mata-mata mahluk ciptaan Tuhan tentang keagungan dan kebesaranNya. Mentari pagi betulbetul menyibakkan malam. Rona-rona merah merekah diangkasa, embun-embun beriringan menguap terbang ke udara, pertanda mentari menjemput pagi. Petani dengan caping-caping dan clurit berjalan riang di galangan sawah. Mata mereka memandang, hati mereka girang, padipadi menguning pertanda panen kan datang. Marwan, bocah itu termangu-mangu. Ia menunggu, ia menunggu.... Pak.... Bukkk, marwan ikut!!! suara bocah 12 tahun itu mengusik ketenangan pipit-pipit. Membuat mereka harus berterbangan antah berantah. husss, kamu harus sekolah wan, lihat anak ibu udah rapi kok mau kotor-kotoran di sawah, rayu wanita paruh baya itu, ia sosok wanita yang penyayang. Wanita pekerja keras yang harus membanting tulang membantu suami demi masa depan ke dua anaknya. tapi.. Marwan mau ikut bu..., Kamu harus sekolah! Ibu sama bapak kerja ke sawahkan buat kamu. Nanti kamu biar bisa kuliah yang tinggi kayak masmu itu. Bikin bapak sama ibu bangga Marwan! Marwan, bocah itu kembali termangumangu. Ia terisak, namun air matanya tertahan,
apa daya? tak kuasa ia tolak permintaan seorang
wanita yang betul-betul penyayang itu. Ia berjalan pergi, menoleh kebelakang, melihat sang ibu melambai dan tersenyum hangat untuknya. Baginya, lambaian itu adalah wasiat. Wasiat yang harus ia pegang untuk hidup di jaman edan ini. Wasiat ini berisi harapan sederhana orang tua kepada anaknya, karena mereka sadar betul bahwa penguasa tengah mengadu nasib mereka. Penguasa menggadaikan rumah mereka, menggadaikan harta mereka dan menggadaikan kedaulatan meraka. Kini hidup benar-benar seperti mengundi nasib. Punya atau tak punya penguasa itu tak ada bedanya. Mereka tetap saja harus berjundi dengan nasib. Wajarlah, kini harapan agar anak keturunannya bisa bernasib lebih baik menjadi harapan yang begitu muluk. ***
Bu, kapan mas hardi pulang?
Sabar nak, Mas hardimu pasti tepatin janji. Habis gak ada kabar lagi tuh.. Baru kemaren masmu bilang minggu depan dia mau pulang sehabis tugas dari Irak. Gak pengen seperti masmu? jadi sarjana pertambangangan, bisa keluar negeri lagi. Jawab wanita yang minggu lalu tepat berusia 52 tahun. Ah ibu, kalau ngomongin mas hardi pasti ujungujunganya gitu. Kan Marwan udah bilang sama bapak sama ibu kemaren kalau Marwan mau ngambil Fisipol. Mas Hardi juga dukung kok. Bapak sie sebenernya dukung kalau kamu jadi guru aja wan. Siapa lagi kan anak bapak yang punya cita-cita mau cerdaskan generasi bangsa kalau bukan kamu, sahut bapak sambil nyeruput secangkir teh hangat. Bapak kayak ibu aja, gak gaul. Cuman mas hardi yang ngerti. Fisipol itu keren buk.. pak, marwan kan jadi politikus nanti. Ya sudah, terserah kamu. Tapi bapak sama ibu ingatkan, kuliahmu yang sungguh-sungguh. Pagi ini terasa sedikit berbeda dibanding 10 tahun yang lalu. Bapak dan ibu sudah jarang ke
sawah. Alasan utama memang karena usia yang
semakin tua. Biasanya Bapak minta Om Sis untuk menggarap lahan saat musim panen dan tanam tiba. Sekarang keadaan keluarga jauh lebih baik sejak mas hardi lulus kuliah pertambangan 3 tahun yang lalu dan diterima kerja di Pertamina. Walaupun sebulan sekali aku baru bisa ketemu sama mas hardi. Masa-masa sulit memang sudah dilalui. Aku ingat betul saat kuliah mas hardi udah semester 5. Bapak sama ibu hampir saja putus asa, bagaimana tidak? 1998, harga-harga mengalami inflasi. Padi hasil panen jadi susah di jual. Sedangkan kebutuhan pokok semakin melejit. Belum lagi biaya kuliah mas hardi dan sekolahku yang harus segera dibayar. Terpaksa bapak menjual 1 sawahnya untuk masa-masa sulit itu. Sejak itulah keadaan ekonomi keluarga makin tambah sulit karena lahan persawahan yang harusnya menjadi sumber penghasilan keluarga berkurang. Terpaksa bapak sama ibu harus kerja serabutan di sawah orang demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan mas hardi, walaupun tak pernah bercerita ke bapak sama ibu. Tapi aku tau kalau mas hardi cari kerja sampingan jadi tukang antar koran setiap pagi dan kernet bis disela-sela liburan akhir pekan. Sedangkan aku, biasa ikut bambang jadi kuli angkut sayur dipasar. Yah setidaknya masa-masa itu sudah dilewati. Pasca reformasi dan kejatuhan orde baru semua menjadi lebih baik. Tak ada terdengar
mahasiswa yang hilang atau kabar orang mati
gara-gara si Petrus seperti yang sering diceritakan mas Hardi dulu. Namun, tetap saja aku merasa bingung dan heran, masih saja ada orang yang tidak puas dengan kondisi saat ini. Reformasi gagal!! Apa yang gagal? Bukankah fase ini lebih baik dari masa lalu, tak ada lagi penguasa yang diktator. Orang-orang juga gak harus hidup dalam ketakutan. Semua ini membuatku semakin bingung dan penasaran. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa aku ngebet banget pengen masuk Fisipol. ***
Marwan Cahyo Nugroho, begitulah kedua
orang tuaku memberi nama. Lahir dari keluarga berdarah jawa yang identik dengan nama akhiran o. Seperti masku yang diberi nama Hardi Nugroho. Kawan-kawan lebih akrab memanggilku Yoyok. Keluarga jawa, hmmm... rasanya banyak juga penduduk negeri ini yang menyandang marga jawa. Kenapa tidak, manusia dengan marga jawa sudah terlalu padat memenuhi pulau endemiknya Pulau jawa. Bahkan sebagian harus ditransmigrasikan keluar pulau dengan harapan pemerataan jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan. Tak heran kata Transmigrasi melekat erat pada suku ini.
Orang jawa memiliki sifat lembut, halus dan
suka mengalah. Buktinya saja walaupun menjadi suku dengan jumlah terbesar, tidak lantas membuatnya mendominasi negeri. Walaupun hampir disetiap daerah pasti terdapat orang jawa. Sekali lagi ini karena istilah transmigrasi yang melekat erat pada orang jawa. Aku sendiri sebagai orang jawa cukup berbangga karena berhasil hidup pada dua fase jaman yang berbeda. Bukan alam manusia dengan alam kubur yang dimaksud. Tapi, aku pernah merasakan hidup pada akhir riwayat rezim diktator orde baru. Rezim yang berhasil ditumbangkan oleh suara-suara mahasiswamakanya sejak kecil aku bercita-cita menjadi mahasiswa. Kejatuhan rezim orde baru ini kemudian dikenal dengan reformasi. Reformasi!! Sebuah kata yang memaksaku harus berkecimpung dengan kamus berat bahasa Indonesia (KBBI=Kamus Besar Bahasa Indonesia). KBBI halaman 1184, Reformasi maksudnya perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau negara yang meliputi bidang sosial, politik, atau agama. Sssst Yok, kecilin suaramu.. nanti kita diomelin lagi. Hardik Gugun. Benar saja! Tak lama berselang terdengar hentakan penggaris kayu menghantam meja. Sontak, semua mata tertuju pada sumber suara. Sorotan tajam mata orang itu!!. Aku hanya diam saja sambil dipelototinnya.
Tuh kan, aku dah bilang apa tadi, keluh Gugun
yang memendam rasa jengahnya itu. Pagi ini aku harus berkutat dengan tumpukan buku-buku. Yah beginilah nasib aktivis kampus kalau sudah berhadapan dengan tugas kuliah. Sepertinya kata-kata bijak berikut harus jadi prinsip semua mahasiswa: Kuliah dan segala kesibukannya tidak boleh menjadikan kita terlena. Karena perjuangan ini sendiri sudah menyibukkan kita. Untuk itu mari kita kerjakan tugas kuliah sedini mungkin (Marwan Cahyo Nugroho). Sungguh indah sekali kata-kata bijak ini. Tak salah jika selama ini aku digadang-gadang menjadi sastrawan dan politikus seperti Soe Hok Gie yang legendaris itu. Bahkan didepan kaca kamarku saja pesona itu sudah sangat jelas terlihat. Bakat hebat ini, memang benar-benar mendarah daging dalam diriku. Yok, kau tadi gak lupa minum obatnya kan? cletup Wisnu mengganggu imajinasiku saja. Gak taulah Wis, makin stres saja bocah ini, sahut Gugun. Memangnya aku gila? kau juga Wisnu Wardana. Hormatlah sedikit padaku. Aku inikan titisan Soe Hok Gie, orang yang akan meneruskan perjuangannya, tidakkah kalian lihat karisma itu juga melekat padaku. Mereka ini...
Aku jadi teringat sosok-sosok perjuangan
pemuda dan mahaiswa. Mereka yang bermodal Toa mampu menggoncang atap istana negara dan kursi empuk senayan. Mereka yang dengan ideologinya mampu membuat para penguasa khianat menjadi berang. Ya, mereka, generasi yang akan selalu bermunculan pada setiap masa. Masa ketika dunia dipenuhi dengan nafsu angkara. Dimana kesulitan akan merajai setiap penjuru dan sudut-sudut negeri. Bahkan sulit dibedakan antara keadilan dan politik pencitraan. Maka saat itu akan lahirlah generasi-generasi pemberontak yang tidak puas dengan keadaan. Generasi ini selalu berada pada kuantitas yang bisa dibilang seklumit. Mereka yang terasing dan tercemooh. Tak sekedar generasi pemberontak, mereka selalu berfikir bahwa harus ada political will untuk membuat bangsa ini bangkit. Kita seharusnya tidak sekedar bernostalgia dengan membicarakan generasi pemberontak dimasa lalu. Ya, kita mungkin harus sedikit menatap catatan historis generasi terdahulu. Sehingga dapat ditentukan dengan tepat, kita kini menjadi generasi keberapa dan untuk tujuan apa kita ada. 350 tahun, sebuah perjalanan masa yang cukup fantastis menggambarkan bagaimana model masyarakat kolonial. Walaupun banyak ahli sejarah yang bilang ini masa yang mengadaada. Jika kita ingin sedikit menilik catatan historik, maka pada setiap fase akan terlihat sosok-sosok
generasi pemberontak itu. Pada jaman ini kita
mengenal sosok Soekarno, Hatta, Syahrir, Ali yang kemudian lebih dikenal the Founding Father. Tentu aku ingin meletakkan mereka sebagai generasi pemberontak pertama untuk menjustifikasikan generasi-generasi berikutnya. Pada jaman dimana dunia dipimpin dengan cara kapitalistik ini. Maka kita akan menemukan 2 tipe orang yang dianggap berideologi. Pertama adalah mereka yang pada fase menetapkan tujuan merupakan pemuda dengan intelaktualitas nomer wahid. Pita suaranya selalu bergetar menyuarakan penderitaan rakyat. Urat nadinya akan mengalir deras menghantam segala bentuk kediktatoran. Kobaran api perlawan jelas terlihat membara pada dua bola matanya. Namun ketika kekuasaan diraih, ia bermetamorfosa 180 derajat. Ia lupa akan tujuan awalnya. Suaranya menjadi sumbang dan hilang. Dan kini ia menjadi generasi tua yang korup, penghianat dan vampir yang menghisap darah rakyatnya sendiri. kedua adalah mereka yang menyimpan dendam kusumat pada mereka yang masuk kategori ideolog pertama. Mereka ini bisa dibilang reingkarnasi masa muda dari orang tua yang masuk kategori pertama. Mereka melihat bahwa generasi tua yang lupa diri itu harus segera ditendang dan diganti generasi baru. Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka
yang dituduh koruptor-koruptor tua... kitalah yang
dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia. (Soe Hok Gie, Catatan seorang Demonstran, 30 maret 1962) Hanya saja mereka inilah para pemberontak yang lebih sering berakhir dibalik jeruji besi atau mati dikala usia masih belia. Mereka dikenang tapi terasingkan. Sebenarnya bagiku, 2 tipe ini tentu tak ada bedanya, hanya kesempatan berkuasa saja yang membedakan mereka. Tak heran orangorang pragmatis pada masa ini sering menyebut sesuatu yang aku sendiri jengah mendengarnya : masa muda, masanya idealistik sedangkan masa tua, masanya kaum realistik. Artinya saat kaum muda yang idealistik berhasil meraih kekuasaan mereka kemudian akan menjelma menjadi kaum tua realistik yaitu menganggap masa tua sebagai masa memanen jerih payah di masa muda mereka terlena dan lupa. Secara historik boleh dikatakan generasi kita merupakan pemberontak generasi ke-4. Setelah generasi pemberontak pertama di masa kolonial. Dilanjutkan generasi yang tidur dibawah ban-ban panser tentara yang masih setia pada rezim orde lama. Kemudian generasi ketiga yang berhasil menumbangkan orde baru dan menciptakan era reformasi. Mereka semua adalah kaum intelektual walaupun kemudian harus belajar bagaimana cara memegang pistol dikepalanya dengan benar.
Kini kita berada pada fase kelahiran
pemberontak generasi ke-4. Generasi yang sudah seharusnya sadar tentang hakikat kegagalan generasi terdahulu. Harusnya kita bangun, melihat bahwa ada fatamorgana didepan mata yang harus disingkirkan. Sehingga perjuangan kita tidak sekedar menambah kegagalan-kegagalan yang sudah ada. Kegundahan yang dikatakan Soe Hok Gie sebelum kematiannya harusnya menjadi cambuk yang menyadarkan generasi kita : Akhir-akhir ini saya selalu berfikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada orang yang saya anggap tidak benar dan sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian. Aku tentu tak ingin menyangsikan perjuangan generasi terdahulu. Mereka adalah pahlawan-pahlawan pada generasinya dan generasi kita. Namun kini kita sedang berada pada fase dimana pertanyaan ini muncul : apakah kita akan menjadi pahlawan atau pecundang yang dikenang generasi berikutnya.
Kegagalan menyusun political will oleh
generasi terdahulu berimbas kepada kegagalan secara menyeluruh terhadap cita-cita mensejahterakan rakyat. Faktanya, seusai perjuangan mereka, rakyat tetap saja tertidas. Keadilan dan hukum tetap bisa diperdagangkan. Rakyat miskin dan sengsara di sana-sini. Parah, rakyat dipaksa harus mengundi nasibnya sendiri. Lantas Political Will seperti apa yang kau maksud Yok? Jelas bukan lagi teori kapitalnya Adam Smith, sebenarnya Das Kapitalnya Marx sudah bisa menjadi kritik tajam yang menyadarkan kita tentang bobroknya sistem kapitalis. Lho bukankah kondisi saat ini terjadi karena kita salah menempatkan orang ditempat yang benar? Ha,...? pertanyaan Gugun membuatku otak mesinku berdenyut-denyut mengenjot bahan bakar diperut, mengurasnya supaya bisa berfikir. Kegagalan memamandang akar permasalahn negeri ini hanya akan berimbas kepada kegagalan menyusun Political Will. Tentu hal inilah yang harus dikritisi dengan pisau intelektual yang kita punya. Bukan sekedar berangan-angan atau membebek pada kesalaan diagnosa generasi sebelumnya. Ini penting dilakukan agar kita terhindar dari risiko menumpuk-numpuk kegagalan. Generasi Hoe Sok Gie, Ahmad Wajib dan aktivis pergerakan mahasiswa lainnya di masa
akhir hayat rezim Soekarno berkuasa dengan
gamblang menggambarkan bagaimana mereka memandang Political Will itu. Mereka menganggap rezim Soekarno yang Immoral dan lupa diri sebagai tokoh paling antagonis yang harus di kambing hitamkan. Maka mereka bersepaham dan bersepakat bahwa persoalan negeri kala itu dapat diselesaikan hanya dengan meruntuhkan rezim yang ada. 32 tahun kemudian, hal serupa kembali mencuat kepermukaan, mereka dengan Toa yang kembali bergema setelah lama bungkam diberangus kediktatoran. Namun sayang, tak ada yang berubah dari solusi yang ditawarkan. Betul-betul tumpul, pisau intelektualitas mereka betul-betul tumpul. Jadi Yok, menurutmu bagaimana kita harus menempatkan diri? Inilah kita dan generasi kita. Yang akan menempatkan Political Will secara tepat. Kita dengan pisau intelektual yang tajam, bukan membebek pada pisau intelektual tumpul milik generasi lampau, yang jelas gagal memandang political will mana yang harus dicapai. Pertanyaanya kemudin, political will macam apa yang tepat. Kita harus berfikir, mengkaji fakta dan beajar dari masa lalu. Inilah kita, generasi yang tengah menyusun peradaban baru diatas banguan penuh tambal sulam, peradaban rusak kapitalisme yang kelak akan menjadi puing-puing. Berpacu dengan teori rasionalnya marxisme yang mengkritik Kapitaslime. Namun, solusi marxis
ternyata lebih dulu tercampakkan
keranjang sampah peradaban.
ke
dalam
Kewajiban kita mencari dan memperjuangkan
political will yang benar, harus ada solusi radikal untuk negeri ini, ***