Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak manusia ada filsafat pun sudah ada, karena arti dari filsafat secara
sederhana adalah cinta kebijaksaan, kebenaran pertama, pengetahuan yang
luas, kebajikan intelektual. Hal semacam ini tentu sudah ada, karena pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang berakal yang selalu ingin mencari
tahu segala sesuatu dalam hidupnya. Hanya saja untuk istilah filsafat itu
sendiri baru muncul pada zaman Yunani Kuno dan dari sanalah istilah filsafat
itu lahir, dan kebanyakan kalangan barat menganggap bahwa Yunanilah yang
dianggap sebagi tanah kelahiran filsafat, sehingga seringkali kalangan barat
mengesampingkan pemikiran filsafat yang berasal dari luar Yunani, seperti
filsafat China dan India, karena dianggap tidak bersentuhan dengan
peradaban Yunani.
Jika ditelusuri lebih jauh mengenai arah perkembangan filsafat. Maka
akan diketahui bahwa awal kemunculan pemikiran filsafat itu ada ketika
adanya sebuah peradaban atau mungkin peradaban itu muncul karena adanya
filsafat. Secara umum peradaban yang mempunyai hubungan dengan Yunani
kuno adalah peradaban yang ada di Mesopotamia (kaldan/Irak), kemudian
menyebar ke Alexandria dan dari sanalah orang-orang Yunani belajar filsafat.
Pada awalnya orang-orang Yunani adalah orang yang lebih mempercayai
mitos dan dongeng-dongeng sebagai kebenaran daripada menggunakan
akalnya.
Pada abad 6 SM barulah bermunculan orang-orang yang menentang
kepercayaan yang berdasarkan mitos kepada kebebasan berpikir untuk
menelusuri semua misteri yang ada. Para pemikir itu menginginkan jawaban
dari segala misteri yang ada di alam ini haruslah dapat diterima akal
(rasional). Karena adanya kebebasan berpikir inilah kemudian muncul
berbagai konsep berdasarkan akal murni.

BABII
PEMBAHASAN
A. Filsafat Barat
1. Kemunculan filasafat barat
Dalam buku filsafat umum yang ditulis Muzairi, menyebutkan ada tiga
faktor yang menyebabkan munculnya filsafat di Yunani, yaitu:
a. Bangsa Yunani yang kaya akan mitos, dimana mitos dianggap sebagai awal
dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Kemudian mitos itu
disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga
muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus
dan lain-lain.
b. Karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kelahiran
filsafat Yunani, karya Homerus mempunyai kedudukan yang sanat penting
untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang didalamnya mengandung
nilai-nilai edukatif.
c. Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di
lembah Sungai Nil. Kemudian berkat kemampuan dan kecakapannya ilmuilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya tidak
didasarkan pada aspek praktisnya saja, tetapi juga aspek teori kreatif.1
2. Yunani Kuno dan Yunani Klasik
Filsafat yang ada di Yunani bisa dibagi dalam dua periode, yaitu periode
Yunani Kuno dan Yunani Klasik. Pada awal perkembangannya hal yang banyak
dikaji adalah yang berkenaan dengan alam (Yunani Kuno). Tokoh-tokohnya
yang terkenal pada periode Yunani Kuno adalah Thales, Phytagoras,
Xenophones dan Demokritos. Mereka lebih banyak membahas tentang alam
dan asal mula kejadian alam (kosmosentris). Seperti Thales yang oleh
1 Muzairi, Filsafat Umum,(Yogyakarta: Teras, 2009), hal 42

Aristotoles dianggap sebagai The Father of Philosophy. Dia mengatakan bahwa


asal mula alam adalah air dan berakhir menjadi air pula.
Phytagoras merupakan seorang yang ahli matematika sehingga dia
mengatakan bahwa substansi dari alam raya ini adalah bilangan sebagai pokok
dasarnya, karena segala gejala alam merupakan ekspresi indrawi dari
perbandingan-perbandingan matematis. Dan setiap bilangan itu memiliki
kekuatan dan arti sendiri-sendiri. Dia juga yang menggunakan istilah
philosophos yang kemudian menjadi philosophy yang disebarkan oleh
Socrates.
Pada masa Yunani Klasik pembahasan dari alam mulai bergeser pada
pembahasan tentang manusia (Antrophosentris). Tokoh-tokoh yang terkenal
pada masa ini adalah Socrates yang banyak membicarakan tentang moral dan
berusaha mengajak para pemuda untuk berpikir dan menemukan kebijaksanaan
dengan menjadi manusia yang bermoral dan beretika. Socrates mempunyai
murid yang bernama Plato. Platolah yang menuliskan riwayat hidup gurunya,
karena Socrates tidak meninggalkan tulian satu pun. Plato mengemukakan
tentang ide (alam ide) dan pengalaman. Namun pendapat Plato ini ditentang
alam ide oleh muridnya sendiri, Aristoteles, yang mengatakan bahwa realitas
yang sesungguhnya bukan pada alam ide tapi pada kenyataan yang kongkret.
Aristoteles sangat berjasa dalam mengembangkan metode berpikir secara
sistematis yang biasa disebut logika formal, walaupun istilah yang digunakan
Aristoteles adalah analitika dan logika baru dimunculkan oleh muridnya yaitu
Cicero.
Kemudian filsafat Yunani Klasik mengalami kemerosotan setelah
mencapai puncaknya (Arisitoteles) dan terjadi kekosongan pemikiran, karena
tidak adanya buah pemikiran yang dihasilkan seperti Plato dan Aristoteles.
Barulah lima abad kemudian filsafat kembali muncul di belahan Eropa
(kekaisaran Romawi), namun dengan kondisi yang sangat terikat oleh gereja.
Gereja melarang para pemikir melakukan penyelidikan-penyelidikan yang

menggunakan rasio terhadap agama dan jika bertentangan dengan ajaran gereja
akan dihukum berat. Kebebasan berpikir pun sangat dibatasi, filsafat hanyalah
pelayan bagi gereja. Sehingga masa ini bisa dikatakan masa kegelapan filsafat
dan ilmu pengetahuan.
Barulah setelah masa renaisans filsafat dan ilmu pengetahuan mulai
berkembang lagi, bahkan lebih pesat. Perkembangan selanjutnya bersifat
sekuler, yaitu pemisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dengan doktrindoktrin agama.
3. Filsafat Barat Setetelah Renaisans
Pada masa abad pertengahan bisa dikatakan bahwa filsafat barat dalam
keadaan yang terpuruk. Kebebasan berpikir sangat dibatasi dan dibelunggu
oleh sebuah institusi keagamaan yang bernama gereja. Setiap orang harus
memilih antara agama dan ilmu pengetahuan, jika dia memilih sebagai orang
yang taat pada Tuhan (gereja), maka dia harus memutuskan hubungan dengan
ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan (filsafat) dianggap menentang
agama. Kalaupun ada, maka semuanya harus tunduk pada gereja.
Setelah perang salib perkembangan ilmu pengetahuan di Barat mulai
berkembang dan perdaganganpun berkembang dengan pesat, selain itu banyak
penemuan-penemuan geografis dan percetakan buku yang terjadi pada
pertengahan abad xv, pusat-pusat kota jatuh pada pemilik bank dan orang yang
punya uang dan terjadi peralihan ekonomi dari perekonomian rumah tangga ke
perekonomian kapitalisme. Kota-kota Bandar mengalami kemajuan yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Banyaknya muatan barang dan luasnya
perdagangan dengan pelayaran ke daerah-daerah yang jauh yang memunculkan
para banker, pasar bursa, adanya perserikatan para pedagang, pengrajin, dan
pengusaha untuk memperluas hasil produksinya. Semua itu mengakibatkan
adanya sebuah sistem monopoli kekuasaan uang (kapitalisme). Para raja dan
rohaniawan hanyalah wayang-wayang yang dikendalikan oleh kapitalis.

Kapitalisme dan liberalisme awal ini memunculkan kebebasan individu


yang tak terikat lagi oleh iman gereja. Individu-individu ini bebas berpikir dan
berusaha mencari kebenaranya masing-masing, kebebasan ini mengakibatkan
berkembangya ilmu pengetahuan dengan pesat. Yang akhirnya ilmu
pengetahuan (filsafat) dapat mengalahkan dominasi gereja dan terjadilah
sekulerisasi dan otonomi manusia. Dengan latar belakang seperti ini, maka
kebanyakan filosof barat banyak bersandar pada kebenaran rasional dan
indrawi serta tidak mempercayai wahyu ilahi atau yang bersumber dari hati.
Kemudian munculah berbagai macam aliran filsafat yang ada di Barat.
Diantaranya yaitu, rasionalisme, empirisme dan positivism. Walau mereka
berbeda-beda, namun ada satu hal yang sama yaitu, semuanya bersifat
antrophosentrisme (berpusat pada manusia).
a. Rasionalisme
Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang menekankan
pikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir
bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan
untuk mengetahui struktur dasar alam semesta secara apriori. Pengetahuan
diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi.2
Tokoh-tokoh aliran ini yaitu, Rene Descartes, Leibniz, Cristian Wolff
dan Spinoza. Dari tokoh-tokoh ini Descarteslah yang menjadi tokoh sentral
dalam aliran rasionalisme dan disebut sebagai babak filsafat modern. Walau
kebanyakan kaum rasionalis menafikan adanya Tuhan, namun Descartes
masih memberi ruang pada Tuhan dengan asumsi Tuhan yang menciptakan
akal, juga Tuhan yang mencipatakan alam semesta. Tuhan bagi kaum
rasionalis seperti seorang matematikawan agung yang telah meletakan dasar
rasionalis pada manusia.
2 Akhyar Yusuf Lubeis, Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Depok: Penerbit
Koekoesan, 2011), hal. 41

Mereka menolak pengetahuan yang didapat dari cerapan inderawi


dengan mengatakan bahwa pengetahuan yang didapat dari pengetahuan
inderawi itu sifatnya berubah-ubah, sehingga tidak bisa dijadikan landasan
sebagai keputusan akhir dalam ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan
berupa metode deduktif sebagaimana terdapat dalam logika, matematika,
dan geometri.
b. Empirisme
Istilah empirisme berasal dari Yunani empeiria yang berarti
pengalaman. Bertolak belakang dengan rasionalisme yang memandang
akal budi sebagai satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran
pengetahuan, empirisme memandang hanya pengalamanlah sumber
pengetahuan manusia.3
Tokoh-tokohnya yaitu David Hume, John Locke, dan Bishop
Barkeley. Mereka mengatakan bahwa apapun yang ada dalam benak
manusia, semuanya itu berdasarkan pengalaman. Sangat mustahil kita
mengetahui sesuatu tanpa pernah mengalami terlebih dahulu, oleh
karenanya metode yang digunakan adalah induksi. Epistemology yang
mereka gunakan adalah nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu 4
(tidak satu pun yang ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat
pada data-data inderawi.
Dalam bukunya Donny Gahral Adian dan Akhyar Yusuf Lubis,
Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan menyebutkan bahwa Perkembangan
awal empirisme pada abad 17 disebut juga empirisme atomistic, karena
memahami data-data inderawi yang terpilah-pilah dan tidak punya
hubungan satu sama lain. Sedangkan perkembangan pada abad 20 bisa
3 Ibid, hal 45
4 Ibid, hal 47

disebut juga dengan empirisme logis atau positivism yang membatasi


pengalaman sebatas apa yang dipahami dan bahasa merupakan gambaran
kenyataan. Namun empirisme logis ini ditentang oleh empirisme radikal
atau pragmatism yang mengatakan bahwa pengalaman adalah seluruh
peristiwa yang dialami oleh manusia baik cipta, rasa dan karsa serta
interaksinya dengan alam disekitarnya.
c. Positivisme
Positivisme merupakan kelanjutan dari empirisme. Hanya saja
positivisme membatasi pengalaman sebagai sesuatu yang bisa diamati saja.
Banyaknya penemuan teknologi dan sains serta revolusi industri Inggris
pada abad 18 menjadi penyebab kemunculan positivisme. Positivisme
mengistirahatkan kerja filsafat dari spekulasinya tentang metafisika. Fungsi
filsafat hanyalah menemukan prinsip-prinsip umum yang sama dengan ilmu
pengetahuan dan darinya umat manusia dibimbing dalam hidupnya.
Tokoh positivisme yaitu, Henri Saint Simon dan muridnya Auguste
Comte. Comte membuat tiga tahap perkembangan sejarah yaitu;
1. Teologis, pada tahap ini manusia menganggap bahwa semua kejadian
yang ada di alam berkaitan langsung dengan kekuatan ilahi. Ini pun
masih bisa dibedakan dalam beberapa sub bagian yaitu, animisme
dinamisme, politheisme dan monotheisme.
2. Metafisis, pada tahap ini kekuatan ilahi digantikan oleh prinsip-prinsip
metafisika yaitu kodrat.
3. Positivis-Ilmiah, pada tahap ini manusia mulai meninggalkan kekuatan
absolut baik yang berupa ilahiah maupun yang kodrati dan beralih pada
observasi, pengukuran dan kalkulasi guna memahami hukum di jagad
raya ini.
Positivisme berubah menjadi semacam doktrin keagamaan dengan
cara melembagakan pandangan objektif-positivisnya pada semua jenis ilmu

baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial harus berada
dibawah payung positivisme. Dan pandangan inilah yang mendominasi
pandangan dunia pada abad 20.
Itulah sedikit pembahasan sejarah perkembangan filsafat yang ada di
Barat. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan orang yang berada
di belahan dunia selain barat yang menganut filsafat barat, apakah ia juga
termasuk tokoh filsafat barat? Kita bisa mengatakan bahwa secara geografis,
filsafat barat adalah filsafat yang muncul di dunia barat, namun setelah
filsafat itu menjadi sebuah aliran/pemikiran. Maka ketika orang itu
mengekor pada pandangan barat ia termasuk di dalamnya, walaupun ia
seorang timur sekalipun.
B. Kemunculan Filsafat Islam
1. Aspek Doktrin
Sebelum filsafat dikenal oleh kaum Muslim, mereka terlebih dahulu
mengenal ilmu kalam. Ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan berbagai
cabangnya, termasuk di dalamnya tentang kenabian dan hari akhir. Awal mula
kemunculan ilmu kalam adalah perdebatan mengenai Al-quran itu qadim atau
hadits, namun benihnya sudah ada sejak Nabi Muhammad wafat. Yaitu
siapakah pengganti atau pemimpin setelah beliau wafat. Dan mulai terlihat
dengan jelas ketika terjadinya perpecahan diantara umat Islam pada perang
shiffin antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dalam perang shiffin terjadilah peristiwa tahkim yaitu pihak Muawiyah
meminta damai dan kembali pada kitabullah sambil mengangkat mushaf
Quran. Awalnya Sayidina Ali menolak, namun sebagian pengikutnya
memaksa agar kembali pada kitabullah yang akhirnya beliau menyetujuinya.
Pada saat itu Muawiyah meminta agar kepemimpinan umat dipilih oleh rakyat
dan mengosongkan terlebih dahulu kepemimpinan yang sudah ada dan masingmasing pihak mengutus delegasinya. Pihak Sayidina Ali mengutus Abu Musa
al-Alasyari dan pihak Muawiyah mengutus Amr bin Ash. Dengan siasatnya

yang cerdik Amr bin Ash berhasil memenangkan kepemimpinan Muawiyah


dan menurunkan Sayidina Ali.
Setelah peristiwa tersebut umat Islam terpecah menjadi tiga golongan
yaitu pengikut setia Sayidina Ali yang kemudian dikenal dengan sebutan
Syiah, golongan yang keluar dari barisan Sayidina Ali yang merasa kecewa
dengan hasil keputusan yang didapat, padahal merekalah yang menyuruh
beliau untuk menerima perdamaian dengan Muawiyah, mereka kemudian
disebut kaum Khwarij. Dan golongan yang tidak berpihak pada keduanya dan
menangguhkan penilaian (salah dan benar) terhadap keduanya, golongan ini
dikenal dengan kaum Murjiah.
Golongan-golongan ini kemudian menjadi semacam madzhab yang
mempunyai doktrinnya sendiri-sendiri dengan mencari pembenaran Al-Quran
dan Hadits. Sebagaimana yang dilakukan kaum khwarij yang menganggap
kafir yang bukan dari golonganya dan harus membunuh aktor dalam peristiwa
tahkim, yaitu Sayidina Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Abu
Musa al-Asyari, karena mereka dianggap kafir.
Mereka pun kemudian terpecah-pecah lagi dan semuanya mengatakan
bahwa apa yang mereka yakini adalah dari Quran dan hadits. Mereka
menggunakan dalil naqli sekigus dalil aqli. Dan belakangan munculalah kaum
Mutazilah dengan teologi rasionalnya yang banyak meminjam konsep-konsep
Yunani dalam hal logika tanpa mengikatkan diri pada ajaran filsafat Yunani.
Kaum Mutazilah meletakan dasar kebebasan berpikir dan kebebasan
berkehendak dalam teologinya. Mereka menggunakan alat yang bernama
logika formal yang biasa digunakan oleh filsafat dalam mencari kebenarannya.
Dan dari sinilah benih filsafat Islam ditanamkan.
2. Aspek Sejarah

Latar belakang kemunculan filsafat Islam adalah karena adanya


penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa arab yang tersimpan
di perpustakaan kuno daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum muslim,
seperti Alexandria, Antioch, Edessa, Harran dan Judinsapur. Kota-kota tersebut
dulunya adalah pusat ilmu pengetahuan.
Pada masa berakhirnya Bani Umayah dan permulaan Bani Abbasiyyah
penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani atau pun Suryani
diterjamahkan dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai pusat
tersebut. Penerjemahan tersebut memakan waktu sekitar 150 hingga 200 tahun.
Pada masa berikutnya bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan selama
700 tahun.
Penerjemahan di masa Harun Ar-Rasyid (786-809 M) difokuskan pada
karya-karya Aristoteles dan karya-karya bangsa Persia.kemudian dilanjutkan
oleh Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik dengan kebebasan berpikir yang
berkuasa 813-833 M. Beliau mengadakan hubungan kenegaraan dengan rajaraja romawi, Bizantium yang berpusat di Konstantinopel.
Dengan adanya berbagai macam interaksi dengan dunia luar dan
penerjemahan buku inilah yang mengakibatkan kemunculan filsafat di dunia
Islam. Metode-metode filsafat mulai digunakan dalam menafsirkan ajaran
Islam yang bersumber dari Quran dan Hadits. Seperti yang dilakukan AlKindi yang dikenal sebagai babak filsuf Islam atau Arab yang menafsirkan
Quran secara rasional bahkan dengan cara filosofis.
Pada awal kemunculannya corak filsafat Islam kebanyakan beraliran
paripatetik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani khususnya Aristoteles. Walau
demikian bukan berarti filosof muslim hanya mengekor pada pemikiran
Yunani, melainkan melakukan kritik dan menambahkah permasalahanpermasalahan baru yang harus diselesaikan. Permasalahan-permasalahan ini
sebelumnya tidak ada pada masa Yunani. Selain paripatetik ada juga aliran

Iluminisionis

dan

Hikmah

Mutaaliyah

yang

merupakan

ciri

khas

pemikiran/filsafat Islam.
Itulah sejarah singkat tentang lahirnya filsafat Islam, yang memunculkan
banyak tokoh filsafat di dunia Islam seperti, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ar-Razi, Alfarabi, Suhrawardi, At-Thusi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Ikhwanus Shafa, Mulla
Shadra dll. Yang masing-masing mempunyai pemikirannya sendiri-sendiri.
C. Perbedaan isu-isu filsafat Islam dan Barat
1. Isu-isu filsafat Islam.
a.

Metafisika.
Didalam isu-isu filsafat Islam mengenai pembahasan metrafisika,
kami mengambil teori dari Abu Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan
ibn Auzalagh, yang terkenal dengan nama Alfarabi. Seorang filosof yang
lahir pada tahun 257H (870M).
Dalam

karyanya

yang

berjudul

Falsafah

Aristhuthahlis,

ia

menjelaskan bahwa metafisika itu adalah ilmu yang mempelajari eksistensieksistensi (maujud-maujud), dan ada muatan ganda yaitu tentang wujud dan
teologi. Artinya bahwa metafisika itu ilmu yang mempelajari tentang
konsep-konsep umum tentang wujud, spesies aksiden, kesatuan, sedangkan
teologi itu sendiri adalah sebagai bagian dari ilmu universal tersebut, karena
Tuhan secara umum adalah prinsip wujud. Menurut al-Farabi ada tiga
masalah penting mengenai metafisika yaitu esensi, eksistensi sesuatu, pokok
utama segala yang maujud, dan dan prinsip utama mengenai gerak dasar
menurut ilmu pengetahuan.
Al-Farabi memulai pembahasan mengenai wujud pertama, sifat-sifat,
dan cara-cara-Nya menimbulkan segala sesuatu melalui proses emanasi.
Wujud pertama ini menurutnya itu adalah sebagai sebab pertama atau
penyebab bagi yang lain. Bersifat sempurna, kekal abadi, terhindar dari

keterbatasan, berbeda dengan wujud yang merupakan akibat dari-Nya,


wujudnya bukan atas dasar suatu tujuan karena jika begitu, maka tujuan itu
adalah lebih awal dari-Nya, tentu yang dimaksud disini adalah Tuhan.
Al-Farabi membagi wujud menjadi dua: wajib al-wujud yang
merupakan wujud niscaya dan mumkin al-wujud yang wujudnya itu tidak
niscaya, karena wujudnya bergantung pada wujud yang sebelumnya. Dan
untuk menerangkan sifat-sifat-Nya itu al-Farabi merujuk pada Al-Quran
seperti al-alim, al-hakim, al-haq dan sebagainya.
Emanasi pada dasarnya itu bermula pada bentuk tunggal dan
bertingkat sampai akhirnya menimbulkan atau menciptakan segala sesuatu
yang beraneka ragam. Wujud Allah itu adalah wujud mutlak yang berfikir,
sebelum adanya wujud-wujud selain diri-Nya. Yaitu berfikir tentang dirinya
yang akhirnya memancarkan akal pertama. Dan akal pertama ini juga
berfikir tentang Allah dan terpancarlah akal kedua, kemudian proses ini
berjalan terus menerus sampai pada akal yang kesepuluh. Dan akal
kesepuluh ini adalah wujud terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud
immaterial, dimana akal kesepuluh ini sebagai adalah akal terakhir.
Secara lebih jelas proses terjadinya emanasi menurut al-Farabi dapat
dijelaskan demikian: Tuhan sebagai wujud pertama dan akal murni dengan
menjadikan dirinya sebagai subjek dan sekaligus objek melakukan taaqqul
(berpikir) sehingga terjadilah pelimpahan. Wujud pertama lahir (wujud
kedua dalam urutan emanasi disebut al-Aql al-Awwal). Akal pertama lalu
berpikir, memikirkan dirinya sendiri memunculkan al-aqlu al-sani (akal
kedua) dan bertaaqqul terhadap dirinya sendiri melahirkan al-samaul ula
(langit pertama). Dengan munculnya langit pertama, mulai dari sini emanasi
tunggal berubah menjadi plural. Akal kedua atau wujud ketiga berpikir
tentang wujud pertama melahirkan al-aqlu al-salis (akal ketiga) atau wujud
keempat atau taaqul-nya terhadap dirinya sendiri menimbulkan kurratu alkawakib atau sabitah (bintang-bintang) begitulah seterusnya taaqul akal

atau wujud keempat melimpahkan akal keempat atau wujud kelima hingga
sampai akal kesepuluh atau wujud ke sebelas.
b.

Moral
Berbeda yang kami jelaskan pada filsafat moral dari barat yakni dari
seorang filosof David Hume, yang akan dibahas berikut. Namun sekarang
adalah pembahasan mengenai pandangan filsafat moral dari seorang filsafat
Islam Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi (864-925M), yang lebih
dikenal dengan Ar-Razi.
Ar-Razi, menjelaskan tentang filsafat moralnya itu dengan baik, ia
menjelaskan tentang tindakan-tindakan, atau sifat-sifat buruk, seperti iri
hati, dusta, dan ia juga menjelaskan tentang kebahagiaan, kesenangan dan
yang lainya.
Ia

dalam

teorinya

tentang

kesenangan,

menjelaskan

bahwa

kebahagiaan ialah kembalinya apa yang telah tersingkir dari kemudharatan,


seperti orang yang meninggalkan tempat teduh menuju tempat yang terkena
sinar matahari yang panas akan senang ketika kembali ketempat teduh.5
Keseluruhan

etikanya

difokuskan

pada

himbauan

akal

yang

mengontrol hawa nafsu, yaitu penting memerangi, dan menekan dan


mengendalikan hawa nafsu. Mungkin inilah perbedaanya dengan David
Hume yang mengatakan moralitas itu tidak ada kaitanya dengan akal.
Sedangkan Ar-Razi yang sudah dikatakan diatas akal yang memfokuskan
kajianya mengenai ini dengan himbauan akal. Dari sini kita sudah bisa
menemukan perbedaanya antara David Hume dari filsafat Barat dan Ar-Razi
dari filsafat Islam.
c.

Jiwa
5 Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA Pengantar Filsafat Islam hal 77.

Pada pembahasan jiwa kali ini mengenai pandangan filsafat Islam


tentang jiwa, ada beberapa tokoh filosof yang kami sajikan salah satunya
dari ikhwan Ash-Shafa.
Ikhwan Ash-Shafa juga mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari
dua unsur, yang pertama adalah tubuh yang bersifat materi yang terdiri dari
air, tanah, api dan udara. Kemdian yang kedua adalah jiwa yang bersifat
immateri. Masuknya jiwa kedalam tubuh yaitu karena jiwa melakukan
kesalahan seperti Nabi Adam As dan Hawa. Karena kesalahan itu jiwa yang
tadinya dialam rohani turun kebumi dan merasuk ketubuh, yang tadinya
punya banyak pengetahuan karena masuk kedalam tubuh jiwa menjadi lupa,
jadi mengetahui apa-apa. Yang ada hanyalah pengetahuan secara potensi.
Namun karena jiwa memiliki tubuh jadi ia bisa kembali mendapatkan dan
menerima pengetahuan secara actual.
Ketika jiwa itu kembali menerima dan mendapatkan pengetahuan
dengan benar, jiwa manusia menjadi suci, dalam hal ini ia menyebutnya
sebagai malaikat dalam potensi, kemudian ketika manusia mengalami
kematian lepasnya jiwa dari tubuh, barulah jiwa mengaktual menjadi
malaikat. Sebaliknya jika jiwa manusia kebanyaan dosa dan kotor, maka
disebut setan dalam potensi, kemudian setelah mati barulah jiwa mengaktual
menjadi setan.
Berbeda dengan Nasiruddin Ath-Thusi (1201M) yang membagi jiwa
kedalam tiga bagian yaitu jiwa manusiawi, hewani, dan yang terakhir jiwa
imajinatif. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal, dari sini ia
membagi akal toeritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan
potensialitas, yang perwujudanya adalah konsep yang menjadi nyata terlihat
dan pengetahuan. Sedangkan akal praktis itu terkait dengan tindakantindakan yang disengaja atau tidak disengaja.

Jiwa imajinatif berkaitan dengan gambaran-gambaran rasa atau


perasaan, yang mana jika ia disatukan dengan jiwa hewani yang terjadi
adalah kehancuran karena jiwa hewani itu hanya mendorong kita akan
kepuasan dan kesenangan (hawa atau nafsu). Namun jika disatukan dengan
yang jiwa manusiawi maka akan akan ikut bergembira atau bersedih
bersema jiwa itu.
Ar-Razi membagi tentang manusia itu badan dan roh atau jiwa, orangorang yang mengatakan hal ini berbeda pendapat dalam penetapan spesifik
ini:
1) Empat macam komponen atau campuran yang kemudian mewujudkan
badan ini.
2) Maksudnya adalah darah.
3) Roh yang lembut dan muncul disisi kiri dari hati, dan mengakses sel-sel
keseluruh anggota badan.
4) Roh yang naik didalam hati ke otak, kemudian membentuk proses yang
selaras untuk menerima kekuatan menghafal dan berfikir dan mengingat.
5) Fisik yang berbeda dengan badan yang dapat diraba ini yang bersifat
tinggi, ringan, hidup, yang menyebar kesuluruh tubuh dan memberi
pengaruhnya yang berupa rasa dan gerakan.6
Bisa kita bandingkan dengan pembahasan jiwa yang dibahas Plato
dengan teori jiwa tripatitnya yang kami bahas berikut, mungkin terlihat
sama dengan milik At-Thusi namun dalam istilah berbeda, tapi Ath-Thusi
sedikit lebih lengkap karena ia membagi lagi konsep jiwa manusiawinya
yang dalam istilah pembahasan Plato disebut akal. Sedangkan Ikhwan AshShafa agak sedikit sederhana. Dan Ar-Razi yang berbeda penjelasanya dan
pembagianya, namun ada sedikit kesamaan.
d.

Eskatologi.

6 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Roh hal 290-291.

Masalah kebangkitan adalah salah satu masalah filsafat dan juga


teologi, ini terkait dengan mungkin ataukah mustahil ada kehidupan setelah
mati, atau menghidupkan kembali apa-apa yang sudah mati. Demikian juga
kaitanya dengan masalah jiwa itu kekal atau tidak,dan terdiri dari apakah
tubuh itu, bisa juga apasih tubuh manusia itu, karena dari situ kita bisa
melihat bahwa jika manusia dibangkitkan kembali dari kematianya, maka
yang bangkit itu jiwa atau tubuh (raga) nya.
Para filosof juga berbeda pendapat mengenai masalah kebangkitan
apakah tubuh dan jiwa atau kah jiwa saja yang dibangkitkan. Namun salah
satu dari filosof Islam yaitu Ibn Sina (Avicienna) percaya kebangkitaan.
Dalam salah satu bukunya Al-Syifa, dan Al-Isyarat, dia ingin membuktikan
bahwa pahala dan dosa itu dibagikan secara merata kepada tubuh (badan)
dan jiwa. Ia mengatakan bahwa bukti kebangkitan dapat diambil dari
pengetahuan agama, namun untuk membuktikan kebenaran kejadianya, itu
kita harus melihat pada syariah dan hadis nabi, yakni tentang terjadinya
kebangkitan jasmani, kebahagiaan jiwa dan kesengsaraannya dapat
dibuktikan secara rasional melalui deduksi logika dan Al-Quran dan Hadis
yang diakui oleh nabi.7 Filosof Shadr Al-Din Syirazi juga membahas tentang
kebangkitan, dan ia juga sama membuktikannya dengan Al-Quran dengan
Sunnah.
Masalah mengenai jiwa atau badan yang bangkit ataukah dua-duanya
itu merupakan masalah yang bukan sederhana, karena begitu banyak
pendapat mengenai hal ini. Ada golongan yang menyatakan yang mati itu
adalah roh atau jiwa dengan dalil bahwa tidak ada yang kekal kecuali Allah
semata, Allah berfirman dan, tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. (Ar-Rahman: 27).

7 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman Ensiklopedia Tematis


Filsafat Islam hal 177.

Sebagian orang yang menyatakan bahwa badan itulah yang mati


dengan argumrn banyak hadis menunjukan kenikmatan dan siksaan roh
setelah mati, Allah berfirman: Janganlah kamu mengira bahwa orangorang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi
Rabbnya dengan mendapati rezki, mereka dalam keadaan gembira
disebabkan karunia yang diberkan-Nya kepada mereka, dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang. (Ali
Imran: 169-170).
Ysng menyatakan badan dan roh yang hidup adalah sebagai berikut
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yanga
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hambaku,
dan masuklah kedalam surgaku. (Al-Fajr: 27-30). Dan Allah berfirman,
Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikanya (susunan tubuh) mu seimbang. (Al-Infithar: 7). Dapat kita
ketahui dari sini bahwa suatu jiwa atau roh membentuk rupa tertentu
dibadan, yang membedakanya dengan yang lain. Ia badan yang baik dan
yang buruk akan memperoleh hasil dari kebaikan dan keburukannya dan roh
yang baik dan yang buruk juga akan memperoleh kebaikan dan
keburukanya.8
e.

Kenabian
Banyak pandangan mengenai teori kenabian menurut beberapa filosof,
beberapa teori ini beraneka ragamnya, dari mulai Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn
miskawih, sampai Nasiruddin At-Thusi. Kami mewakilkan teori kenabian
berdasarkan para filosof ini.
Ar-Razi adalah seorang filsafat rational murni, Ia sangat menjunjung
tinggi akal. Katanya manusia mempunyai akal yang membedakan dari
hewan dan yang lainya, yang bisa memperoleh banyak pengetahuan, bahkan
8 Ibnu Qayyim Al Jauziyah Roh hal 73-74.

akal bisa mengetahui pengetahuan tentang Tuhan. Ia berpendapat bahwa


manusia itu tidak butuh nabi dalam bukunya Naqd al-adyan au fi alnubuwwah (kritik terhadap agama-agama atau kenabian) nabi tidak boleh
atau tidak berhak mengklaim bahwa dirinya itu mempunyai keistimewaan,
karena semua manusia dimana Tuhan itu adalah sama, yang membedakan
adalah pendidikan dan perkembanganya. Setiap bangsa hanya percaya pada
nabinya saja dan tidak mengakui nabi yang lain, dan fanatik terhadap
agamanya, sehingga menimbulkan perpecahan dan kekacauan.
Mungkin karena pendapatnya yang ekstrim ini bukunya-bukunya
dimusnahkan. Tapi perlu digaris bawahi bahwa ia adalah seorang filosof
rasional murni. Banyak orang beranggapan bahwa Ar-Razi itu zindik bukan
Islam. Menurut Abd al-Lathif Muhammada al-Abad, mereka tidak melihat
karya-karyanya yang lain, Ar-Razi mengakui adanya Tuhan yang Maha
Bijaksana dan hari akhir bahkan dalam kitabnya Sirr al asrar atau Baru al
saan ia tidak lupa shalawat kepada nabi.
Al-Farabi dengan teori kenabianya itu karena termotivisir pemikiran
filosof sebelumnya yang berpendapat bahwa manusia tidak butuh nabi,
karena filosof juga bisa menangkap hal-hal yang diluar jangkauan indera
dan sehingga dapat berhubungan dengan akal 10 (jibril).
Menurutnya manusia dapat berhubungan dengan akal Faal itu dengan
dua cara: pertama penalaran, renungan pikiran dan kemudian yang kedua
adalah imajinasi, intuisi atau ilham. Cara yang pertama itu hanya mungkin
diraih oleh orang-orang pilihan yang sudah melatih akalnya, dalam hal ini
kita sebut filosof. Sedangkan cara yang kedua itu hanya nabi yang bisa
karena mempunyai daya intuisi yang tinggi, disamping itu nabi dianugerahi
akal dengan kekuatan suci, dan nabi juga berhubungan dengan akal 10
secara langsung.

Al-Farabi mennjelaskan bahwa perbedaan antara filosof dan nabi itu


adalah bahwa setiap nabi itu filosof, namun setiap filosof belum tentu nabi.
Bagaimana dengan Nasiruddin At-thusi? Ia menjelaskan bahwa
mempunyai sifat seperti kebebasan bertindak, sehingga hal ini menimbulkan
konsekuensi terjadinya kekacauan didunia, oleh karena itu manusia perlu
peraturan Tuhan yang suci untuk membibing manusia. karena Tuhan tidak
terjangkau maka manusia memerlukan nabi, yang nantinya bisa mengatur
kehidupan social, politik, dan moralitas manusia.
Sedangkan Ibn Miskawih penjelasanya hampir sama dengan al-Farabi.
Manusia itu butuh nabi karena nabi itu sumber informasi-informasi untuk
mengetahui sifat-sifat Tuhan dan moralitas dengan yang baik. Menurutnya
filosof memperoleh pengetahuan itu pertama dari daya indera, terus kedaya
khayal, kemudian kedaya pikir, dan bisa berhubungan dengan akal aktif
(Jibril), sedangkan nabi mendapatkan secara langsung dari akal aktif atau
jibril.
2. Isu-isu filsafat Barat.
a. Moral
David Hume (1711-1776) seorang tokoh utama empirisme, yang
mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu atau
pengetahuan diluar pengalaman. Dairi sini maka sudah tentu Hume
menyankal segala masalah metafisika.
Mengenai masalah etika atau moral hume mengatakan bahwa tidak
ada yang baik dan buruk, artinya dalam penilaian suatu kejadian atau
tindakan itu pada dirinya tidak ada baik dan tidak ada buruk (jahat). Yang
ada ada adalah penilaian dari emosi atau perasaan kita mengenai suatu
kejadian itu. Contohnya adalah ketika ada seorang anak memukul ayahnya,
dalam kejadian ini itu sesungguhnya tidak baik atau buruk, artinya baik dan

buruk itu tidak kelihatan. Barulah ketika emosi atau perasaan kita bereaksi
dengan spontan menilai ini seperti ini, atau itu seperti itu.
Maka menutut David Hume moralitas itu hanya hal mengenai
perasaan. Seluruh moralitas hanyalah satu sistem yang denganya kita
mengatur pengalaman yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan
dengan cara yang berguna bagi kehidupan bersama.
Dengan demikian Hume berbeda dengan filsafat tradisional yang
beranggapan bahwa bersifat moral itu adalah yang menurut pada akal.
Penjelasanya yaitu bahwa didalam diri manusia itu terdapat akal budi dan
emosi, ketika emosi mucul secara spontan kemudian akal budi mengetahui
mana yang benar mana yang salah, maka akal memberitahu atau
mengarahkan emosi bertindak kepada yang baik.
Hume menyatakan moralitas itu tidak ada kaitanya dengan akal budi.
Misalkan kita contohkan ketika kita marah pada seorang teman kita karena
suatu hal, tentunya teman kita adalah objek sasaran kita, tapi kita malah
menluapkan kemarahan kita dengan tindakan merusak tanaman atau
memukul pohon, tentunya tindakan ini tidak rational. Atau ketika kita
merasa takut setentgah mati ketika melihat bayangan yang besar, padahal itu
hanyalah bayangan dari seseorang atau suatu benda, ini juga tidak rasional.
Maka dari itu ia mengatakan bahwa pandangan moral itu tidak ada sangkut
pautnya dengan akal. Kemudian mengenai penilaian-penilaian moral juga
tidak ada hubunganya dengan akal. Nilai-nilai moral atau tindakan baik atau
jahat itu tidak melekat pada sifat orang itu dan tindakanya, karena ini hanya
merupakan reaksi dari pengamat yang menilainya.
Manusia secara alami meminatidan menyukai kenikmatan dan
membenci sekaligus menolak apa yang terasa tidak nyaman dan tidak enak
pada dirinya. Maka dari itu moralitas hanyalah masalah perasaan. Kemudian
bagaimanakah cara penilaian moral itu? Hume mengatakan bahwa moralitas

mesti berdasarkan emosi hati manusia yang tidak egois menguntungkan diri
sendiri. Menurut Hume perasaan ini disebut sebagai cinta kemanusiaan.
Karena didalam setiap individu-individu seseorang memiliki cinta
kemanusiaan, inilah yang menjadi dasar moralitas umum dan dasar
moralitas manusia.
b. Jiwa
Plato mengamati bahwa manusia itu mempunyai esensi. Disamping
tubuh (raga) manusia juga mempunyai jiwa, dan ini bukan merupakan hal
yang sederhana. Manusia mempunyai tiga elmen, yang pertama adalah yang
membedakan manusia dengan yang lainya yaitu akal untuk berfikir, dan
kemampuan menggunakan bahasa, kemudian yang kedua adalah elmen
rohaniah yaitu rasa benci, cinta, ambisi, semangat, kemarahan, melindungi
diri dan yang lainya, kemudian yang terakhir yaitu yang ketiga adalah nafsu
badaniah ang berupa dorongan untuk memuaskan hasrat, dan kebutuhan.
Plato menjelaskan ketiga elmen tersebut bahwa elmen pertama yaitu
akal adalah tingkatan paling tinggi karena dapat menilai dan mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah, oleh karena itu akal menduduki
tingkatan pertama, kemudian tingkatan yang kedua itu adalah elmen
rohaniah dam yang terakhir itu adalah hawa nafsu merupakan elemen pada
tingkatan terendah. Teori ini disebut dengan teori jiwa tripatit.
Jadi bisa dilihat dari penjelasan singkat mengenai teori jiwa tripatit
ini, kita bisa tarik kesimpulan karena kemampuan manusia dalam tingkah
berfikir itu berbeda-beda, buktinya ada yang bisa menjadi dokter, filosof,
bahkan tukang cuci dsb. Tergantung manusia itu sendiri menggunakan
akalnya seberapa jauh. Begitu juga mengenai hawa nafsu dan kerohaniaan,
manusia mempunyai kecendrungan berbeda, dan juga tingkatanya.
Didalam jiwa juga mempunyai konflik, ketika tingkatan tertinggi dari
elmen pertama akal, akan dihadapkan kepada situasi-situasi tertentu.

Misalkan ketika seseorang menemukan dalam jumlah besar, hawa nafsu


mendorong untuk mengambilnya, tetapi akal berkata lain, untuk mengambil
uang itu karena bukan miliknya. Lalu bagaimana mengatasi konflik jiwa,
agar kualitas jiwa meningkat? Plato menganalogikan seperti berikut:
manusia sebagai akal, elmen rohani sebagai singa, kemudian hawa nafsu
sebagai

naga

berkepala

banyak.

Untuk

menyatukan

jiwa

atau

meningkatkanya yaitu dengan cara membujuk singa untuk membantu


manusia menjaga naga agar tetap terawasi.
Artinya dari analogi diatas bahwa elmen-elmen itu harus semuanya
digunakan dalam artian semuanya harus seimbang antara elmen satu dengan
elmen yang lainya untuk menyatukan jiwa Begitulah salah satu teori jiwa
filsafat barat, yang kami ambil dari seorang filosof yaitu Plato.
D. Metodologi Filsafat Islam dan Barat
Filsafat juga memiliki metodenya sendiri. Namun pada bidang filsafat
paling sulit bicara mengenai satu metode filsofis, dikarenakan ada berbagai
macam aliran filsafat, maka ada berbagai macam juga metode yang digunakan,
namun filsafat tetap mengikuti hakekat umum.
1. Metode dan objek filsafat
Pada bidang filsafat, metode dan objek formal tidak dapat dipisahkan.
Seperti masing-masing filsafat menentukan objek formal filsafat menurut
pemahamnya

sendiri-sendiri,

begitu

juga

mereka

masing-masing

mempunyai metodenya dan logikanya, sesuai dengan objek formal itu dan
uraian teorinya. Jadi jelaslah adanya perbedaan antara realisme aristoteles,
idealisme, positivisme, materialisme, eksistensialisme. Filsafat berbicara
mengenai metodenya sendiri. Yang mana metodenya itu dijelaskan, dibela,
dipertanggung jawabkan.

Menurut Louis Katt Soff objek filsafat itu bukan main luasnya, yaitu
meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin
diketahui manusia
Objek filsafat ada dua, yakni:
1.

Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis

besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok:


a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.
2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat
(sarwa-yang-ada)
Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya
yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak
pada subjek yang mempunyai komitmen Quranik.
2. Pemakaian metode-metode ilmiah umum
Masing-masing metode filsafat juga dengan sendirinya mamakai dan
menghayati unsur-unsur metodis umum seperti pencerapan, rasio, induksi,
deduksi dan sebagainya. Namun setiap filsafat menerapkannya menurut
gayanya sendiri. Kadang-kadang cara dan tekanan khusus itu nampak dalam
nama

aliran

filsafat

(segi

subjektif);

rasionalisme,

pragmatisme,

fenomenologi, positivisme, empirisme. Namun lebih kerap nama aliran


objek formal (segi objektif); realiasme, idealisme, meterialisme, monisme,
essensialisme, vitalisme. Tetapi bagaimanapun mereka harus memberi arti
dan fungsi kepada semua unsur metodis umum.
3. Metode filsafat yang khas
Kekhasan metode filsafat merupakan masalah yang paling pokok,
namun itu juga merupakan hal yang paling sulit dijawab. Rupanya tidak ada

metode filsafat umum. Masing-masing filsafat menunjukan haknya bahwa


dialah yang mempunyai metode umum yang dimaksudkan itu, dan menolak
metode lain.
Maka dalam usahanya untuk menggambarkan metode filsafat umum,
banyak ahli metodologi lari kembali ke unsur-unsur metodis umum saja,
dengan berkata misalnya bahwa bagi filsafat berlakulah metode induktifdeduktif. Namun itu belum cukup. Metode filsafat umum tidak dapat
ditemukan dengan menyaring semua metode filsafat saja, dan menyuling
darinya sesuatu yang murni. Penentuan metode filsafat adalah usaha
filosofis, yang melibatkan pula pemahaman tentang filsafat dan tentang
objek formalnya.
4. Metode-metode filsafat konkrit
Sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metodemetode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling penting dapat
disusun menurut garis historis sebagai berikut:
a. Metode kritis: Sokrates, Plato.
Bersifat analisa istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika,
yang menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan.dengan
jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan
dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat.
b. Metode intuitif: Plotinus, Bergson.
Dengan jalan introspeksi intuitif, dan dengan pemakaian simbolsimbol diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan persucian
moral), sehingga tercapai suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan
jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan tercapai
pemahaman langsung mengenai kenyataan.

c. Metode

skolastik:

Aristoteles,

Thomas

Aquinas,

filsafat

abad

pertengahan.
Bersifat sintesis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisidefinisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya.
d. Metode matematis: Descartes dan pengikutnya.
Melalui analisa mengenai hal-hal komplek dicapai intuisi akan
hakekat-hakekat sederana (ide terang dan berbeda dariyang lain); dari
hakekat-hakekat itu dideduksikan secara metematis segala pengertiam
lainnya.
e. Metode empiris: Hobbes, Locke, Berkelay, Hume.
Hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka
semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandingkan dengan
cerapan-cerapan (impressi) dan kemudian disusun bersama secara
geometris.
f. Metode transendental: Kant, neo-skolastik.
Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisa
diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian.
g. Metode dialektis: Hegel, Marx.
Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri, menurut
triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan.
h. Metode fenomenologis: Husserl, eksistensialisme

Dengan jalan beberapa pemotongan sintesis (reduction), refleksi


atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hekekat-hekekat
murni.
i. Metode neo-positivistis.
Kenyataan

dipahami

menurut

hakikatnya

dengan

jalan

mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan


positif (eksakta).
j. Metode analitika bahasa: Wittgenstein.
Dengnan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan
salah tidaknya ucapan-ucapan filosofis.
5. Metode yang digunakan untuk mencapai pengetahuan
a. Metode empiris : adalah metode pengetahuan yang didapat dari
pengalaman atau dari indra. Namun ada beberapa kelemahan dalam
metode ini, diantaranya pernyataan bahwa kesimpulan rasional tidak
harus melalui metode empiris tapi kesimpulan harus melalui metode
rasional.
b. Metode naratif (pemberitaan) : adalah metode mendapatkan pengetahuan
dari berita-berita dengan membaca dan mendengar. Ulama ushul fiqh
menggunakan metode ini, misalnya untuk menggunakan hukum dengan
dalil (pemberitaan dari orang lain) Syarat utama adalah jujur. Metode
naratif tidak bisa berdiri sendiri dan harus ditopang oleh metode lain.
Mungkin metode ini hanya ada dalam islam karena mengambil sumber
teks dari quran & hadist.
c. Metode intuitif : adalah metode mendapatkan pengetahuan yang didapat
dari intuisi dan secara langsung (tanpa parantara). Dalam pengetahuan
tedapat tiga unsur yakni aaalim, malum & pengetahuan(orang yang

mengetahui,diketahui dan pengetahuan). Contoh pengetahuan tentang


diri, antara yang mengetahui dan diketahui bersatu (S dan O menyatu)
sehingga pemahaman menganai diri anda tanpa melalui konsep disebut
juga pengetahuan khuduri (hadir dalam diri kita)
d. Metode rasional : murni datang dari kemampuan tertentu dalam jiwa
manusia yang bernama rasio atau akal yang memiliki bebrapa
kemampuan, salah satunya berfikir, hal inilah yang membedakan
manusia dari dengan mahluk lainnya. Kita menghasilkan pengetahuan
dari perbuatan yang dilakukan oleh akal dengan berfikir yakni
menggunakan metode rasional. Tanpa adanya metode rasional, maka
metode naratif dan empiris tidak dapat memperoleh pengetahuan. Intuisi
yang paling prinsip, kemudian menggunakan metode rasional, dalam
studi apapun termasuk agama yan harus kita lakukan adalah berfikir.
E. Perbedaan Fisafat Islam dan Barat (dari segi kelompok, metodologi
&teori)
1. Filsafat islam
a. Paripatetik9
Istilah paripatetik merujuk kepada istilah Aristoteles yang selalu
berjalan mengelilingi muridnya. Beberapa filosof yang dikategorikan
dalam aliran ini adalah Al-Kindi, Alfarabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan
Nasruddin Thusi. Ciri khas aliran ini dari segi metodologis atau
epistemologis adalah:
1) Penjelasan filosof paripatetik bersifat sangat diskursif (bahsi) yakni
mengunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal yang
dikenal juga dengan sebutan silogisme.

9 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang kearifan : sebuah pengantar


filsafat islam hal 25-73

2) Mengguunakan konsep ilmu hushuli (perolehan) yakni diketahui


secara tidak langsung melalui perantara.
3) Sangat mengandalkan rasional, sehingga kurang memperhatikan
intiutif.
4) Mempercayai Hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa
apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utama, yakni
materi (hyle) dan bentuk (morfis). Bentuk-bentuk benda bersifat
kategoris.
5) Adanya teori emanasi yang membedakan dengan aristotelianisme
murni.
6) Dalam teori wujudnya, ibn sina mengatakan wujud adalah yang
nyata/real.
Berkaitan dengan masalah emanasi ini, awalnya Alfarabi kecewa
atas buku metafisika Aristoteles yang tidak banyak membicarakan
masalah ketuhanan yang merupakan tema pokok dalam Islam, begitu
juga Ibn Sina merasa kecewa dengan hal itu. Kemudian Alfarabi
menemukan teori emanasi Plotinus, pendiri aliran neo-platonik. Dan
akhirnya Alfarabi dapat menghasilkan teori emanasi yang lebih cangih di
banding Plotinus. Dan kemudian di susul pula dengan teori emansi Ibn
Sina yang lebih cangggih dari teori emanasi Alfarabi.
Kemudian, berkaitan dengan teori hylomorphis Aristoteles, Ibn
Sina mengemukakan bahwa dunia secara keseluruhan ada bukan karena
kebetulan, tetapi ia diberikan oleh tuhan, ia diperlukan dn keperluan ini
diturunkan dari tuhan. Inilah prinsip Ibn Sina tentang eksistensi. Dari
sudut pandang metafisik, teori tersebut berupaya melengapi analisis
Aristoteles tentang suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan,
yaitu bentuk dan materi.

Ibn sina mengatakan bahwa bentuk dan materi itu hanya


bergantung kepada tuhan (akal aktif) dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi
yang tersusun juga tidak hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja,
tetapi harus terdapat sesuatu yang lain . akhirnya ia menjelaskan
kepada kita bahwa segala sesuatu kecuali Allah yang Esa yang esensiNya adalah tunggal dan maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu
yang lain didalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan
ketidakadaan yang mutlak. Sekarang ia bukan materi sendiri tanpa
bentuknya, atau bentuk sendiri tanpa materinya yang layak mendapatkan
ketidakadaan itu, tetapi adalah semuanya ( bentuk dan materi).
b. Illuminasi (Isyroqi)
Aliran

ini

diidrikan

oleh

Suhrawardi

Al-maqtul.

Adapun

metodologi yang digunakan adalah:


1) Ia mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif /
irfani
2) Berkaitan dengan pengalaman mistis, maka illuminasi menggunakan
konsep ilmu hudhuri,karena dalam pengertian mistis seperti itu objek
penelitian telah hadir pada diri seseorang sehingga modus pengenalan
seperti ini serring disebut ilmu hudhuri
3) Memiliki konsep Metafisika cahaya, Tuhan adalah cahaya diatas
cahaya (nurul anwar) yang merupakan sumber dari segala cahaya.
4) Benda-benda tidak memiliki definisi kategoris sebagaimana yang
dipercayai kelompok paripatetik, yang membedakan hanyalah
intensitas cahaya yang dimikinya, semakin banyak cahaya semakin
tinggi derajatnya contohnya, hewan dan manusia tidak bisa dibedakan
secara kategoris melalui esensinya tetapi disebabkan kenyataan

bahwa manusia memiliki cahaya lebih dibanding hewan. Jadi bentukbentuk benda lebih bersifat relatif (lebih atau kurang).
5) Bagi Suhrawardi essensilah yang real, bukan eksistensi
6) Teori emanasi iluminassionis lebih ekstensif dibanding kaum
peripatetik, baik dari segi istilah, struktur, maupun jumlah akal
maupun malaikat-malaikat yang muncul dalam bagian teori emanasi.
Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebanaran kedalam tiga
kelompok : pertama, mereka yang memiliki pengalaman mistik yang
mendalam tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan
pengalaman secacra diskursif. Kedua, mereka yang memiliki kecakapan
nalar diskursif tetapi tidak memiliki pengalaman mistis yang cukup
mendalam, ketiga mereka yang disamping memiliki pengalaman mistis
yang mendalam dann otentik juga memiliki kemampuan nalar dan
bahasa diskursif.
c. Hikmah Mutaaliyah
Aliran ini diwakili oleh Mulla Sadra yang mana ia berhasil
menistensiskan ketiga aliran filsafat sebelumnya, yakni paripatetik,
iluminasi dn irfani. Adapun karakteristik filsafat hikmah ini adalah:
1) Mereka tidak hanya percaya pada akal diskursif tapi juga percaya
pada pengalaman mistik
2) Membicarakan adanya kesatuan antara akal dan maqul, karena yang
dipikirkan tidak mungkin secara rasional ada tanpa yang berpikir
(Tidak mungkin ada maqul tanpa akal).
3) Memiliki konsep wahdatul wujud, jika Suhrawardi mengatakan yang
utama (prinsipil) adalah essensi/mahiyyah, Mulla Sadra mengatakan
yang utama adalah wujud/ eksistensi. Esensi hanyalah sebatas yang

kita pahami/ konsep, sedangkan wujud sejati adalah eksistensi.


sebelum kita meyakini bahwa sesuatu itu ada, kita harus meyakini
terlebih dahulu bahwa ada itu sendiri adalah ada
4) Dalam konsep wahdatul wujudnya, yang membedakan wujud yang
satu dengan yang lain bukanlah kewujudan mereka (eksistensi??) tapi
esensi-esensi mereka. Wujud tuhan dan wujud kerikil tidaklah
berbeda dari sudut kewujudan tetapi berbeda dalam sudut derajat dan
gradasi/tasykik.
5) Adanya penemuan teori perubahan trans-substansial, yakni
perubahan bisa terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental tetapi
juga substansial.
Jika selama ini kita percaya bahwa subsatansi hewan telah fixed
tidak bisa berubah menjadi yang lain, ia mengakui bahwa substansi
tidaklah begitu fix ia dapat berubah secara signifikan. Ia juga mengatakan
bahwa perubahan substansial itu terjadi karena bentuk-bentuk material
yang selalu berubah-rubah. Sehingga mula sadra pun dikenal sebagi
filosof proses.
2. Filsafat barat
a.

Aristoteles
Dalam filsafat paripatetik, dikenal suatu teori yang dinamakan dengan
hylomorpise yang mana teori tersebut merujuk kepada Aristoteles , yaitu
ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua
unsur utama, yakni materi (hyle) dan bentuk(morfis). Pembicaraan
metafisika Aristoteles mengenai soal materi dan wujud ini lebih tepat
dimulai dengan doktrin Aristoteles tentang Universalia. Sedangkan jalan

untuk memahami universalia kita harus terlebih dahulu memehami doktrin


akal biasa (common sense).10
Wujud dan materi tidak dapat dipisahkan. Materi dalam bahasa Yunani
disebut hule dapat disebut bahan yang masih berada dalam proses atau
produk (Edel 1982). Materi dikatakan juga sebagi unsur kemungkinan dan
perubahan yang paling sederhana yang terdapat dalam suatu hal. Sedangkan
wujud (morphe) bersifat tetap, permanen, dan dikenal (Amstrong 1949).
Meskipun materi tidak menentukan dirinya sendiri, tetapi ia juga memiliki
kemampuan menentang kekuatan yang meembentuknya, jadi tidak sematamata bersifat passif. Akibatnya materi tidak pernah berbentuk yang
sempurna, terus menerus akan mengalami perubahan wujud sebagai potensi.
Teori aristoteles mengenai wujud dan materi ini berkaitan dengan konsep
potensi dan aktus.
b.

Henry Bergson11
Ia adalah filosof perancis terkemuka abad 20, Bertrand Russel
mengupasnya dengan agak lengkap karena filsafatnya merupakan contoh
yang sangat bagus tentang pemberontakan melawan akal yang berawal dari
Rousseau secara bertahap makin mendominasi berbagai bidang kehidupan
dan pemikiran dunia.
Kalsifikasi filsafat Bergson berbeda dengan yang lainnya. Klasifikasi
filsafat yang biasanya dipengaruhi oleh metode atau hasilnya (empiris dan
apriori adalah klasifikasi menurut metodenya kemudian realis dan idealis
adalah klasifikasi menurut hasilnya). Upaya untuk mengklasifkasi filsafat

10 Drs. Joko Siswanto Sistem-sistem metafisika barat : dari


Aristoteles sampai Derida hal 10-14
11 Bertrand Russel , Sejarah Filsafat Barat ; dan kaitannya dengan
kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang , hal 1029

Bergson dengan salah satu dari cara tersebut hampir tidak mungkin berhasil,
karena filsafatnya hampir mengiris semua bidang yang diakui tersebut.
Salah satu ciri khas filsafat Bergson adalah ia mengganggap waktu
dan ruang sangat berbeda. Ruang merupakan karakteristik materi, dan waktu
adalah karakteristik esensial kehidupan atau pikiran. Filsafat Bergson
membagi antara naluri dan intelek. Naluri sebaiknya disebut intuisi, yang
Bergson maksud dengan intuisi adalah naluri yang menjadi tak terpengaruh,
sadar-diri, mampu menyesuaikan objeknya dan memperluasnya secara tak
terbatas, urainnya tentang kerja intelek tidak selalu mudah untuk diikuti,
sedangkan intelek selalu berpikiran seolah-olah tertarik pada kontemplasi
materi yang tidak bergerak.
Jika dibolehkan menambahkan ilustrasi filsafat Bergson, kita bisa
mengatakan bahwa alam semesta adalah rel kabel yang amat besar yang
didalam kehidupan adalah kereta yang berjalan ke bawah. Intelek itu
terwujud lantaran melihat kereta yang turun ketika melewati kereta yang
naik yang didalamnya kita berada. Sedangkan perhatian kita yang terpusat
pda kereta kita sendiri tentu saja adalah naluri atau intuisi. Intelek berkaitan
dengan ruang sedangkan naluri atau intuisi beerkaitan dengan waktu.
c.

Plato12
Bagi Plato, filsafat adalah semacam visi, yakni visi tentang kebenaran.
Visi ini tidak semata-mata bersifat intelektual, tidak juga bersifat
kebijaksanaan. Cinta intelektual terhadap tuhan dalam filsafat Spinoza
sama dengan persatuan erat antara pikir dan rasa. Barangsiapa yang pernah
mengerjakan karya kreatif tertentu, pasti pernah mengalaminya dengan taraf
yang berbeda-beda, suatu suasana batin dimana setelah lama berupaya
keras, tiba-tiba kebenaran atau keindahan muncul atau seolah-olah muncul
dengan keagungan yang tak terduga.

12 Ibid, hal 167

Pengalaman ini mungkin hanya menyangkut masalah kecil saja,


mungkin pula menyangkut masalah alam semesta.Untuk sesaat pengalaman
itu amatlah meyakinkan, keraguan mungkin timbul belakangan. Tetapi
untuk sesaat itu yang tampil adalah kepastian yang begitu tegas. Menurut
Plato, sebagian besar karya kreatif yang terbaik dalam bidang seni, ilmu
pengetahuan, sastra & filsafat adalah hasil pengalaman demikian.
Namun yang jadi permasalah adalah, apakah dalam konsep
pengalaman mistis Suhrawardi terinspirasi dari pengalam Plato.
d.

Nietzsche & Sartre


Nietzsche sering dianggap sebagai eksistensialis pertama ketika orang
membahas filsafatnya.13Eksistensialisme adalah gerakan filsafat yang
menitikberatkan pada kebebasan manusia. Sedangkan dalam wikipedia
14

dijelaskan bahwa eksisensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya

berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya


yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar
dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan

sesuatu

yang

menurutnya

benar.Eksistensialisme

mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan


lewat kebebasan.
Gerakana filsafat eksistensialisme dipopulerkan oleh filosof prancis
Jean-Paul

Sartre

(1909-1980).

Sukar

untuk

mengkategorikan

eksistensialisme karena pada dasarnya eksistensilisme menolak kategorisasi.


13 Roy Jackson seri tokoh filsafat Islam: Friedrich Nietzsche hal. 123124
14 Wikipedia bahasa indonesia

Namun demikian, kesamaan yang sangat umum dimiliki para filosof dalam
gerakan Ini adalah perhatian mereka terhaddap gerakan kebebasan manusia,
keyakinan bahwa umat manusia memiliki kapasitas bawaan untuk memilih
tindakan mereka sendiri secara bebas dan tidak ditentukan sebelumnya.
Menurut Sartre satu hal yang pasti dimiliki semua orang adalah kebebasan.
Sartre menyatakan bahwa kita dikutuk untuk bebas. Kita tidak
punya pilihan lain selain bebas, dan pura-pura tidak bebas hanyalah
merupakan penipuan diri. Nietzsche juga sepakat dengan Sartre bahwa tidak
ada dunia objektif, tidak ada fakta mentah, tidak ada kemutlakan. Sartre
juga mengatakan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya. Dunia
sebagaimana kita memahaminya adalah dunia yang telah kita rekatkan pada
diri kita sendiri, bukan dari luar dunia kita.

Anda mungkin juga menyukai