PENDAHULUAN
riwayat persalinan, serta intervensi dini baik dalam hal pencegahan, diagnostik dan
penatalaksanaan penderita merupakan suatu masalah yang perlu diperhatikan1,3.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah menambah pengetahuan tentang definisi, epidemiologi,
faktor predisposisi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, dan
penatalaksanaan HMD
1.3 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mendiagnosis dan pengelolaan HMD
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang ditemukan pada
bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya alveoli.4
2.2 Epidemiologi
HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature, di Amerika Serikat sekitar
12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya. Insiden
meningkat pada negara berkembang.
Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat
saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes
melitus. Pada tahun 2003, di Amerika serikat terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan 6%
kelahiran berkembang menjadi RDS. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus RDS dari 11,6%
menjadi 12,7%, mayoritas disebabkan karena kelahiran kurang bulan.5,6
Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari 41
bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa HMD.
Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi HMD pada
bayi preterm sebesar 17%.7
2.3 Faktor predisposisi
a. Prematuritas
Kasus ini sering ditemukan pada usia kehamilan dibawah 30 minggu sebab sintesis surfakatan
mulai terjadi pada usia kehamilan 24-28 minggu.6,7,8
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih sering menderita HMD dibandingkan perempuan dan lebih tinggi untuk
terjadinya kematian. Sebab pada bayi laki-laki maturasi lesitin, spyngomielin, serta
pembentukan fosfatidil gliserol lambat akibat efek androgen.7,8
c. Ras
Insiden HMD lebih rendah pada kulit hitam di bandingkan kulit putih, yaitu 60-70%. Pada
bayi dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu, 40% dari bayi kulit hitam menderita
HMD sedangkan insiden pada kulit putih 75%.8
d. Sectio secaria
Menurut beberapa penilitian, apabila tindakan sectio secaria dilakukan sebelum masuknya
proses persalinan dapat meningkatkan resiko timbulnya HMD sebab ketika proses persalinan
produksi cairan paru berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat penekanan pada dada
ketika proses persalinan pervaginam berlangsung.
e. APGAR skor
Bayi premature dengan APGAR skore <5 memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk
terjadinya HMD dibandingkan bayi dengan APGAR skore >5.8
f.
g. Hipotiroid
Aktivitas hormon tiroid penting dalam perkembangan sistem surfaktan pada masa prenatal.
Berdasarkan penelitian, bayi preterm yang menderita HMD memiliki kadar hormon tiroid
rendah.8
2.4 Patofisiologi
HMD terjadi akibat defisiensi struktur lipoprotein surfaktan yang disebabkan oleh belum matang
nya paru. Lipoprotein ini memproduksi retikulum endoplasmik dari pneumosit tipe 2 kemudian
dibawa ke aparatus golgi dan badan lamelar intrasel. Badan lamelar akan berpindah ke
permukaan sel luminal alveolar melalui proses eksositosis.10
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil alveoli
dan
mencegahnya
dari
kolaps
pada
saat
ekspirasi
dengan
mengurangi
tegangan.
dan mensekresi lamellar bodies,yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi. Lamellar
bodiesini berikutnya diubah menjadi lattice structureyang dinamakan tubular myelin. Penyebaran
dan absorpsi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam pembentukan
monolayeryang stabil dalam alveolus.10,11
Prematurity
Surfactan Deficiency
Atelactasis
V/Q Mismatch
Hypoventilation
Pulmonary Vasoconstriction
Inflamatory Cell Influx
Antioxidant Reduction
Free-radical Reaction
Lung Injury
RDS
Chronic Lung
0
<60
1
60-80
2
>80
None
None
None
Air Entry
Clear
In room Air
Mild
Audible with
Stetoschope
Delayed/ Decrease
In 40% Oxygen
Moderate- Severe
Audible with
Stetoschope
Barely Audible
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis metabolik dengan
hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis dari alveoli dan atau overdistensi dari
bronkiolus (terminal airways). Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD dawali dengan
asidosis laktat sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh menggunakan
jalur anaerob untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari shunting right to the left
melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus (PDA), dan atau foramen ovale tidak
menutup.16
2.6.2
Pulse Oximetry
Pulse Oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk memantau saturasi oksigen
dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai 90 - 95 %. Akan tetapi alat ini tidak dapat
mendeteksi terjadinya hiperoksia. Pada metode konvensional digunakan metode monitoring inline arterial PaO2dan monitoring transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2seharusnya
dgunakan pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang berhubungan dengan
PaCO2.16
2.6.3
Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat
penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala
yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan lain
lain.
a. Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang khas
berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance, disertai dengan
gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram)911Terdapat 4 stadium:
Stadium
Stadium
Stadium
Stadium
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru
yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya
Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS).18
Tes tersebut diklasifikasikan menjadi:
2.6.4.1
Paru - paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion
dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara
menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test
yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L / S untuk kehamilan normal adalah
<0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap. Rasio L / S = 2 dicapai pada usia
gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal HMD sangat tidak mungkin
terjadi bila rasio L / S >2. 8 Dengan rasio 1.5 - 1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat
berlanjut ke HMD. <1.5 resiko meningkat sampai 73%. 11 Adanya mekonium dapat mempengaruhi
hasil interpretasi dari tes ini.9
12
32
36
16
40
20
24
28
PostWeeks' gestation
term
Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat
dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil. Pada
janin, cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung dalam 30 menit setelah
lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan atau cairan amnion. Oleh karena itu,
aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat pada paru
-
2.6.5
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang berpengalaman. Peningkatan
frekuensi pernafasan pada penyakit ini akan memperlihatkan perubahan pada fungsi paru lainnya
seperti tidal volume menurun, lung complianceberkurang, penurunan functional residual
capacitydisertai vital capacityyang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan
terganggu.18
2.6.6
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di dalam
alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami
emfisema. Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin
berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.18
2.7.1
2.7 Diagnosis
Anamnesis
2.7.2
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya infeksi
dan derajat dari pirau PDA
khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms.Menurut Vermont Oxford
Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari rontgen torak memerlukan PaO2
<50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan bayi
memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2>50 mmHg.5,6,19
Gejala
Radiologi
air
broncogram,
infitrat granular
TTN
kelamin laki - laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN sulit
untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis TTN hanya dapat ditegakkan
dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang berbentuk streaky, ditemukannya
cairan pada fisura transversalis, dan biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5 /
1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea yang parah (frekuensi nafas >60 x /
menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai dengan grunting. TTN merupakan
diagnosis eksklusi, dimana diagnosis sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah
disingkirkan.17
Gambar.11. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura
transversalis dan hiperekspansi paru.17
2. Meconium aspiration syndrome
Aspirasi mekoneum jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi mekonium terjadi
apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan amnion ketika masih berada dalam
kandungan, dan cairan amnion yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi. Aspirasi
mekonium menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan terperangkapnya
udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan perfusi - ventilasi. Secara klinis, bayi
tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai meconium - stained skin.
Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan kombinasi foto rontgen dengan
gambaran bercak - bercak konsolidasi atau atelektasis, infiltrat kasar di kedua lapangan paru, dan
hiperinflasi karena terperangkapnya udara.10,17
efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini
sudah tidak lagi dilakukan. Penanganan yang sedang berkembang ialah penggunaan kateterisasi
pigtailyang dimasukan dengan tehnik Seldinger. Keuntungan tindakan
ini ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar yang ditimbulkan
dibandingkan dengan traditional chest tubes.17
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1
Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai sebelum kelahiran dan melibatkan
bagian anak dan kebidanan. Secara umum sekresi surfaktan meningkat selama proses persalinan,
oleh karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi preterm yang berisiko untuk
terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di tempat yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas yang
dilengkapi dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan ventilator mekanik. Untuk
bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu, kemungkinan untuk meninggal pada tahun pertama
kehidupan berkurang bila dilahirkan di rumah sakit yang memiliki Neonatal Intensif Care Unit
(NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan untuk menunda persalinan sementara agar ibu
dapat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas NICU.20,21
2.9.2
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian pada neonatal.
Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis
pertama steroid 1 - 7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan Dexamethason digunakan untuk
meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan pada semua
kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian betamethason
adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi berdasarkan taksiran persalinan adalah >24
jam dan <7 hari. Tidak ada bukti yang jelas menunjukkan pemberian dosis ulangan dapat
menigkatkan keberhasilan efek kortikosteroid.6,20
2.9.3
Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan dalam mencapai kapasitas residu fungsional
yang adekuat dan memastikan pengaliran udara di alveolar terus menerus. Dulu kebanyakan bayi
preterm, tali pusat dipotong segera setelah lahir agar dapat dipindahkan ke lingkungan hangat
dengan cepat untuk memudahkan proses resusitasi. Prosedur mengklem tali pusat dengan cepat
dipersoalkan baru - baru ini. Lebih kurang setengah dari volume darah dari bayi preterm
terkandung dalam tali pusat plasenta, dengan menunda pengkleman tali pusat selama 30 - 45 detik
dapat mengakibatkan peningkatan volume darah sebanyak 8 - 24% terutama pada persalinan
spontan, sehingga terjadinya peningkatan kadar hematokrit, berkurangnya keperluan untuk
Gambar.15. Neopuff20
Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar bersalin. Bayi-bayi ini adalah
yang menerima surfaktan dan yang tidak menunjukkan respon pada pemberian CPAP. Jika intubasi
diperlukan, posisi benar tube endotraakeal di ketahui dengan menggunakan alat yang mendeteksi
Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi mampu melanjutkan
perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap
sekitarnya.13,18
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 - 37 0 C) dengan
meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 - 80%). 1,3
Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah terjadinya hipotermia untuk
meningkatkan angka kehiudpan. Selain radiant warmer, menyelubungi bayi dengan plastik
polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi preterm.
2. Pemberian cairan dan nutrisi
Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan harus cukup
untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada
hari - hari pertama diberikan glukosa 5 - 10 % dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur
dan berat badan (60 - 125 ml / kgbb / hari). Asidosis metabolik pada penderita, harus segera
diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan
mempergunakan rumus: kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi.
Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 - 7,45.
Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah
basa yang diberikan sudah cukup adekuat.6,13
Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding dengan air susu dapat diinisiasikan
sesegera mungkin, dengan jumlah <20ml / kg / hari untuk membantu maturasi
dan meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan berat badan bayi dan
memperpendek waktu perawatan di rumah sakit.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial 02
diharapkan antara 50 - 70 mmHg. PaC02 antara 45 - 60 mmHg (permissive hypercapnia). pH
diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 - 92%
3. Pemberian oksigen
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir.
Pemberian 02 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti
fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia(BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental /
retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain - lain.1Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini,
pemberian 02 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.20
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:
Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk
mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 - 70 mmHg untuk distres pernafasan
ringan.
Jika Pa02 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen inspirasi
60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure)
terindikasi.1,3NCPAP merupakan metode ventilasi yang non - invasif. 3Penggunaan NCPAP
sedini mungkin (earlyNCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000
- 1500 gram) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps
alveoli.1Penggunaan humidified high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai
pengganti NCPAP sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki keefektivitasan
yang sama dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.17
2.9.5
Ventilator mekanik
berkesinambungan sehingga menurunkan resiko terjadinya trauma paru, dan menurunkan work of
breathing pasien. Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling sesuai untuk
menangani gagal nafas neonatus.22
Ventilator mekanis dibagi menjadi dua, yaitu: 23
1. Non invasif
Continuos positive airway pressure
berkesinambungan pada alveoli sepanjang siklus respirasi, memastikan alveolar terus inflasi dan
mencegahnya dari kolaps, terutama pada akhir ekspirasi.23 Dulu CPAP digunakan melalui selang
endotrakeal, tapi kini CPAP bisa diberikan
adalah menghasilkan pola pernafasan yang regular, terutama pada bayi preterm.24
CPAP terdiri atas tiga komponen, yaitu :
a. Sirkuit yang mensuplai gas inspirasi yang harus dalam keadaan hangat dan lembap secara
terus menerus.
b. Komponen yang menghubungkan komponen pertama dengan jalan nafas bayi. Yang sering
digunakan sekarang adalah selang binasal.
c. Komponen terakhir adalah alat yang menghasilkan tekanan positif.23
Gambar.16. CPAP
2. Invasif
Dibagi menjadi dua yaitu:
a. Konvensional
I. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di mana ventilator mekanis
memberikan nafas mekanis pada bayi, dimana ada interval regularnya. Ini membolehkan
bayi bernafas spontan antara dua jarak nafas buatan. Kekurangannya adalah bayi sering
bernafas tidak teratur dengan penggunaan IMV. Pertukaran gas sangat bervariasi pada IMV,
tergantung kondisi bayi bernafas dengan atau melawan ventilator. Selain menyebabkan
tidak effisiensinya proses pertukaran gas tapi juga bisa mengakibatkan terperangkapnya
udara.
II. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)
Ini adalah perbaikan dari IMV. Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan berdasarkan
onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window. Contohnya, jika kadar SIMV
berdasarkan frekuensi nafas 30 kali / menit, siklus ventilator akan terjadi setiap 2 detik.
Pada setiap kali ventilator seharusnya memulai nafas buatan, ia akan menunggu nafas
spontan terlebih dahulu, jika nafas spontan didapatkan dalam timing window
Gambar.17 Ventilator
III. Assist / Control Ventilation (A / C)
Pada A / C semua nafas spontan yang melebihi ambang batas akan menghasilkan nafas
buatan pada onset inspirasi (assist / membantu). Jika terjadi henti nafas atau ketidak
mampuan paru dalam menghasilkan nafas spontan maka nafas buatan akan diberikan
dengan kadar yang ditetapkan oleh tenaga medis (kontrol).2223
b. Non Konvensional
Disebut juga dengan High-Frequency Ventilation(HFV), yaitu ventilator non - tidal dimana
volume pemberian gas lebih rendah dari anatomic dead space dan diberikan dengan kadar yang
sangat cepat. Terdiri atas dua jenis yaitu high - frequency jet ventilationdan high - frequency
oscillatory ventilation.23Keuntungan dari penggunaan HFV adalah pemberian volume gas yang
rendah pada kadar yang cepat menghasilkan tekanan alveolar yang lebih rendah dan
menurunkan resiko terjadinya trauma paru akibat pemberian volume dan tekanan yang eksesif.
Pada ventilator konvensional, jantung dapat mengkompensasi dengan pengisian cepat saat
tekanan intrathoraks berada pada nilai paling rendah (PEEP). Pada HFV, tekanan nafas rata rata meningkat oleh itu, aliran balik vena menurun sehingga jantung harus bekerja lebih kuat
untuk menigkatkan volume inputnya.22
I. High frequency j et ventil ati on (HF JV)
Menggunakan injector jet yang diletakan di proksimal atau distal trakea, dimana gas
bervolume rendah dan kadar cepat diberikan melalui alat ini. Dengan HFJV, ekshalasi pasif
dapat terjadi dengan bantuan dari elastisitas recoil paru bayi itu sendiri.
II. High frequency oscillatory ventilation (HFOV)
Menggunakan piston atau diafragma untuk mengalirkan gas keluar dan masuk paru melalui
jalan nafas sehingga menghasilkan ekspirasi aktif. Dengan HFOV, tekanan yang diberikan
akan mengembangkan paru, menurunkan ketidakseimbangan perfusi - ventilasi, dan
meningkatkan luas permukaan alveolar untuk pertukaran gas.23
2.9.6
Terapi Surfaktan
Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Dapat digunakan sebagai
pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan resiko HMD, untuk mengurangi resiko timbulnya
pneumotoraks dan timbulnya kematian.
Pemberian surfaktan profilaksis versus surfaktan rescue
Surfaktan profilaksis, atau preventif merupakan pemberian surfaktan secara intratrakeal
pada bayi dengan risiko tinggi untuk terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini dalam 10 - 30
menit setelah kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu, rescue dini yaitu
pemberian surfaktan dalam 1 - 2 jam setelah kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian lebih
dari 2 jam setelah kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu memberikan
perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis dan rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang
diterapi dengan surfaktan profilaksis terbukti memiliki insidensi yang lebih rendah dalam
terjadinya sindrom gawat nafas.20,25 Dosis Surfaktan
Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL / kgbb intratrakea (masing
masing 1mL / kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan
kanan), terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing - masing H dosis
total atau 1 ml/kg). Dosis total 4ml / kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam
pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara pemberian. Bayi tidak perlu
dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan
menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi
obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa
perdarahan dan infeksi paru.25
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan untuk neonates dengan
sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan sintetik (protein - free) dan natural (diambil dari paru
hewan). Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary air leaks
dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di Eropa.122025
Pada penelitian dengan pemilihan sampel random, didapatkan bahwa pemberian 2 dosis
surfaktan memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis tunggal dan pada studi lain
mendapatkan bahwa pemberian 3 dosis dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal dapat
menurunkan mortalitas (13% vs 21%) dan pulmonary air leaks ( 9% vs 18%). Terapi surfaktan
selama lebih dari beberapa hari pertama kehidupan bayi memberikan respons langsung dan tidak
terbukti adanya perbedaan pada efek jangka panjang. 20
Generik
Name
Trade
Name
Bovactanat
BLES
Source
Manufacturer
Alveofact Bovine
Lyomark (Germany)
50 (1,2 ml / kg)
BLES
BLES Biochemicals
(Canada)
135 (5 ml / kg)
Bovine
Poractant alfa Curosurf Porcine Chiesi Farmaceutici 100 - 200 (1,25-2,5 ml / kg)
(Italy)
Colfosceril
palmitate
Exosurf
Synthetic
GlaxoSmithKline
(USA)
64 (5ml / kg)
Calfactant
Infasurf
Bovine
Surfactant
Preparation
Initial
Dose
Phospholipid
Dosing
Interval
Maximum
Dose
Surfactant
Protein B
Surfanta
4 ml/kg
25 mg/ml
6 jam
Trace
Infasurf
3 ml/kg
35 mg/ml
12 jam
0,26 mg/ml
80 mg/ml
12 jam
0,3 mg/ml
Corosurf
2,5 ml/kg
(Italy)
Toleransi penigkatan PaCO2Sselama pelepasan alat atau weaning, telah dicobakan untuk
memfasilitasi extubasi lebih awal. Toleransi hiperkapnia sedang dan asidosis respiratorik dalam
usaha untuk menurunkan duarsi pemakaian ventilator. Pada sebuah penelitian di Canada,
implementasi protocol weaning dapat mempercepat extubasi pertama dan menurkan jangka waktu
penggunaan ventilator. Protokol tersebut merekomendasi toleransi pH 7,22 pada lima hari pertama
dan diturunkan lagi menjadi 7,20 setelah itu.20
Aggressive Weaning
Setelah bayi distabilkan dengan ventilator, bayi dengan HMD akan dilepaskan dari ventilator secara
agressif agar extubasi dapat dilakukan dengan aman dan hasil analisa gas darah setelah extubasi
dalam batas normal. Extubasi mungkin berhasil dengan tekanan saluran nafas rata-rata 6-7cmH20
dengan ventilator konvensional dan tekanan 8-9cmH20 pada HFOV. Menjaga bayi premature agar
tetap stabil pada tekanan rendah di ventilator untuk jangka waktu yang lama tidak meningkatkan
kemungkinan keberhasilan extubasi.20,22
2.9.8
Pemberian antibiotika.
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan
ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3mg / kgBB untuk bayi dengan berat
lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.2
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena itu, dianjurkan
semua bayi dengan sindroma distress pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan mencari tanda tanda sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif Regimen yang sering
dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan aminoglikosida, namun setiap
rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan profil pathogen yang ditemukan di
daerahnya.6,20
Tatalaksana dan pencegahan duktus arteriosus persisten (PDA)
Insiden PDA tinggi pada bayi premature dan sering menimbulkan masalah dalam penanganan
HMD. Pemberian indomethacin profilaksis dapat menurunkan resiko terjadinya PDA.
(Italy)
Indomethacin atau ibuprofen dapat digunakan untuk menstimulasi penutupan duktus arteriosus.
Tanda PDA adalah hipotensi( terutama tekanan darah diastolic yang amat rendah).20
sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes
melitus. Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun
2001, dari 41 bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7
bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu
menunjukan prevalensi HMD pada bayi preterm sebesar 17%.
Faktor Predisposisi dari HMD diantaranya: prematuritas, jenis kelamin, ras,
sectio secaria, APGAR skor, ibu dengan diabetes mellitus, hipotiroid. Bayi dengan
HMD biasanya disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi
pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak 6 - 8 jam pertama
setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 - 72 jam.
Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama. Gangguan
pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang
menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau
hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi
interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan
gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat),
hipotensi, kardiomegali, pitting edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki,
hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi
komplikasi. Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD
adalah Silverman - Anderson score atau downes score.
Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis HMD ini adalah:
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan biokimia (rasio lesitin dan sfingomielin), shake
test, fungsi respirasi dan fungsi kardiovaskuler. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Prinsip tatalaksana dari HMD meliputi perawatan antenatal, pemberian
kortikosteroid pada ibu hamil yang berisiko melahirkan bayi prematur, stabilisasi kamar
bersalin, penatalaksanaan umum (lingkungan yang optimal, cairan dan nutrisi, oksigen),
ventilator (non- invasif, invasif), serta pemberian terapi surfactan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas Pada
Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991,
hal. 1-7. 55. 6566.
2. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 591-599.
3. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
4. Schraufnagel D E Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope. American
Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205.
5. Smith J H. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett Publishers.
2009. Chapter 2, 37-52
6. Gommela. T.L, Cunningham.M.D, Eyal. F.G, Neonatology management, procedur,
on- call problems, disease, and drugs.Edisi 6. Lange. chapter 89 : Hyalin membran
disease. 2004. 477-481.
7. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and ArisPrimaldi. The
prevalence of hyaline membrane disease and the value of shake test and lamellar
body concentration in preterm infants. Paediatrica Indonesiana. 2003. Volume 43
No. 5-6:77-81
8. Rennie. J, Roberton. N, Textbook of neonatology. Edisi 3.Part 2: Acute Respiratory
Disease In The Newborn. UK. 1999. hal. 481-514
9. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-Reda.Respiratory
distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate medical journal. Vol.6, No. 3,
2007
10. A.L.Baert, M. Knauth, K.Sarter.Radiological imaging of the neonatal chest. 2007.
Chapter 4: Hyalin membran disease and complication of its treatment. 67-79.
11. Christian P. Speer. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: An Inflammatory
Disease. Neonatology 2011;99;316-319
12. Zimmerman L. J.I, Janssen D.J.M.T, Tibboel D.,Hamvas A., Carnielli V.P.
Surfactant metabolism in the neonate. 2005. Biology of the neonate 2005;87:296307
13. Latief Abdul, Napitupulu Partogi, Pudjiadi Antonius, Ghazali Vinci Muhammad,
Putra Tulus Sukman. Penyakit membran hialin. Buku Ilmu Kesehatan Anak jilid 3
FKUI. 1083-1087
14. Sandra Lee Gardner ,Brian S. Carter ,Mary I Enzman-Hines RN PhD AHN-BC ,Jacinto
A. Hernandez. Merenstein & Gardner's Handbook of Neonatal Intensive Care. The
Regents of the University of California. 2004. 79-80.
15. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col M. Kanitkar. Management of respiratory
distress in the newborn. MJAFI 2007; 63 : 269-272
16. Arun
Beaumont.T.
Management
of
neonatal
respiratory
distress