Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1

Definisi
Impetigo adalah infeksi penyakit menular pyogenic superfisial yang

menyerang kulit. Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo non-bulosa (atau
impetigo kontagiosa atau Tilbury Fox) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa biasanya
disebabkan oleh bakteri staphylococcal terkadang disebabkan oleh streptococcal,
sedangkan impetigo non-bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
streptococcus atau kedua bakteri tersebut (Burns, 2010)
Impetigo adalah infeksi kulit yang sering terjadi pada anak-anak. Bakteri
penyebab yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, streptococcus atau
kombinasi keduanya (Motswaledi, 2011).
1.2

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9-10 % dan anak-anak yang datang ke klinik

kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan
adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kirakira 90%) adalah impetigo bulosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dan 2
tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak
2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo
krustosa. Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai
usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup
1

kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di
Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik.
Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negaranegara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong
lemah atau miskin (Burns, 2010).
Impetigo non-bulosa lebih dari 70% kasus terbanyak dalam pyoderma.
Impetigo non-bulosa banyak terjadi pada anak-anak pada semua umur, bahkan pada
usia dewas (Wollf, 2008).
1.3

Etiologi
Bakteri penyebab yang paling sering adalah Staphylococcus aureus,

streptococci atau kombinasi keduanya (Motswaledi, 2011). Impetigo non-bulosa


dapat disebabkan oleh kedua

bakteri S.aureus dan streptococci, masih dalam

kontroversi dari genus mana yang paling sering menyebabkan impetigo non-bulosa.
Pada impetigo bulosa

biasanya Staphylococcus aureus (Djuanda, 2009).

Kemungkinan tergantung dari variasi geografis, bakteri streptococcal prevalensi


tertinggi berada didaerah yang mempunyai iklim hangat.

S.aureus bisa sebagai

bakteri sekunder yang menyebabkan impetigo (Burns, 2010).

Gambar 1. Streptococcus pyogenes

Gambar 2. Staphylococcus aureus


Lesi awal paling sering disebkan oleh bakteri streptococcal. Pada kasus
impetigo yang disebabkan oleh bakteri streptococcal, Streptococcus pyogenes sejauh
ini merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan impetigo (Burns, 2010).
Sekitar 30% dari populasi kolonisasi S.aureus terletak pada nares anterior. Bakteri ini
dapat menyebar dari hidung ke kulit yang sehat dalam 7 14 hari dan akan nampak
lesi impetigo dalam 7 14 hari kemudian (Broccardo, 2011).

1.4

Faktor Predisposisi
Faktor-faktor pencetus terjadinya impetigo :

Kolonisasi bakteri pada daerah nasal dan perineal


Hyegene yang buruk
Penurunan daya tahan tubuh
Trauma atau infeksi pada kulit sebelumnya, missal eczema
(Motswaledi, 2011)

1.5

Patogenesis
Kulit yang utuh atau intak biasanya resisten terhadap kolonisasi atau infeksi

bakteri oleh S.aureus atau GABHS. Teichoic acid dari S.aureus atau GABHS yaitu
fibronectin dibutuhkan sebagai perlekatan di reseptor sel epitel untuk kolonisasi.
Fibronectin ini tidak berfungsi pada kulit yang utuh, akan tetapi pada kulit yang
mengalami luka fibronectin ini terbuka dan memudahkan bakteri untuk berkolonisasi.
Faktor yang mempengaruhi dari kolonisasi bakteri ini antara lain suhu, kelembaban,
penyakit kulit kutaneus sebelumnya, usia muda atau penggunaan antibiotik
sebelumnya (Lewis, 2016). Toxin ini menyerang protein yang membantu mengikat
sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat menyebar. Enzim
yang dikeluarkan oleh Staphylococcus akan merusak struktur kulit dan adanya rasa
gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit. (Wolff, 2008).

Mekanisme kerusakan kulit yang memfasilitasi kolonisasi bakteri yang paling


sering antara lain :

Luka gores
4

Dermatofitosis
Varisela
Herpes simpleks
Scabies
Pediculosis
Luka bakar
Tindakan bedah
Trauma
Radiasi
Gigitan serangga

Terapi imunosupresi (penggunaan kortikosteroid, retinoid oral, kemoterapi),


penyakit sistemik (HIV, diabetes mellitus), drug abuse, dan dialysis menyokong
sebagai pertumbuhan bakteri. Sekali kulit terkolonisasi bakteri, trauma kecil seperti
abrasi atau gigitan serangga, dapat berkembang menjadi impetigo dalam 1-2 minggu.
GABHS bisa dideteksi pada hidung dan tenggorokan pada beberapa individu,
walaupun tanpa gejala faringitis. Hal ini dikarenakan bakteri ini mempunyai tipe yang
berbeda, impetigo biasanya disebabkan GABHS tipe D (Lewis, 2016)
Pada impetigo bulosa umumnya disebabkan oleh toxin eksfoliatif dari
S.aureus tipe A dan B. toxin ini menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk
beradhesi dengan dermis superfisial dengan gambaran kulit melepuh dan kulit
mengelupas. Target dari toxin A adalah desmoglein I yang berfungsi untuk
memperbaiki adhesi sel (Lewis, 2016)..
Impetigo non-bulosa umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A (tipe 49, 52, 53, 55-57, 59, 61) atau S. aureus atau kombinasi
keduanya. Impetigo non-bulosa atau dikenal juga impetigo kontagiosa umumnya
sering mengenai anak-anak (Geria, 2010).

1.6

Gejala Klinis
Impetigo non-bulosa atau impetigo kontagiosa atau impetigo krustosa lesi

awalnya berupa vesikel berdinding tipis dengan dasar eritematosa. Vesikel ini sangat
cepat pecah, dan sebagai hasilnya jarang sekali terlihat. Eksudat serum mengering
dari warna kecoklatan dengan karakteristik seperti madu. Pada beberapa kasus bisa
berupa discharge purulent. Kadang terdapat satelit lesi berdekatan dengan bula
dikarenakan ada autoinokulasi/ krusta biasanya kering, lepas dan hilang
meninggalkan warna merah yang menyembuh tanpa bekas. Area yang paling sering
terkena adalah wajah, biasanya sekitar hidung dan bibir. Tidak disertai gejala umum
Sebagaian besar anak-anak sebagai carrier bakteri ini (Mostwaledi, 2011).

Gambar 3. Impetigo Kontagiosa


Pada impetigo bulosa, bula pecah lebih lama. Bula akan bertambah besar dan
dalam dua atau tiga hari. Tanda patognomonik adalah collarete kerak atau sisik
disekitar atas bagian bula yang sudah pecah. Lesi tampak circinate atau bentuk
sirkular (ring shaped) dikarenakan ada central healing dan tepi meluas. Lesi ini akan

meluas membentuk pola polisiklik. Bula bisa terbentuk dimana saja dan besar dan
tidak merata (Mostwaledi, 2011).

Gambar 4. Impetigo Bulosa

Gambar 5. Impetigo Bulosa Setelah Bula Pecah


Pada impetigo non-bulosa atau kontagiosa, lesi berupa vesikel berdinding tipis
dengan dasar eritema. Vesikel pecah sangat cepat. Eksudat mengering dari berwarna
kuning kecoklatan yang biasanya menebal dan kotor. Bentuk gradual, irregular, tepi

meluas tanpa ada central healing dan multiple lesi yang terjadang menjadi satu.
Krusta lepas meninggalkan bekas berupa bercak eritema dan menghilang tanpa bekas.
Pada beberapa kasus yang berat dapat terjadi demam dan gejala konstitusional
lainnya. Lesi diwajah biasanya berada di bibir dan hidung dan badan. Lesi juga bisa
terdapat dimana saja pada tubuh pada anak-anak yang menderita dermatitis atopik
atau scabies. Impetigo non-bulosa atau kontagiosa ini cenderung sembuh spontan
dalam 2-3 minggu tapi dapat pula memanjang biasanya karena adanya penyakit kulit
yang mendasari (Burns, 2010).
Pada impetigo bulosa, bula pecah lebih lama dan menjadi lebih besar, dengan
diameter 1 2 cm dan tahan dalam 2 3 hari. Isi bula awalnya vesikel jernih
kemudian menjadi keruh, setelah pecah terbentuk krusta tipis, datar berwarna cokelat.
Central healing dengan tepi yang meluas terkadang meninggi dengan bentuk lesi
sirkular. Lesi bisa terdapat dimana saja, dengan distribusi yang tidak merata, sering
berada pada penyakit kulit yang ada khususnya miliaria atau gigitan seranggga
(Burns, 2010)
1.7

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pewarnaan gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan kuman
coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
Kultur cairan
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya Streptococcus
aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan Streptococcus-hemoliticus grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat berdiri sendiri.

b. Pemeriksaan Lain

Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif


lemah untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Streptozyme,

1.8

menunjukkan

hasil

positif

untuk

Streptococcus,

tetapi

pemeriksaan ini jarang dilakukan.


Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri (Siregar, 2005)
Diagnosis Banding
Diagnosis banding impetigo krustosa (kontagiosa) antara lain :

Dermatitis seboroik : pada bayi (2 minggu 10 minggu) daerah frontal


dan parietal khas disebut cradle cap, dengan krusta tebal, pecah-pecah
dan berminyak tanpa ada dasar kemerahan dan kurang/tidak gatal.
Lokasi lain lesi tampak kemerahan atau merah kekuningan yang

tertutup skuama berminyak.


Dermatitis atopi: kelainan kulit terutama berupa iktiosis, reaksi radang
berupa makula eritemato sayang diatasnya terdapat vesikel, papul
folikuler akhirnya dapat timbul likenifikasi. Pada bayi 2 bulan sampai 2
tahun lokasi pada tubuh bagian atas berupa papul dan vesikel diatas

makula akhirnya terbentuk krusta


Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zatzat yang mengiritasi. Makula eritematosa, batas jelas kemudian diikuti

edama, papulovesikel, vesikel atau bula.


Herpes simplex: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang
berulang dan disertai rasa nyeri. Gejala prodromal rasa terbakar dan
gatal. Setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise, dan nyeri otot

Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan


menyebar ke tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk
krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta).

Diagnosis banding impetigo bulosa

Dermatitis kontak iritan: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan
zat-zat yang mengiritasi. Makula eritematosa, batas jelas kemudian

diikuti edama, papulovesikel, vesikel atau bula.


Bullous insect bites : gatal, kadang muncul papula, makula
eritematosa, dengan ditengah terdapat papul dan kadang bula, pada

kulit yang tidak terlindungi


Bullous tinea : gatal, kadang nyeri, serta bulla yang pecah dengan

dasar eritema. Umumnya pada tinea pedis


Bullous drug eruption : eritema dan vesikel yang berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya nummular. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama hilang. Predileksi di sekitar mulut da penis
pada laki-laki (Wolff, 2008, Djuanda, 2009).

1.9

Penatalaksanaan
Terapi lokal menggunakan mupirocin dapat digunaka

untuk infeksi baik

streptococcal maupun staphylococcal menunjukkan hasil yang bagus. Fusidic acid


juga menunjukkan hasil yang memuaskan

dalam mengeliminasi kedua bakteri

10

tersebut (Motswaledi, 2011). Krim atau salep Fusidic acid adalah terapi lini pertama
karena mupirocin efektif dalam terapi MRSA (Oakley, 2016)
Dicloxacillin 250 mg sampai 500 mg peroral empat kali sehari atau
erythromycin pada pasien yang alergi penicillin 250 sampai 500 mg peroral empat
kali sehari (Wolff, 2008). Semua terapi diberikan dalam 7 hari (Burns, 2010).
Penggunaan Azithromycin (dewasa 500 mg pada hari pertama, 250 mg sehari
pada empat hari berikutnya menunjukkan hasil yang sama efektifnya dengan
dicloxacillin. Pada kasus resistensi erythromycin, amoxixllin ditambah asam
klavulanat (25mg/kg/hari 3 kali sehari), chepalexin (40 -50 mg/kg/hari), cefprozil (20
mg/kg/hari 1 kali sehari) atau clindamycin (15 mg/kg/hari 3 kali atau 4 kali sehari)
efektif sebagai terapi alternative (Wolff, 2008). Jika terdapat hanya beberapa
vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salep antibiotik atau cairan antiseptik (Djuanda,
2009).

Gambar 6. Tabel terapi Impetigo


1.10

Komplikasi

11

Pada kasus yang tidak tertangani, penyakit akan menyebar kebagian tubuh
lainnya,

pada

staphylococcal

impetigo

yang

memproduksi

toxin

TSST-1

menyebabkan toxic shock syndrome, selain itu bisa menyebabkan osteomyelitis,


septic arthtritis dan glomerulonephritis bisa terjadi (Motswaledi, 2011)

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1

Identitas pasien

2.2

Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Orang tua
Pekerjaan
Tanggal periksa

: An. A
: 1 tahun 3 bulan
: Perempuan
: Perak Jombang
: Islam
: Tn. Zainudin
: Swasta
: 30 Mei 2016

Anamnesis (heteroanamnesis)

Keluhan utama : gatal seluruh tubuh


Riwayat penyakit sekarang : gatal pada seluruh tubuh sejak 1 minggu
yang lalu, awalnya gatal hanya sebatas dileher, kemudian menyebar ke
ketiak, dada dan lengan. Awal muncul benjolan kecil merah kemudian
menjadi gelembung seperti melepuh dan pecah. Kemudian timbul
keropeng warna coklat tipis dan beberapa mengelupas sendiri.
Menurut ibunya sebelum sakit pasien mengalami flu. Tidak ada batuk.

12

Tidak ada panas. Nafsu makan baik. Tidak ada mual. Tidak ada
muntah. Tidak mencret.

2.3

Riwayat penyakit dahulu : (-)


Riwayat penyakit keluarga : Diabetes mellitus (-), Asma (-)
Riwayat persalinan : 9bln/P/spontan/bidan/H/1th3bln/2900gr
Riwayat imunisasi : terakhir campak
Riwayat nutrisi : ASI + MPASI
Riwayat sosial : Pasien suka main ditanah
Riwayat alergi : (-)

Pemeriksaan fisik :

KU
: tenang, kompos mentis
TTV
: tidak dilakukan
Kepala leher
: dbn
Thorax
:
o Inspeksi : dbn
o Palpasi : tidak dievaluasi
o Perkusi : tidak dievaluasi
o Auskultasi : tidak dievaluasi
Abdomen
:
o Inspeksi : dbn
o Palpasi : tidak dievaluasi
o Perkusi : tidak dievaluasi
o Auskultasi : tidak dievaluasi
Ekstremitas
: dbn
Status Lokalis :
o Efloresensi :
didapatkan gambaran makula eritematosa batas tegas di
regio thorax anterior, coli anterior, deltoid sinistra dan

regio mandibular sinistra


didapatkan gambaran multiple papul eritematosa dan
vesikel di region thorax anterior, coli anterior deltoid
sinistra dan regio mandibula sinistra

13

didapatkan bula berdinding tipis di region thorax

anterior dan deltoid sinistra


didapatkan erosi dan krusta berwarna kecokelatan, serta
bentuk circinate dan terdapat collarete

2.4

Pemeriksaan penunjang

2.5

tidak dilakukan

Penatalaksanaan
o
o
o
o

2.6

Erythromicyn syr 3 x cth I


Loratadin 10 mg 2 x tab
Fuladic cream (pagi-malam)
Kompres PZ (pagi-malam)

Foto kasus

14

BAB 3
PEMBAHASAN

Dari heteroanamnesis (ibu pasien) pasien datang ke poli kulit dan kelamin
pada tanggal 30 Mei 2016 dengan keluhan utama gatal pada seluruh tubuh. Gatal
diseluruh tubuh dirasakan kurang lebih 1 minggu yang lalu. Awalnya gatal hanya
sebatas dileher, kemudian menyebar ke ketiak, dada dan lengan. Awal muncul
benjolan kecil merah kemudian menjadi gelembung seperti melepuh dan pecah.
Kemudian timbul keropeng warna coklat tipis dan beberapa mengelupas sendiri.
Menurut ibunya sebelum sakit pasien mengalami flu. Tidak ada batuk. Tidak ada
panas. Nafsu makan baik. Tidak ada mual. Tidak ada muntah. Tidak mencret. Dalam

15

kesehariannya pasien sering main ditanah. Dari status imunisasi pasien lengkap
terakhir campak. Status gizi pasien minum dan makan ASI dan MPASI. Tidak ada
riwayat diabetes dan asma pada keluarga. Pasien baru mengalami sakit ini pertama
kali.
Dari pemeriksaan fisik dalam kondisi pasien tenang. Nampak krusta tipis
kecoklatan dan nampak bekas bula yang sudah pecah. Dari efloresensi ditemukan
gambaran makula eritematosa didapatkan gambaran makula eritematosa batas tegas
di regio thorax anterior, coli anterior, deltoid sinistra dan regio mandibular sinistra.
didapatkan gambaran multiple papul eritematosa dan vesikel di region thorax
anterior, coli anterior deltoid sinistra dan regio mandibula sinistra. Didapatkan bula
berdinding tipis di region thorax anterior dan deltoid sinistra. Didapatkan erosi dan
krusta berwarna kecokelatan, serta bentuk circinate dan terdapat collarete.
Dari kasus diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pasien terkena penyakit
impetigo tipe bulosa. Hal ini didukung dengan dibeberapa alasan, yaitu ditemukan
tanda patognomonik adalah collarete kerak atau sisik disekitar atas bagian bula
yang sudah pecah sesuai dengan jurnal Motswaledi tentang Impetigo in Children : a
clinical guide and treatmeandibulant. Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa tanda
patognomonik dari suatu penyakit impetigo bulosa adalah ditemukannya tanda
collarete dimana khas pada bekas bula yang sudah pecah yang ada di region badan
dan, deltoid sinistra, serta didapatkannya krusta tipis kecokelatan dan dasar ertitema
yang beberapa sudah memudar
Etiologi kasus ini diduga dikarenakan infeksi bakteri Staphylococcus aureus.
Pada buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi kelima FK UI disebutkan bahwa
16

kuman tersering menyebabkan impetigo bulosa adalah Staphylococcus aureus. Selain


itu didukung pula dengan kebiasaan social pasien suka bermain ditanah dan pasca
terkena flu hal ini berhubungan dengan faktor predispose hyegenitas dan imunitas
pasien sesuai dengan jurnal jurnal Motswaledi tentang Impetigo in Children : a
clinical guide and treatmeandibulant disebutkan bahwa hyegene dan imunitas
berpengaruh terhadap timbulnya penyakit ini.
Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi

erythromicyn, loratadin, salep

topical fuladic acid, dann kompres dengan PZ. Sesuai dengan Impetigo in Children :
a clinical guide and treatmeandibulant Fusidic acid juga menunjukkan hasil yang
memuaskan dalam mengeliminasi kedua bakteri tersebut. Dalam buku Fitzpattrick
disebutkan bahwa untuk antibiotik awal digunakan adalah golongan Penicillin yaitu
Dicloxacillin pada kasus ini menggunakan erythromicyn yang juga dapat digunakan
apabila pasien mengalami alergi golongan Penicillin. Kemudian untuk loratadin tidak
disebutkan dalam buku Fitzpattrick maupun Rooks untuk penggunaan loratadin.
Diduga obat ini diberikan untuk terapi simptomatik mengurangi keluhan gatal pada
pasien. Penggunaan kompres PZ untuk mengompres bula yang belum pecah juga
tidak disebutkan dalam buku Fitzpattrick, Rooks untuk penggunaan kompres PZ
tetapi dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi kelima FK UI jika
terdapat hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salep antibiotik atau
cairan antiseptik.

17

BAB 4
KESIMPULAN

Impetigo adalah infeksi penyakit menular pyogenic superfisial yang


menyerang kulit. Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo non-bulosa (atau
impetigo kontagiosa atau Tilbury Fox) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa biasanya
disebabkan oleh bakteri staphylococcal terkadang disebabkan oleh streptococcal,
sedangkan impetigo non-bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
streptococcus atau kedua bakteri tersebut.
. Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai
usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup
18

kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Faktorfaktor pencetus terjadinya impetigo antara lain kolonisasi bakteri pada daerah nasal
dan perineal, hyegene yang buruk, penurunan daya tahan tubuh, trauma atau infeksi
pada kulit sebelumnya.
Kulit yang utuh atau intak biasanya resisten terhadap kolonisasi atau infeksi
bakteri oleh S.aureus atau GABHS. Toxin ini menyerang protein yang membantu
mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat menyebar.
Impetigo non-bulosa atau impetigo kontagiosa atau impetigo krustosa lesi
awalnya berupa vesikel berdinding tipis dengan dasar eritematosa. Vesikel ini sangat
cepat pecah, dan sebagai hasilnya jarang sekali terlihat. Eksudat serum mengering
dari warna kecoklatan dengan karakteristik seperti madu. Pada impetigo bulosa, bula
pecah lebih lama. Bula akan bertambah besar dan dalam dua atau tiga hari. Tanda
patognomonik adalah collarete kerak atau sisik disekitar atas bagian bula yang
sudah pecah. Lesi tampak circinate atau bentuk sirkular (ring shaped) dikarenakan
ada central healing dan tepi meluas.
Pemeriksaan laboratorium adalah dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri.
Untuk diagnosis banding impetigo antara lain herpes simplex, pemfigus vulgaris
varisela, dermatitis atopi, dermatitis kontak, ektima.
Pengobatan impetigo menggunakan salep antibiotik topikal, maupun sistemik
dan dapat pula diberi obat simptomatik. Pengunnan dicloxacillin menjadi pilihan
pertama disusul dengan penggunaan erythromicyn apabila terdapat alergi penicillin.
Komplikasi jarang sekali timbul apabila tertangani dengan cepat

19

DAFTAR PUSTAKA

Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI
Broccardo CJ, Mahaffey S, Schwarz J, et al. Comparative proteomic profiling of
patients with atopic dermatitis based on history of eczema herpeticum infection
and Staphylococcus aureus colonization. J Allergy Clin Immunol. 2011
Burns, Tony, Stephen Breathnach, Neil Cox, Christopher Griffiths. Rooks Textbook
of Dermatology. 8th Edition. Blackwell Publishing Ltd
Geria AN, Schuartz RA. Impetigo Update: New Challenges in the Era of Methicillin
Resistance. Cutis. 2010
Motswaledi, MH. Impetigo in Children : a clinical guide and treatmeandibulant.
2011

20

Oakley, Amanda. Mangement of impetigo. www.bpac.org.nz.2016


Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Jakarta:
EGC. Hal. 45-49
Steele

Russell

W,

Medscape

Impetigo.

http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview. 2016.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Barbara A., Amy S., David J.. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th Ed. McGraw Hill Medical. United State
of America. 2008. P.1720-1722

21

Anda mungkin juga menyukai