Anda di halaman 1dari 35

egawatdaruratan Pada Kulit

Sabtu, 28 Maret 2009 di 07.06 0 komentar


Tweet

Suka

Jadilah orang pertama di antara teman-teman


yang menyukai ini.

PENDAHULUAN
Kegawat daruratan medik dapat terjadi pada
seseorang maupun sekelompok orang pada setiap
saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa
serangan penyakit secara mendadak, kecelakaan
atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan
pertolongan
segera
yang
dapat
berupa
pertolongan pertama sampai pada pertolongan
selanjutnya secara mantap di rumah sakit.
Tindakan
tersebut
dimaksudkan
untuk
menyelamatkan jiwa mencegah dan membatasi
cacat
serta
meringankan
penderitaan
dari
penderita
Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan
ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana
yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian
yang sempurna.
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh
orang-orang di sekitar korban. Diantaranya akan
menghubungi petugas kesehatan atau dokter
terdekat. Tidak jarang bahwa anggota Hansip,
polisi dan pemadam kebakaran terlibat dalam hal
ini. Pertolongan ini harus diberikan secara tepat
sebab penanganan yang salah justeru dapat
berakibat kematian atau cacat tubuh.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit
yang dianggap sebagai suatu kasus kegawat
daruratan.
Dimana
kasus-kasus
tersebut
membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat
agar tidak menimbulkan kecacatan sampai

kematian.
MACAM-MACAM
PENYAKIT KULIT

KEGAWAT

DARURATAN

PADA

Di klinik tidak jarang kita menemukan kasus-kasus


emergensi yang memerlukan penanganan segera
dan tepat. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Toxic Epidermal Nekrolisis
2. Steven Johnson Syndrome
3. Erythema Multiforme
4. Erythroderma
5. Angioedema
6. Reversal reaction
7. Erythema Nodosum Leprosum
8. Pemfigus Vulgaris
9. Purpura-Vaskulitis
10. Staphylococcus Scaled Skin Syndrome
1. Nekrolisis Epidermal Toxik
Definisi
Alan Lyell* mendeskripsikan nekrolisis epidermal
toksik sebagai suatu erupsi yang menyerupai luka
bakar pada kulit.18,19 Nekrolisis epidermal toksik
adalah
kelainan
kulit
yang
memerlukan
penanganan
segera
yang
paling
banyak
disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu,
etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan
vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini.
Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang
paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema
multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua
kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit
yang menyebar luas, dan terutama pada badan
dan wajah yang melibatkan satu atau lebih
membran mukosa.18

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya nekrolisis epidermal toksik
belum jelas, namun, dipercaya bahwa fenomena
immun kompleks yang bertanggung jawab. Salah
satu teori menyatakan akumulasi metabolit obat
pada epidermis secara genetik dipengaruhi oleh
proses imunologi setiap individu. Limfosit T CD8+
dan makrofag mengaktifkan proses inflamasi yang
menyebabkan apoptosis sel epidermis.18
Gejala klinik
Pasien
mungkin
menampakkan
gejala-gejala
prodromal 2-3 hari seperti malaise, rash, demam,
batuk, arthralgia, mialgia, rhinitis, headache,
anorexia, serta mual dan muntah, dengan atau
tanpa diare. Gejala dan tanda prodromal lainnya
yang dapat berkembang seperti konjungtivitis
(32%), faringitis (25%), dan pruritus (28%). Pada
fase akut (8-12 hari) terjadi demam yang persisten,
pengelupasan epidermis, dan terlibatnya membran
mukosa.
Komplikasi
berupa
stomatitis
san
mukositis, nyeri pada saat menelan sehingga
pasien beresiko tinggi untuk terjadinya dehidrasi
dan malnutrisi. Konjungtiva biasanya terlibat 1-3
hari sebelum munculnya lesi kulit. Erosi mukosa
pipi, hidung, faring, dan trakeobronkial dapat
terjadi. Erosi juga dapat terjadi pada esofagus,
perineum, vagina, uretra serta mukosa usus.19
Tanda vital pasien dapat didapatkan hiperpireksia,
hipotensi sekunder sampai hipovolemia dan
takikardi. Pada pameriksaan kulit didapatkan:
Lesi kulit dimulai dengan nyeri/rasa terbakar,
panas, eritematous, macula morbiliform secara
simetris pada wajah dan dada sebelum menyebar
ke seluruh badan.
Nikolsky sign positif

Krusta hemoragik pada bibir


Konjungtivitis umumnya ditemukan sebelum
terjadi pengelupasan epidermis.
Pneumonia merupakan komplikasi yang paling
berat dan merupakan kegagalan nafas akut dan
membutuhkan intubasi.19
Gambar 1. krusta hemoragik membrane mukosa
pada TEN
Gambaran Histopatologi
Secara histologi, terdapat penebalan nekrosis
epidermis dengan tanda inflamasi dermis atau
epidermis.
Bisa
terdapat
pelepasan
dan
pengelupasan epidermis. Nekrosis sel satelit dapat
terlihat, sampai nekrosis eosinofil secara luas.19
Pemeriksaan dan Tes
Tes-tes laboratorium hanya bisa membantu dalam
menentukan terapi simptomatik atau suportif.
Pemeriksaan radiologi tidak spesifik namun foto
thoraks dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
inflamasi
trakeobronkial
yang
menyebabkan
pneumonia.18

Terapi
Perawatan kegawatdaruratan: unit gawatdarurat
harus mencegah kehilangan cairan dan elektrolit
dan mencegah infeksi sekunder. Pemberian cairan
dan elektrolit secara agresif, mengatasi nyeri, dan
perawatan kulit dengan teliti merupakan tindakan
yang sangat penting. Pasien dengan lesi kulit yang
luas memerlukan kamar isolasi dan lingkungan
yang steril.18
Daerah erosi pada kulit harus di lindungi dengan

pakaian pelindung nonadherent seperti petroleum


gauze
Distress pernapasan bisa mengakibatkan
pengelupasan dan edema dan membutuhkan
intubasi endotrakeal dan ventilasi.18
Cairan dan elektrolit harus dimonitor. Menjaga
keseimbangan cairan dan basa titrat dengan
tekanan vena sentral dan output urine. Sekitar 3-4
L dibutuhkan pada pasien dengan 50 % area kulit
terlibat. Nutirsi secara parentral atau secara
enteral
via
selang
nasogastrik
biasanya
dibutuhkan. Nutrisi enteral secara awal dan kontinu
mengurangi risiko stress ulcers, mengurangi
translokasi bakteri dan infeksi enterogenik.19
2. Sindrom Stevens-Johnson
Definisi
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada
1922 oleh dua dokter, dr. biasanyaStevens

dan dr.
Johnson, sindrom Stevens-Johnson, disingkatkan
sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa.
Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang
disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik ( toxic
epidermal necrolysis/TEN). Ada juga bentuk yang
lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme
(EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai eritema
multiforme mayor.20
Patofisiologi
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh
pembentukan sirkulasi kompleks imun yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan

keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak


didapatkan adanya penyebab yang spesifik.20
Gejala klinik
Secara tipikal, penyakit ini dimulai dengan infeksi
saluran pernapasan atas yang nonspesifik. Hal ini
merupakan bagian dari gejala prodromal yang
berlangsung selama 1-14 hari yaitu demam,
radang tenggorokan, sakit kepala, dan malaise.
Muntah dan diare kadang merupakan gejala
prodromal. Lesi mukokutaneus berkembang secara
tiba-tiba. Lesinya bersifat nonpruritus. Riwayat
demam bisa terjadi akibat terkena infeksi, namun
demam telah dilaporkan terjadi pada lebih 85%
kasus. Keterlibatan membrane mukosa oral bisa
membuat pasien mengalami kesulitan dalam
makan dan minum. Pasien yang mempunyai
keterlibatan
dalam
genitourinary
bisa
mengeluhkan disuria. Gejala tipikal tersebut diatas
diikuti dengan batuk produktif dengan sputum
purulen tebal, sakit kepala, mialgia dan artralgia.
Rash dimulai dengan macula yang berkembang
menjadi papul, vesikel, bulla, plak urtikaria, atau
eritema yang konfluen.20
Penyebab SJS berupa:
Obat-obatan dan keganasan merupakan etiologi
pada dewasa dan orang tua.
Pada kasus anak proses infeksi merupakan
penyebab yang etrsering dibandingkan keganasan
atau reaksi obat.
Obat-obatan seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin
telah diketahui sebagai penyebab pada dua pertiga
pasien dengan SSJ.
Lebih setengah pasien dengan SSJ melaporkan
infeksi saluran napas bagian atas
Keempat kategori etiologi adalah (1)infeksi,
(2)obat-obatab, (3)keganasan, dan (4)idiopatik.20

Pemeriksaan laboratorium:
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang
dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel
darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik.
Peningkatan
jumlah
leukosit
kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi
bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik
tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat.
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
Adanya nekrosis sel epidermis
Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular.20
Penatalaksanaan:

Perawatan
prehospital:
paramedis
harus
mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan
berat dan mesti diterapi sebagai pasien SJS sama
dengan pasien luka bakar.
Perawatan gawatdarurat:
Perawatan gawatdarurat harus diberikan
penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian
khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan
kontrol nyeri.
Penatalaksanaan SJS bersifat simtomatik dan
suportif. Mengobati lesi pada mulut dangan
mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk
mengurangi rasa nyeri. daerah yang mengalami
pengelupasan harus dilindungi dengan kompres
salin atau burrow solution
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder
perlu diidentifikasi dan diterapi. Obat penyebab
harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih


kontroversial.
Gambar 2. Sindrom Stevens-Johnson (lesi vesikobulosa)
3. Erythema Multiforme
Definisi
Eryhtema multiforme merupakan suatu penyakit
akut dan merupakan penyakit kulit yang selflimiting dan merupakan erupsi kulit yang
meradang. Bercak kemerahan terbentuk dari
bintik-bintik merah di kulit, yang kadang-kadang
tampak keunguan atau berisi cairan di tengahnya.
Ia juga biasanya mengenai daerah mulut, mata
dan permukaan-permukaan lain yang lembab.
Dinamakan
erythema
multiforme
karena
munculnya variasi bentuk multiforme dengan
derajat tinggi dalam presentasi klinisnya. Variasi ini
menyebabkan erythema multiforme ini dibagi
menjadi dua kelompok yang saling tumpang tindih
yaitu eritema multiforme minor dan eritema
multiforme mayor atau lebih dikenali dengan
Stevens-Johnsons syndrome.2
Epidemiologi
Eritema multiforme secara predominan diteliti
pada dewasa muda dan sangat jarang pada anakanak. Biasanya lebih mengenai pada pria tanpa
mempedulikan ras dan warna kulit.2Peneliti lain
menganggap eritema multiforme ini merupakan
penyakit yang biasa pada ahli kulit. Dari penelitian
mereka
mendapatkan
separuh
dari
kasus
mengenai golongan muda (di bawah 20 tahun).
Jarang didapatkan mengenai anak-anak di bawah 3

tahun dan mereka yang berusia di atas 50 tahun.


Laki-laki biasanya lebih banyak mengenai eritema
multiforme berbanding wanita tanpa ada predileksi
ras. Sepertiga dari eritema multiforme kambuh
sementara musim biasanya mempengaruhi.2,4
Patofisiologi dan Penyebab
Patofisiologi penyakit ini belum terlalu dimengerti
tetapi muncul pendapat yang mengatakan
penyakit ini melibatkan reaksi hipersensitivitas
yang memicu berbagai stimulus, biasanya bakteri,
virus atau produk-produk kimia.
Penelitian prospektif internasional yang terbaru
menunjukkan penyebab mayor dari eritema
multiforme ini adalah virus herpes. 4 Virus herpes
yang paling sering menyerang adalah virus HSV I
dan II. Tercatat serangan herpes labialis pada
penyakit ini diperkirakan sebesar 50%. Herpes
labialis biasanya menyerang pada lesi kutan
(cutaneous lesion), muncul secara simultan dan
juga muncul setelah lesi target erythema
multiforme muncul. Herpes labialis menyerang lesi
target pada erythema multiforme dalam waktu 314 hari. Dilaporkan kebanyakan kasus pada anakanak dan dewasa muda disebabkan oleh virus HSV
tipe I, tetapi ada juga yang mengatakan golongan
ini masih bisa terkena erytheme multiforme akibat
serangan virus HSV tipe II. Selain virys herpes
(HSV), erythema multiforme bisa disebabkan oleh
orf, Histoplasma capsulatum, dan virus EpsteinBarr.2
Gambaran Klinis
1. Gambaran histopatologik
Gambaran histopatologik berupa infiltrate limfosit
dermal-epidermal junction dan sekitar pembuluh
darah dermal, dermal edema, nekrosis keratinosit

epidermal, dan pembentukan bulla subepidermal.


Penelitian histology dan immunokimia mendapati
pada erytheme multiforme mempunyai densitas
tinggi pada infiltrate sel yang kaya dengan limfositT. 4
2. Kriteria diagnostik
Kriteria diagnostik untuk erythema multiforme
ialah adanya lesi target pada kulit yang
diameternya kurang dari 3 cm, mengenai kurang
dari 20% permukaan tubuh, dengan penglibatan
minimal dari membrane mukosa yang biasanya
bisa dilihat lewat biopsi. Lesi kutaneus secara
tipikal
adalah
simetrik,
dan
melibatkan
ekstremitas, yang biasanya predileksinya pada
tangan bagian dorsal dan ekstensor.4
Dari penelitian, hamper kesemua lesi muncul
dalam waktu 24 jam dan muncul sempurna setelah
72 jam. Di dapatkan juga gatal dan rasa terbakar
yang muncul diantara lesi-lesi. Lesi primer
biasanya berbentuk bundar, papul kemerahan
yang biasanya menetap dikulit selama 7 hari atau
lebih. Beberapa papul-papul kemerahan ini
biasanya berubah menjadi lesi target.
Lesi target berupa perubahan warna zona
konsentrik,
dengan
tengahnya
yang
agak
kehitaman atau zona keunguan dengan zona
kemerahan di bagian luarnya. Lesi target selalunya
membentuk vesikel atau krusta di zona tengah
selepas beberapa hari. Beberapa lesi mempunyai
tiga zona yang berbeda warna dengan pinggir
kemerahan, putih di tengah dan hitam di bagian
yang paling dalam. Kadangkala, ia membentuk lesi
iris karena terdapat gambaran seperti pelangi
(rainbow-like appearance).2

Gambar3. erythema multiforme


4. Erythroderma
Definisi
Erythroderma dan dermatitis exfoliative biasanya
dipakai untuk menjelaskan penyakit yang sama
dalam literatur. Terma sebelumnya menjelaskan
eryhtroderma sebagai dilatasi yang menyebar dari
penbuluh darah kutaneus. Apabila proses inflamasi
disertai dengan erythroderma secara substantial
akan meningkatkan proliferasi sel epidermal dan
mengurangi waktu transitsel epidermal melalui
epidermis yang bisa menimbulkan sisik bertanda. 1
Istilah red man syndrome biasanya digunakan
pada dermatitis exfoliatif yang idiopatik yang mana
tidak ditemukan penyebab primer walaupun telah
menjalani beberapa serial pemeriksaan dan tes.
Erythroderma idiopatik ini ditandai dengan
keratoderma
palmoplantar,
limfadenopati
dermatopati dan peningkatan kadar serum
immunoglobulin E (IgE). Istilah Ihomme rouge
merujuk
kepada
dermatitis
exfoliatif
yang
merupakan limfoma sel-T sekunder.3
Epidemiologi
Pada orang dewasa, penyakit kulit dini, beberapa
keganasan atau malignancy dan allergi obatobatan bisa menyebabkan erythroderma, namun
pada variabel, beberapa pasien mengalami
erythroderma
tanpa
penyebab
yang
jelas
(Abrahams et al, 1963; Nicolis dan Helwig, 1973;
Sehgal dan Srivastava, 1986; Thestrup-Padersen et
al, 1988). Kecuali apabila kondisi ini menyangkut
atau disebabkan oleh dermatitis atopik, dermatitis
seborrhoeic, atau ichtyosis herediter, erythroderma
biasanya muncul selepas usia 40 tahun. Laki-laki
dikatakan berpotensi untuk terkena erythroderma

dua kali lipat berbanding wanita.1


Etiologi
Erythroderma bisa muncul akibat berbagai
penyebab, yang paling sering lanjutan dari tahap
dini suatu gangguan kulit. Eryhtroderma juga bisa
disebabkan oleh suatu efek samping dari reaksi
obat-obatan. Walaubagaimanapun, sebanyak 30%
dari semua kasus erythroderma yang dilaporkan,
tidak ada panyebab yang jelas ditemukan.
Iniuyang dinamakan erythroderma idiopatik.
Penyebab-penyebab yang paling sering ditemukan
pada tahap awal suatu gangguan kulit yang
menyebabkan erythroderma ialah:
Dermatitis terutama dermatitis atopik, dermatiti
kontak (allergi atau iritan) dan dermatitis stasis
(gravitational eczema) dan pada bayi, dermatitis
seborrhoiec.
Psoriasis
Pityriasis rubra pilaris
Penyakit-penyakit blister termasuk pemphigug
dan pemphigoid bullosa.
Limfoma sel-T kutaneus (Sezary Syndrome)
Erythroderma juga bisa merupakan simtom atau
gejala dari penyakit sistemik seperti:
Kaganasan interna seperti karsinoma rektum,
paru-paru, tuba fallopi, kolon.
Keganasan hematologi seperti limfoma dan
leukaemia.
Penyakit Graft vs Host
Infeksi HIV.7
Patofisiologi
Peningkatan perfusi darah kulit mundul pada
erythroderma yang menyebabkan disregulasi
temperatur (menyebabkan kehilangan pabas dan
hipotermia) dan kegagalan output jantung. Kadar

metabolik basal meningkat sebagai kompensasi


dari kehilangan suhu tubuh.3
Epidermis yang matur secara cepat kegagalan kulit
untuk menghasilkan barier permeabilitas efektif di
stratum korneum. Ini akn menyebabkan kehilangan
cairan transepidermal yang berlebihan. Normalnya
kehilangan caira dari kulit diperkirakan 400 ml
setiap hari dengan dua pertiga dari hilangnya
cairan ini dari proses transpirasi epidermis
manakala sepertiga lagi dari perspirasi basal.
Kekurangan
barier
pada
erythroderma
ini
menyebabkan peningkatan kehilangan cairan
ekstrarenal. Kehilangan cairan transepidermal
sangat tinggi ketika proses pembentukan sisik
(scaling) memuncak dan menurun 5-6 hari
sebelum sisik menghancur.1
Hilangnya sisik eksfoliatif yang bisa mencapai 2030g/hr
memicu
kepada
timbul
keadaan
hipoalbuminemia yang biasa dijumpai pada
dermatitis exfoliative. Hipoalbuminemia muncul
akibat menurunnya sintesis atau meningkatnya
metabolisme albumin. Edema biasanya paling
sering ditemukan, biasanya akibat peralihan cairan
ke ekstrasel. Respon imun mungkin bisa berubah,
seiring adanya peningkatan gamma-globulins,
peningkatan serum IgE pada beberapa kasus, dan
CD4+ sel-T limfositopenia pada infeksi HIV.3
Gambaran Klinis
1. Gambaran histologis
a) Penyakit kutaneus tahap awal (pre-existing
cutaneuous disease)
Psoriasis mempunyai spongiosis minimal dengan
infiltrate neutrofil dan limfosit pada dermal, tetapi
bukan eosinofil atau sel plasma. Mikroabses Munro
di
epidermis,
menyebabkan
parakeratosis,
penipisan epidermis suprapapillary dan edema dari
papillae dermal disertai dilatasi kapiler papilari.

b) Penyakit sistemik
Allergi obat-obatan bisa memaparkan eosinofil
diantara infiltrate eosinofil. Mikosis fungoides /
Sezary syndrome bisa membentuk gambaran
infiltrat seperti monotonous band (monotonous
band-like infiltrate), terdiri dari sel mononuclear
cerebriform
yang
besar,
sepanjang
dermoepidermal junction atau sekitar pembuluh
darah di dalam dermis papillary, epidermitropism
tanpa spongiosis dan mikroabses Pautrier tanpa
epidermis (Sentis et al, 1986)*
c) Idiopatik
Specimen
histologik
tidak
spesifik,
walau
bagaimanapun, ulangan biopsy bisa menunjukkan
bukti dari mikosis fungiodes.
2. Gambaran klinik
Erythroderma biasanya muncul pada mereka yang
berusia diatas 40 tahun. Biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki berbanding wanita. Ia bisa
berlaki sangat cepat. Gejala dan simtom
erythroderma termasuklah:7
Kemerahan kulit ganeral (erythema) dam
pembengkakan yang meliputi 90% atau lebih dari
seluruh permukaan kulit.
Serous ooze, hasil dari pakaian yang melekat di
kulit dan bau yang tidak menyenangkan.
Penyisikan 2-6 hari selepas onset erythema,
seperti empingan yang besar.
Berbagai derajat kegatalan yang kadang-kala
tidak bisa di toleransi.
Penebalan sisik pada kepala dengan berbagai
derajat keguguran rambut termasuk kebotakan
total.

Penebalan
telapak
tangan
dan
kaki
(keratoderma)
Pembengkakan kelopak mata bisa menyebabkan
ectropion ( permukaan dalam kelopak mata bawah

terpapar keluar)
Kuku menjadi pecah dan menebal bahkan sampai
tercabut.
Erythroderma yang lama bisa menyebabkan
perubahan pigmen (bercak coklat dan / atau putih
pada kulit)
Infeksi sekunder bisa menyebabkan munculnya
pustul dan krusta
Pembesaran kelenjar limfe (lifadenopati)
Kontrol temperatur yang abnormal yang
mengakibatkan demam dan menggigil atau
hipotermia
Meningkatkan denyut jantung sebagai akibat dari
gagal jantung yang tidak ditangani atau kasuskasus berat yang biasanya terjadi pada orang tua.
Kadar elektrolit yang abnormal serta dehidrasi
akibat kehilangan cairan lewat kulit.
Kadar serum albumin yang rendah akibat
kehilangan protein dan peningkatan kadar
metabolik.

Gambar 4. Erytroderma
5. Angioedema
Definisi
Angioedema dan urtikaria memberikan manifestasi
yang berbeda dengan proses patologi yang
sama.Kedua-dua kondisi menunjukkan terdapat
kebocoran cairan dan edema pada hasil
postcap.Walaubagaimanapun,angioedema
melibatkan pembuluh darah pada superficial
dermis di lapisan kulit.Hasil ini menunjukkan
gambaran klinis yang berbeda.Respon diatas

diperantarai
oleh
histamine,serotonin
dan
kinin(contohnya;bradikinin) yang menyebabkan
dilatasi arteriol dimana junction diantara sel
endotel
longgar
dari
kapilari
dan
arteriol.10Angioedema muncul sebagai gambaran
klinis dari mekanisme imunologi dan inflamasi atau
bisa juga idiopatik.Angioedema bisa muncul
selepas terjadi reaksi IgE- atau IgE reseptor dengan
disertai abnormality sistem komplemen dan sistem
efektor plasma setelah degranulasi mast sel dan
berhubung dengan aktivasi asam arakidonat
seluler pada metabolic pathways .11Angioedema
adalah penyakit biasa dimana tergantung kepada
faktor
usia,bangsa,sex,pekerjaan
dan
lokasi
geografi serta musim,angioedema bisa mungkin
menjadi proses akut jika kurang dari 6
minggu.Angioedema dengan urtikaria atau tidak
diklasifikasikan kepada alergik,hereditary atau
idiopatik.11
Gambaran Klinik
Edema pada muka,extremitas,mungkin sedikit
nyeri
tanpa
pruritus,bisa
terjadi
beberapa
hari.Melibatkan
juga
bibir,dagu,area
periorbital,lidah dan laring.11
Angioedema bisa juga pada system organ vital
contohnya traktus respiratorius.12
Pembengkakan superficial dermis dengan wheals
yang ditandai dengan warna pink dan pruritus
dimana area angioderma sering pucat dan nyeri.13
Penatalaksanaan
a) Penjagaan prehospital
Menjaga jalan nafas
Intubasi nasofaringeal
Steroids epeniferin subcutaneous
b) Emergency department care

Menjaga jalan nafas


Intubasi nasofaringeal
Steroids epeniferin subcutaneous
Angioedema kronik merespon baik pada steroids
dan H2 blockers.
Angioedema herediter lebih melawan kepada
penggunaan
epineferin
subcutaneous,antihistamin dan steroid.
Stanozolol,anabolic
steroid,danazol,inhibitor
gonadotropin.

Asam
aminocaproic
untuk
seimbangkan
pregantian
C11NH
untuk
mengelakkan
serangan.Fresh frozen plasma mungkin bisa
digunakan untuk sementara.
c) Konsultasi
Ahli imunologi bisa bertemu dengan penderita
yang tidak diketahui history angioedemanya.
Pada penderita dengan tipe heriditer follow up
dengan ahli imunologis sangat penting.
Gambar 5.Angioedema;bengkak pada bibir
6. Reaksi reversal
Reaksi tipe 1 menampakkan bertambahnya respon
kompleks imun terhadap m. leprae, dan pada
umumnya terjadi setelah dimulainya terapi. Bila
reaksi terjadi dengan antibiotic kemoterapi, maka
disebut reaksi reversal, dan bila terjadi pada tipe
borderline dan lepromatous (downgrading), maka
disebut reaksi downgrading.17
Reaksi tipe 1 secara klinik menunjukkan adanya
inflamasi dari lesi. Tidak terdapat gejala sistemik
(seperti
demam,
ataupun
artralgia).
Lesi
membengkak, menjadi eritema dan kadang nyeri
menyebabkan selulitis. Pada kasus berat, ulserasi
bisa terjadi. Komplikasi yang berat dari reaksi tipe

1 adalah kerusakan saraf. 17


Reaksi ini juga bisa terjadi setelah kemoterapi tapi
berbeda dengan ENL. Masa onset lebih lambat
daripada ENL (beberapa minggu sampai bulan),
dan bisa terjadi selama berbulan-bulan jika tidak di
obati dengan cepat. 17
Sebagai inflamasi mediasi sel menyerang antigen
m.leprae, adanya infeksi maka dapat merusak
kompartmen jaringan. Karena basil ke saraf, maka
gejala saraf sserinf didapatkan. Reaksi reversal
yang terjadi pada saraf mungkin menyebabkan
kehilangan fungsi saraf secara tiba-tiba dan
kerusakan permanent saraf tersebut. Hal ini
menyebabkan reaksi tipe 1 merupakan kasus
emergensi.
Secara
histology,
lesi
kulit
menampakkan edema perivaskular dan perineural
serta banyaknya jumlah limfosit. Pada kasus yang
hebat mungkin terdapat nekrosis jaringan.17
Meskipun reaksi muncul setelah diberikan obat
antileprosi, namun tidak dibenarkan untuk
menghentikan obat tersebut karena terjadinya
reaksi. Pada reaksi ringan, tanpa komplikasi
neurology atau gejala sistemik berat, terapi hanya
bersifat suportif. Tirah baring dan pemberian
aspirin atau agen anti inflamasi steroid bisa
digunakan.17
Reaksi
tipe
1
biasanya
diterapi
dengan
kortikosteroid sistemik. Prednisone diberikan
peroral, dimulai dengan dosis 40-60 mg/hari.
Neuritis dan luka pada mata merupakan indikasi
penting untuk terapi steroid sistemik. Abses pada
saraf mungkin butuh pembedahan segera untuk
melindungi fungsi saraf. Saat reaksi terkontrol
prednisone perlu di tapering pelrlahan. Clofazimine
menunjukkan efek perlawanan yang sama
terhadap reaksi tipe 1. 17

Gambar 6. reaksi reversal


7. Eritema nodosum leprosum
Definisi
Eritema nodosum merupakan penyakit akut,
noduler, erursi eritematoua yang biasanya terbatas
pada bagian extensor kaki. EN jarang kronik dan
rekuren tapi bisa saja terjadi. EN dianggap sebagai
reaksi hipersensitivitas dan bisa terjadi oleh karena
beberapa penyakit sistemik atau karena terapi
obat, atau mungkin saja idiopatik. Wanita lebih
sering terkena dibandingkan dengan pria dengan
rasio 4:1. EN bisa terjadi pada anak-anak dan pada
pasien dengan usia lebih dari 70 tahun, tapi lebih
sering terjadi pada dewasa muda yaitu pada usia
18-34 tahun.22
Patofisiologi
EN
mungkin
merupakan
suatu
reaksi
hipersensitivitas yang lambat terhadap berbagai
jenis antigen, complex imun dalam sirkulasi belum
ditemukan pada jenis idiopatik atau kasus-kasus
biasa tapi mungkin ditemukan pada pasien dengan
penyakit inflamasi saluran cerna. 22
Gejala klinik
Fase erupsi EN dimulai dengan flulike symptoms
dengan demam dan nyeri seluruh badan. Artralgia
bisa terjadi dan mendahului erupsi atau muncul
selama fase erupsi. Lasi yang timbul oleh karena
infeksi akibat EN banyak yang sembuh dalam 7
minggu, tapi bentuk aktif mungkin bisa sampai 18
minggu. Namun, pada 30 % EN yang idiopatik bisa
bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Demam
dengan penemuan kelainan kulit seperti tiba-tiba
sakit dengan demam yang diikuti dengan nyeri
rash selama 1-2 hari. 22

Pada penemuan fisik, kelainan kulit didapatkan


terbatas pada kulit dan sendi. Lesi mulai dengan
bentuk nodul merah yang nyeri tekan. Batas lesi
sulit ditentukan, dan berukuran 2-6 cm. Selama
minggu pertama lesi menjadi keras, tegang, dan
nyeri, pada minggu kedua, lesi menjadi fluktuan
sepeti pada abses, tapi tidak bersifat supuratif atau
ulseratif. Lesi ada selama hamper 2 minggu, tapi
kadang, lesi baru selanjutnya muncul selama 3-6
minggu. Sakit pada kaki dan bengkak pada
pergelangan kaki bisa berlangsung selama
berminggu-minggu. Distribusi lesi kulit: lesi muncul
pada kaki bagian anterior, walapun demikian, lesi
tersebut juga bisa muncul pada tempat lain. Lesi
berubah warna pada minggu kedua dari merah
terang menjadi biru pucat. Lesi akan menghilang
pada 1 atau 2 minggu karena deskuamasi kulit.
Adenopati hiler bisa berkembang karena reaksi
hipersensitifitas EN. Limfadenopati hiler bilateral
berhubungan
dengan
sarkoidosis,
dengan
perubahan umilateral bisa terjadi dengan infeksi
dan keganasan. Artralgia terjadi pada lebih dari 50
% pasien dan mulai selama fase erupsi atau
mendahului erupsi selama 2-4 minggu. Eritema,
bengkak dan nyeri terjadi pada sendi, kadang
dengan efusi. Nyeri sendi dankaku pada pagi hari
dapat terjadi. Beberapa sendi dapat terlibat,
namun pergelangan kaki, lutut, dan pergelangan
tangan adalah sendi yang paling sering terlibat.
22
(A) (B)
(C) (D)
Gambar

7.

(A)

Lesi

awal

EN

menampakkan

nodulsubkutan berwarna merah. (B) Nodul yang


menjadi
confluent
yang
menghsilkan
plak
eritematous. (C) Lesi stage lanjut EN menunjukkan
plak datar keunguan. Pasien in juga mnederita
sarkoidosis. (D) Lesi stage lanjut EN yang
mengenai pergelangan

kaki. Pasien in menderita


colitis ulseratif.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan radiology
3. Tes-tes lainnya: skin test epidermal
4. Histopatologi: gembaran klasik EN yaitu
penniculitis septal dengan infiltrate inflammatory
limfositik perivaskuler superfisial tipis dan dalam.
22
Penatalaksanaan
Pada banyak pasien, EN merupakan penyakit yang
bisa sembuh sendiri dan hanya membutuhkan
terapi simptomatik dengan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS), kompres dingin, elevasi dan tirah
baring. Konsultasi dan kerjasama mungkin
diperlukan antara:
Ahli penyakit kulit dan kelamin untuk evaluasi
penyebab EN
Ahli penyakit dalam untuk evaluasi penyebab
EN.22
8. Pemfigus vulgaris
Definisi
Pemfigus berasal dari bahasa Yunani pemphix
yang berarti gelembung atau melepuh. Pemfigus
dideskripsikan sebagai kelompok penyakit bullosa

kronik, yang Istilah pemfigus masukdiberi

nama
oleh Wichman pada tahun 1791. dalam kelompok
penyakit melepuh autoimun pada kulit dan
membrane mukosa yang ditandai oleh adanya
lepuhan intradermal dan ditemukannya antibody
immunoglobulin G (IgG) dalam sirkulasi yang
melawan permukaan sel keratinosit. Yang termasuk
dalam penyakit pemfigus adalah pemfigus vulgaris
(PV), pemfigus folliaceus dan paraneoplastik
pemfigus dengan kasus pemfigus vulgaris yang
terbanyak yaitu sekitar 70 %.25
Patofisiologi
PV adalah penyakit autoimun, intraepithelial,
penyakit melepuh yang menyerang kulit dan
membrane
mukosa
yang
ditandai
dengan
didapatkannya antibodi dalam sirkulasi yang
menyerang permukaasn sel keratinosit. Pada tahun
1964,
autoantibodi
menyerang
permukaan
keratinosit digambarkan pada pasien pemfigus.
Observasi klinik dan experimental menunjukkan
autoantibody dalam sirkulasi merupakan pathogen.
Predisposisi immunogenetik tak bisa dipungkiri.
Lepuhan yang terjadi pada PV berehubungan
dengan ikatan autoantibody IgG pada permukaan
molekul sel keratinosit. Antibodi interseluler atau
PV ini berikatan dengan desmosom keratinosit dan
dengan area bebas desmosom pada membran sel
keratinosit. Ikatan autoantibody menyebabkan
kehilangan adhesi sel, disebut akantolisis.25
PV antigen: adhesi intraseluler pada epidermis
melibatkan beberapa molekul permukaan sel
keratinosit. Antibodi pemfigus mengikat molekul
permukaan sel keratinosit desmoglein 1 dan
desmoglein 3. ikatan antibodi dengan desmoglein
menyebabkan efek langsung terhadap adheren
desmosomal atau mungkin memacu proses seluler

yang menghasilkan akantolisis. Antibodi spesifik


untuk antigen desmosomal juga didapatkan pada
pasien PV, meskipun begitu, peran antigen pada
patogenesis penyakit masih belum diketahui.
Antibodi: pasien dengan penyakit aktif mempunyai
autoantibodi dalam sirkulasi dan terikat pada
jaringan dari subklas IgG1 dan G4.25
Gejala klinis
PV menunjukkan lesi pada mulut pada 50-70%
pasien, dan hampir semua pasien mengalami lesi
pada mukosa. Lesi mukosa mungkin merupakan
tanda awal sekitar 5 bulan sebelum lesi kulit
berkembang. Pada kulit, terjadi lesi kutaneus. Lesi
pada PV adalah lepuhan yang kaku, yang bisa
terdapat pada kulit normal tapi bisa ditemukan
pada kulit eritematous. Kulit yang terlibat sering
terasa nyeri tapi jarang gatal.25
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa
merupakan tempat yang pertama kali terserang.
Pasien dengan lesi mukosa mungkin didaptkan
oleh dokter gigi, dokter bedah oral, atau ahli
ginekologi. Pada membran mukosa didapatkan
Bulla yang intak jarang pada mulut. Biasanya
ditemukan berbentuk tidak teratur, erosi pada
ginggiva, buccal, atau palatin yang nyeri dan
lambat membaik.
Membrane mukosa yang paling sering adalah
cavum oral yang terlibat pada hampir semua
pasien PV dan kadang merupakan satu-satunya
area yang terlibat. Erosi mungkin bisa terlihat di
suatu daerah cavum oral. Erosi mungkin menyebar
sampai ke laring yang menyebakan serak. Pasien
sering tidak bisa makan atau minum secara
adekuat karena erosi.
Permukaan mukosa lainnya dapat terlibat
termasuk konjungtiva, esofagus, labia, vagina,

serviks, penis, uretra, dan anus.25

Gambar 8 (A)Pemfigus vulgaris pada cavum oral.


(B) Pemfigus vulgaris pada kulit
Pada kulit: lesi primer PV adalah lepuhan flaccid
yang berisi cairan yang tumbuh pada kulit normal
atau pada kulit eritematous. Lepuhannya rapuh,
sehingga, intak lepuhan mungkin tipis. Cairannya
keruh,
atau
lepuhan
yang
ruptur
akan
menghasilkan erosi yang nyeri, yang paling banyak
ditemukan di kulit. Erosi sering besar karena
cenderung
meluas
secara
perifer
dengan
peragntian epitel. Pada kuku didapatkan peronikia
akut, subungual hematom, dan distrofi kuku. 25
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Dalam menegakkan diagnosis dilakukan:
histopatologi, direct immunofluorescence (DIF),
dan indirect immunofluorecence (IDIF)
Biopsi kulit25
Penemuan histologi: histopatologi menggambarkan
lepuhan intradermal. Perubahan awal terdiri dari
edema dengan kehilangan ikatan interseluler pada
lapisan basal. Lepuhan kulit mengandung sel
akantolitik.
Pemeriksaan
histopatologi
dapat
dilakukan untuk membedakan PV dengan pemfigus
folliaceus.25
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PV sama dengan penyakit
bullosa autoimun yang lain, yaitu dengan
mengurangi
formasi
blister,
mempercepat

penyembuhan blister(lepuhan) dan erosi , dan


mnentukan dosis obat minimal dalam mengontrol
proses penyakit.
Konsulatsi dan kerjasama dapat dilakukan antara:
Ahli penyakikt mata
Ahli THT
Penyakit dalam subdivisi endokrinalogi25
9. Purpura-Vaskulitis6
Definisi
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah
(eritrosit) ke kulit dan selaput lendir(mukosa)
dengan manifestasi berupa makula kemerahan
yang tidak hilang pada penekanan.Kadang-kadang
purpura dapat diraba(palpable purpura).Purpura
secara perlahan-lahan mengalami perubahan
warna,mula-mula
merah
kemudian
menjadi
kebiruan,disusul warna coklat kekuningan dan
akhirnya memudar dan menghilang.Purpura bisa
diklasifikasikan kepada dua yaitu,purpura tanpa
inflamasi dan purpura dengan inflamasi(vaskulitis).
Purpura dengan inflamasi terbagi:
1. Vaskulitis leukositoklastik(purpura anafilaksis)
2. Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)
3. Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta(Mucha
Haberman)
4. Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
5.
Purpura
infeksiosa(meningokok,gonokok,M.leprae,riketsia)
6. Purpura akibat alergi obat.
1.Vaskulitis leukositoklasik(purpura anafilaksis)
Disebut juga sebagai purpura alergik.Kelainan ini
diakibatkan karena reaksi antigen antibody di
dekat
endotel
pembuluh
darah
yang
mengakibatkan perubahan permeabilitas pada
dindingnya dan dilatasi pembuluh darah.

Klinis didapatkan adanya purpura yang dapat


diraba ,eritema,edema,urtikaria,dan bula.Tempat
predileksi adalah tempat yang berhubungan
dengan
tekanan
hidrostatik.Apabila
kelainan
terbatas
disebut
sebagai
purpura
simpleks.Bilamana disertai nyeri sendi dinamai
sindrom SCHOLEIN dan bila disertai gejala saluran
cerna serta saluran kemoh disebut sindrom
HENOCH.
2.Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)
Krioglobulin
adalah
immunoglobulin
yang
mengendap pada suhu dingin dan mencair lagi
pada
suhu
panas.Ada
dua
jenis
yaitu
krioglobulinemia
monoclonal
dan
campuran(multikomponen).Krioglobulinemia
campuran merupakan imunukompleks IgG dan
IgM,dapat ditemukan pada lupus eritematosus
sistemik dan arthritis rheumatoid,infeksi hepatitis
B,dan vaskulitis leukositoklastik.Secara klonik
dijumpai
adanya
purpura
yang
dapat
diraba.atralgia dan glomerulonefritis.
3.Ptiriasis likenoides et varioliformis akuta(PLEVA)
Keadaan akut ini sering dikenal sebagai penyakit
MUCHA HABERMAN,klinis terdapat erupsi kulit yang
luas terutama di badan ditandai dengan papulpapul yang berkembang menjadi papulonekrotik
disertai perdarahan dan meninggalkan bekas
sikatriks ringan.
4.Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
Menurut LEVER ada 4 penyakit yang termasuk
didalamnya,yaitu:
a) Purpura anularis telangiektoides(MAJOCHI)
Kelainan ini dapat mengenai usia dewasa
muda,tetapi juga dapat pada semua golongan

umur,tidak terdapat perbedaan jenis kelamin.Lesi


dimulai dengan macula eritematosa karena dilatasi
kapiler pada seluruh tubuh.MACKEE (1915)
menyatakan ada tiga fase penyakit yaitu fase
telangiektasis,perdarahan,serta pigmentasi dan
atrofi.Fase telangiektasis diikuti timbulnya titik
merah hitam di tepi lesi.Lesi secara perlahan-lahan
meluas berukuran 1-2cm.Penyembuhan dimulai
dari bagian tengah sehingga membentuk lesi
anular.Lesi anularis akan bersatu membentuk arkus
yang sirsinar.Lesi ini akan menetap beberapa bulan
sampai beberapa tahun dan akan meninggalkan
atrofi.
b)Dermatosis pigmentosa progresif(SCHAMBERG)
Kelainan ini berupa dermatosis yang kronik dimulai
dengan lesi merah kecoklatan disebabkan adanya
endapan hemosiderin di kulit tampak bercakbercak merah disebut cayene pepper, terutama
pada anggota badan bagian bawah. Pada
umumnya lesi timbul tanpa disertai rasa gatal.
Kelainan ini menetap selama bertahun-tahun
meninggalkan bercak hiperpigmentasi.
c)Dermatosis purpura pigmentosa likenoides
(GOUGEROT dan BLUM)
Lebih dikenal dengan nama sindrom GOUGEROTBLUM.Biasanya timbul pada usia sekitar 40-60
tahun.Lokalisasi di mana saja tetapi tersering di
tungkai berbentuk papul likenoid yang bersatu
membentuk
plakat,lesi
dapat
simetris
dan
menetap dan mempunyai warna yang bermacammacam. Seringkali dihubungkan dengan liken
aureus.
d)Purpura ekzematoid(DOUCAS dan KAPENTANIS)
Keadaan ini terdapat pada ekstremitas bawah
biasanya gatal ditandai adanya papul, skuama dan
likenifikasi. Purpura ekzematoid, pigmentosa
purpura di ekstremitas bawah dan itching purpura

sulit dibedakan dengan SCHAMBERG. Karena itu


keempatnya secara klinis baik disebutkan sebagai
purpura pigmentosa kronika.
5.Purpura infeksiosa
Lebih sering terjadi kerusakan vaskuler baik
langsung atau melalui reaksi alergi. Terdapat
kelainan laboratorium yaitu trombositopenia.
Infeksi tersering adalah oleh meningokok yang
mengakibatkan terjadinya sepsis, endokarditis
bacterial, infeksi virus misalnya morbili dan lainlain. Purpura dapat timbul sebagai gejala
prodromal.
6.Purpura akibat alergi obat
Berbagai obat dapat menimbulkan purpura.
Obat yang menekan sumsum tulang misalnya
benzol dan nitrogen mustard.
Obat yang merusak sumsum tulang misalnya
kliramfenikol
Obat yang merusak/menimbulkan trombositopenia
misalnya kina dan sedermid.
Obat lain yang menyebabkan purpura antara
lain;fenobarbital,yodida.streptomisin,salisilat,tolbut
amid,klorpropamid dan antimetabolik.

10. Staphylococcal scalded skin syndrome


Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
bengkak kemerahan pada kulit yang tampak
seperti terbakar (scald), makanya ia dinamakan
staphylococcal scalded skin syndrome.1 SSSS
disebabkan oleh pelepasan dua eksotoksin (toksin

epidermolitik A dan B) yang berasal dari strain


toksigenik
bakteri
Staphylococcus
aureus.
Desmosom adalah merupakan sebagian dari sel
kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat
kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada
molekil di antara desmosom dikenali sebagai
Desmoglein
1
dan
kemudiannya
memisah
sehingga kulit menjadi tidak utuh. 2
SSSS juga dikenali sebagai Penyakit Ritters atau
Penyakit Lyells apabila ia muncul pada bayi atau
anak-anak.1,2
Epidemiologi
SSSS lebih sering muncul pada anak-anak dibawah
5 tahun, biasanya pada neonatus. Antibody
pelindung terhadap eksotoksin staphylococcal
biasanya didapat ketika usia anak-anak yang
menjadikan SSSS lebih jarang terjadi pada remaja
dan dewasa. Kurangnya imunitas spesifik terhadap
toksin dan system renal clearance yang immature
(toksin biasanya dikeluarkan dari tubuh lewat
ginjal) menjadikan neonatus sebagai yang palin
berisiko.
Individu dengan immunokompromi dan individu
dengan gagal ginjal, tanpa mengira umur, bisa
juga berisiko menndapat SSSS.1,2
Patofisiologi
SSSS bermula dari infeksi staphylococcus yang
memproduksi 2 eksotoksin (toksin epidermolitik A
dan B). kedua-dua toksin ini menyebabkan
pemisahan intraepidermal ke lapisan granular oleh
desmoglein
1
yang
merupakan
protein
desmosomal yang memediasi pelekatan sel-sel
keratinosit dalan lapisan granular sehingga
akhirnya menyebabkan kulit menjadi tidak utuh.1
Pembawa dewasa yang asimtomatik memaparkan

bakteri kausatif ini di tempat penjagaan anak.


Pembawa S aureus lewat nasal yang asimtomatik
muncul 20-40% pada orang sehat, yang mana
organisma tersebut terisolasi di tangan, perineum
dan axilla dalam proporsi kecil dari seluruh
populasi.1,2
Gambaran Klinik
SSSS biasanya dimulai dengan demam, gelisah
dan kemerahan meluas pada kulit. Dalm wakti 2448 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan.
Benjilan-benjolan
ini
mudah
pecah,
dan
meninggalkan
kesan
yang
tampak
seperti
terbakar.2
Karakteristik lesi termasuklah:
Bulla-bulla besar di axilla, skrotum dan lubanglubang tubuh seperti hidung dan telinga.
Bintik-bintik kemerahan menyebar ke bagian
tubuh yang lain seperti lengan, kaki dan trunkus.
Pada neonatus, lesi sering pada area popok atau
sekeliling tali pusat.

Lapisan
atas
kulit
mulai
mengelupas,
meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah
dan nyeri.
Simptom-simtom lain adal seperti nyeri di area
sekitar tempat infeksi, kelemahan dan dehidrasi.
Pengobatan
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap,
antibiotik intravena umumnya diperlukan untuk
mengeradikasi infeksi staphylococcal. Antibiotik
yang biasa digunakan adalah flucloxacillin.
Berdasarkan respon terapi, antibiotik oral bisa
diganti setelah beberapa hari. Terapi suportif lain
adalah :
Paracetamol bila perlu untuk demem dan nyeri
Mempertahankan intake cairan dan elektrolit

Penjagaan kulit1
Gambar 10 gambaran lesi pada kulit pada penyakit
SSSS.

Daftar Pustaka
1. Clark RA dan Hopkins T , The other eczemas, In:
Moschella S, Hurley H (editor). Dermatology: 3rd
ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93
2. Weston WL, Erythema Multiforme and StevenJohnson syndrome. In: Bolognia J.L, Jorizzo LJ,
Rapihi RP (editors). Dermatology: volume one.
London. Mosby: 2003.p 313-16

3. Umar SH. Erythroderma (Generalized Exfoliative


Dermatitis). [online] 2006 Feb 8 [cited 2007 jan
17];
available
from:
URL:
http://www.emedicine.com/
4. Oguindele O. Erythema multiforme. [online]
2006 June 19 [cited 2007 Jan 17]; available from:
URL: http://www.emedicine.com/
5. Stewart M. Erythema Multiforme and Toxic
Epidermal Necrolysis [online] 1992 Feb 20 [cited
2007
Jan
17];
availabla
from:
URL:http:www.BCM.org/Erythema multiforme/htm
6. American Osteopathic College of Dermatology.
Erythema Multiforme. [online] [2001] [CITED 2007
Jan
17];
Available
from:
URL:http:www.AOCD.org/Erythema Multiforme/htm
7.
New
Zealand
Dermatologycal
society
incorporated. Erythroderma. [online] 2006 Dec 26
[cited
2007
Jan
17];
Available
from:
URL:http://www.DermNet.NZ.org/
8. Kim J. Staphylococcal scalded skin syndrome.
[online] 2005 Aug 10 [cited 2007 Jan 24]; Available
from: URL: http://www.emedicine.com/
9.
New
Zealand
Dermatological
Society
Incorporated.
Staphylococcal
Scalded
Skin
Syndrome. [online] 2006 Dec 25 [cited 2007 Jan
24];
Available
from
:URL:
http//www.DermNEt.NZ.org/
10. Dodds N. Angioedema. [online]2005 [cited
2007
January
20].
Available
from:

http://ww.emedicine.com/emerg/topic32.htm
11. Soter. NA, Kaplan AP. Urticaria and
angioedema. In: Freedberg I.M, Elisen AZ, Wolff K,
Austen K. F, Goldsmith LA, Katz SI, editors.
Fritzpatricks Dermatology in general Medicine. 6th
ed. New York (NY): Mc Graw Hill; p. 1129-1138
12. Moschella SL, Hurley HJ, Urticaria and
Angioedema.
In: Dermatology.
3rd
edition.
Philadelphia: WB. Saunders company; p 286-304
13. Gratton CHE, Black AK: Urticaria and
Angioedema. In: BOlognia JL. Jorizzo JL, Rapihi RP,
Dermatology. Volume one. London: Mosby; p. 287-9
14. Levene GM, Calnan CD, A Colour atlas of
dermatology. 7th ed. Wolfe Medical Pablications
LTD; 1979. p. 99-270
15. kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Minaldi SL; Kusta:
Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin, 3rd ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999.
p.71-86
16. Smith DS. [online] 2006 [cited 2006 July 24].
Available
from:
http://www.emedicine.com/med/topic1281.htm
17. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansens
disease. In Andrews Diseases of THE Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. New York: Saunders
Elsevier; p. 344-52
18. Garra GP. Toxic Epidermal Necrolysis. [online]
2005 [cited 2007 January 24]; [9 screens].
Available from: http://www.emedicine.com.toxic

epidermal necrolysis.htm
19. Cohen V. toxic Epidermal Necrolysis. [online]
2006 [cited 2007 January 24]; [11 screens].
Available from: http://www.emedicine.com. Toxic
epidermal necrolysis.htm
20. Parrillo SJ. Steven-Johnson Syndrome. [online]
2006 [cited 2007 January 24]; [10 screens.
Available from: http://www.emedicine.com.Steven
Johnson Syndrome.htm
21. Hebel JL. Erythema nodosum. [online] 2006
[cited 2007 January 24]; [11 screens]. Available
from:
http://www.emedicine.com/derm/topic138.htm
22. Requena L. Erythema Nodosum. [online] 2006
[cited 2002 January 24]; [11 screens], available
from:http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/rev
iews/enodosum/requena.html
23. Erythema and urticaria [online] 2006 [cited
2007 January 24]. Available from: http:// Principles
of Pediatric Dermatology - Chapter 29 ERYTHEMAS
AND URTICARIA.html
24.
New
Zealand
Dermatological
Society
Incorporated. Pemvigus Vulgaris. [online] 2006
[cited
2002
January
24].
Available
from:
http://www.dermnetnz.org/immune/pemphigusvulgaris.html
25. Zeina B. Pemvigus Vulgaris. . [online] 2006
[cited 2007 January 24]; [11 screens]. Available
from:

http://www.emedicine.com/dermatology\pemv
vulgaris\eMedicine - Pemphigus Vulgaris .htm

Anda mungkin juga menyukai