Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh

penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang


dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum
tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem
hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik disebut anemia
hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoitik disebut
agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut
Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem
disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia
aplastik bila didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau
hematokrit < 30; hitung trombosit < 50.000/mm3; hitung leukosit < 3.500/mm3
atau granulosit < 1.5x109/l.1
Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam
jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang.
Pansitopenia adalah keadaan defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit,
leukosit dan trombosit). Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya
produksi sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer.2,3
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich
pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita

penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan


postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang
hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan
nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih
belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa
tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun
1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu
penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan
hemopoietik sumsum tulang.2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definsi
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan

sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya


oleh

lemak,

menyebabkan

pansitopenia,

dan

sering

disertai

dengan

granulositopenia dan trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat


dikarenakan faktor herediter (genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti
toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik pada sel sel induk sumsum tulang,
berhubungan dengan beragam penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.4
Pansitopenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi defisiensi pada
semua elemen sel darah, yakni erythropenia, leukopenia, dan thrombocytopenia.
Individu dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia. Penyebab terjadinya
pansitopenia dikarenakan :
a.

Menurunnya produksi sumsum tulang akibat aplasia; leukemia akut;


mielodisplasia;
tuberkulosis;

b.

2.2

mieloma;
anemia

infiltrasi

megaloblastik;

oleh

limfoma,

hemoglobinuria

tumor

padat,

paroksismal

nokturnal; mielofibrosis (kasus yang jarang); sindrom hemofagositik.


Meningkatnya destruksi perifer dengan ditemukannya splenomegali.3,4,5
Etiologi

Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan
merupakan faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan

sumsum tulang herediter antara lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi)


yang biasanya disertai dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis kongenital;
sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia amegakaryositik.
Kelainan kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang berespons
terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter
biasanya muncul pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap disertai
anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintikbintik caf-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi)). Beberapa
pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit
yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi)
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA
repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada
pasien anemia Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan
resesif langka dengan prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia,
hipoplasia sumsum tulang, dan perubahan warna kulit yang berbercak
bercak coklat akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-au-lait).1,2
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang
diwariskan secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit
abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki
heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk
bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan autosomal resesif.
Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKC1, yang

menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase.


Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih
cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging).
Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen
TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya
mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia
aplastik memiliki mutasi TERC.1,2
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang
ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada
saat lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense
mutations pada gen C-MPL. Banyak diantara penderita trombositopenia
amegakaryositik diwariskan mengalami kegagalan sumsum tulang
multilineage.1,2
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang
ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan
kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma
Fanconi), penderita sindrom Shwachman-Diamond juga mengalami
peningkatan resiko terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia dini.
Belum ditemukan lesi genetik yang dianggap menjadi penyebabnya, tetapi
mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini. 1,2
2. Anemia aplastik didapat
Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat dikarenakan
oleh :

Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena


hipersensitivitas atau penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat
yang

paling

banyak

menyebabkan

anemia

aplastik

adalah

kloramfenikol. Obat obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah


fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat emas
dan antikonvulsan, obat obatan sitotoksik seperti mileran atau
-

nitrosourea.
Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat

menyebabkan anemia aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).


Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara
atau permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza
A, tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan
produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel stroma
sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan
hemolitik yang disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan
mikroskop elektron akan ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan
pemeriksaan serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA
parvovirus

dapat

mempengaruhi

progenitor

eritroid

dengan

mengganggu replikasi dan pematangannya.


Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host
disease.1,2

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya,


maka pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik
idiopatik. 1,2
2.3

Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat

diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas
dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia daripada
selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan
suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%
dengan infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama.
Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
membutuhkan terapi.2

Klasifikasi
Anemia Aplastik Berat

Klasifikasi Anemia Aplastik


Kriteria

c. Selularitas sumsum tulang


< 25%
d. Sitopenia sedikitnya dua dari
e. Hitung neutrofil < 500/l
tiga seri sel darah
f. Hitung
trombosit
<
20.000/l
g. Hitung retikulosit absolut <

Anemia Aplastik Sangat Berat

60.000/l
Sama seperti

Anemia Aplastik Tidak Berat

hitung neutrofil < 200/l


Sumsum
tulang
hiposelular

diatas

kecuali

namun sitopenia tidak memenuhi


kriteria berat
7

2.4

Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak anak menderita anemia aplastik derajat

berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki
laki dan perempuan, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens pada
anak laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Penyakit ini
termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1 3 / 1
juta / tahun. Namun di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya
termasuk Indonesia, Taiwan dan Cina, insidensnya jauh lebih tinggi. Penelitian
pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta/tahun. Perbedaan
insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian
obat obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens virus
hepatitis yang lebih tinggi.1

2.5

Patogenesis dan Patofisiologi


Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini,

patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang
dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini yaitu:5
1. Kerusakan sel induk hematopoietic (stem cell defect)
2. Kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang (environtment defect)
3. Proses imunologik yang menekan hematopoiesis (immunologic process)
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum
tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau
specimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magneting

resonance imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh


jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietic yang imatur
dapat dihitung flow cytometry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein
cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel
CD34+ dideteksi secara flouresens satu per satu, sehingga jumlah sel-sel CD34+
dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir
tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel
hematopoietic yang sangat primitive dan tenang (quiescent), yang sangat mirip
jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan
penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami
penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang.
Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan
oleh pemendekan telomere granulosit pada pasien anemia aplastik. 2 Kemampuan
hidup dan daya proliferasi serta defisiensi sel induk hematopoietic tergantung
pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri dari sel stroma yang
menghasilkan berbagai sitokin. Pada berbagai penelitian dijumpai bahwa sel
stroma sumsum tulang pasien anemia aplastik tidak menunjukkan kelainan dan
menghasilkan sitokin perangsang seperti Gm-CSF, G-CSF, dan Il-6 dalam jumlah
normal sedangkan sitokin penghambat seperti

interferon- (IFN-), tumor

necrosis factor- (TNF- ), protein macrophage inflammatory 1 (MIP-1) dan


transforming growth factor-2 (TGF- 2) akan meningkat. Sel stroma pasien
anemia aplastik dapat menunjang pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal

tidak dapat menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasar temuan
tersebut, teori kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab
mendasar anemia aplastik makin banyak ditinggalkan.
Kenyataan bahwa terapi immunosupresif memberikan kesembuhan pada
sebagian besar pasien anemia aplastik merupakan bukti meyakinkan tentang peran
mekanisme imunologik dalam patofisiologi penyakit ini. Pemakaian gangguan sel
induk dengan siklosporin atau metilprednisolon member kesembuhan sekitar
75%, dengan ketahanan hidup jangka panjang menyamai hasil transplantasi
sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresi ini sangat mendukung teori proses
imunologik.
Transplantasi sumsum tulang singeneik oleh karena tiadanya masalah
histokomptabilitas seharusnya tidak menimbulkan masalah rejeksi meskipun
tanpa pemberian terapi conditioning. Namun champlin dkk menemukan 4 kasus
transplantasi sumsum tulang singeneik ternyata semuanya mengalami kegagalan,
tetapi ulangan transplantasi sumsum tulang singeneik dengan didahului terapi
conditioning menghasilkan remisi jangka panjang pada semua kasus. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa pada anemia aplastik bukan saja terjadi kerusakan sel
induk tetapi juga terjadi imunosupresi terhadap sel induk yang dapat dihilangkan
dengan terapi conditioning.5

10

Gambar 1 Destruksi Imun Pada Sel Hematopoietik


2.6

Gejala Klinis
Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa:
a. Aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik
b. Aktivitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikulo endothelial
(SRE)
Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai

retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar hemoglobin,


hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV (Mean Corpuscular Volume). Secara
klinis pasien tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti
anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh
karena sifatnya aplasia sistem hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan

11

ikterus, pembesaran limpa (splenomegali), hepar (hepatomegali) maupun kelenjar


getah bening (limfadenopati).1
Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi
dan pada hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua pasien
yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah
pasien. Hematomegali yang disebabkan oleh bermacam macam hal ditemukan
pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan. Adanya
splenomegali dan limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia aplastik.2
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
Jenis Pemeriksaan Fisik
%
Pucat
100
Perdarahan
c.
d.
e.
f.
g.
h.

63

Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina

34
26
20
7

Demam
6
Hepatomegali
3
Splenomegali
16
7
0
2.7

Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium


a. Apusan Darah Tepi

12

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis


anemianya adalah normokrom normositer. Terkadang ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit
ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil
kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini
dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh
persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah
dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.2

Gambar 2 Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik


b. Laju Endap Darah
Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien anemia aplastik selalu
meningkat. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium RSUPN Cipto
Mangunkusumo ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%) mempunyai
nilai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam satu jam pertama.2
c. Faal Hemostasis

13

Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan


memanjang dan retraksi bekuan yang buruk dikarenakan trombositopenia. Hasil
faal hemostasis lainnya normal.2
d. Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan tindakan aspirasi sumsum
tulang berulang dikarenakan teraspirasinya sarang sarang hemopoiesis
hiperaktif. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus
tersangka anemia aplastik. Dari hasil pemeriksaan sumsum tulang ini akan
didapatkan kesesuaian dengan kriteria diagnosis anemia aplastik.2

Gambar 3 Sumsum Tulang Normal dan Aplastik


e. Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya. Evaluasi
diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus,
dan sitomegalovirus.2
f. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai
penyebab terjadinya anemia aplastik.2
g. Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan

14

imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis


banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.2
h. Pemeriksaan Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat
diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel
T.2
i. Pemeriksaan yang Lain
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar hemoglobin fetus
(HbF) dan kadar eritropoetin yang cenderung meningkat pada anemia aplastik
anak.2
2.7.2 Pemeriksaan Radiologis
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara terbaik untuk
mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara
daerah sumsum tulang berlemak akibat anemia aplastik dan sumsum tulang
selular normal.
b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh
setelah disuntuk dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat
pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada
transferin. Dengan bantuan pemindaian sumsum tulang dapat ditentukan daerah
hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel sel guna pemeriksaan sitogenetik atau
kultur sel sel induk.2
2.8

Diagnosis

2.8.1

Penegakan Diagnosis dan Manifestasi Klinis

15

Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat,


perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali). Gambaran darah
tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan
dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang,
banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik,
granulopoitik dan trombopoitik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit ini
banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).
Hendaknya dibedakan antara sediaan sumsum tulang yang aplastik dan yang
tercampur darah.1
Anemia aplastik dapat muncul tiba tiba dalam hitungan hari atau secara
perlahan (berminggu minggu hingga berbulan bulan). Hitung jenis darah akan
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan
jantung berdebar debar. Trombositopenia menyebabkan pasien mudah
mengalami memar

dan perdarahan

mukosa. Neutropenia meningkatkan

kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan
demam.2
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan
hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang.
Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria
nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum tulang dapat membantu
menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Adanya riwayat keluarga sitopenia dapat
meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada
kelainan fisik yang tampak.2

16

Anemia aplastik mungkin bersifat asimptomatik dan ditemukan saat


pemeriksaan rutin. Keluhan keluhan pasien anemia aplastik sangat bervariasi.
Perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan keluhan keluhan yang paling
sering ditemukan.2
Keluhan Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
Jenis Keluhan
Perdarahan

%
83

Badan lemah

30

Pusing

69

Jantung berdebar

36

Demam

33

Nafsu makan berkurang

29

Pucat

26

Sesak nafas

23

Penglihatan kabur

19

Telinga berdengung

13

2.9

Diagnosis Banding1
1. Purpura Trombositopenik Imun (PTI) dan Plasma Tromboplastin
Antecedent (PTA). Pemeriksaan darah tepi dari kedua kelainan ini hanya
menunjukkan

trombositopenia

tanpa

retikulositopenia

atau

granulositopenia/leukopenia. Pemeriksaan sumsum tulang dari PTI


menunjukkan gambaran yang normal atau ada peningkatan megakariosit
sedangkan pada PTA tidak atau kurang ditemukan megakariosit.
2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama Leukemia Limfoblastik Akut
(LLA) dengan jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada
17

stadium dini, biasanya pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan


darah tepi sukar dibedakan, karena kedua penyakit mempunyai gambaran
yang serupa (pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali bila terdapat sel
blas dan limfositosis yang dari 90%, diagnosis lebih cenderung pada LLA.
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut.
Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi maupun
sumsum tulang, karena masih menunjukkan gabaran sitopenia dari ketiga
sistem hematopoietik. Biasanya setelah beberapa bulan kemudian baru
terlihat gambaran khas LLA.
2.10
1.

Penatalaksanaan
Terapi Konservatif

Terapi Imunosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk
sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi
imunosupresif adalah antithymocyte globuline (ATG) atau antilymphocyte
globuline (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada
kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui:

Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal


Stimulasi langsung atau tidak langsung pada hematopoiesis

ATG atau ALG diindikasikan pada:


1. Anemia aplastik bukan berat
2. Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
3. Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau granulosit lebih
2.

dari 200/mm
Terapi Suportif

18

Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan mengobati


terjadinya infeksi dan perdarahan. Terapi suportif yang diberikan untuk pasien
anemia aplastik, antara lain:
a. Pengobatan terhadap infeksi
Untuk menghindarkan pasien dari infeksi, sebaiknya pasien dirawat dalam
ruangan isolasi yang bersifat suci hama. Pemberian obat antibiotika hendaknya
dipilih yang tidak memiliki efek samping mendepresi sumsum tulang, seperti
kloramfenikol.
b. Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah.
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar
hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering,
akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya
reaksi hemolitik (reaksi transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap eritrosit,
leukosit dan trombosit. Oleh karena itu, transfusi darah diberikan atas indikasi
tertentu. Pada keadaan yang sangat gawat, seperti perdarahan masif, perdarahan
otak, perdarahan saluran cerna dan lain sebagainya, dapat diberikan suspensi
trombosit.
c. Transplantasi sumsum tulang
Metode transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada
pasien anemia aplastik sejak tahun 1970. Donor sumsum tulang terbaik berasal
dari saudara sekandung dengan Human Leucocyte Antigen (HLA) yang cocok.
2.11

Prognosis 1,2

Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:

19

1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.


2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang
lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih
baik.
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi.
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.
Riwayat alamiah penderita anemia aplastik dapat berupa:
1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika
dikarenakan faktor iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi
sempurna biasanya terjadi segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita
anemia aplastik dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih
ditemukan pada kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah
pengobatan (dengan oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula mula terlihat
perbaikan pada sistem eritropoitik, kemudian sistem granulopoitik dan terakhir
sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi terlihat pada sistem granulopoitik
lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan trombopoitik. Untuk melihat
adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/leukosit
dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang
sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila
remisi parsial telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan
granulopoitik, bahaya perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan

20

sistem trombopoitik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari
rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000 100.000/mm3.
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada
kematian yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada
terhadap tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka
panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif. Pada
sebuah penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien yang
diobati dengan ALG, 20 penderita yang diterapi jangka panjang, berubah
menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi
hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit
anemia aplastik, namun komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita
yang telah menjalani transplantasi sumsum tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan
trombositopenia.

21

kondisi

BAB 3
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan

sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya


oleh

lemak,

menyebabkan

pansitopenia,

dan

sering

disertai

dengan

granulositopenia dan trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat


dikarenakan faktor herediter (genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti
toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik pada sel sel induk sumsum tulang,
berhubungan dengan beragam penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.
Secara etiologik, anemia aplastik dibagi menjadi dua, yaitu anemia
aplastik herediter dan anemia aplastik didapat. Jika tidak diketahui penyebab
timbulnya anema aplastik dalam tubuh seorang pasien, dapat dicurigai sebagai
anemia aplastik idiopatik.
Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki laki dan
perempuan yang menderita anemia aplastik, namun dalam beberapa penelitian

22

tampak insidens pada anak laki laki lebih banyak dibandingkan anak
perempuan.
Gejala gejala klinik yang tampak pada tubuh seorang pasien anemia
aplastik berupa tampak pucat, adanya tanda tanda perdarahan dan disertai
dengan demam.
Penegakan diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan gejala klinis
berupa

panas,

pucat,

perdarahan,

tanpa

adanya

organomegali

(hepato

splenomegali), adanya gambaran darah tepi yang menunjukkan pansitopenia dan


limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsi
sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan
jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik.
Pemberian terapi secara suportif pada pasien anemia aplastik berupa
pengobatan infeksi, pemberian transfusi darah dan tindakan transplantasi sumsum
tulang dengan HLA saudara kandung yang cocok.
Prognosis pasien anemia aplastik bergantung pada: gambaran sumsum
tulang hiposeluler atau aseluler, kadar Hb F yang lebih dari 200mg%
memperlihatkan prognosis yang lebih baik, jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3
menunjukkan prognosis yang lebih baik, pencegahan infeksi sekunder, terutama di
Indonesia karena kejadian infeksi masih tinggi.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Ugrasena, IDG.Anemia Aplastik.Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak
IDAI.Cetakan Kedua.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2006.Hal:10-15.
2. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum
Tulang.Kapita
Selekta
Hematologi.Edisi
IV.EGC.Jakarta.2006.Hal: 83-87.
4. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.
s

24

Anda mungkin juga menyukai