yaitu seperti sakit kepala saat terjaga (terkadang disertai mual dan muntah
akibat peningkatan intrakranium), penglihatan kabur akibat kerusakan
hipertensif pada retina, cara berjalan mulai terganggu karena mulai adanya
kerusakan susunan saraf pusat, nokturia yang disebabkan peningkatan aliran
darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat
peningkatan tekanan kapiler. Namun tanda dan gejala yang khas dijumpai pada
penderita hipertensi adalah nyeri kepala. Nyeri kepala pada pasien hipertensi
memiliki ciri-ciri seperti nyeri kepala yang terasa berat di tengkuk namun tidak
berdenyut, sering muncul dipagi hari namun akan hilang seiring matahari terbit
(Julianti, Nurjanah & Soetrisno, 2005). Adapun komplikasi yang bisa terjadi dari
hipertensi adalah seperti stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati
(kerusakan otak), dan kejang pada wanita preklamsi. Hipertensi dengan nyeri
kepala merupakan satu hal yang berkaitan. Hal ini dikarenakan adanya faktor
yang dapat memicu naiknya tekanan darah. Namun tidak dipungkiri tidak semua
sakit kepala merupakan pengidap hipertensi. Marliani dan Tatan (2007),
menyatakan bahwa kebanyakan nyeri kepala berasal dari meningkatnya aliran
darah pada pembuluh darah di otak. Proses ini menyebabkan penyempitan
pembuluh darah yang merupakan alasan utama seseorang mengalami nyeri
kepala dan hal ini juga menyebabkan peningkatan tekanan darah atau
hipertensi. Ditinjau dari besarnya prevalansi penderita hipertensi, berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan di Canada, didapatkan kasus sekitar enam juta
orang dewasa dengan jelas mengidap hipertensi (23,0%) pada tahun 2007/2008,
dan sekitar 418.000 orang baru diketahui mengidap hipertensi juga ditahun
2007/2008 (Robitaille et al, 2012). Di Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia (2012), menyatakan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007
bahwa sebagian masyarakat belum terdiagnosis mengidap hipertensi. Hal ini
ditunjukkan dengan 3 adanya pengukuran tekanan darah pada mereka yang
berusia diatas 18 tahun ke atas, dan prevalansi hipertensi menghasilkan ada
sekitar 31,7%, dengan 7,2% yang sudah mengetahui mengidap hipertensi. dan
sebanyak 0,4% yang mengkonsumsi obat dan 76% dengan mereka yang belum
mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa SDB memiliki efek yang sangat positif bagi penderita
hipertensi. SDB adalah suatu cara yang dilakukan dengan menarik nafas dalam
kemudian dihembuskan secara perlahan dan dilakukan secara berkala.
Sepdianto, Nurachmah, dan Gayatri (2010), telah melakukan penelitian dan
didapat bahwa latihan SDB memiliki hasil yang baik dan efektif menurunkan
tekanan darah dibanding dengan seseorang yang tidak terpapar latihan.
Keefektifan latihan SDB ini dilakukan sebanyak 6x/menit bernafas normal dan
kontrol pernafasan lambat pada penderita hipertensi. Kabupaten Tangerang
sendiri kasus hipertensi mengantongi peringkat kelima dengan hipertensi primer
sebesar 42.947 kasus di tahun 2010 (Profil Puskesmas X (2010) dalam Waluyo
(2012)). Menurut data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti, data pada bulan
Januari 2013 September 2013 didapatkan sebanyak 345 pasien dengan
hipertensi di Puskesmas Y. Sedangkan Puskesmas X terdapat 475 pasien dengan
hipertensi yang mendatangi puskesmas mulai dari bulan JanuariSeptember 2013
(Simpus Puskesmas Y dan X, 2013). Dari hasil wawancara yang telah dilakukan
oleh peneliti di Puskesmas X, lima dari empat pasien dengan Hipertensi
ditolak. Adapun responden dari penelitian in yang berusia diatas 35 tahun dan
terdeteksi mengalami hipertensi. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Sugiharto (2007) dalam Kartikasari (2012) yang menyatakan
bahwa usia 35 tahun ke atas lebih beresiko terkena hipertensi dibanding usia 35
tahun ke bawah. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan alamiah yang
disebabkan bertambahnya usia dimana elastisitas dari pembuluh menjadi
berkurang dan semakin lama semakin terjadi penyempitan dan menjadi kaku.
Berdasarkan pembahasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa SDB tetap dapat
digunakan sebagai intervensi keperawatan untuk menurunkan kejadian nyeri
kepala pada penderita hipertensi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan kajian
literatur yang menyatakan SDB ini dapat menurunkan kejadian nyeri kepala
(Tarwoto, 2011). Tekanan darah yang meningkat juga mengakibatkan rasa nyeri
di kepala hal ini terjadi dikarenakan darah yang memaksa untuk mengalir ke
otak sedangkan pembuluh darah mengalami vasokonstriksi ataupun
arterosklerosis. Selanjutnya hal ini juga didiukung dari literatur menurut
Velkumary & Madanmohan (2004) dalam Tarwoto (2011) bahwa nafas dalam
lambat dapat menstimulasi respon saraf otonom melalui pengeluaran
neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respon saraf simpatif
yang bekerja untuk meningkatkan aktivitas tubuh dan peningkatan respon
parasimpatis untuk menurunkan aktivitas tubuh. Saraf-saraf ini pada SDB
berdampak pada vasodilatasi pembuluh darah oleh sehingga mempermudah
oksigen untuk dialirkan ke bagian otak yang diharapkan lebih adekuat.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang diuraikan pada bab empat dan tujuan
penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi pengaruh SDB 6 terhadap penurunan
rata-rata kejadian nyeri kepala di Puskesmas X dan Puskesmas Y, dapat
disimpulkan sebagai berikut: 1) Rata-rata skala nyeri kepala sebelum dan
sesudah pada kelompok intervensi penderita hipertensi di wilayah Puskesmas X
dan Puskesmas Y adalah sebanyak 4,14 menjadi 0,00 dengan 7 responden. 2)
Rata-rata skala nyeri kepala sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol
penderita hipertensi di wilayah Puskesmas X dan Y adalah sebanyak 4,25
menjadi 0,50 dengan 4 responden. 3) Tidak adanya pengaruh SDB terhadap
penurunan nyeri kepala pada penderita hipertensi di Puskesmas X dan
Puskesmas Y dengan p value 0,200. Namun bila dilihat dari penurunan skala yeri
kepala yang terdapat pada kelompok intervensi dengan adanya hasil ini
disimpulkan bahwa SDB tetap dapat dilakukan sebagai intervensi keperawatan
untuk mengurangi nyeri kepala. SARAN Peneliti menyarankan agar intervensi
berupa SDB ini dapat disosialisasikan lebih luas lagi kepada pasien hipertensi
dan keluarga khususnya yang mengalami keluhan nyeri kepala. Hasil penelitian
ini juga dapat menjadi referensi dalam aplikasi perawatan pasien hipertensi di
komunitas/ masyarakat. 7 REFERENSI Corwin, E.J., (2009). Buku Saku
Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC Julianti, E.D., Nurjanah, N., & Soetrisno,
U.S.S. (2005). Bebas Hipertensi dengan Jus. Jakarta: Puspa Swara Kartikasari, A.
N. Faktor Resiko Hipertensi Pasa Masyarakat di Desa Kabongan Kidul, Kabupaten
Rembang. Universitas Diponegoro Semarang: Karya Tugas Ilmiah 2012
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Masalah Hipertensi Di
Indonesia. Jakarta: Bhakti Husada. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1909, pada tanggal 7 September