Anda di halaman 1dari 17

Sectio caesarea

A. Definisi
Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat
insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn, 2010). Sectio caesarea
merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi melalui abdomen
dan uterus (Liu, 2007). Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana
janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan
sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono,
2005). Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak
dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen
seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi
atau lebih (Dewi, 2007). Berdasarkan berbagai pendapat di atas, yang dimaksud
dengan sectio caesarea adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk
melahirkan bayi dengan jalan pembukaan dinding perut.
B. Etiologi
Menurut manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah
ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan
indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari
beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio
caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu
tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan
susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk
panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus
dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk
rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah

perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab


kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena
itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar
tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di
bawah 36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang
atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
Menurut Saifuddin (2002) etiologi SC yang berhubungan dengan kelainan
letak janin adalah sebagai beikut:
a. Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
b. Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5
%.
c. Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang
kepala.
d. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni
presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong
kaki tidak sempurna dan presentasi kaki.
C. Indikasi Sectio Caesarea

Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan
sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada
ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
1. Menurut Dewi (2007), ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu:
a. Power, yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya
mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga.
b. Passanger. Diantaranya, anak terlalu besar, anak mahal dengan kelainan
letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak
tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal
distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
c. Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada
jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa
menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis),
condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma
acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol
di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
2. Indikasi Ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan
usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit
yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing
manis,

dan

preeklamsia.

Eklampsia

(keracunan

kehamilan)

dapat

menyebabkan ibu kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan


sectio caesarea.
b. Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul
ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat
menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c. Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan
pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan
lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.
d. Faktor Hambatan Jalan Lahir

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku
sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e. Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate
uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat
melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak
f.

terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.


Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan
bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes
ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah
cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.

g. Rasa Takut Kesakitan


Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di
pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan menggigit. Kondisi
tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa
ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan
secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang
berlebihan

juga

akan

mengambat

proses

persalinan

alami

yang

berlangsung (Kasdu, 2003).


h. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik
yang hidup maupun mati. Paritas digolongkan menjadi 3 bagian yaitu ; 1)
golongan primipara adalah ibu dengan paritas 1. 2) golongan multipara
adalah ibu dengan paritas 2 4. 3) golongan grande multipara yaitu paritas
lebih dari 4 (Wiknjosastro, 2005). Paritas berpengaruh pada ketahanan
uterus. Pada Grande Multipara yaitu ibu dengan kehamilan / melahirkan 4
kali atau lebih merupakan risiko persalinan patologis. Keadaan kesehatan
yang sering ditemukan pada ibu grande multipara adalah ; 1) Kesehatan
terganggu karena anemia dan kurang gizi. 2) Kekendoran pada dinding
perut. 3) tampak ibu dengan perut menggantung. 4) Kekendoran dinding
rahim (Rochjati 2003).
Bahaya yang dapat terjadi pada kelompok ini adalah : 1) kelainan
letak dan persalinan letak lintang. 2) Robekan rahim pada kelainan letak
lintang. 3) Persalinan Lama. 4) Perdarahan pasca persalinan. (Rochjati
2003) Menurut Wiknjosastro (2005), paritas yang paling aman adalah

paritas 2 3. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian


maternal lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kematangan dan penurunan
i.

fungsi organ organ persalinan.


Jarak Antar Kelahiran
Kehamilan sebelum 2 tahun sering mengalami komplikasi dalam
persalinan. Kesehatan fisik dan rahim ibu masih butuh cukup istirahat. Ada
kemungkinan ibu masih menyusui. Selain itu anak tersebut masih butuh
asuhan dan perhatian orang tuanya. Bahaya yang mungkin terjadi bagi ibu
antara lain ; 1) Perdarahan setelah bayi lahir karena kondisi ibu masih
lemah. 2) Bayi prematur / lahir belum cukup bulan sebelum 37 minggu. 3)
Bayi dengan berat badan lahir rendah / BBLR < 2500 gram

D. Klasifikasi

Sayatan melintang
Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR). Sayatan
melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simphysisis) di atas
batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm. keuntunganya adalah
parut pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita rupture uteri
(robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karna pada masa nifas, segmen bawah
rahim tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh
lebih sempurna (Kasdu, 2003)

Sayatan memanjang (bedah caesar klasik)


Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang memberikan
suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini kini
jarang dilakukan karena jenis ini labil, rentan terhadap komplikasi (Dewi Y,
2007)

Menurut Mochtar Rustam (1998) jenis-jenis sectio caesarea adalah :


1. Transperitonealis
a. SC klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kirakira
sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
Mengeluarkan janin lebih cepat
Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih
Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :

Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada

riperitonearisasi yang baik


Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan

b. SC ismika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen bawah
rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
Penjahitan luka lebih mudah
Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan

penyebaran isi uterus ke rongga periutoneum


Perdarahan kurang
Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan
kurang atau lebih kecil.

Kekurangan :

Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat

menyebabkan uterine putus dan terjadi perdarahan hebat.


Keluhan pada kandung kemih postoperatif tinggi.

2. Sectio Caesarea ekstraperitonealis


SC tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak membuka
kavum abdominal.
Berdasarkan waktu pelaksanaannya, sectio caesarea ada 2 jenis yaitu:
- Terencana (elektif)
Pembedahan yang dilakukan dengan perencanaan sebelumnya dengan
-

persetujuan antara dokter, pasien dan keluarga.


Darurat (emergency)
Pembedahan yang dilakukan saat berlangsungnya proses persalinan, namun
ada masalah pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan operasi
secepatnya.

Berdasarkan lokasi insisi, sectio caesarea terbagi menjadi:


1. Seksio sesarea abdominalis
- Seksio sesarea transperitonealis : seksio sesarea ismika atau profunda
-

dengan insisi pada segmen bawah rahim.


Seksio sesarea klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada korpus

uteri.
Seksio sesarea ekstraperitonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum
parialis, dengan demikian tidak membuka cavum abdominal.

Ekstra peritoneal SC dilakukan bila presentasi kepala bayi sudah terdesak

di PA. Teknik ini dilakukan untuk meminimalkan trauma saat kelahiran bayi.
2. Seksio sesarea vaginalis
Menurut arah sayatan pada rahim, seksio sesarea dapat dilakukan yaitu:
- Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kroning.
- Sayatan melintang (trasversal) menurut Kern.
- Sayatan huruf T (T incision)

E. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta
previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan
letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik
dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari
aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan
ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi
kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan
prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan
gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri
berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap
nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja
otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran
pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi (Saifuddin dkk., 2002)
F. Manifestasi klinis

Menurut Prawirohardjo (2009) manifestasi klinis pada klien dengan post


sectio caesarea, antara lain :
a. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan 600-800 ml.
b. Terpasang kateter : urine jernih dan pucat.
c. Abdomen lunak dan tidak ada distensi.
d. Bising usus tidak ada.
e. Ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.
f. Balutan abdomen tampak sedikit noda.
g. Aliran lokhia sedang dan bebas bekuan, berlebihan dan banyak.
G. Penatalaksanaan selama persalinan
TEKNIK ANESTESI
1. Blok Spinal (Subarakhnoid)
Spinal anesthesia memiliki banyak keuntungan seperti kesederhanaan
teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang lebih kecil, blok
anestheti yang baik, perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan
penyulitnya telah diketahui dengan baik; analgesia dapat diandalkan; sterilitas
dijamin pengaruh terhadap bayi sangat minimal; pasien sadar sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi; dan tangisan bayi yang baru
dilahirkan merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh seorang ibu. disertai
jalinan psikologik berupa kontak mata antara ibu dengan anak dan
penyembuhan rasa sakit pasca operasi yang ditawarkan oleh morfin neuraxial,
potensi untuk hipotensi dengan teknik ini merupakan risiko terbesar bagi ibu.
a. Perubahan kardiovaskuler pada ibu
Yang pertama kali diblok pada analgesi subaraknoid yaitu serabut saraf
preganglionik otonom, merupakan serat saraf halus (serat saraf tipe B).
Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi penurunan tahanan pembuluh
tepi, sehingga darah tertumpuk di pembuluh darah tepi karena terjadi
dilatasi arterial, arteriol dan post-arteriol. Pada umumnya serabut
preganglionik diblok dua sampai empat segmen dikranial dermatom
sensoris yang diblok. Besarnya perubahan kardiovaskular tergantung pada
banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila terjadi hanya
penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan. Tetapi bila
disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi berat.
Pasien tersebut diblok setinggi T2 T6.
b. Pengaruh terhadap bayi
Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca seksio cesaria dengan
analgesia subaraknoid yaitu hipotensi yang menimbulkan berkurangnya
arus darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek tersebut terhadap
bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi.
2. Anatomi Punggung Untuk Spinal Anastesi

Secara anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh


karena ujung bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang
interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan
segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan
crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal
merupakan processus spinosus L4 atau L45 interspace.
Lapisan jaringan punggung yang dilalui pada waktu penusukan yaitu :
Kutis Subkutis Ligamentum supraspinosus Ligamentum
interspinosus Ligamentum flavum Ruang epidural Duramater
Ruang subarakhnoid.
3. Persiapan Analgesia Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anestesi umum. daerah sekitar suntikan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien
gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan procesus spinosus. selain itu
diperhatikan hal-hal dibawah ini :
a. Informed consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
b. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang, punggung, dll.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hemotokrit, PT (prothrombin time) dan PTT (partial
thromboplastin time)
4. Teknik Spinal Anestesi
- Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.
- Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.
- Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita.
- Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan
memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke
-

perut penderita.
L3 - 4 interspace ditandai, biasanya agak susah karena ada edema

jaringan.
Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.
Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.
Anestetik lokal pada tempat tusukan, misal dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml
Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu, juga

tanpa introducer dengan bevel menghadap ke atas.


Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain

5% sebanyak 1,25 - 1,5 cc.


Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal

sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg.


Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.
Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit
pertama, selanjutnya tiap 15 menit.

Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg

dibanding semula, efedrin diberikan 10 - 15 mgl.V.


Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik, sehingga tidak
perlu diberikan metergin IV oleh karena sering menimbulkan mual dan

muntah yang mengganggu operator. Syntocinon dapat diberikan per drip.


Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa ke ruangan, dapat
diberikan sedatif atau hipnotika.
Pada penusukan mungkin yang keluar bukan liquor tapi darah, sebab di

bagian anterior maupun posterior medulla spinalis terdapat sistim arteri dan
vena. Apabila setelah 1 menit liquor yang keluar masih belum jernih sebaiknya
jarum dipindahkan ke segmen yang lain. Bila liquor tidak jernih, sebaiknya
anestesi spinal ini ditunda dan dilakukan analisa dari liquor. Adapun jarum
yang dipakai paling besar ukuran 22, kalau mungkin pakai jarum 23 atau 25.
Makin kecil jarum yang kita pakai, makin kecil kemungkinan terjadinya sakit
kepala sesudah anestesi (post spinal headache). Obat spinal anestesi yang
paling menonjol adalah tetrakain dan dibukain, yang mempunyai efek kuat
dan kerjanya lebih lama.
PENATALAKSANAAN
Sebelum melakukan tindakan analgesia subaraknoid seharusnya dilakukan
evaluasi Minis volume darah pasien. Sebaiknya tidak melakukan teknik ini kalau
pasien dalam keadaan hipovolemia, atau keadaan yang menjurus hipovolemia
selama persalinan (misalnya plasenta previa), atau pasien yang mengalami
sindroma hipotensi terlentang yang manifes pada waktu persalinan. Pencegahan
dapat

dilakukan

dengan

hidrasi

akut

dengan

larutan garam seimbang,

pengangkatan dan penggeseran uterus ke sebelah kiri abdomen, pada tanda


pertama menurunnya tekanan darah setelah hidrasi segera diberikan vasopresor
intra vena, dan pemberian oksigen.

a. Hidrasi akut
Sebelum induksi harus dipasang infus intravena dengan kanula atau
jarum yang besar, sehingga dapat memberikan cairan dengan cepat. Hidrasi
akut dengan memberikan cairan kristaloid sebanyak 1000 - 1500 ml tidak
menimbulkan bahaya overhidrasi; tekanan darah, denyut jantung dan nadi

dalam batas-batas normal. Menurut Wollman pemberian cairan kristaloid


sebanyak 1000 ml hanya menaikkan tekanan vena sentral sebanyak 2 cm air
dan nilainya masih dalam batas normal. Akhir-akhir ini beberapa penulis
menganjurkan cairan kristaloid yang tidak mengandung dektrosa. Karena
menurut Mendiola, infus dekstrosa 20 g/jam atau lebih sebelum melahirkan
menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Disebabkan
karena pankreas bayi yang cukup umur akan menaikkan produksi insulin
sebagai reaksi atas glukosa yang melewati sawaran. Kenepp melaporkan
terjadi asidemia laktat pada bayi yang dilahirkan yang mendapat hidrasi akut
dengan cairan dektrosa 5%. Keadaan ini disebabkan oleh hipotensi,
insufisiensi plasenta, dan atau terjadi glikolisis dalam keadaan hipoksia.
b. Mendorong Uterus ke kiri
Usaha yang digunakan untuk mempertahankan perfusi uteroplacenta
mencakup posisi miring lateral kiri. Dengan mendorong uterus ke kiri paling
sedikit 10 dapat dihindari bahaya kompresi vena kava inferior dan aorta,
sehingga dapat dicegah sindroma hipotensi terlentang. Menurut Ueland
mengubah posisi pasien dari terlentang menjadi lateral dapat menaikkan isi
sekuncup

44,1%,

menurunkan

denyut

jantung

sebanyak

4,5%,

dan

menaikkan curah jantung 33,5%. Maka pasien yang akan dioperasi harus
dibawa pada posisi miring. Dan kalau pada observasi fungsi vital terjadi
manifestasi sindroma hipotensi terlentang yang tidak dapat dikoreksi dengan
mendorong uterus ke kiri, hal ini merupakan indikasi kontra tindakan analgesia
regional.
c. Pemberian Vasopresor : Efedrin
Pencegahan dengan akut hidrasi dan mendorong uterus ke kiri dapat
mengurangi insidensi hipotensi sampai 50-60%. Pemberian vasopresor,
seperti efedrin, sering sekali dipakai untuk pencegahan maupun terapi
hipotensi pada pasien kebidanan. Obat ini merupakan suatu simpatomimetik
non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak langsung. obat ini
resisten terhadap metabolisme MAO dan metiltransferase katekol (COMT),
menimbulkan aksi yang berlangsung lama. efedrin meningkatkan curah
jantung, tekanan darah, dan naadi melalui stimulasi adrenergik alfa dan beta.
meningkatkan

aliran

darah

koroner

dan

skelet

dan

menimbulkan

bronkhodilatasi melalui stimulasi reseptor beta 2. efedrin mempunyai efek


minimal terhadap aliran darah uterus. dieliminasi dihati, dan ginjal. namun,
memulihkan aliran darah uterus jika digunakan untuk mengobati hipotensi
epidural atau spinal pada pasien hamil. Efek puncak : 2-5 menit, Lama aksi :
10-60 menit. Interaksi/Toksisitas: peningkatan resiko aritmia dengan obat

anetesik volatil, dipotensiasi oleh anti depresi trisiklik, meningkatkan MAC


anestetik volatil. Keuntungan pemakaian efedrin ialah menaikan kontraksi
miokar, curah jantung, tekanan darah dampai 50%, tetapi sedikit sekali
menurunkan vasokonstriksi pembulu darah uterus. Menurut penyelidikan
Wreight, efedrin dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehingga
menghasilkan skor Apgar yang lebih tinggi. Guthe menganjurkan pemberian
efedrin 25 - 50 mg IM sebelum dilakukan induksi. Ini dapat mengurangi
insidensi hipotensi sampai 24%. Tetapi cara ini sering menimbulkan hipertensi
postpartum karena efedrin bekerja sinergistik dengan obat oksitosik.
Penggunaan profilaksis ephedrine dalam suatu studi dan penggunaan
terapi dalam studi lain kemungkinan ikut mengakibatkan fetal asidosis.
Demikian pula penggunaan ephedrine dikaitkan dengan nilai pH arterial
umbilical yang lebih rendah dibandingkan phenylephrine dalam suatu kajian
sistematis.

Literatur

tersebut

memperdebatkan

vasopressor

misalnya,

ephedrine atau phenylephrine, yang lebih cocok untuk mengatasi hipotensi


selama anestesi spinal pada Sectio Caesaria. Kontroversi terjadi pada etiologi
fetal asidosis apakah hal tersebut karena pengaruh metabolis stimulasi-
dalam fetus atau perfusi uteroplacenta yang kurang baik karena kegagalan
darah yang tersita pada bagian splanchnic untuk meningkatkan preload.
Pemilihan obat vasopressor mungkin kurang penting dibanding menghindari
hipotensi.
d. Pemberian Oksigen
Pada akhir kehamilan akan terjadi kenaikan alveolar ventilationoksigen
sekitar 20% atau lebih. Hal ini mengakibatkan turunnya sampai 70%, untuk
mengimbangi kenaikan pCO2 30-32 mmHg. Pada persalinan hiperventilasi
terjadi lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit dan konsumsi oksigen dapat
naik sampai 100%. Jadi bila terjadi hipoventilasi oleh obat-obat narkotika,
anestesi umum atau lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat.

Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :


- Turunnya FRC sehingga kemampuan paru-paru untuk menyimpan
O 2 menurun.
- Naiknya konsumsi oksigen
- Airway closure
- Turunnya cardiac output pada posisi supine. Maka mutlak pemberian
oksigen sebelum induksi, dan selama operasi.

Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena :


- Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan,
- Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi,
- Sebagai preoksigenasi kalau anestesia umum diperlukan.
H. Penatalaksanaan setelah persalinan
1. Perawatan awal
- Letakan pasien dalam posisi pemulihan
- Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15
menit sampai sadar
- Pastikan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
- Transfusi jika diperlukan
- Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera

2.

kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah


Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca

3.

operasi, berupa air putih dan air teh.


Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
- Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
- Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
- Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
-

diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.


Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah

duduk (semifowler)
- Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada

4.

5.

hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.


Fungsi gastrointestinal
- Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
- Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
- Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
- Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
Perawatan fungsi kandung kemih
- Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam
- Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
- Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang
sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
- Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per oral
per hari sampai kateter dilepas

- Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis

6.

operasi dan keadaan penderita.


Pembalutan dan perawatan luka
- Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut
- Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
- Ganti pembalut dengan cara steril
- Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
- Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit

7.

8.

dilakukan pada hari kelima pasca SC


Jika masih terdapat perdarahan
- Lakukan masase uterus
- Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60
tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas

demam selama 48 jam:


- Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
- Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
- Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
- Supositoria
: ketopropen sup 2x/ 24 jam
- Oral
: tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
- Injeksi
: penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
10. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C

11. Hal Hal lain yang perlu diperhatikan


- Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi
berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
- Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya
hematoma.
- Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut
-

ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.


Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat

menaikkan tekanan intra abdomen


- pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi
obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebabkan karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan
diafragma. Selain itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi dengan

mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu
memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam
sekali.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan
kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi
dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk
mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
- Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah,
frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan
infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan
- Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau
general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes
laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai
indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit
pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter
fole
I.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah daerah otak yang
itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
Fungsi lumbal
: menganalisis cairan serebrovaskuler
Hitung darah lengkap
: mengevaluasi trombosit dan hematokrit

DAFTAR PUSTAKA
Oxorn, H., & William R.F. 2010. Ilmu Kebidanan, Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta: Yayasan Esentia Medika.

(Liu, 2007).
(Sarwono, 2005).
Dewi Y., dkk. 2007. Operasi Caesar, Pengantar dari A sampai Z. EDSA
Mahkota. Jakarta Manuaba & Gede, I.B. 2002. Ilu kebidanan, Penyakit
kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC.
Saifuddin, A.B. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal. Jakarta : Yayasan bina pustaka
(Rochjati 2003)
Wiknjosastro 2005
Prawirohardjo. S. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta : Yayasan

Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai