab 1-1-0
Aspilet 1x160 mg (STOP) diganti Aspirin 3x300 mg
Atorvastatin 1x40 mg
Sipronolacton 1x50 mg (1-0-0)
Brilinta 2x90 mg
Coralan 1x7,5 mg
ISDN 3x5 mg
Curcuma 2x1 tab
Meropenem 1 Amp/12 jam
Recolfar 2x 0,5 mg
Aspirin 3x300 mg

Inj. Prosogan 30 mg 1 fls/12 jam

5. Tanggal 26 Juni2016: Dada terasa tertekan, Hb : 5,2

IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/i


Inj. Cefoperazone Sulbactam (STOP)

11

Furosemid tab 1-1-0


Inj. Prosogan 30 mg 1fls/12 jam
Aspirin 3x300 mg
Recolfar 2x0,5 mg
Atorvastatin 1x40 mg
Sipronolacton 1x50 mg (1-0-0)
Brilinta 2x90 mg
Coralan 1x7,5 mg
ISDN 3x5 mg
Curcuma 2x1 tab
Meropenem 1 Amp/12 jam
Transfusi PRC 3 kolf 1 kolf/hari Hb: diatas 8

6. Tanggal 27 Juni2016: dada masih tertekan namun sudah ada perbaikan, BAB
hitam sudah tidak ada

IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/i


Furosemid tab 1-1-0
Inj. Prosogan 30 mg 1fls/12 jam
Aspirin 3x300 mg
Recolfar 2x0,5 mg
Atorvastatin 1x40 mg
Sipronolacton 1x50 mg (1-0-0)
Brilinta 2x90 mg
Coralan 1x7,5 mg
ISDN 3x5 mg
Curcuma 2x1 tab
Meropenem 1 gr/12 jam
Transfusi PRC 3 kolf 1 kolf/hari Hb: diatas 8

7. Tanggal 29 Juni 2016:Nyeri dada (+) 1x malam, BAB (-), Hb: 7,7 mg/dL

IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i


Inj.Meropenem 1gr/12 jam
Inj. Prosogan 30 mg/24 jam
Furosemid tab 1-1-0
Aspirin 3x300 mg
Atorvastatin 1x40 mg (STOP)
Spironolacton1x50 mg (1-0-0)
Coralan 1x7,5 mg
ISDN 3x5 mg (STOP)
Recolfar 2x0,25 mg
Curcuma 2x1 tab

12

8. Tanggal 30 Juni2016: Nyeri Dada (-), BAB (+) normal

2.7

PLANNING DIAGNOSTIK
-

2.8

IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i


Inj.Meropenem 1gr/12 jam
Inj. Prosogan 30 mg/24 jam
Furosemid tab 1-1-0
Aspirin 3x300 mg
Spironolacton1x50 mg (1-0-0)
Coralan 1x7,5 mg
Recolfar 2x0,25 mg
Curcuma 2x1 tab
Platogrix 1x75 mg

Pemeriksaan laboratorium
Foto Thorax AP
Echocardiografi
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Infark miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang
berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard diklasifikasikan berdasarkan dari
gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim jantung. Infark miokard dapat
dibedakan menjadi infark miokard dengan elevasi gelombang ST (STEMI) dan

13

infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI).6 Infark miokard akut


dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian
dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.7
Pada pasien ini terdapat kelainan gambaran EKG berupa elevasi
gelombang ST (STEMI) dan pasien juga mengeluhkan nyeri dada, dimana sesuai
dengan definisi STEMI yaitu terdapat kelainan gambaran EKG berupa elevasi
gelombang ST dan angina pectoris.
3.2 Faktor Resiko
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat
diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang
tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.7
Pada pasien seorang laki- laki berusia 45 ,tidak memiliki riwayat DM dan
hipertensi, pasien seorang perokok aktif sejak pasien SMP. Disini sesuai dengan
faktor resiko infark miokard yang dapat diubah.
3.3 Gejala Klinik
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada.IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50%
pasien.Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari,
jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien
juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%)
IMA tidak menimbulkan nyeri dada.Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien
dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut. 4,7
3.4 Diagnosis

14

Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan


anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm,
minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2
sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang
meningkat akan memperkuat diagnosis.7
Tabel. 3.1
Lokasi Infark

Gelombang Q/ Elevasi ST

Arteri koroner

Anteroseptal

V1 dan V2

LAD

Anterior

V3 dan V4

LAD

Lateral

V5 dan V6

LCX

Ekstensif Anterior

I, AVL, V1-V6

LAD, LCX

High Lateral

I, AVL, V5 dan V6

LCX

Posterior

V7-V9

LCX PL

Inferior

II, III, AVF

PDA

Right ventrikel

V2R-V4R

RCA

Pada pasien terdapat keluhan nyeri dada menjalar dari dada kiri ke bahu,
lengan kiri hingga ke punggung pasien. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk.
Nyeri dada memberat bila pasien bergerak maupun istirahat. Dari hasil EKG
dijumpai elevasi segmen ST, pada sandapan ekstremitas II, III, aVF dan V2
sampai V6. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penngkatan marker
jantung CKMB (48). Hal ini sesuai dengan teori diatas bahwa nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas.
Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan
memperkuat diagnosis.
3.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).7

15

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,


menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang, seperti yang terdapat pada gambar 1. Terdapat beberapa pedoman
(guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun
2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas
di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.7,8

3.5.1 Terapi Reperfusi


Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.7
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI

16

dapat dicapai dalam 90 menit. Pada gambar 2 telah dijelaskan langkah- langkah
reperfusi.7,9
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian.7
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.7
3.5.2 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah
ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana,
hanya di beberapa rumah sakit.7,9

17

Gambar 2. Langkah- langkah Reperfusi


3.5.3 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Seperti yang di jelaskan
pada lampiran 2. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA),
yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan
melisiskan trombus fibrin.7,9
Pada pasien terapi fibrinolitik diberikan dalam >30 menit sejak masuk,
maka tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan Terapi fibrinolitik lebih baik
diberikan dalam 30 menit sejak masuk.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada,
peningkatan berlipat ganda marka jantung troponin dan penurunan elevasi segmen

18

ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan


hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA,
cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Pada pasien ini setelah dilakukan reperfusi nyeri dada yang dirasakan tidak
berkurang, hal ini menjadi salah satu tanda ketidakberhasilan fibrinolitik dengan
dan pada EKG post fibrinolitik terdapat penurunan elevasi segmen ST, hal ini
menjadi salah satu faktor keberhasilan dari pemberian fibrinolitik.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :7(Lampiran 1)
A. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.

19

C. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah. Dosis obat fibrinolitik dapat dilihat di tabel
3.2.10
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.11
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.11
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.11
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang manfaatnya
sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan.
Tabel 3.2. Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut

20

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,dan pemeriksaan penunjang maka


pasien penyakit pasien lebih mengarah ke STEMI, dimana Pasien saat di IGD
mengeluhkan nyeri dada sejak 1 jam SMRS, nyeri dada menjalar dari dada kiri
ke bahu, lengan kiri hingga ke punggung pasien. Nyeri dada dirasakan seperti
ditusuk. Nyeri dada memberat bila pasien bergerak maupun istirahat. Lamanya
nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit. Keluhan nyeri dada tidak dipengaruhi
cuaca, debu dan emosi. Dari hasil EKG terdapat kelainan berupa elevasi
gelombang ST, maka seseuai dengan gambar 1 jika pada sangkaan SKA dengan
STEMI maka evaluasi untuk terapi reperfusi.
Pasien masuk IGD pada pukul 20:10 wib direncanakan fibrinolisis, dan
tidak memiliki kontraindikasi untuk fibrinolisis ,dimana pasien menjadi Kandidat
fibrinolisis dan pada Jam 21.50 wib dimulai pemberian fibrinolisis. Obat yang
diberikan adalah streptokinase 1,5 juta IU (habis dalam 1 jam). Sesuai dengan
tabel 2 dan gambar 2, dimana setelah di diagnosis STEMI maka di transfer ke
pusat yang mampu melakukan PCI non primer, jika tidak mungkin dilakukan
seperti pada pasien ini makan langsung dilakukan fibrinolisis.
3.5.5 Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,

21

clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin


(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACEinhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.9,10
1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23%
dan infark non fatal sebesar 49%.13
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6
bulan pada kelompok abciximab dan stenting.5
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan
terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu
trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated
partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali.7
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama
dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.7
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang
menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.9

22

Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators


mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang
mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan
kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal,
dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok
pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun
tertinggi (18%).9
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan
risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.11
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien
dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel
kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).7
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat
beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian
infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti
klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif.7
3.6 Komplikasi dan Prognosis

23

IMA dapat

memberikan

komplikasi

seperti

aritmia

(takiaritmia,

bradiaritmia), disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik,


perikarditis dan lain-lain. Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis
pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara
klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:
Tabel 3.3. Klasifikasi Killip pada IMA
Kelas

Definisi

Proporsi pasien

Mortalitas(%)

Tidak ada tanda gagal jantung kongestif

40-50%

II

+ S3 dan/atau ronki basah di basal paru

30-40%

17

III

Edema paru akut

10-15%

30-40

IV

Syok kardiogenik

5-10%

60-80

Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien
infark dengan ST elevasi, yakni:
Faktor risiko (bobot)

Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)

Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3)

0(0,8) / 1(1,6)

DM/HT/angina (1)

2(2,2)

SBP<100 (3)

3(4,4)

HR >100 (2)

4(7,3)

Klasifikasi killip II-IV (2)

5(12,4)

Berat <67 kg (1)

6(16,1)

ST elevasi anterior atau LBBB (1)

7(23,4)

Waktu ke reperfusi >4jam (1)

8(26,8)

(skor maksimum 14 poin)

>8(35,9)

Pada pasien jika dinilai menggunakan klasifikasi Killip masuk dalam kelas
satu, dimana tidak terdapat tanda gagal jantung kongestif dengan mortalitas 6%.
Berdasarkan skor TIMI didapatkan skor mortalitas 2, dimana pada pasien terdapat
keluhan nyeri dan pada EKG terdapat ST elevasi.
3.8 Infark Miokard Vs Perikarditis Akut

24

Perikarditis sulit dibedakan dengan infark miokard (IM) dan repolarisasi


pada pasien yang datang dengan nyeri dada dan ST-segmen elevasi pada
elektrokardiogram.12
Pada pericarditis akut terdapat nyeri dada pleuritik yang biasanya
dipengaruhi posisi, akan berkurang bila duduk condong ke depan. Sebagian besar
pasien merasakan nyeri tumpul sentral tanpa gambaran spesifik. Bisa terdengar
gesekan pericardium (pericardial rub), seringkali hanya pada posisi tertentu atau
saat inspirasi. Bisa disertai demam atau gejala sistemik. Bunyi jantung terdengar
jauh dan samar-samar (muffled) akibat penumpukan cairan.13
Retensi cairan, asites, hepatomegali, distensi vena jugularis, dan tandatanda gagal jantung kanan kronis lain dapat terjadi pada pericarditis konstriktif
kronis ketika tekanan vena sistemik meningkat secara bertahap. 13
Ekokardiografi diharapkan untuk (1) menunjukkan efusi pericardium,
memperlihatkan ruang bebas echo di antara dinding ventrikel dan pericardium,
perkiraan jumlah dan lokasinya; (2) menilai kontraktilitas ventrikel kiri (akan
terganggu bila ada miokarditis); (3) membedakan pericarditis dengan infark
jantung.13
Rontgen

dada hanya membantu

untuk

diagnosis pada

pasien

dengan efusi > 250 ml. 6


Elektrokardiografi(EKG) pada perikarditis akut tanpa adanya efusi massif
biasanya memperlihatkan elevasi segmen ST, pada 2 atau 3 sandapan ekstremitas
dan V2 sampai V6 dengan depresi resiprok hanya di aVR dan V1 dan tanpa
perubahan QRS yang bermakna, kecuali kadang-kadang didapatkan penurunan
voltase. Beberapa hari kemudian segmen ST kembali normal dan gelombang T
menjadi terbalik.
Sebaliknya pada infark miokard akut depresi resiprok segmen ST lebih
menonjol, timbul perubahan QRS terutama timbulnya gelombang Q dan
menurunnya serta serta menghilangnya gelombang R. inverse T biasanya timbul
sebelum segmen ST menjadi isoelektrik. EKG serial berguna untuk kembedakan
perikarditis akut dari infark miokard akut.
Pada perikarditis akut dengan efusi perikardium yang banyak, voltase QRS
menurun. Kadang-kadang fibrilasi atrium dan denyut atrium prematur.

25

Salah satu kelainan perikardium adalah Sindrom Dressler sekarang


dianggap langka. Ketika perikarditis terkait dengan sindrom Dressler itu terjadi,
biasanya diamati 2-3 minggu setelah infark miokard. Awalnya, sindrom ini
digambarkan sebanyak 4% pasien berikut dan akut Miokard Infark (MI).
Kemudian penelitian menunjukkan insiden yang jauh lebih rendah. Sindrom
Dressler jarang dijelaskan dengan emboli paru (1).
Sindrom ini mungkin merupakan fenomena autoimun yang dimediasi unik
untuk antigen miokard, atau itu hanya mungkin menjadi perikarditis pasca-MI
yang tidak diakui. Pasien dapat mengembangkan infiltrat paru dan efusi
perikardial besar.
Karena risiko dari perikarditis hemoragik, terapi antikoagulan harus
dihentikan pada pasien dengan sindrom Dressler (1)
Pada pasien terdapat keluhan nyeri dada menjalar dari dada kiri ke bahu,
lengan kiri hingga ke punggung pasien. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk.
Nyeri dada memberat bila pasien bergerak maupun istirahat. Hal ini dapat
menyingkirkan salah satu dari gelaja perikarditis dimana nyeri yang dirasakan
biasanya dipengaruhi posisi, akan berkurang bila duduk condong ke depan. Dari
pemeriksaan fisik jantung pasien saat auskultasi tidak didapatkan adanya gesekan
pericardium (pericardial rub), pasien juga tidak memiliki riwayat demam, dimana
hal tersebut dapat menyingkirkan salah satu kriteria perikarditis. Dari hasil EKG
dijumpai elevasi segmen ST, pada sandapan ekstremitas II, III, aVF dan V2
sampai V6. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penngkatan marker
jantung CKMB (48) hasil EKG serial dijumpai elevasi segmen ST, pada sandapan
ekstremitas II, III, aVF dan V2 sampai V6 dan dari EKG serial segmen ST tidak
kembali normal. Maka dapat disimpulkan

bahwa pasien dalam

kasus ini

diagnosa yang mendekati adalah STEMI. Hasil ekokardiografi didapatkan


kesimpulan penyakit jantung koroner dan efusi perikard masif, disini terdapat dua
tanda yang bisa mengarah STEMI atau perikarditis, dimana gambaran
ekokardigrafi pada STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya dan bisa menggambarkan PJK dan pada perikarditis menggambarkan
efusi perikard. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

26

penunjang seperti yang telah dibahas diatas maka diagnosa pasien lebih mengarah
ke STEMI Dikarenakan diagnosa pasien kurang tepat dengan perikarditis maka
dapat menyingkirkan adanya sindrom dressler pada pasien, dimana sindrom ini
adalah salah satu kelainan perikardium yang berhubungan dengan perikarditis.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Status Report on Non Communicable
Diseases 2010. 2011 April.
2. Sudoyo AW,Setyohadi B, Alwi I, Simodibrata M, Setati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi ke-5. Jakarta : Interna Publishing: Pusat Penelitian
Ilmu Penyakit Dalam. 2009
3. Ryan TJ, Antman EM, Brooks NH, et al. ACC/AHA Pocket Guidelines for
The Management of Patients with pericarditis. ACC &AHA ,Inc.; 2013:611.
4. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
5. PERKI, 2014. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Centra
communications; Jakarta
6. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, Harvey D
(2012). Third universal definition of myocardial infarction. European
Heart Journal, 33: 2551-2567.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
8. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition

Harrisons Principles of Internal

Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.

27

9. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the


ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with STelevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. 2008;51:210247.
10. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected
acute myocardial infarction. American College of Emergency Physicians
Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion
Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358383.
11. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT)
Evidence of Earlier Death for Men than Women after Acute Myocardial
Infarction. Am J Cardiol.2000; 85 : 147-153.
12. Spangler,
Sean.
Acute
pericarditis.
(http://emedicine.medscape.com/article/156951-overview).Diakses tanggal
05 Juli 2016.
13. Davey P. Penyakit Perikardium. In: Safitri A; editors. At a Glance
Medicine. Jakarta: Erlangga; 2005.

28

Lampiran 1
Ceklist penatalaksanaan reperfusi dengan fibrinolitik Pada pasien dengan
stemi onset < 12 jam
Langkah 1 : Pasien dengan keluhan nyeri dada khas infark > 15 menit dan kurang
dari 12 jam

Ya

Tidak

STOP

Langkah 2 : Adakah kontraindikasi pemberian fibrinolitik


Jika ada berikan ceklist Ya, kemungkinan terdapat kontra indikasi pemberian
fibrinoitik
Kontra Indikasi Absolut
NO.
KETERANGAN
1
Riwayat Stroke Hemoragik kapanpun terjadinya
2
Adanya lesi struktur vascular celebral, mis :
Malformasi Arteriovenous
3
Neoplasma Intra Kranial Ganas ( Primer, Metastasis )
4
Stroke Iskemi dalam 3 bulan pertama kecuali Stroke
Iskemi Akut dengan onset < 3 jam
5
Suspek Disksi Aorta
6
Perdarahan Internal Aktif / Perdarahan terus menerus
7
Trauma kepala / wajah yang bermakna dalam 3 bulan
Kontra Indikasi Relatif
NO.
KETERANGAN
1
Riwayat Hipertensi Kronik Berat dan tidak terkontrol
2
TD Sistolik Tinggi > 180 mmHg dan TD Diatolik >
110 mmHg

YA

TIDA

YA

TIDA

29

Riwayat Stroke Iskemia setelah 3 bulan, demensia atau


riwayat kelainan intra kranial
4
Trauama yang berlangsung (CPR > dari 15 menit) atau
bedah mayor < 3 minggu
5
Perdarahan Intestinal dalam 2-4 minggu sebelumnya
6
Pungsi Vaskular yang tidak dapat dikompresi
7
Pemberian Streptokinase sebelumnya (5 hari 2 tahun)
atau riwayat reaksi alergi
8
Kehamilan
9
Ulkus Peptikum yang aktif
10
Penggunaan antikoagulan dengan nilai INR yang tinggi
dan risiko perdarahan yang tinggi
Langkah 3 : Apakah pasien dengan gagal jantung/cardiogenik syok dimana PCI
merupakan pilihan utama
A. Oedem Paru (bunyi rales > dari lapang paru)
B. Hypoperfusion system (dingin, lembab)

30

Lampiran 2
1

MULAI
Persiapkan dan Isi inform consent dan
ceklist kontraindikasi

Siapkan monitor EKG, Defibrilator


dan obat-obatan resusitasi
kardiopulmoner

Penjelasan kepada pasien dan


keluarga mengenai tindakan yang
akan dilakukan dan komplikasi yang
mungkin terjadi

Pasang kateter vena no. 22 pada


lengan kiri untuk pengobatan
fibrinolitik
Pasang kateter vena no. 20 pada
lengan kanan untuk mengambil darah
atau memberikan obat lain

Lakukan pemeriksaan penunjang :


EKG lengkap, rontgen Thorax, darah
rutin, GDS, APTT, CK, CKMB,
Troponin T, Elektrolit
1

2
2
Berikan 1.500.000 iu streptokinase
dalam 100cc NaCL 0.9% atau
Dextrose secara intra vena dengan
infus pump selama 1 jam (100cc/jam)
Berikan 3 cc terlebih dahulu lalu
observasi selama 10 menit
Terjadi reaksi atau
tidak ?

Lanjutkan sampai selesai


Observasi keluhan
pasien,
tekanan
Stretokinase
dihentikan
terjadi
apabila
darah
setiap
3
menit
dan
perubahan
perdarahan aktif atau hipotensi yang
EKG
pemberian fibrinolitik
tidak selama
dapat dikoreksi/dikontrol
dan
Buat EKG
terdapat
lengkap
reaksisetelah
alergi 1 jam
SELESAI
pemberian
fibrinolitik selesai

Anda mungkin juga menyukai