menyebabkan harga solar bersubsidi lebih tinggi Rp 675 per liter. Dengan penyaluran solar
bersubsidi pada 2015 sebesar 17 juta kiloliter, maka kebutuhan dana untuk menutupi selisih Rp
675 per liter mencapai sekitar Rp11 triliun.
Imbas Bagi Rakyat
Mungkin sebagian kalangan merasa bahwa kebijakan CPO Supporting Fund akan sangat
membantu rakyat karena tujuan memang untuk memberikan intensif bagi pengembangan
perkebunan sawit. Mungkin juga ada yang merasa kebijakan ini wajar-wajar saja karena hanya
akan dikenakan pada pemilik korporasi-korporasi besar bukan pada perkebunan rakyat secara
langsung.
Namun ada hal menarik yang harus dicermati. Dana perkebunan kelapa sawit (CPO Supporting
Fund) diambil dari setiap 1 ton CPO yang akan dieksport. Jelas yang melakukan pengolahan dan
eksport CPO adalah korporasi bukanlah petani. Sedangkan perkebunan rakyat hanya
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang nantinya akan dijual kepada perusahaan pengolah
CPO. Disinilah letak permasalahannya bagi petani karena dengan pungutan eksport CPO sebesar
50 USD maka pemilik Pabrik Kelapa Sawit akan membebankan pada harga beli Tandan Buah
Segar Sawit( TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun kebun milik Petani .
Dikutip dari laman bergelora.com bahwa dengan pungutan ekspor CPO sebesar USD $50 per ton
dibebankan pada TBS Petani yang memiliki kebun sawit berumur 5 tahun ke atas, maka
pendapatan petani plasma sawit sebesar 16 ton TBS / 5 ton (untuk memproduksi 1 ton CPO)
menghasilkan 3,2 ton CPO oleh Pabrik Kelapa Sawit. Dan dibebani pungutan ekspor CPO
sebesar 3,2 dikalikan 50 USD yaitu 160 USD.
Nilai 160 USD dollar atau Rp2.240.000 ini mengakibatkan pendapatan petani plasma sawit
hanya Rp22.400.000 Rp2.240.000 = Rp20.160.000 per tahun atau rata-rata per bulannya
sebesar Rp1.680.000 sehingga dari pendapatan kotor petani sawit sebesar Rp1.680.000 per 2
hektar kebun akan dipotong 30% guna membayar Kredit Bank untuk biaya pembangunan kebun
petani lalu dipotong lagi biaya upah untuk pengurus kebun yang berlaku sekarang ini dimulai
sekitar Rp500.000 per bulannya dan perawatan sebesar Rp300.000 per 2 hektar kebun.
Menurut Ketua Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia Bambang Ismawan, 60 persen industri
penting dan strategis telah dikuasai investor asing, seperti perbankan, telekomunikasi,
elektronika, asuransi dan pasar modal (Republika, 20/10/2014). Ketika, kekayaan alam dan
industri penting dan strategis lebih dikuasai asing, pada hakikatnya negeri ini masih terjajah.
Sebab dengan itu kekayaan negeri ini dan hasil industrinya banyak mengalir demi kesejahteraan
asing.
Solusi Islam
Jika kita sudah lama berkutat pada kubangan permasalahan yang begitu banyak melanda negeri
ini. Maka sudah saatnya kita merancang dan memperjuangkan solusi yang konkrit. Penjajahan
korporasi terhadap negeri ini terjadi tidak lain karena penerapan system ekonomi kapitalis atau
ekonomi liberal. Dalam pandangan sistem ini fungsi Negara hanyalah sebagai regulator saja
sedangkan mekanisme pasar haruslah mengikuti mekanisme pasar bebas. Wajar saja kemudian
banyak sekali kebijakan ekonomi yang begitu liberal dan menyengsarakan mayoritas rakyat
seperti pelakanaan MEA. UU energi primer telah diubah oleh asing. UU No. 22/2001 tentang
minyak dan gas bumi, pembuatannya dibiayai oleh USAID dan World Bank sebesar 40 juta dolar
AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta
dolar AS. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia
sebesar 350 juta dolar AS, Pelaksanaan JKN hingga Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun
2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015
tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Lantas apa solusi Islam Bagi permasalahan ini?
Perlu dipahami bahwa Islam bukanlah agama ritual belaka. Namun Islam merupakan Ideologi
yang memiliki asas dan metode yang jelas bagi pengaturan seluruh aktivitas manusia. Tak
terkecuali dalam bidang ekonomi. Sebagaimana ideology kapitalisme dan komunisme yang
memilik asas dan metode yang jelas dalam mengatur aktivtas manusia. Islam mengharuskan
setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus dilandasi dengan hukum syara.
Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola
hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang
murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.
Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate
based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state
based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources
principle).
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat
besar baik yang nampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah seperti garam, batubara,
dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya
termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal
minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh
pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena
merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari
segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok
pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh
individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda
dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syariyah,
yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum esensi faktanya menunjukkan bahwa bendabenda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, dana,
tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi
adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan
dan sebagainya.
Al-Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni
mengatakan:
Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti
halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak
boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab
hal itu akan merugikan mereka.
Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang
banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang
tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus
diberikan kepada negara untuk mengelolanya.