Anda di halaman 1dari 4

Tantangan Kebijakan Fiskal APBN 2016

A. Pendahuluan
APBN merupakan instrumen utama dalam kebijakan fiskal. APBN merupakan alat yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional
yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia. RAPBN tahun 2016
disusun berdasarkan pokok-pokok kebijakan fiskal dengan tema Penguatan Fiskal
dalam Rangka Memperkokoh Fundamental dan Pertumbuhan Ekonomi yang
berkualitas. Berdasarkan data dibawah ini postur RAPBN tahun 2016 mengalami
defisit anggaran sebesar Rp273.178,9Miliar atau 2,1% terhadap PDB yang berarti naik
dari defisit pada APBNP tahun 2015 sebesar 1,9 persen terhadap PDB. Rasio utang
cenderung meningkat dalam RAPBNP tahun 2016 sebesar Rp.330.732,1Miliar daripada
APBNP 2015 sebesar Rp 279.380,9Miliar. Dengan posisi belanja lebih besar dari
penerimaan untuk mencapai APBN yang sehat dan berkelanjutan sumber utang luar
negeri harus dilakukan secara selektif dan tujuannya harus untuk kegiatan produktif.
Tabel 1
Defisit dan Pembiayaan Anggaran 2015-2016 (Miliar Rupiah)
Uraian

APBNP 2015

RAPBN 2016

A.Pendapatan Negara

1.761.642,8

1.848.107,2

B. Belanja Negara

1.984.149,7

2.121.286,1

C. Surplus/defisit Anggaran (A-B)

(222.506,9)

273.178,9

% defisit terhada PDB

(1,9)

(2,1)

D. Pembiayaan anggaran (I+II)

222.506,9

273.178,9

1. Non Utang

(56.874,0)

(57.553,2)

2. Utang

279.380,9

330.732,1

JUMLAH

222.506,9

273.178,9

Sumber: Kementerian Keuangan


B. Tantangan APBN 2016
Pemerintah dihadapkan pada beberapa tantangan dalam mewujudkan kondisi fiskal
yang berkualitas, sehat, dan berkelanjutan dalam rangka mendukung sasaran
pembangunan nasional. Beberapa tantangan tersebut diantaranya:
1. Masih Terbatasnya Ruang Fiskal atau Space fiskal
Berdasarkan gambar dibawah ini mandatory spending atau pengeluaran negara yang
diwajibkan dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku seperti anggaran
pendidikan 20% dari APBN/APBD, dana perimbangan berupa DAU26% dari
penerimaan neto+DBH dan DAK, dana otonomi khusus NAD, Papua dan Papua Barat,
alokasi dana kesehatan (diluar gaji5% dari APBN, alokasi dana desa10% dari dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota setelah dikurangi DAK semakin meningkat.
Tahun 2010 belanja wajib (mandatory spending) sebesar Rp 849Triliun meningkat pada
tahun 2015 dalam APBNP sebesar 72,20% menjadi Rp 1.462Triliun. Meningkatnya
Mandatory spending atau belanja wajib menyebabkan APBN sebagai stabilitator

perekonomian kurang fleksibel untuk mengantisipasi guncangan ekonomi dunia.


Belanja non discretionary spending atau belanja mengikat seperti belanja pegawai,
belanja transfer daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi pada tahun 2010
sebesar Rp207Triliun meningkat menjadi Rp523Triliun pada tahun 2015 dalam APBNP.
Grafik I
Belanja Wajib dan Belanja Mengikat

Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2016 h. III.20


Berdasarkan Grafik dibawah ini ruang fiskal selama tahun 2010-2015 mengalami
peningkatan akibat adanya pengurangan subsidi. Space fiskal atau ruang fiskal tahun
2010 sebesar 23,9% terhadap belanja negara meningkat menjadi 30,2% terhadap
belanja negara pada APBNP 2015. Ruang Fiskal dalam RAPBN 2016 relatif sempit dan
kurang ekspansif akibat adanya pengeluaran wajib atau belanja mandatory spending
dan belanja mengikat atau belanja non discretionary spending yang relatif besar,
yakni untuk pendidikan, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, belanja pegawai
dan operasional, pembayaran bunga utang, serta subsidi. Anggaran mandatory
spending dan anggaran non discretionary spending seperti anggaran pendidikan Rp
424,8 Triliun meningkat 4% dari Rp 408,5 Triliun. Anggaran kesehatan Rp 106,1 Triliun
naik 43 persen dari Rp 74,3 Triliun, dan pembayaran bunga utang Rp 183,4 Triliun
meningkat 18 persen dari Rp 155,7 Triliun. Adapun anggaran subsidi dalam RAPBN
2016 Rp 201,4 Trilun mengalami penurunan 12% dari Rp 212,1 Triliun dalam APBN-P
2015, anggaran subsidi terdiri atas subsidi energi Rp 121 Triliun mengalami penurunan
12% dari Rp 137,8 Triliun dan subsidi non-energi Rp 80,4 Triliun meningkat 8% dari Rp
74,3 Triliun. Subsidi energi meliputi subsidi BBM dan LPG senilai Rp 71 Triliun naik 9
persen dari Rp 64,7 Triliun dan subsidi listrik Rp 50 triliun mengalami penurunan 31%

dari Rp 73,1 Triliun.

Grafik II
Ruang Fiskal dalam Pagu Indikatif Tahun 2011-2015

2. Perlunya Penguatan Pola Penyerapan Anggaran


Penyerapan anggaran belum optimal. Penyerapan anggaran belanja
kementerian/lembaga (k/L) masih berkisar 90 persen sampai dengan 94 persen
sehingga masih perlu ditingkatkan, dan penyerapan menumpuk pada triwulan III dan
triwulan IV.
3. Perlunya penguatan kualitas belanja untuk mewujudkan APBN yang sehat dan
produktif
Penyerapan anggaran Realisasi belanja Semester I tahun 2015 mencapai 39,0% atau
sekitar Rp773,9 Triliun lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2014 yang mencapai
Rp779,9 Triliun atau 41,6% target APBN-P 2014., Realisasi belanja negara didominasi
oleh pos belanja subsidi sebesar 47,4% atau sekitar Rp100,4 Triliun, belanja
pembayaran kewajiban utang sebesar 47,7% atau Rp74,3 Triliun, belanja pegawai
sebesar 42,9% atau Rp125,8 Triliun serta belanja sosial sebesar Rp43,1 Triliun atau
40,1% target APBN-P 2015. Sementara realisasi belanja produktif investasi yang
dicerminkan dari alokasi belanja modal, hingga akhir Semester I 2015 baru mencapai
11,0% atau sekitar Rp30,2 triliun target APBN-P 2015.
Alokasi belanja belum optimal menjadi tantangan APBN 2016. Belanja yang bersifat
produktif (infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM) masih perlu ditingkatkan, upaya
penghematan belanja yang tidak produktif (perjalanan dinas, dan rapat) perlu terus
dilakukan, dan kualitas belanja daerah masih belum optimal.

4. Perlunya Pengendalian Keseimbangan Primer


APBN 2016 memiliki masalah defisit fiskal untuk membiayai peningkatan belanja harus
dibayar dengan penarikan utang luar negeri yang melonjak hingga 50 persen terutama
untuk pinjaman program dan pinjaman proyek. Tantangan RAPBN 2016 adalah
Pemerintah harus menjaga kesinambungan fiskal antara lain dengan tetap menjaga
defisit anggaran pada level yang aman, menjaga rasio utang pada tingkat yang
terkendali, dan mengembalikan keseimbangan primer.
5. Mendorong Penerapan Creative Financing
Realisasi pendapatan negara baru mencapai 39,6% atau sekitar Rp697,4 Triliun dari
target APBNP 2015. Realisasi ini sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan
periode yang sama tahun 2014 yang mencapai 43,7% atau sekitar Rp713,9 Triliun dari
target APBN-P 2014. Realisasi penerimaan perpajakan hingga Semester I sebesar
Rp555,2 Triliun atau 37,3% target APBN-P 2015, sementara realisasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp142,0 Triliun atau 52,8% target APBN-P 2015.
Realisasi penerimaan tahun 2015 ini membuat target penerimaan pajak hanya
meningkat 5 persen. Untuk mencapai target pendapatan negara dalam APBN 2016
perlu peran PERUM Daerah dan BUMN dalam pembangunan yang harus terus didorong
dengan target penerimaan laba BUMN.
C. Kesimpulan
Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya mewujudkan kondisi fiskal yang sehat dan
berkelanjutan untuk mengatasi tantangan APBN tahun 2016 melalui peningkatan
produktivitas APBN, penciptaan iklim investasi yang kondusif namun juga ramah
terhadap lingkungan, penguatan fiscal buffer, serta pengelolaan keuangan negara
yang fleksibel dan bijaksana. Perumusan kebijakan fiskal juga harus
mempertimbangkan harmonisasi dan keseimbangan antara upaya pemenuhan
pelayanan publik, percepatan pencapaian target-target pembangunan nasional, dan
peningkatan perlindungan sosial.

Anda mungkin juga menyukai