Anda di halaman 1dari 7

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Penerapan Teknologi Tanpa Bakar untuk


Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Gambut
Isdijanto Ar-Riza, Dakhyar Nazemi dan Yanti Rina D.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru

Abstrak
Lahan gambut mempunyai potensi yang besar dan berpeluang besar bagi pengembangan usaha
pertanian, namun harus sesuai dengan peruntukannya.Lahan gambut mempunyai sifat yang rapuh,
sehingga perlu pengelolaan yang hati-hati dengan menerapkan teknologi produksi yang tepat disertai teknik konservasi. Penelitian dilaksanakan melalui program kemitraan dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten Pelalawan, dilaksanakan di Desa Gambut Mutiara, Kecamatan Teluk Meranti,
Kabupaten Pelalawan, Riau, Tahun 2009. Berdasarkan hasil karaterisasi, desa ini baik lahan pekarangan maupun lahan usaha, berupa tanah gambut dengan ketebalan 1- 3 m atau lebih, kecuali di
wilayah pinggiran sungai besar, pada wilayah ini gambut tertutup oleh lapisan tanah mineral dengan
ketebalan >50 cm yang umumnya diusahakan untuk tanaman kelapa. Lahan usaha sebagian besar
untuk usahatani jagung dengan persiapan lahan sistem bakar, sehingga dikhawatirkan akan merusak
lahan. Produksi jagung di wilayah ini dengan persiapan lahan sistem bakar memberikan hasil 0,5 0,8 ton/ha, dan menurut petani setempat jika tidak dibakar hasilnya akan sangat rendah. Melalui
kerjasama kemitraan, produksi jagung ditingkatkan dengan cara menerapkan teknologi penyiapan
lahan tanpa bakar (TB), pemberian dolomit 400 kg/ha, kompos dari bahan setempat 2 ton/ha, abu
secukupnya dari hasil pembakaran terkendali, pemberian pupuk makro (60 kg N + 60 kg P 2O5+ 50 kg
K2O/ha) dan mikro (Cu 5 kg/ha). Benih jagung hibrida NT-10, dan jagung lokal ditanam secara
terpisah, masing-masing seluas 1 ha dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm, 1 biji/lubang tanam.
Amelioran diberikan pada setiap lobang tanam, dan pupuk diberikan secara tugal pada sisi tanaman.
Pada penerapan teknologi TB diperoleh hasil bahwa sistim monokultur jagung hibrida N-10 sebesar
5,56 ton/ha, lokal 3,23 ton/ha, Jagung diantara Kelapa Sawit N-10 5,15 ton/ha dan Lokal 2,94 to/ha.
Usahatani jagung Hibrida N-10 ditanam dengan sistem monokultur dan diantara kelapa sawit
memberikan keuntungan dan nilai R/C masing-masing Rp 5.919.800,-/ha (R/C=2,01) dan Rp
5.151.900,-/ha (R/C=2,0). Berdasarkan hasil ini, Pemda bersama masyarakat petani setempat
sepakat akan menerapkan teknologi TB, pada tahap awal akan menerapkannya pada musim tanam
berikutnya seluas 100-150 ha.
Kata kunci: Jagung, lahan gambut, teknologi tanpa bakar

penurunan akibat terjadinya konversi ke


komoditas lain. Wilayah kabupaten Pelalawan,
provinsi Riau, pertanaman jagung terutama
berada pada lahan gambut. Pertanaman jagung pada saat ini sekitar 4000 ha, sebagian
besar masih menggunakan varietas lokal.
Selain produktivitasnya masih rendah (0,5-0,8
ton/ha), ada kecenderungan komoditas jagung
akan terdesak oleh komoditas lain yang nilai
ekonomisnya lebih tinggi, seperti komoditas
Kelapa Sawit (Dinas Kabupaten Pelalawan,2008).

Pendahuluan
Pembangunan pertanian di Indonesia
pada lima tahun terakhir telah menunjukkan
kemajuan yang cukup berarti, berbagai laporan menyebutkan bahwa sasaran produksi jagung sebesar 18 juta ton dapat tercapai dengan luas panen mencapai 4,08 juta ha,
sehingga naik 9,18% dari luas panen tahun
2008 ( Apriyanto, 2009).
Sementara pada sejumlah wilayah terutama di wilayah Sumatera, luas lahan tanaman jagung justru berpotensi mengalami
287

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Penurunan luas tanam maupun luas


panen tersebut perlu diantisipasi dengan baik,
agar produksi jagung di wilayah tersebut tidak
menurun. Pemeritah Daerah (Pemda) Kabupaten Pelalawan, lewat Dinas Pertanian dan
Hortikultura bersama dengan Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa, berupaya meningkatkan produktivitas jagung melalui program
penelitian kemitraan.
Model pengembangan tidak bisa disamaratakan pada semua wilayah, lahan gambut
mempunyai sifat yang sangat rapuh, sehingga
perlu penanganan yang tepat. Penerapan teknologi harus dilandasi oleh pertimbangan
karakteristik lahan, kesesuaiannya, efisiensi
serta sinergisme antar komponen teknologi
dan lingkungan spesifik, agar keberlanjutan
produksinya dapat lebih terjamin.
Efisiensi dapat ditingkatkan dengan cara
memilih dan memadukan komponen teknologi
yang berinteraksi positif atau sinergis, sehingga dapat diperoleh hasil yang dapat optimal (Makarim,2002). Potensi hasil tanaman
ditentukan oleh interaksi antara sifat genetik
tanaman dan lingkungan dinamis. Artinya dengan memilih komoditas/varietas yang mempunyai daya adaptabilitas tinggi pada lingkungan yang tertentu, dan dikombinasikan
dengan penerapan komponen teknologi lainnya yang efektif akan dapat me-ningkatkan
efisiensi dan produksi (Widjaya-Adhi (1993).
Namun demikian penerapan teknologi juga
harus mempertimbangkan preferensi wilayah
(Alihamsyah, et al., 2004; Hilman et al., 2003).
Sebagai upaya pengalihan teknologi,
penerapannya digelar melalui model percontohan pada kawasan produksi, dengan melibatkan petani secara langsung sebagai pelaksana utama, sehingga diharapkan petani men-

jadi lebih paham apa yang bisa diperbuat di


lahan gambut untuk meningkatkan hasil pertaniannya, sekaligus mempertahankan kualitas lahan agar produktivitasnya berkelanjutan.

Bahan dan Metode


Penelitian dilaksanakan pada lahan
gambut Desa Gambut Mutiara, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau pada
tahun 2009. Kegiatan terdiri dari : a. Karakterisasi lahan, untuk mengetahui sifat dan
karakter lahan, termasuk kondisi pertaniannya dan b. Penyusunan teknologi, disusun
berdasarkan karakteristik lahannya. Teknologi yang disusun seperti pada Tabel 1.

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Lahan
Agroklimat
Berdasarkan hasil analisis data curah
hujan di stasiun terdekat, periode pengamatan 2008 dan 2009, tercatat sebesar 1.685
mm per tahun. Wilayah penelitian mempunyai
periode bulan basah (CH>200 mm) selama 2
bulan, periode lembab (CH=100-200 mm)
selama 6 bulan, dan periode bulan kering
(<100 mm) selama 4 bulan. Berdasarkan data
tersebut tipe hujan daerah ini dapat dikategorikan kedalam Tipe A (Schmidt Ferguson, 1951), dengan nilai Q=13, bulan basah
(>100 mm = 8 bulan) dan bulan kering (<60
mm). Distribusi curah hujan bulanan pada
wilayah ini disajikan pada Gambar 1.
Berdasarkan kondisi hujan di wilayah ini,
mengindikasikan bahwa lokasi penelitian tergolong ke dalam zona agroklimat E-3
(Oldeman, 1975) dan tipe hujan A (Schmidt &
Fergusson, 1951).
288

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Tabel 1. Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) teknologi produksi Jagung di lahan gambut pada
perconhan di Desa Gambut Mutiara, Kecamatan Teluk Meranti, Riau
No
1

Komponen Teknologi dan cara pelaksanaannya


Penyiapan lahan tanpa bakar (TB)

Pada kondisi gulma yang sangat tebal (tumbuh rapat dan tinggi) perlu
ditebas, sekitar 2 minggu kemudian gulma muda disemprot herbisida
sistemik 4-5 l/ha tergantung jenis gulma.

Pada kondisi gulma yang tumbuh tidak rapat dapat langsung


disemprot herbisida, selanjutnya dibersihkan.

Pada wilayah yang mempunyai lapisan Gombat (lapisan masa akar


paku-pakuan) yang tebal 15 cm perlu dikupas.

Lahan/rumput tidak dibakar, namun serasah tebasan gulma,kupasan


gambut dibakar secara terkendali, dan abunya dikembalikan ke lahan
(pada lubang tanam).

Tanah tidak perlu diolah, cukup diratakan.

Pembuatan lubang tanam (jarak


tanam)

Mono kultur:
Jarak tanam (75 x 20 cm, 1 tanaman/lubang};
Tanam Campur diantara Kelapa Sawit:
Jarak tanam sama seperti pada monokultur, tetapi barisan pinggir
berjarak 1,5 m dari kelapa sawit (tergantung umur kelapa sawit).

Pemberian bahan amelioran

Dolomit 10 g/lubang tanam (0,4 t/ha), pupuk kandang/kompos 50 g/


lubang (2 t/ha), ditambahkan abu (secukupnya) hasil pembakaran
gulma terkendali.

Tanam

Sebelum benih ditanam, perlu perlakuan benih dengan Metalisin


(Rendomil, Saromil,dll) 1 kg/20 kg benih untuk pencegahan penyakit
bulai (Sercospora sp);

Jumlah biji 1-2 biji/lubang sesuai jarak tanam.

Pupuk Makro

Varietas Hibrida:
Urea 200 kg/ha; SP-36 200 kg/ha; KC 100 kg/ha (dapat disubstitusi
dari abu hasil pembakaran terkendali).
Urea diberikan 2 kali (1=1/3 dosis + SP-36+KCL pada umur 7-10
hari); 2/3 dosis Urea berikutnya diberikan pada umur 1 bulan.

Pupuk Mikro

Cuprum (Cu) 4 kg/ha, bisa diberikan melalui perlakuan benih dengan


Terusi 1kg/ha dengan, (benih direndam dalam larutan terusi selama 5
-8 jam); atau 5-6 kg/ha terusi dicampurkan pupuk dan diberikan
bersama pupuk.

Pemeliharaan

Penyiangan gulma dilakukan pada umur 30 dan 50 hari setelah


tanam, tergantung kondisi pertumbuhan gulma.
Pada saat penyiangan dianjurkan sekaligus dibumbun, agar perakaran

Jika pada umur 10 hari masih muncul gejala bulai, tanaman yang
terkena bulai harus dicabut dan dibakar.

Pengendalian hama (ulat, belalang), dikendalikan dengan pestisida


yang sesuai

Percepatan pemasakan

Pada fase masak fisiologis (klobot sudah mulai menguning) batang


bagian atas tongkol bisa dipotong/dipangkas.

Panen

Panen dilakukan pada saat klobot sudah mengering 100 % (100 hari,
tergantung macam varietas).

289

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Gambar 1. Distribusi curah hujan di walayah penelitian, Desa Gambut Mutiara Kec. Teluk Meranti, Riau

Wilayah dengan kondisi demikian


(kondisi iklim, terutama sebaran curah hujannya yang cukup merata), mempunyai kesesuaian yang cukup tinggi untuk penerapan sistem pertanian tanaman pangan. Namun demikian karena tanah pada wilayah berupa
gambut maka perlu teknologi budidaya diikuti
dengan teknologi konservasi, agar sumberdaya lahan dapat lestari.

Teknologi Budidaya Jagung eksisting


Jagung diusahakan petani dengan pola
tanam jagung-jagung. Jagung pertama ditanam
pada bulan Maret dan dipanen pada bulan
Juni, kemudian jagung kedua ditanam pada
bulan Agustus dan dipanen pada bulan November. Varietas yang ditanam varietas lokal,
pernah mencoba unggul/hibrida tidak memberikan hasil karena tongkol banyak tidak
berbiji.
Penyiapan lahan dilakukan dengan sistem bakar, tanpa olah tanah. Benih jagung ditanam dengan jarak tanam 60 cm x 70 cm, sehingga populasi per ha berkisar 10.000 tanaman dengan jumlah biji 5-7 biji/lubang,
dengan pemberian pupuk sangat kurang.
Mereka hanya mengandalkan abu dari pembakaran lahan. Kondisi lahan demikian ini yang
menyebabkan hasilnya masih sangat rendah.
Produksi jagung rata-rata di Desa Gambut
Mutiara 0,8 ton/ha atau berkisar 0,6 1 ton/
ha pada musim hujan dan 0,5 ton/ha atau
berkisar 0,3-0,8 ton/ha pada musim kemarau.
Berdasarkan hasil analisis biaya dan pendapatan pada usahatani jagung yang dilakukan
petani Desa Gambut Mutiara diperoleh
keuntungan sebesar Rp 663.000/ha pada
musim hujan dan Rp 205.000/ha pada musim
kemarau. Usahatani yang diusahakan petani

Tanah
Berdasarkan hasil pengamatan sifat
morfologinya, tanah-tanah pada wilayah ini
berupa gambut yang termasuk dalam
kelompok grup Haplohemist dengan ketebalan Sedang dalam ( 2-3 m). Lahan gambut sedang sesuai untuk lahan pertanian palawija,
hortikultura seperti tanaman buah-buahan
maupun tanaman industri, sedangkan pada
lahan dengan substratum pasir kuarsa masih
dapat diusahakan untuk pertanian lahan kering maupun hortikultura. Pemanfaatan lahan
gambut sedang diperlukan pengaturan air
yang baik, untuk menjaga kondisi tanah tetap
dalam keadaan lembab, sehingga proses
dekomposisi berjalan alami, dan pengelolaan
hara dapat diterapkan secara baik untuk
mendukung petumbuhan tanaman

290

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

baik pada musim hujan maupun musim kemarau belum efisien ditunjukkan dengan nilai
R/C = 1,74 (MH) dan R/C= 1,257 (MK) (Tabel
2).

karena pengalaman petani sebelumnya tidak


berhasil mengusahakan varietas unggul, maka
petani enggan menanam benih yang dibagikan. Oleh karena itu benih H10 dipilih sebagai

Tabel 2. Analisis biaya dan pendapatan usahatani jagung eksisting seluas


1 hektar di Desa Gambut Mutiara Kecamatan Teluk Meranti,
Kabupaten. Pelalawan, 2009

Uraian
Produksi

Musim Hujan

Musim Kemarau

Fisik

Nilai (Rp)

Fisik

Nilai (Rp)

0,8 ton

1.600.000

0,5 ton

1.000.000

Biaya total

937.000

795.000

- benih

15 kg

52.500

15 kg

52.500

- Terusi

1,5 kg

67.500

1,5 kg

67.500

505.000
200.000
112.000

11,5 HOK
2 HOK
1,5 HOK

505.000
100.000
70.000

- Tenaga kerja
Pra panen
Panen
Pemipilan dan
angkut

20,5 Hok
4 Hok
2,1 Hok

Keuntungan (Rp)
R/C ratio

663.000
1,707

205.000
1,257

Keterangan: Harga jagung Rp 2000/kg pipilan kering

Teknologi Penyiapan Lahan Tanpa Bakar

benih untuk percontohan.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan pengelolaan yang benar, varietas
Hibrida N-10, dapat diusahakan di lahan
gambut dengan hasil yang baik 5,67 ton/ha,
varietas Lokal 3,23 ton/ha, hasil tersebut
masih di bawah potensi yang sebenarnya. Hal
tersebut di sebabkan oleh karena belum meratanya agihan hara pada tanah, permukaan
tanah tidak rata (bergelombang, kepadatan
tidak merata) akibat dari pembakaran-pembakaran sebelumnya. Kondisi tersebut menyebabkan heterogenitas pertumbuhan tanaman
masih cukup tinggi, sehingga hasilnya belum

Percontohan penerapan teknologi


penyiapan lahan tanpa bakar, dilaksanakan
dari bulan Nopember 2009 Januari 2010.
Kegiatan dilaksanakan di luar musim dengan
maksud agar para petani setelah memahami
teknologinya dan yakin akan kebehasilannya
termotivasi untuk menerapkannya pada
musim tanam berikutnya.
Sistim Tanam Monokutur
Benih Jagung varietas Hibrida N1O, sudah
terlanjur diberikan kepada setiap petani oleh
Dinas Pertanian Tanaman Pangan, tetapi
291

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

optimal. Kondisi ini akan membaik jika setiap


musim diterapkan teknologi tanpa ba-kar,
yang diiringi dengan perataan lahan dan
pemberian amelioran.

tidak ternaungi oleh kanopi tanaman Kelapa


Sawit. Selain itu sangat mungkin masukan
(ameloran,pupuk) yang diberikan kepada tanaman jagung sebagian diambil oleh perakaran Kelapa Sawit, karena terlihat pertumbuhan
Kelapa Sawit nampak lebih subur dibanding
yang tidak ada pertanaman jagungnya.
Untuk menentukan kelayakan teknologi, dilakukan analisa sederhana terhadap
biaya dan hasil. Berdasarkan analisa finansial
tersebut diperoleh bahwa usahatani jagung di
lahan gambut Desa Gambut Mutiara, masih
memberikan keuntungan, dan tentu juga keuntungan lingkungan (tidak dianalisis).
Tabel 3 menunjukkan bahwa tanaman
jagung Hibrida MT-10 yang ditanam secara
monokultur menggunakan teknologi tanpa
bakar, pemberian kompos 2 ton/ha, dolomit
500 kg/ha, pupuk Urea 200 kg/ha, SP-18 200
kg/ha dan KCl 100 kg/ha, dan ditambah Cu
(terusi 5 kg/ha) dapat memberikan produksi
5,67 ton/ha pipilan kering dengan keuntungan Rp 5.919.800,-/ha. Sedangkan jagung

Sistim Tanam di antara Tanaman Kelapa


Sawit
Pada wilayah ini tanaman Kelapa Sawit mulai mengkonversi lahan pertanaman
jagung, sehingga selama kanopi Kelapa Sawit
belum menutup, diarahkan agar petani dapat
menanam jagung di antaranya. Teknologi yang
diterapkannya sama seperti pada monokutur.
Hasil dari kegiatan ini menunjukkan bahwa
jagung masih memberikan hasil yang cukup
baik Hibrida N-10 5,15 ton/ha, varietas Lokal
2,94 ton/ha. Namun karena sifat tanaman jagung yang memerlukan intensitas pencahayaan yang baik, maka hasilnya tidak sebaik
yang ditanam secara monokultur. Hal ini disebabkan pertanaman jagung dua baris yang dekat dengan rumpun kelapa sawit tongkolnya
kurang berisi dibanding dengan tanaman yang

Tabel.3. Analisa Finansial Pada Penerapan Teknologi Tanpa Bakar Lahan


di Desa Gambut Mutiara Th.2009/2010

Uraian

Sisteim tanam monokultur

Sistem Tanam diantara


kelapa sawit

Hibrida

Lokal

Hibrida

Lokal

5,67

3,23

5,15

2,94

11.340.000

6.460.000

10.300.000

5.880.000

Biaya total (Rp)

5.420.200

4.999.000

5.148.100

4.627.100

Sarana produksi

1.989.000

1.719.000

1.890.100

1.547.100

Tenaga kerja

3.431.200

3.280.000

3.258.000

3.080.000

Keuntungan (Rp)

5.919.800

1.461.000

5.151.900

1.252.900

2,09

1,29

2,00

1,27

Luas tanam (ha)


Produksi (ton)
Penerimaan (Rp)

R/C ratio

292

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

yang ditanam diantara kelapa sawit diperoleh


hasil 5,15 ton/ha pipilan kering dengan nilai
keuntungan Rp 5.151.900,-/ha. Pada perlakuan teknologinya agak berbeda (Urea hanya
diberikan 150 kg/ha, SP-18 100 kg/ha) pada
varietas lokal ditanam secara monokultur
memberikan hasil 3,23 ton/ha pipilan kering
dengan keuntungan Rp 1.461.000,-/ha dan ditanam diantara kelapa sawit memberikan
hasil 2,94 kg/ha pipilan kering dengan keuntungan Rp 1.252.900,-/ha. Usahatani jagung hibrida yang ditanam secara monokultur dan diantara tanaman kelapa sawit cukup
efisien ditunjukkan dengan nilai R/C 2.

Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa-Pemda
Kabupaten Hulu Sungai- Dinas Pertanian
Prop. Kalimantan Selatan, Kandangan,
tgl 11-12 Oktober 2004.
Apriantono, A.2009. Swasembada jagung
percapai. Kompas.Senin 1 Januari 2009.
Dinas Kabupaten Pelalawan .2008. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Kabupaten
Pelalawan. Pangkalan Kerinci.
Hilman, Y. A., A. Muharram dan A. Dimyati.
2003. Teknologi Agro-produksi dalam
pengelolaan lahan gambut. Makalah
disajikan pada lokakarya nasional pertanian lahan gambut. Pontianak 15-16
Desember 2003.

Kesimpulan

Makarim, K.2002. Modeling pengelolaan tanaman terpadu. Makalah Pokok Pada


Seminar IPTEK padi. di Sukamandi
tanggal 5 Maret 2002. Balai Penelitian
Padi. Sukamandi.

1. Produksi jagung di lahan gambut wilayah


Desa Gambut Mutiara bisa ditingkatkan
dengan menerapkan teknologi penyiapan
lahan tanpa bakar yaitu pemberian dolomit 400 kg/ha, kompos in situ 2 ton/ha,
abu secukupnya, dosis 60 kg N + 60 kg P2
O5 +50 kg K2O per hektar dan mikro Cu 5
kg/ha.
2. Pada sistem tanam monokultur jagung
hibrida N-10 memberikan produksi 5,67
ton/ha, varietas lokal 3,23 ton/ha dan
sistem tanam di antara kelapa sawit umur
2,5 tahun, varietas Hibrida N-10 memberikan hasil 5,15 ton/ha, lokal 2,94 ton/ha.
3. Usahatani jagung Hibrida menggunakan
teknologi penyiapan lahan tanpa bakar
pada sistem tanam monokultur dan di antara tanaman kelapa sawit menguntungkan dan efisien.

Oldeman, L.R., Irsal Las, and Muladi. 1980. The


Agroclimatic map of Sumatera. Contr,
Res. Inst. for Agric. Bogor.
Schmidt, F.H. and J. H. A. Ferguson. 1951.
Rainfall Type Based on Wet and Dry
Period Ration for Indonesia with
Western New Guinea. Verh. 42. Kementerian Perhubungan RI Jakarta.
Widjaja-Adhi, IPG., K Nugroho, D. Ardi. S dan
A.S. Karama 1992. Sumberdaya lahan
rawa:
Potensi
keterbatasan
dan
pemanfaatan. Dalam. S. Partohardjono
dan M. Syam (eds). Pengembangan
Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak. Risalah Pertanian
Nasional Pengembangan Pertanian
Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua
3 4 Maret 1992 Puslibangtan-SWAMPS
II. Bogor.

Daftar Pustaka

Alihamsyah, T dan I. Ar-Riza. 2004. Potensi


dan teknologi pemanfaatan lahan rawa
lebak untuk pertanian. Makalah Utama.
293

Anda mungkin juga menyukai