Anda di halaman 1dari 3

Carut Marut Birokrasi Indonesia Menuntut Pergantian Sistem

Belum lama negeri ini memilih pemimpin dambaan rakyat. Berbagai janji yang dulu di
proklamirkan pra-kampanye kini menunggu realisasi pasca pemilu. Alih-alih memikirkan
janji-janji yang seabrek. Kini presiden harus kembali berkutat dengan permasalahan internal
pejabatnya. Kasus-kasus yang menimpa para pimpinan KPK, Abraham Samad yang disinyalir
terkait erat dengan pemenangan Jokowi dipemilihan lalu. Begitu juga dengan Kompol Budi
Gunawan yang menutut dilantik sebagai Kapolri atas jasanya membantu Jokowi naik
ketampuk kekuasaan. Hal ini juga di amini oleh Megawati Soekarno Putri yang tak pernah
lupa mengingatkan bahwa Jokowi adalah petugas partai yang harus menjalankan tugasnya.
Kini, kasus ini semakin mencuat dan menimbulkan polemik di tengah publik. Sikap pesimis
terhadap nasib Indonesia pun tak ayal bermunculan melihat kasus demi kasus internal yang di
alami presiden. Maka menjadi pertanyaan penting, kenapa hal ini bisa terjadi?
Politik Indonesia : Malaikat pun bisa jadi Iblis
Menurut Mahfud MD, saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem
yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun
bisa jadi iblis juga.
Apa yang dikatakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI itu tentu saja bukan isapan
jempol semata. Fakta menunjukkan, sejak 2004 hampir 3.000 anggota DPRD kabupaten/kota
diseluruh Indonesia terjerat hukum dengan kasus korupsi yang mendominasi (Republika
online, 23/2/2013). Sementara itu menurut wakil ketua KPK Adnan Pandu Praja, selama
empat tahun berturut-turut DPR menjadi lembaga nomor satu terkorup (Merdeka online,
14/2/2013).
Fakta diatas bisa menjadi gambaran bahwa politik di negeri ini akan menjadikan orang
baikpun menjadi tidak baik. Lalu bagaimana dengan orang jahat yang masuk kedalam sistem
ini? Tentu saja tidak jauh berbeda bahkan akan semakin jahat saja. Didalam sistem ini simbol
kekuasaan bisa diibaratkan pemilikan atas kemewahan (harta) yang menjadi lahan rebutan
pengagung hawa nafsu.
Untuk meraih kekuasaan tentu saja mereka (pengagung hawa nafsu) tidak bisa sendirian.
Pertama, perlunya orang-orang yang siap memberi modal (Kapitalis). Kedua, perlunya
menempakan pejabat yang loyal terhadap dirinya bahkan siap memuluskan jalan menuju
tampuk kekuasaan. Maka kolaborasi ini menuntut adanya bagi-bagi jabatan saat tampuk
kekuasaan itu didapat nantinya. Alhasil bagi-bagi kursi kepada partai koalisi, pemenuhan
janji kepada penjabat kroni dan pemulusan kebijakan kepada pemilik modal (kapitalis)
menjadi sesuatu yang wajib terjadi.
Kasus kombes pol Budi Gunawan dan Ketua KPK, Abraham Samad menjadi hal yang lumrah
terjadi. Belum lagi pejabat yang korup sejadi-jadinya. Ditambah UU buatan pejabat negara
(parlemen) yang hasilnya hanya menjual SDA dan aset negara kepada Kapitalis. Bagaiman
nasib rakyat Indonesia? Masih adakah orang baik di sistem yang buruk ini?

Kolaborasi antara Politik Demokrasi dan Kapitalisme


Demokrasi dengan semboyan utamanya rakyat sebagai pemegang kedaulatanya atau istilah
poluler lain vox dei, vox populi (Suara rakyat, suara tuhan). Demokrasi murni yang pertama
sekali terjadi di yunani ketika rakyat dikumpulkan kemudian diambil keputusan dengan suara
terbanyak. Sejalan dengan perkembangan jaman dan pesatnya pertambahan penduduk
mengharuskan pembentukan badan legislatif (Parlemen) sebagai perwakilan kehendak rakyat.
Kemudian dibagilah kekuasaan menjadi (eksekutif, legislatif dan yudikati) sesuai trias
politica yang digagas Montesque.
Politik Demokrasi dan Kapitalisme ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Penggunaan politik demokrasi megharuskan negara menggunakan prinsip kapitalisme secara
mutlak. Bagaimana tidak, Pemilu dalam demokrasi menuntut adanya cost yang tinggi. Cost
akan diperoleh apabila dirinya adalah pengusaha atau dibiayai oleh pengusaha. Dalam
beberapa pemberitaan, sejumlah caleg DPR mengaku sudah menyiapkan dana kampanye Rp
6 miliar. Untuk calon DPD dan caleg DPRD I serta DPRD II setidaknya dana yang harus
disiapkan pada angka ratusan juta rupiah.
Sedangkan Kapitalisme menuntut adanya kebijakan (UU) yang dapat memuluskan eksploitasi
besar-besaran terhadap SDA suatu negera. Maka menjadi wajib untuk membiayai eksekutif,
legislatif dan yudikatif yang siap memuluskan kebijakan-kebijakan ini. Disinilah dua sisi
mata uang antara demokrasi dan kapitalisme yang tidak bisa dipisahkan itu.
Menurut Rizal Ramli, setidaknya ada 20 UU yang pembuatannya didanai asing. Sementara
Eva Kusuma Sundari (tempo.co.id), berdasar info dari BIN, mengatakan ada 76 UU yang
draft-nya dilakukan pihak asing. Faktanya berbagai UU energi primer telah diubah oleh
asing. UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pembuatannya dibiayai oleh USAID
dan World Bank sebesar 40 juta dolar AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh
Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air
pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia sebesar 350 juta dolar AS. (Abdullah Sodik, SP
Pertamina, Pengelolaan Migas Amburadul? Jakarta, 12 Juni 2008).
Lantas masih adakah gaung semboyan Demokrasi yang dibanga-banggakan itu. Tentu saja
semboyan ini sudah sirna diterpa jaman. Kini munculah semboyan baru negeri ini : Politik
Korporatokrasi (untuk korporasi, kepada korporasi, oleh korporasi)
Solusi Fundamental : Ganti Rezim, Ganti Sistem
Belajar dari pengalaman masa lalu, sudah seharusnya kita sadar bahwa permasalah ini bukan
sekedar pada indvidu yang memimpin. Namun ada akar masalah yang harus kita selesaikan,
yakni kesalahan memilih Sistem. Dunia kini hanya mengakui tiga sistem : Islam,
Kapilatisme-Demokrasi dan juga Sosialisme-Komunis. Maka menjadi keharusan bagi setiap

intelektual menggunakan akalnya untuk mengkaji dan berusaha menerapkan sistem yang
benar. Agar harapan akan kesejahteraan rakyat bukan menjadi fatamorgana yang abadi.

Anda mungkin juga menyukai