Anda di halaman 1dari 6

Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund), Wujud Penjajahan Korporasi

Oleh : Galih Pramono


Tepatnya pada tanggal 25 Januari 2016 lalu telah diselenggarakan rapat koordinasi Komite
Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit dengan sejumlah pemangku kebijakan mulai
pemerintah hingga kalangan pengusaha (BPDP). Dalam rapat tersebut Kalangan pengusaha
mengusulkan dana perkebunan kelapa sawit (CPO Fund) dioptimalkan untuk bisa kembali
dimanfaatkan oleh sektor industri.
Dana perkebunan kelapa sawit (CPO Supporting Fund) merupakan skema pungutan terhadap
perusahaan pemilik kebun dan eksportir produk kelapa sawit untuk mendanai lima hal terkait
industri perkebunan sawit yang antara lain adalah pengembangan sumber daya manusia
Perkebunan Kelapa Sawit, penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit, promosi
Perkebunan Kelapa Sawit, peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit, dan sarana dan prasarana
Perkebunan Kelapa Sawit. Hal tersebut tercantum dalam lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 24
Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun
2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Tarif pungutan yang ditetapkan adalah U$ 50 yang diambil dari setiap 1 ton CPO yang akan
dieksport. Menurut Direktur Institut Soekarno Hatta, Hatta Taliwang Diduga kebijakan yg
diusulkan tersebut cuma akal- akalan mereka (4 kelompok pengusaha sawit yaitu PT Wilmar, PT
Smart , Salim Group Dan Group AstraAgri) tentang perlunya dibuat peraturan pungutan ekport
CPO yang bukan masuk kategori pungutan pajak yang masuk ke Departemen pajak tetapi
dihimpun di Badan Layanan Umum dimana mereka punya hak menempatkan wakilnya untuk
duduk di BLU yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Dana yang dihimpun
dari pungutan ekport CPO tersebut akan disalurkan lebih banyak untuk subsidi produsen
biodiesel dari minyak CPO yang mana ke empat group bisnis tersebut lah yang paling besar
memproduksi biodiesel , dan paling besar memiliki perkebunan di Indonesi
Dana perkebunan kelapa sawit (CPO Supporting Fund) muncul setelah adanya Opsi
pencampuran biofuel dengan solar untuk mendorong pemanfaatan energi alternatif ini
dikhawatirkan akan meningkatkan harga eceran solar dan membebani belanja subsidi, terutama
bahan bakar nabati, karena tidak dianggarkan dalam APBN. Penerapan biofuel ini bisa

menyebabkan harga solar bersubsidi lebih tinggi Rp 675 per liter. Dengan penyaluran solar
bersubsidi pada 2015 sebesar 17 juta kiloliter, maka kebutuhan dana untuk menutupi selisih Rp
675 per liter mencapai sekitar Rp11 triliun.
Imbas Bagi Rakyat
Mungkin sebagian kalangan merasa bahwa kebijakan CPO Supporting Fund akan sangat
membantu rakyat karena tujuan memang untuk memberikan intensif bagi pengembangan
perkebunan sawit. Mungkin juga ada yang merasa kebijakan ini wajar-wajar saja karena hanya
akan dikenakan pada pemilik korporasi-korporasi besar bukan pada perkebunan rakyat secara
langsung.
Namun ada hal menarik yang harus dicermati. Dana perkebunan kelapa sawit (CPO Supporting
Fund) diambil dari setiap 1 ton CPO yang akan dieksport. Jelas yang melakukan pengolahan dan
eksport CPO adalah korporasi bukanlah petani. Sedangkan perkebunan rakyat hanya
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang nantinya akan dijual kepada perusahaan pengolah
CPO. Disinilah letak permasalahannya bagi petani karena dengan pungutan eksport CPO sebesar
50 USD maka pemilik Pabrik Kelapa Sawit akan membebankan pada harga beli Tandan Buah
Segar Sawit( TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun kebun milik Petani .
Dikutip dari laman bergelora.com bahwa dengan pungutan ekspor CPO sebesar USD $50 per ton
dibebankan pada TBS Petani yang memiliki kebun sawit berumur 5 tahun ke atas, maka
pendapatan petani plasma sawit sebesar 16 ton TBS / 5 ton (untuk memproduksi 1 ton CPO)
menghasilkan 3,2 ton CPO oleh Pabrik Kelapa Sawit. Dan dibebani pungutan ekspor CPO
sebesar 3,2 dikalikan 50 USD yaitu 160 USD.
Nilai 160 USD dollar atau Rp2.240.000 ini mengakibatkan pendapatan petani plasma sawit
hanya Rp22.400.000 Rp2.240.000 = Rp20.160.000 per tahun atau rata-rata per bulannya
sebesar Rp1.680.000 sehingga dari pendapatan kotor petani sawit sebesar Rp1.680.000 per 2
hektar kebun akan dipotong 30% guna membayar Kredit Bank untuk biaya pembangunan kebun
petani lalu dipotong lagi biaya upah untuk pengurus kebun yang berlaku sekarang ini dimulai
sekitar Rp500.000 per bulannya dan perawatan sebesar Rp300.000 per 2 hektar kebun.

Jadi penghasilan petani sawit hanya Rp1.680.000 Rp504.000 Rp500.000 Rp300.000 = Rp


376.000. Dari hitungan tersebut maka pendapatan bersih petani plasma hanya mendapatkan
sebesar 376 ribu rupiah setiap bulannya. Tentu saja pendapatan sebesar ini sudah tidak dapat
memenuhi kehidupan keluarga petani plasma. Ini dipandang sebagai modus baru perampokan
uang rakyat kecil atas nama ketahanan energi.
Wujud Nyata Penjajahan Korporasi
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund) hanyalah sebagian wujud dari
penjajahan korporasi terhadap bangsa ini. Faktanya selama kurun waktu 70 tahun setelah
Indonesia merdeka. Kekayaan bangasa kita sudah berhasil dijarah korporasi.
Di bidang pertambangan misalnya, lebih dari 70% dikuasai asing. Porsi operator minyak dan gas,
75 % dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total
kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan
diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing
sudah mencapai 60 persen. Begitu pula telekomunikasi dan industri sawit pun juga lebih banyak
dikuasai asing (lihat, Kompas, 22/5/2011).
Dalam hal penguasaan terhadap aset dan investasi, sebagian besar dikuasai asing. Hal itu bisa
dilihat dari penguasaan tambang. PMA (Penanaman Modal Asing) menguasai US$ 4,8 miliar
atau sekitar Rp 57,6 triliun, sementara PMDN hanya 18,8 triliun (Republika, 20/10/2014).
Artinya penguasaan asing atas pertambangan mencapai 75,39 peren, sementara nasional hanya
menguasai 24,61 persen. Begitu pula penguasa asing pada sektor migas.
Dalam aspek penguasaan atas areal tanah dan hutan, area tanah seluas 175 juta ha dikuasai dalam
bentuk HPH, HGU, Kontrak Karya. Sementara air tawarnya dikuasai oleh 246 perusahaan air
minum dalam kemasan (AMDK). 65% dipasok oleh perusahaan asing (Aqua Danone dan Ades
Coca Cola). Aqua Danone milik Prancis menguras air Indonesia dari 2001-2008 saja mampu
menjual 32 juta liter dengan laba yang dilapor hanya Rp 728 milyar. Dimana label dalam
kemasannya disebut berasal dari mata air pegunungan, padahal tak sedikit diambil dari exploitasi
air tanah.

Menurut Ketua Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia Bambang Ismawan, 60 persen industri
penting dan strategis telah dikuasai investor asing, seperti perbankan, telekomunikasi,
elektronika, asuransi dan pasar modal (Republika, 20/10/2014). Ketika, kekayaan alam dan
industri penting dan strategis lebih dikuasai asing, pada hakikatnya negeri ini masih terjajah.
Sebab dengan itu kekayaan negeri ini dan hasil industrinya banyak mengalir demi kesejahteraan
asing.
Solusi Islam
Jika kita sudah lama berkutat pada kubangan permasalahan yang begitu banyak melanda negeri
ini. Maka sudah saatnya kita merancang dan memperjuangkan solusi yang konkrit. Penjajahan
korporasi terhadap negeri ini terjadi tidak lain karena penerapan system ekonomi kapitalis atau
ekonomi liberal. Dalam pandangan sistem ini fungsi Negara hanyalah sebagai regulator saja
sedangkan mekanisme pasar haruslah mengikuti mekanisme pasar bebas. Wajar saja kemudian
banyak sekali kebijakan ekonomi yang begitu liberal dan menyengsarakan mayoritas rakyat
seperti pelakanaan MEA. UU energi primer telah diubah oleh asing. UU No. 22/2001 tentang
minyak dan gas bumi, pembuatannya dibiayai oleh USAID dan World Bank sebesar 40 juta dolar
AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta
dolar AS. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia
sebesar 350 juta dolar AS, Pelaksanaan JKN hingga Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun
2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015
tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Lantas apa solusi Islam Bagi permasalahan ini?
Perlu dipahami bahwa Islam bukanlah agama ritual belaka. Namun Islam merupakan Ideologi
yang memiliki asas dan metode yang jelas bagi pengaturan seluruh aktivitas manusia. Tak
terkecuali dalam bidang ekonomi. Sebagaimana ideology kapitalisme dan komunisme yang
memilik asas dan metode yang jelas dalam mengatur aktivtas manusia. Islam mengharuskan
setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus dilandasi dengan hukum syara.
Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola
hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang
murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.

Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate
based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state
based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources
principle).
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat
besar baik yang nampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah seperti garam, batubara,
dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya
termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal
minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh
pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena
merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari
segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok
pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh
individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda
dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syariyah,
yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum esensi faktanya menunjukkan bahwa bendabenda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, dana,
tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi
adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan
dan sebagainya.

Al-Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni
mengatakan:
Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti
halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak

boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab
hal itu akan merugikan mereka.
Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang
banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang
tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus
diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Anda mungkin juga menyukai