Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Ensefalitis adalah inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan disfungsi
neurologi yang terjadi dengan onset akut dan gejala berkembang dengan cepat. 1,2
Ensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Diantara etiologi tersebut,
infeksi oleh virus merupakan etiologi yang paling banyak dan bisa menyebabkan
infeksi yang luas.3 Namun beberapa tahun yang lalu diketahui terdapat penyebab
ensefalitis lain yaitu ensefalitis yang disebabkan oleh autoimun. Dimana terdapat
antibodi pada antigen membran ekstraseluler yaitu subunit NR1 yang merupakan
bagian dari reseptor NMDA (n-Methyl-D-Aspartate). Ensefalitis anti reseptor
NMDA adalah ensefalitis yang diperantai oleh proses imun. 3,4
Pada ensefalitis yang disebabkan oleh virus tidak ditemukan antibodi terhadap
anti reseptor NMDA. Namun pada ensefalitis yang positif terhadap anti reseptor
NMDA didapatkan beberapa gejala yang jarang didapatkan pada ensefalitis oleh
virus seperti yang memiliki gejala seperti halusinasi, psikosis, perubahan
kepribadian, dan iritabilitas.4
Ensefalitis anti reseptor NMDA harus dibedakan dengan ensefalitis yang
disebabkan oleh etiologi lainnya karena selain manifestasinya yang cukup berbeda,
fokus pengobatannya pun berbeda. Pada ensefalitis anti reseptor NMDA, akan
diberikan imunoterapi dan deteksi maupun pengangkatan teratoma. Penyembuhan
dari ensefalitis ini memerlukan waktu beberapa bulan, dimana diperlukan tim
multidisiplin,termasuk di dalamnya adalah rehabilitasi fisik, terapi okupasi,
berbicara, dan bahasa, maupun manajemen psikiatri. 4,5
Prognosis dari ensefalitis anti reseptor NMDA bergantung pada seberapa cepat
diagnosis dan terapi diberikan. Diperlukan pengetahuan yang cukup terutama pada
gejala dan terapi pada ensefalitis anti reseptor NMDA agar pasien bisa memperoleh
penanganan yang tepat sasaran.5

BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN
Nama Mahasiswa
NIM

I.

: Adji Indra Pramono Pembimbing : dr. Mas Wisnu, SpA


: 030.10.008
Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN
Nomor Rekam Medik
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Alamat
Agama
Pendidikan
Pekerjaan

: 09.71.xx.xx
: An. S
: Perempuan
: 10 Tahun
: Bekasi
: Islam
::-

ANAMNESIS
Hubungan dengan orang tua: pasien adalah anak kandung.
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis dengan Ibu kandung pasien, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada:
Lokasi
: BANGSAL MELATI 2
Tanggal / Waktu
: Kamis, 14 Juli 2016
Tanggal masuk
: Minggu, 08 Juli 2016
Keluhan utama
: Kejang sejak 2 minggu yang lalu SMRS
Keluhan tambahan
: Demam

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan kejang sejak 2 minggu yang
lalu. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, badan terasa kaku, mata melotot, durasi >15
menit, frekuensi 2-3 kali/hari, setelah kejang pasien sadar namun tidak lama kemudian
pasien mengalami penurunan kesadaran seperti bila dipanggil pasien tidak merespon dan
pandangan kosong. Sebelum terjadinya kejang, pasien mengeluhkan demam tinggi yang
telah berlangsung sejak 2 minggu yang lalu. Demam dirasa tinggi dan naik turun.
Sebelumnya pasien telah dilakukan perawatan intensive di RS ANA Medika dengan
keluhan demam tinggi yang telah berlangsung 5 hari dan kejang yang baru berlangsung 1
hari. Pasien dilakukan perawatan selama 4 hari, kemudian pasien dipulangkan pada
tanggal 15 Juni 2016 dan dinyatakan sehat. Pada tanggal 21 Juni 2016 pasien datang
kembali ke poli RS ANA Medika untuk dilakukan kontrol post rawat inap. Namun dokter
tidak memberikan obat sepulang dari kontrol tersebut. Dokter hanya menyarankan untuk
menghabiskan obat sepulang dari perawatan di RS ANA Medika. Sebelum pasien berobat
ke RS ANA Medika, pasien sudah mengeluhkan demam tinggi selama 5 hari, demam

naik turun, dan telah berobat ke 2 klinik berbeda terdekat namun keluhan demam tidak
kunjung sembuh. Batuk, pilek, mual, muntah disangkal oleh ibu pasien.
Kemudian pasien dilakukan perawatan di ruang PICU RSUD Kota Bekasi.
Selama perawatan di PICU pasien tidak mengalami kejang, pasien masih tidak merespon
bila dipanggil, pandangan kosong (+) dan hari berikutnya pasien sering mengamuk dan
tidak mengingat anggota keluarganya, ibu pasien juga mengatakan pasien berangsurangsur membaik kemudian pada tanggal 11 Juli 2016 pasien dipindahkan ke ruang
perawatan biasa.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Menurut kedua orang tua pasien, anaknya belum pernah mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Riwayat kejang disangkal sebelumnya.

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


KEHAMILA

Morbiditas

Tidak ada. Anemia (-), HT (-), DM

kehamilan

(-), penyakit jantung (-), penyakit


paru (-), infeksi (-).

Perawatan antenatal

3x kontrol ke tempat praktek bidan


tiap 3 bulan 2x dan sudah melakukan
imunisasi

KELAHIRAN

Tempat persalinan

Rumah Bersalin

Penolong persalinan

Bidan

Cara persalinan

Partus Spontan

Masa gestasi

Cukup Bulan (39 minggu)

Keadaan bayi

Berat lahir: 3800 gram


Panjang lahir: tidak tahu
Lingkar kepala : tidak tahu
Segera menangis
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I : umur 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor :
-

Tengkurap : umur 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)


Duduk : umur 8 bulan (Normal: 7-10 bulan)
Berdiri : umur 10 bulan (Normal: 10-12 bulan)
Berjalan : umur 14 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Pengucapan kata-kata : umur 11 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: perkembangan pasien baik,


sesuai usia, tidak ada keterlambatan.

RIWAYAT MAKANAN
Umur

ASI/PASI

Buah /

(bulan)

Bubur Susu

Nasi Tim

Biskuit

02

ASI

24

ASI

46

ASI

68

ASI + susu formula

8 10

ASI + susu formula

10 -12
12-24

ASI + susu formula


Susu formula

+
+

+
+

+
+

Kesimpulan riwayat makanan: Pasien mendapatkan ASI eksklusif. Susu formula


diberikan saat usia 6 bulan. Makanan pendamping seperti bubur susu sudah diberikan
sejak pasien berumur 8 bulan.

RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin

Dasar ( umur )

Ulangan ( umur )

Hepatitis B

Polio

BCG

bulan
DPT / PT
Campak

Kesimpulan riwayat imunisasi: imunisasi dasar tidak lengkap

RIWAYAT KELUARGA
Corak Reproduksi
No

Tanggal lahir

Jenis

Hidup

Berat

(umur)

kelamin

1.

17 tahun

Perempuan

Ya

2500

2.

10 tahun

Perempuan

Ya

3800

imunisasi

Mati

Keterangan

(sebab)

kesehatan

Lengkap

Sehat

Tdk

Pasien

lahir

lengkap
Riwayat Pernikahan
Ayah

Ibu

Nama

Perkawinan ke-

Umur saat menikah

24 tahun

19 tahun

Pendidikan terakhir

Sarjana

Tamat SMA

Agama

Islam

Islam

Suku bangsa

Sunda

Sunda

Keadaan kesehatan

Sehat

Sehat

Kosanguinitas

Penyakit, bila ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Pada anggota keluarga pasien tidak terdapat riwayat HT, DM, Alergi, dan kejang

Riwayat Kebiasaan Keluarga


Pada anggota keluarga ayah pasien memiliki kebiasaan merokok. Keluarga pasien
menyangkal adanya kebiasaan minum minuman beralkohol dan penggunaan obat-obatan
terlarang.

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Penyakit

Umur

Penyakit

Umur

Penyakit

Umur

Alergi

(-)

Difteria

(-)

Penyakit

(-)

jantung
Cacingan

(-)

Diare

(-)

Penyakit ginjal

(-)

DBD

3 thn

Kejang

(-)

Radang paru

(-)

Otitis

(-)

Rubeola

(-)

TBC

(-)

Parotitis

(-)

Operasi

(-)

Lain-lain:

(+) influenza

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita:


Pasien belum pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. Pasien pernah beberapa
kali terserang flu dan DBD.

RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Menurut pengakuan bapak pasien keadaan lingkungan rumah cukup padat penduduk.
Lantai rumah terbuat dari keramik. Ventilasi udara, sirkulasi udara, dan pencahayaan
cukup. Sumber air berasal dari air sumur.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Ayah pasien bekerja sebagai freelance. Sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
Menurut ibu pasien penghasilan mereka masih bisa memenuhi kebutuhan pokok seharihari.
Kesimpulan sosial ekonomi: penghasilan Ayah pasien masih cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
6

Keadaan Umum
Kesan Sakit
Kesadaran
Keadaan lain

: tampak sakit sedang


: compos mentis
: pucat (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)

Tanda-tanda Vital
-

Nadi : 110x/menit, reguler, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri
Nafas : 36x/menit, regular
Suhu : 36,5C

Pemeriksaan fisik
Kepala : Normosefali
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, edema (-), luka atau jaringan parut (-)
Mata
Visus : tidak dilakukan
Ptosis : -/Edema palpebral : -/Sklera ikterik : -/Lagofthalmus : -/Konjungtiva pucat : -/Mata Cekung : -/Exophthalmus : -/Kornea jernih : +/+
Endophtalmus : -/Strabismus : -/Nistagmus : -/Lensa jernih : +/+
Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga
Bentuk : normotia
Nyeri tarik aurikula : -/Liang telinga : lapang
Serumen : -/Cairan : -/-

Nyeri tekan tragus: -/Membran timpani: sulit dinilai


Refleks cahaya : sulit dinilai

Hidung
Bentuk : simetris
Sekret : +/+
Mukosa hiperemis : -/Bibir

Napas cuping hidung : -/Deviasi septum : -

: mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)

Mulut : trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna
merah muda, mukosa pipiberwarna merah muda, arkus palatum simetris
Lidah : normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-), atrofi papil
(-), tremor (-), lidah kotor(-)
Tenggorokan : tonsil T2-T2, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
tidak hiperemis, arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah

Leher : bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak tampak dan
tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea tampak dan teraba di
tengah
Thoraks :
Jantung
- Inspeksi

: ictus cordis terlihat pada ICS V linea


midklavikularis sinistra
:ictus cordis teraba pada ICS V linea
midklavikularis sinistra

Palpasi

Perkusi :
batas kiri jantung
batas kanan jantung
batas atas jantung

: ICS V linea midklavikularis sinistra


: ICS III-V linea sternalis dextra
: ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru
-

Inspeksi

: bentuk toraks simetris pada saat statis dan


dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal,
pernafasan torakoabdominal, pada sela iga
tidak terlihat adanya retraksi, pembesaran KGB

Palpasi

aksila -/: nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas


simetris kanan dan kiri, vocal fremitus samakuat

kanan dan kiri.


Perkusi
:Sonor dikedua lapang paru.
Batas paru-lambung
: ICS VII linea aksilaris anterior
Batas paru-hepar
: ICS VI linea midklavikularis dextra
Auskultasi
: suara napas vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing -/-

Abdomen
-

Inspeksi

: Buncit, warna kulit sawo matang, ruam


merah (-), kulit keriput (-), gerak dinding perut
saat pernapasan simetris, shagging of the flank

Auskultasi
Perkusi

Palpasi

Kelenjar getah bening:


Preaurikuler
Postaurikuler

(-), venektasi (-), smiling umbilicus (-)


: bising usus (+)
: timpani pada seluruh lapang perut, shifting
dullness (-), undulasi (-)
: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba
membesar, lien tidak teraba membesar,
ballotement (-)
: tidak teraba membesar
: tidak teraba membesar

Submandibula
Supraklavicula
Aksila
Inguinal
Ekstremitas

: tidak teraba membesar


: tidak teraba membesar
: tidak teraba membesar
: tidak teraba membesar

: Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang atau posisi


tangan, kaki, serta sikap badan,tidak terdapat keterbatasan gerak
sendi, akral hangat pada keempat ekstremitas, pitting edema
pretibial

(-/-),

edema

dorsum

pedis

(-/-),

sianosis

(-),

capillaryrefill time < 2 detik.


Kulit

: warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, lembab,


efloresensi (-)

I.

PEMERIKSAAN TAMBAHAN

STATUS NEUROLOGIS
GCS : E4 M6 V5
Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk
Brudzinksi I
Brudzinski II
Laseque
Kernig

: (-)
: (-)
: (-)
: -/- >70
: -/- >135

Refleks Patologis

II.

Babinski
Chaddock

: -/: -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kimia

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

Natrium

139

mmol/L

135-145

Kalium

2.9

mmol/L

3,5 4,6

Chlorida

99

mmol/L

98 108

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Serum Elektrolit tanggal 9/06/2016

Hematologi

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

9.7

g/dL

11 14,5

Leukosit

9.6

x10^3/uL

5 10

Trombosit

235

x10^3/Ul

150 400

Hematokrit

29.7

40 54

CRP

reaktif

Albumin

Non-reaktif

3.05

g/dL

3.5 4.5

SGOT

25

U/L

<37

SGPT

31

U/L

<41

Ureum

16

mg/dL

20 40

0.36

mg/dL

0.5 1.3

120

mg/dL

60 110

Kreatinin
Kimia
GDS

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 9/06/2016

III.

RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan kejang sejak 2
minggu yang lalu. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, badan terasa kaku, mata
melotot, durasi >15 menit, frekuensi 2-3 kali/hari, setelah kejang pasien
mengalami penurunan kesadaran seperti bila dipanggil pasien tidak merespon
dan pandangan kosong. Sebelum terjadinya kejang, pasien mengeluhkan
demam tinggi sejak 2 minggu yang lalu. Demam dirasa tinggi dan naik turun.
Sebelumnya pasien telah dilakukan perawatan intensive di RS ANA Medika

10

dengan keluhan demam tinggi yang telah berlangsung 5 hari dan kejang yang
baru berlangsung 1 hari. Pada tanggal 21 Juni 2016 pasien datang kembali ke
poli RS ANA Medika untuk dilakukan kontrol post rawat inap. Namun dokter
tidak memberikan obat sepulang dari kontrol tersebut. Sebelum pasien
berobat ke RS ANA Medika,

pasien sudah mengeluhkan demam tinggi

selama 5 hari, demam naik turun, dan telah berobat ke 2 klinik berbeda
terdekat namun keluhan demam tidak kunjung sembuh. Pasien dirawat di
PICU kejang (-), pasien masih tidak merespon bila dipanggil, pandangan
kosong (+) dan hari berikutnya pasien sering mengamuk dan tidak mengingat
anggota keluarganya. Orang tua pasien juga mengatakan bahwa keluhan
seperti ini baru terjadi pertama kali pada pasien. Di keluarga, tidak ada
riwayat kejang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sadar, tampak sakit
sedang. Pada pengukuran tanda-tanda vital didapatkan suhu tubuh pasien
36,5C, HR 110x/menit, reguler, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, nafas:
36x/menit, tipe torakoabdominal. Pada pemeriksaan status generalis
didapatkan pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal, pemeriksaan
thorax meliputi jantung dan paru tidak didapatkan kelainan, pada
pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan pada genitalia
juga tidak didapatkan kelainan. Kedua ekstremitas atas dan bawah tidak
didapatkan kelainan ataupun efloresensi yang bermakna. Pada pemeriksaan
status neurologis tanda rangsang meningeal didapatkan kaku kuduk (-),
brudzinski 1 (-), brudzinski II (-), laseque -/- >70, kernig -/- >135. Pada
pemeriksaan refleks patologis didapatkan hasil pemeriksaan babinski -/- dan
chaddock -/-.
Pada hasil pemeriksaan penunjang Hb 9.7 g/dL, Ht 29.7%, albumin 3.05
g/dL, ureum 16 mg/dL, kreatinin 0.36 mg/dL, GDS 120 mg/dL, K 2.9
mmol/L. Kemudian hasil gambaran darah tepi didapatkan leukositosis akibat
infeksi.

IV.

DIAGNOSA KERJA
Ensefalitis Autoimmune
Ensefalitis HSV

V.

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o IVFD RL 20 tpm makro

11

o
o
o

VI.

Dexamethason loading 10 mg
Fenitoin loading 20 mg/KgBB i.v
Ranitidin 2x1/2 amp

PROGNOSIS
Ad Vitam
: Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

VII.

FOLLOW UP
Tanggal
15/7/16

Perjalanan penyakit

Terapi

S: keluhan (-)

Tanpa infus

O: KU: CM, HR 100 x/mnt,


T 36,50C

Piracetam 1x1 tab

Mata: CA-/-, SI -/-

Fenitoin 2x75 mg

Thorax: ves +/+, Rh -/-,


Whz -/-, BJ 1&2 reguler

Metil prednisolon 3x3 tab

Abd: supel, BU (+), NT


(-)
Ext: akral hangat
16/7/16

S: keluhan (-)

Tanpa infus

O: KU: CM, HR 110 x/mnt,


T 36,70C

Piracetam 1x1 tab

Mata: CA-/-, SI -/-

Fenitoin 2x75mg

Thorax: ves +/+, Rh -/-,


Whz -/-, BJ 1&2 reguler

Metil prednisolon 3x5 tab

Abd: supel, BU (+), NT


(-)

Rencana pulang

Ext: akral hangat

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Reseptor NMDA adalah reseptor ionotropik glutamat yang terdiri dari 2 subunit
NR1 (GluN1) dan 2 subunit NR2/3 (GluN2/3). Nantinya subunit ini akan berikatan
dengan glutamat dan membentuk ikatan dengan asam amino. Reseptor NMDA
penting dalam proses belajar dan memori. Penurunan fungsi reseptor NMDA dapat
menimbukan gejala mirip skizofrenia, sedangkan peningkatan aktivitas pada
reseptor NMDA akan berkaitan dengan kondisi demensia atau kejang. 6
Ensefalitis anti reseptor NMDA adalah penyakit inflamasi otak dimana terjadi
proses autoimun dengan sasaran subunit dari NMDA yaitu NR1 dan mengakibatkan
beberapa gejala.5-7Gejala pada ensefalitis anti reseptor NMDA dapat meliputi gejala
psikiatri ataupun gejala inflamasi sistem saraf pusat. 8

Etiologi
Secara umum etiologi ensefalitis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok besar,
yaitu infeksi dan sistem imun.Pada ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi, agen
infeksi yang paling banyak ditemukan adalah virus.Pada ensefalitis yang
diperantarai oleh sistem imun, proses imun bisa terjadi karena proses imun akibat
infeksi sebelumnya ataupun akibat reaksi terhadap agen non infeksius, misalnya
tumor. Ensefalitis anti reseptor NMDA sendiri merupakan salah satu ensefalitis yang
disebabkan oleh sistem imun.9

13

Ensefalitis anti reseptor NMDA pertama kali diteliti lebih lanjut pada tahun 2005,
dimana pada saat itu ada laporan kasus wanita dengan teratoma ovarium yang
memiliki sindrom gangguan neurologi berupa defisit memori, gejala psikiatri,
penurunan kesadaran, dan hipoventilasi.Sesudah diteliti lebih lanjut, ditemukan
bahwa pada kasus tersebut terdapat antibodi spesifik pada otak yang menyerang
reseptor NMDA, antibodi inilah yang diduga menyebabkan munculnya sindrom
tersebut.7,8

Patogenesis dan Patofisiologi


Pada ensefalitis anti reseptor NMDA terbentuk suatu autoantibodi yang
menyerang reseptor glutamat NMDA.Target utama dari antibodi pada ensefalitis anti
NMDA reseptor adalah NR1 yang merupakan subunit dari NMDA.Hal ini akan
membuat permukaan reseptor NMDA berkurang dikarenakan antibodi akan
berikatan dengan NR1.Antibodi yang telah berikatan ini akan merusak reseptor
NMDA. Pada pasien dengan ensefalitis anti NMDA reseptor tidak ditemukan
patogen yang menyebabkan ensefalitis pada limbik. 5,6
Sesudah aktivasi respon imun terdapat ekspansi respon imun di sistem saraf
pusat.Adanya antibodi di sistem saraf pusat diduga karena ada kerusakan pada sawar
darah otak, sehingga antibodi yang disintesis sel plasma bisa menyerang sistem saraf
pusat. Kerusakan sawar darah otak ini mungkin disebabkan oleh penyakit prodromal
lainnya.10
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, diduga proses autoimun pada ensefalitis
anti reseptor NMDA terjadi di daerah hipokampus dan kortikal. 6,11 Diduga hampir
tidak terjadi reaksi imun pada serebelum. Hal ini dikaitkan dengan jumlah NR2 yang
lebih banyak ditemukan pada hipokampus dan kortikal. Walaupun antibodi berikatan
pada NR1, namun diduga NR2 juga turut serta dalam proses ikatan antibodi dengan
NR1.6
Reseptor NMDA berperan pada proses plastisitas sinaptik. Plastisitas sinaptik
diduga berperan untuk mekanisme memori, belajar dan kognisi. 12Diduga dengan
adanya penurunan reseptor NMDA, inhibisi oleh GABA dan sinaps glutamat
mengakibatkan disinhibisi dari jalur eksitatori dan peningkatan kadar glutamat di
ekstraseluler. Keadaan ini menyebabkan kerja frontostriatal terganggu dan
menyebabkan munculnya gejala psikosis, katatonia, rigiditas, distonia, dan mutisme.
Apabila keadaan ini terjadi pada batang otak maka akan muncul gejala berupa

14

gangguan gerak yang kompleks dan gangguan pernapasan yang bisa menimbulkan
disfungsi respirasi.5
Perjalanan penyakit dari ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki beberapa
tahap, dimana tahapan ini dapat berakhir pada penyembuhan yang sempurna atau
terbatas, ataupun kematian.13Sindrom pada ensefalitis bergantung pada progresivitas
dari penurunan jumlah reseptor NMDA yang tersedia. Makin sedikit jumlah reseptor
NMDA yang mampu berfungsi dengan normal, maka ensefalitis anti reseptor
NMDA yang diderita akan bertambah parah.5,8
Tumor diduga dapat meningkatkan respon imun terhadap reseptor NMDA dengan
cara menurunkan toleransi imun. Walaupun tumor dapat berperan pada patogenesis
dari ensefalitis anti reseptor NMDA, penyakit ini masih dapat terjadi tanpa
ditemukannya tumor.5Ada atau tidaknya tumor tidak mempengaruhi tingkat
keparahan ensefalitis anti reseptor NMDA.7

Manifestasi Klinis
a. Gejala Prodromal
70% dari pasien ensefalitis anti reseptor NMDA mengalami fase
prodromal.Gejala prodromal yang dialami adalah flu like syndrome, seperti
demam, malaise, nyeri kepala, rhinitis, mual, muntah, dan diare. 5,7 Gejala ini
biasanya berlangsung hingga 5 hari, namun dapat berlangsung hingga lebih dari 2
minggu sebelum gejala pada fase selanjutnya muncul.
b. Gejala Psikiatri
Selanjutnya dalam waktu sekitar 2 minggu, pasien dengan ensefalitis anti
reseptor NMDA akanmulai menunjukan gejala psikiatri, seperti cemas, paranoia,
ketakutan, psikosis, mania, dan insomnia. Pada fase psikotik ini biasanya pasien
memeriksakan diri ke psikiater dan terdiagnosis sebagai psikosis akut atau
skizofrenia. Gejala disregulasi mood dan depresi dapat berkembang ke gangguan
perilaku dan kepribadian, delusi, atau gangguan berpikir, ide paranoid, dan
halusinasi.5,13,14
Delapan puluh lima persen pasien dewasa dengan ensefalitis anti reseptor
NMDA awalnya ke psikiater untuk keluhan seperti kecemasan, agitasi, dan
halusinasi auditori dan visual. Pada penelitian ensefalitis anti reseptor NMDA
pada anak, 87% dari sampel menunjukan adanya perubahan perilaku seperti
tantrum, hiperaktif, dan iritabel ataupun perubahan kepribadian. Pada kasus
ensefalitis anti reseptor NMDA pada remaja perempuan ditemukan adanya mania

15

akut dengan psikosis.5,7 Gejala psikiatri pada ensefalitis anti reseptor NMDA
seringkali mendominasi keadaaan klinis pasien. 10,14
c. Gejala Neurologi
Gejala neurologi biasanya muncul sesudah onset 1 bulan. Gejala neurologi
utama yang bisa muncul pada anak adalah gangguan gerak, bangkitan, dan
gangguan kognitif. Gejala lain yang sering muncul pada ensefalitis anti reseptor
NMDA dewasa adalah gangguan otonom dan tidur.10
Gangguan gerak yang sering terjadi pada anak dengan ensefalitis anti
reseptor NMDA adalah diskinesia orofasial, koreoatetosis, dan distonia.Pada
beberapa kasus ditemukan pula opistotonus dan krisis okulogirus dan
rigiditas.Diskenesia orofasial adalah gerakan seperti mengunyah, menggigit
lidah, lip smacking, dan facial grimacing. Keadaan opistotonus, distonia, dan
krisis okulogirus berhubungan dengan takikardi dan hipertensi.
Bangkitan berupa kejang parsial, kejang generalisata, dan status epileptikus
dapat terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA.Namun diantara bangkitan ini,
kejang parsial merupakan bangkitan yang sering terjadi. Epilepsi dengan onset
pada wanita usia muda dan remaja dapat merupakan manifestasi klinis dari
ensefalitis anti reseptor NMDA.
Gangguan kognitif berupa kehilangan ingatan jangka pendek, penurunan
kemampuan berbicara, dan ekolalia sering ditemukan pada ensefalitis anti
reseptor NMDA.Gejala ini sering diikuti dengan penurunan kesadaran dan
periode agitasi dan katatonik.
Keadaan di mana pasien dalam keadaan tidak responsif dengan hipoventilasi,
instabilitas

otonom,

dan

diskinesia

merupakan

tahapan

sesudah

fase

psikotik.Pada tahapan ini pasien dalam keadaan membuka mata namun tidak
responsif pada rangsangan visual.Pasien biasanya diam atau hanya bergumam
kata-kata yang tidak jelas.Tonus otot meningkat dan status katatonik dengan
distonik dan postur kataleptik bisa terjadi.Diskinesia dimulai dari wajah atau
mulut dan bermanifestasi dengan menggeretakkan gigi atau distonia rahang. 5
d. Disfungsi Otonom
Gejala disfungsi otonom berupa takikardi, hipertensi, dan hipertermia banyak
terjadi pada kasus ensefalitis anti reseptor NMDA pada anak. 5 Gejala seperti
hipotensi, hipotermia, disfungsi ereksi, dan retensi urin juga dapat terjadi pada
ensefalitis anti reseptor NMDA. 11Instabilitas otonom dan disritmia pada
kelompok usia dewasa terjadi lebih berat dibanding pada kelompok anak.

16

Hipertermia sebagai gejala pada ensefalitis anti reseptor NMDA dapat digunakan
untuk mengeksklusikan penyakit infeksi. Hipersalivasi dan inkontinensia urin
juga sering terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA. 5,11 Pasien dengan
ensefalitis anti reseptor NMDA biasanya memiliki 3 atau lebih gangguan
otonom.11
e. Gejala Lain
Gejala lain yang sering terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA
kelompok dewasa adalah insomnia, dimana gejala ini sering kali menjadi gejala
awal. Gangguan siklus tidur dan bangun seringkali terganggu, dimana pasien
lebih banyak dalam keadaan sadar. Hipersomnia dapat terjadi pada proses
penyembuhan dari ensefalitis anti reseptor NMDA. 5

Diagnosa
1. Anamnesa
Ensefalitis anti reseptor NMDA biasanya terjadi pada usia kurang dari 50
tahun, terutama pada anak atau remaja. Biasanya keluhan yang membuat pasien
datang ke dokter adalah perubahan perilaku atau psikosis, gerakan atau
pergerakan yang abnormal (diskinesia), kejang, dan instabilitas otonom, seperti
hipoventilasi.7
2. Pemeriksaan Fisik
Ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan gejala sistemik maupun
neurologis yang nonspesifik.Hal ini membuat tidak ada penunjuk spesifik pada
pemeriksaan fisik.Gejala seperti perubahan kesadaran, gangguan gerak,
bangkitan, dan gangguan neuropsikiatri dapat menjadi pertimbangan dalam
diagnosa ensefalitis anti reseptor NMDA.Dari pemeriksaan neurologi dapat
ditemukan disfungsi serebral yang difus seperti peningkatan refleks tendon,
respon plantar ekstensor, abnormalitas tonus, ataksia, dan kesulitan dalam
melakukan motorik halus.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan saraf, seperti CT (Computed
Tomography) scan kepala tidak terlalu bermanfaat karena sensitivitasnya yang
rendah. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) otak pada 50% kasus
ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan hipersensitivitas pada hipokampus,
serebelum, frontobasal, ganglia basalis, medulla oblongata dan medulla spinalis.
Pemeriksaan MRI berkala pada ensefalitis anti reseptor NMDA tidak menunjukan
perubahan yang signifikan, dimana hasil MRI tetap dalam keadaan normal atau
hanya menunjukan sedikit perubahan.6Bahkan didapatkan mayoritas pasien
ensefalitits anti reseptor NMDA memiliki hasil pencitraan saraf yang

17

normal.Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pencitraan memiliki sensitivitas


yang rendah dalam mendiagnosis ensefalitis anti reseptor NMDA. 6,8
Pada pemeriksaan EEG (Electroencephalograms), pasien dengan ensefalitis
anti reseptor NMDA menunjukkan gelombang yang abnormal, dimana muncul
perlambatan yang tidak spesifik.Pada fase katatonik terjadi perlambatan aktivitas
pada gelombang delta-theta. Keadaan ini tidak berhubungan dengan gerakan
abnormal dan tidak membaik dengan pemberian obat antiepilepsi. 5
Pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA pada serum atau cairan
serebrospinal merupakan pemeriksaan diagnostik. 5,8Pada pemeriksaan ini
didapatkan bahwa antibodi pada serum bereaksi dengan epitope subunit NR1,
dimana reseptor NMDA merupakan hematomer dari subunit NR1. Pasien dengan
teratoma memiliki titer antibodi terhadap reseptor NMDA yang lebih tinggi
dibandingkan pasien tanpa teratoma. 5Titer antibodi terdapar reseptor NMDA
lebih tinggi dibanding titer pada serum. 11Pada pasien yang telah mendapat terapi
IVIG (Intravenous Immunoglobulins), maka antibodi terhadap reseptor NMDA
hanya terdeteksi pada cairan serebrospinal. Titer antibodi terhadap reseptor
NMDA akan naik terus pada pasien yang tidak mendapat terapi. 5,7
Walaupun pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA merupakan
pemeriksaan diagnostik pada ensefalitis anti reseptor NMDA, hal ini tidak berarti
semua pasien yang memiliki antibodi terhadap reseptor NMDA menderita
penyakit ini.Pada sebuah penelitian, diketahui bahwa beberapa pasien dengan
skizofrenia maupun narkolepsi dengan gejala psikotik memiliki antibodi terhadap
reseptor NDMA. Hal ini membuktikan bahwa dalam penegakan diagnosis, hasil
positif pada antibodi reseptor NMDA harus dikombinasikan pula dengan gejala
klinis dari pasien tersebut.15

Diagnosa Banding
Ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki gejala klinis yang kurang khas. Hal ini
membuat diagnosa banding dari penyakit ini cukup luas, yaitu semua penyakit
inflamasi pada otak. Beberapa diantaranya adalah ensefalitis yang disebabkan oleh
virus dan bakteri, beberapa entiologi di antaranya ialah virus herpes simplex tipe 1,
human herpes virus tipe 6, enterovirus, dan mycoplasma. 4Virus herpes simplex dan
human herpes virus 6 (HHV-6) adalah virus yang paling sering menyebabkan
ensefalitis virus.7

18

Ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki gejala psikiatri yang sering kali salah
didiagnosis sebagai psikosis onset awal. Pasien yang salah didiagnosa tersebut
biasanya mendapat pengobatan anti psikotik, seperti haloperidol, dan ketika gejala
seperti rigiditas dan instabilitas mulai muncul, biasanya pasien akan didiagnosa
sebagai sindrom neuroleptic malignant. Selain itu obat-obat yang memblok reseptor
NMDA seperti phencyclidine akan memberikan gejala yang mirip dengan ensefalitis
anti reseptor NMDA.

Tabel 1. Diagnosa banding dari ensefalitis anti reseptor NMDA. 4

Tata Laksana
Penatalaksanaan pada ensefalitis anti reseptor NMDA berpusat pada imunoterapi
dan deteksi serta pengangkatan teratoma.Imunoterapi pada awal ensefalitis anti
reseptor NMDA menunjukan penyembuhan yang lebih cepat dan menurunkan
morbiditas. Imunoterapi sebagai lini pertama yang digunakan saat ini adalah
kortikosteroid, plasmaferesis, atau IVIG.Kombinasi pengobatan yang bisa
digunakan misalnya, IVIG 0,4g/kg berat badan untuk 5 hari dan methylprednisolone
1g/hari untuk 5 hari.Terapi ini lebih mudah digunakan dibandingkan dengan
plasmaferesis. Walaupun plasmaferesis dapat menurunkan titer antibodi terhadap
reseptor NMDA dalam beberapa minggu, namun pelaksanaannya lebih sulit,
terutama pada pasien anak, pasien yang kurang kooperatif ataupun pasien dengan

19

instabilitas otonom.7Pada pasien yang sudah menjalani pengangkatan tumor maka


efektivitas terapi lini pertama akan meningkat. Pasien tanpa tumor, terlambat
didiagnosis, ataupun pasien yang tidak menunjukan respon setelah 10 hari diterapi
dengan lini pertama memerlukan imunoterapi lini kedua seperti rituximab,
cyclophosphamide atau keduanya.Pada pasien dewasa digunakan rituximab dengan
dosis 375 mg/m2 tiap minggu dalam 4 minggu dan dikombinasikan dengan
cyclophosphamide 750mg/m2 yang diberikan dengan dosis pertama dari rituximab,
kemudian akan diikuti dengan pemberian cyclophosphamide tiap bulan. Terapi ini
akan dihentikan apabila pasien sudah menunjukan perbaikan klinis, yang biasanya
diikuti dengan penurunan kadar antibodi terhadap reseptor NMDA di serum maupun
cairan serebrospinal.14
Untuk gejala psikiatri yang muncul, seperti agitasi, gejala psikotik, misalnya
halusianasi visual dan auditorik, ide paranoid, delusi, gangguan tidur berupa
hypersomnia atau insomnia, dan gangguan mood dapat diatasi dengan antipsikotik
seperti haloperidol, chlorpromazine; antipsikotik atipikal seperti olanzapine,
quetiapine, risperidone, ziprasidone, dan pada pengobatan ekstrim menggunakan
pentobarbital atau fentanyl.14
Deteksi dan pengangkatan tumor dalam 4 bulan sejak onset, menunjukan
pemulihan yang lebih baik dibanding pasien ensefalitis anti reseptor NMDA tanpa
tumor. Selain itu ensefalitis anti reseptor NMDA tanpa tumor juga memiliki angka
relaps yang lebih tinggi, yaitu 20-25%. Pada pasien tersebut disarankan
menggunakan imunosurpresan (mycophenolate mofetil atau azathioprine) selama 1
tahun sesudah imunoterapi dihentikan.7

Komplikasi
Komplikasi dari ensefalitis anti reseptor NMDA yang ridak diobati adalah sepsis,
sudden cardiac arrest, acute respiratory distress, status epileptikus refrakter, dan
perburukan dari tumor.5 Komplikasi ini dapat menyebabkan kematian pada
ensefalitis anti reseptor NMDA.

Prognosis
Prognosis pada ensefalitis anti reseptor NMDA berkaitan dengan kapan diagnosis
ditegakan, terapi imunomodulator, dan pengangkatan tumor pada kasus neoplasma.
Pada suatu penelitian dengan sampel 31 anak dengan ensefalitis anti reseptor
NMDA, 29% pasien sembuh sempurna, 45% perbaikan dengan defisit yang sedang,
26% dengan perbaikan yang terbaas, defisit yang parah, dan perbaikan yang lambat.
Pada fase akut, pasien biasanya perlu dirawat di rumah sakit selama 3-4 bulan,

20

diikuti dengan rehabilitasi selama beberapa bulan.Gejala yang tersisa biasanya


menunjukan adanya disfungsi frontal dan limbik, termasuk fungsi eksekutif yang
terbatas.Pemeriksaan berkala menunjukkan bahwa pasien dengan gejala ini akan
membaik, termasuk masalah perilaku dan bahasa. Atrofi otak pada pemeriksaan
MRI berkala akan menunjukan perbaikan.
Walaupun ensefalitis anti reseptor NMDA dapat membaik sempurna, terutama
pada pasien yang memperoleh diagnosis dan terapi yang sesuai, penyakit ini dapat
berulang pada pasien yang telah sembuh sempurna sebelumnya, terutama pasien
ensefalitis anti reseptor NMDA yang tidak memiliki tumor.1,5,10 Angka kekambuhan
dari ensefalitis anti reseptor NMDA adalah sekitar 20-25% dengan jangka waktu
relaps sekitar 2 tahun.11

DAFTAR PUSTAKA
1. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons Principles
of Internal Medicine: Volumes 1 and 2, 18th Edition. 18th ed. McGraw-Hill
Professional; 2011.
2. Lewis P dan Glaser CA. Encephalitis. Pediatrics in Review. 2005; 26: 353-363.
3. Dewanto, George., Wita JS, Budi R, dan Yuda T. Panduan Praktis Diagnosis & Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2007.
4. Gable MS, Gavali S, Radner A, Tilley DH, Lee B, Dyner L, et al. Anti-NMDA
receptor encephalitis: report of ten cases and comparison with viral encephalitis. Eur
J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28:1421-1429.
5. Jones KC, Benseler SM, dan Moharir M. Anti-NMDA Receptor Encephalitis.
Neuroimag Clin N Am. 2013; 23: 309-320.
6. Gleichman AJ, Spruce LA, Dalmau J, Seeholzer SH, dan Lynch DR. Anti-NMDA
Receptor Encephalitis Antibody Binding is Dependent on Amino Acid Identity of a
Small Region within the GluN1 Amino Terminal Domain. The Journal of
Neuroscience. 2012; 32(32): 11082-11094.
7. Dalmau J, Lancaster E, Hernandez EM, Rosenfeld MR, dan Gordon RB. Clinical
Experience and Laboratory Investigations In Patients With Anti-NMDAR
Encephalitis. Lancet Neurol. 2011; 10(1): 63-74.
8. Luca N, Daengsuwan T, Dalmau J, Jones K, deVeber G, Kobayashi J, Laxer RM, dan
Benseler

SM.

Anti-N-Methyl-D-Aspartate

Receptor

Encephalitis:

A Newly

Recognized Inflammatory Brain Disease in Children. Arthritis Rheum. 2011;63(8):


2516-2522.
9. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL, et al. The
Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Disease
Society of America. CID. 2008; 47: 303-327.

21

10. Lennox BR, Coles AJ, dan Vincent A. Antibody-mediated encephalitis: a treatable
cause of schizophrenia. BJPsych. 2012; 200: 92-94.
11. Ferdinand P dan Mitchell L. Anti-NMDA Receptor Encephalitis. J Clin Cell Immunol.
2012; S10:1-6.
12. Hughes EG, Peng X, Gleichman AJ, Lai M, Zhou L, Tsou R, et al. Cellular and
Synaptic Mechanisms of Anti-NMDA Receptor Encephalitis. The Journal of
Neuroscience. 2010; 30(17): 5866-5875.
13. Chapman MR dan Vause HE. Anti-NMDA Receptor Encephalitis: Diagnosis,
Psychiatric Presentation, and Treatment. Am J Psychiatry. 2011; 168(3): 245-251.
14. Peery HE, Day GS, Dunn S., et al. Anti-NMDA receptor encephalitis. The disorder,
the diagnosis and the immunobiology, Autoimmun. 2012 March;AUTREV-01245; No
of Pages 10
15. Tsutsui K, Kanbayashi T, Tanaka K, Boku S, Ito W, Tokunaga J, et al. Anti-NMDAreceptor antibody detected in encephalitis, schizophrenia, and narcolepsy with
psychotic features. BMC Psychiatry. 2012; 12: 37.

22

Anda mungkin juga menyukai