Anda di halaman 1dari 10

BAB 2.

TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Salah satu diantara penyakit saraf tepi yang populer adalah polio yang nama
selengkapnya adalah poliomielitis anterior akuta. Poliomyelitis anterior akuta adalah
penyakit dengan kelumpuhan ditandai dengan kerusakan motor neuron pada cornu
anterior dari sumsum tulang belakang akibat infeksi virus polio (Ismoedijanto, 2005).
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang disebabkan
oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus
(PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir kesistem saraf pusat menyebabkan melemahnya
otot dan kadang kelumpuhan (paralysis) (QQ_Scarlet, 2008). Infeksi virus polio
terjadi di dalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional
sebagian kecil menyebar ke system saraf (Chin, 2006: 482). Yuwono dalam Arifah
(1998) menambahkan bahwa syaraf yang diserang adalah syaraf motorik otak
dibagian matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.
Polio, kependekan dari poliomyelitis, adalah penyakit yang dapat merusak sistem
saraf dan menyebabkan paralysis. Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak di
bawah umur 2 tahun. Infeksi virus ini mulai timbul seperti demam yang disertai
panas, muntah dan sakit otot. Kadang-kadang hanya satu atau beberapa tanda
tersebut, namun sering kali sebagian tubuh menjadi lemah dan lumpuh (paralisis).
Kelumpuhan ini paling sering terjadi pada salah satu atau kedua kaki. Lambat laun,
anggota gerak yang lumpuh ini menjadi kecil dan tidak tumbuh secepat anggota gerak
yang lain. Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti
motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi
kelumpuhan serta autropi otot (Yaya Bae, 2011).
Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan
prediksinya merusak sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang (anterior horn
cells of the spinal cord) dan batang otak (brain stem); dengan akibat kelumpuhan

otot-otot dengan distribusi dan tingkat yang bervariasi serta bersifat permanen
(Syahril Pasaribu, 2005).
2.2 Epidemiologi
Penyakit polio dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur
yang paling rentang adalah 1-15 tahun dari semua kasus polio (Surya, 2007).
Penelitian Soeminto dalam Apriyatmoko (1999) mwnywbutkan bahwa 33,3% dari
kasus polio adalah anak-anak dibawah 5 tahun. Infeksi oleh golongan enterovirus
lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita (1,5-2,5:1). Resiko kelumpuhan
meningkat pada usia yang lebih tinggi, terutama bila menyerang individu lebih dari
15 tahun (sardjito, 1997 dalam Utami 2006). WHOmemperkirakan adanya 140.000
kasus baru dari kelumpuhan yang diakibatkan oleh poliomyelitis sejak tahun 1992
dengan jumlah keseluruhan penderita anak yang menderita lumpuh akibat polio
diperkirakan 10 sampai 20 juta orang (Biofarma, 2007).
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia. Manusia merupakan satu-satunya reservoir
penyakit poliomyelitis. Penyebaran penyakit ini terutama melalui cara fekal-oral
walaupun penyebaran melalui saluran pernafasan dapat juga terjadi.
Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadic, dimana epidemic
yang pertama sekali dilaporkan dari Scandinavia dan Eropa Barat, kemidian Amerika
Serikat.
Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an epidemic poliomyelitis secara
teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000-21.000 kasus kelumpuhan setiap
tahunnya. Pada tahun 1920, 90% kasus terjadi pada anak <5 tahun, sedangkan diawal
tahun 1950-an, kejadian tertinggi adalah pada usia 5-9 tahun; bahkan belakangan ini
lebih dari sepertiga kasus terjadi pada usia >15 tahun.
Sejak dipergunakan vaksin tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi
penurunan jumlah jumlah kasus dinegara maju. Di Amerika Serikat angka kejadian
turun dari 17.6 kasus poliomyelitis per 100.000 penduduk ditahun 1955 menjadi 0.4
kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972, kejadian <0,01 kasus per 100.000
atau 10 kasus per tahun.

2.3 Etiologi
Virus polio adalah virus dari family piconaviridae dengan genus Enterovirus
yang patogenik pada manusia. Virus ini adalah virus tanpa envelope, ukuran virion
hanya 28nm dengan single-stranded monocistronik RNA genome yang berisi 7,500
basa dan beratnya 2.5x106 Daltons. Karena tanpa envelope, virus menjadi sangat
resisten terhadap lingkungan asam, deterjen, alcohol dan bahan antiseptic lain, hanya
mati dengan antiseptic golongan chlorine. Virus polio adalah virus RNA, terdiri dari 3
serotipe yaitu serotype 1(Brunhilde), serotype 2 (lansig) dan serotype 3 (Leon).
Terdapat 2 tipe gen yang diperoleh dari sel yang terinfeksi oleh virus, yaitu antigen D
yang berkaitan dengan virulensi dan antigen C yang berkaitan dengan capsid yang
kosong. Struktur antigen virus polio sangat kompleks, dengan virion virus yang berisi
molekul RNA yang single-stranded, 30% terdiri dari virion, mayor protein (VP1-4)
dan satu protein minor (VPg). Perbedaan tiga jenis strain terletak pada sekuen
nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling dominan dalam membentuk antibody
netralisasi. Stain 1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah,
sedangkan strai 2 paling jinak, meskipun ketiga strai tersebut dapat menyebabkan
wabah (ismoedijanto, 2005).
Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1,2, dan 3, semua tipe dapat menyebabkan
kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hamper semua kasus kelumpuhan, tipe 3
lebih jarang, demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 paling sering menyebabkan
wabah. Sebagian besar kasus vaccine associated disebabkan oleh tipe 2 dan 3 (Chin,
2000 dalam surya 2007).
Sifat virus polio seperti halnya virus yang lain yaitu stabil terhadap pH asam
selama 1-3 jam. Tidak aktif pada suhu 56 derajat selam 30 menit. Virus polio
berkembangbiak dalam sel yang terinfeksi dan siklus yang sempurna berlangsung
selama 6 jam. Virus tersebut dapat hidup di air dan manusia, meskipun juga bias
terdapat pada sampah dan lalat (Widodo, 1994 dalam Arifah 1998).
2.4 Tanda Dan Gejala

Masa inkubasi penyakit poliomyelitis berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadangkadang 3-35 hari. Tanda dan gejala yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang
paling ringan sampai dengan yang paling berat, yaitu:
1. Infeksi tanpa gejala (asymptomatic, silent, anapparent)
Kejadian infeksi yang asimtomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup
tinggi terutama didaerah-daerah standar hygiene nya jelek. Pada suatu epidemic
diperkirakan terdapat 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
penyakit tersebut. Bayi baru lahir mula-mula terlindungi karena adanya antibody
maternal yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan. Penyakit ini
hanya diketahui dengan menemukan virus ditinja atau meningginya titer
antibody.
2. Infeksi abortif
Sakit yang secara mendadak beberapa jam saja. Gejalanya seperti muntah, nyeri
kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi, nyeri abdomen, malaise dan timbul
keluhan seperti anoreksia, nausea. Diagnosisnya dengan mengembangbiakkan
jaringan virus (Chin, 2006: 482-485). Kejadian diperkirakan 4-8% dari jumlah
penduduk pada suatu epidemic. Tidak dijumpai gejala khas poliomyelitis. Timbul
mendadak dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala minor illness seperti demam
bias sampai 39.5derajat celcius, malaise, nyeri kepala, sakit tenggorokan,
anoreksia, muntah, nyeri otot dan perut serta kadang-kadang diare. Penyakit ini
sukar dibedakan dengan penyakit virus lainnya, hanya dapat diduga bila terjadi
epidemic. Diagnose pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan.
(Syahril Pasaribu, 2005).
3. Poliomielietis non paralitik
Poliomyelitis non paralitik gejala klinisnya sama dengan poliomyelitis abortif
tetapi hanya nyeri kepala, nausea, dan muntah lebih berat. Cirri penyakit ini
adalah kaku otot belakang leher, dan tungkai hipertonia (Chin, 2006: 482-485).
Penyakit ini terjadi 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinis sama dengan infeksi
abortif yang berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi
kemudian naik kembali (dromedary chart), disertai dengan gejala nyeri kepala,

mual dan muntah lebih berat, dan ditemukan kekakuan pada otot belakang leher,
punggung dan tungkai, dengan tanda kemig dan brudzinsky yang positif. Tandatanda lain adalah Tripod yaitu bila anak berusaha duduk dari sikap tidur, maka ia
akan menekuk kedua lututnya ke atas, sedangkan kedua lengan menunjang
kebelakang pada tempat tidur. Head drop yaitu bila penderita ditegakkan dengan
menarik pada kedua ketiak, akan menyebabkan kepala terjatuh kebelakang.
Reflex tendon biasanya normal. Bila reflex tendon berubah maka kemungkinan
akan terdapat poliomyelitis paralitik (Syahril Pasaribu, 2005).
4. Poliomielitik paralitik
Gambaran klinisnya sama dengan poliomyelitis non paralitik disertai dengan
kelemahan satu atau beberapa kumpulan otot skelet atau cranial. Gejala ini bias
menghilang selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali disertai dengan
kelumpuhan (paralitik) yaitu berupa flaccid paralysis yang biasanya unilateral
dan simetris. Yang paling sering terkena adalah tungkai. Keadaan ini bias disertai
kelumpuhan vesika urinaria, atonia usus dan kadang-kadang ileus paralitik. Pada
keadaan yang berat dapat terjadi kelumpuhan otot pernafasan.
Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada
susunan syaraf pusat yaitu:
a. Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung,
diafragma, ada atau tidak ekstremitas, dimana yang terbanyak adalah
ekstremitas bawah. Tersering yaitu otot-otot besar, pada tungkai bawah
kuadriseps femoris, pada lengan otot deltoideus. Sifat kelumpuhan ini adalah
asimetris. Reflex tendon menurun sampai menghilang dan tidak ada
gangguan sensibilitas.
b. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih syaraf
cranial dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi
dan temperature tubuh. Bila kelemahan meliputi syaraf cranial IX, X dan XII
maka akan menyebabkan paralisis faring, lidah dan taring dengan
konsekuensi terjadinya sumbatan jalan nafas
c. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan
bulbar.

d. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor, dan


kadang-kadang kejang. (Syahril Pasaribu, 2005).
2.5 Patofisiologi
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu. Tidak semua
neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat
terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah
yang biasanya terkena poliomyelitis ialah :
1. Medula spinalis terutama kornu anterior,
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio
retikularis yang mengandung pusat vital,
3. Sereblum terutama inti-inti virmis,
4. Otak tengah midbrain terutama masa kelabu substansia nigra dan kadangkadang nucleus rubra,
5. Talamus dan hipotalamus,
6. Palidum dan
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik (Yaya bae, 2011)
2.6 Komplikasi Dan Prognosis
2.6.1 Komplikasi
a. Hiperkalsuria
b. Melena
c. Pelebaran lambung akut
d. Hipertensi ringan
e. Pneumonia
f. Ulkus dekubitus dan emboli paru
g. Psikosis (Yusniraharjo, 2009).
2.6.2 Prognosis

Bergantung kepada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung pada


bagian yang terkena. Prognosis jelek pada bentuk bulbar, kematian biasanya karena
kegagalan fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan nafas. Data dari
Negara berkembang menunjukkan bahwa 9% anak meninggal pada fase akut, 15%
sembuh sempurna dan 75% mempunyai deformitas yang permanen seperti kontraktur
terutama sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna, sehingga
mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.
2.7 Pengobatan
Tidak ada pengobatan spesifik terhadap poliomyelitis. Antibiotika -globulin dan
vitamin tidak mempunyai efek. Penatalaksanaan adalah simptomatis daft suportif.
Infeksi tanda gejala: istirahat.
1. Infeksi abortif: istirahat sampai beberapa hari setelah temperature normal. Kalau
perlu dapat diberikan analgesic, sedative. Jangan melakukan aktivitas selama 2
minggu. 2 bulan kemudian dilakukan pemeriksaan neuro-muskuloskeletal untuk
mengetahui adanya kelainan.
2. Non paralitik: sama dengan tipe abortif. Pemberian analgesic sangat efektif bila
diberikan bersamaan dengan pembalut hangat selama 15-30 menit setiap 2-4 jam
dan kadang-kadang mandi air panas juga dapat membantu. Sebaiknya diberikan
foot bosrd, papan penahan pada telapak kaki, yaitu agar kaki terletak pada sudut
yang sesuai terhadap tungkai. Fisioterapi dilakukan 3-4 hari setelah demam
hilang. Fisioterapi bukan mencegah atrofi otot yang timbul sebagai akibat
denervasi sel kornu anterior, tetapi dapat mengurangi deformitas yang terjadi.
3. Paralitik: harus dirawat di rumah sakit karena sewaktu-waktu dapat terjadi
paralisis pernafasan, dan untuk ini harus diberikan pernafasan mekanis. Bila rasa
sakit telah hilang dapat dilakukan fisioterapi pasif dengan menggerakkan
kaki/tangan. Jika terjadi paralisis kandung kemih maka diberikan stimulant
parasimpatik seperti bethanechol (Urecholine) 5-10 mg oral atau 2.5-5 mg/SK.
2.8 Pencegahan

Pencegahan penyakit polio dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan


kepada masyarakat tentang manfaat pemberian imunisasi sedini mungkin semasa
anak-anak sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu (judarwanto, 2005). Imunisasi
dasar juga perlu diberiakan kepada orang dewasa yang sebelumnya belum pernah
mendapatkan imunisasi yang merencanakan untuk bepergian ke Negara endemis
polio, selain itu imunisasi juga harus diberikan kepada anggota masyarakat dimana
virus polio masih ada. Para petugas laboratorium yang menangani specimen yang
mengandung virus polio dan kepada petugas kesehatan yang kemungkinan terpajan
dengan kotoran penderita yang mengandung virus polio liar (Ditjen PP & PL, 2007).
Berdasarkan info penyakit menular Ditjen PP & PL tahun 2004, pengawasan
terhadap para penderita polio dilakukan dengan melaporkan setiap ditemukannya
kasus kelumpuhan kepada instansi kesehatan setempat. WHO menyebutnya sebagai
disease under surveillance. Di Negara yang sedang melaksanakan program eradikasi
polio, setiap kasus paralisis akut bersifat layuh (Acute Flaccid Paralysis) pada anakanak berusia kurang dari 15 tahun harus segera dilaporkan. Selain itu investigasi
kepada kontak dan sumber meskipun infeksi hanya ditemukan satu kasus palisis pada
suatu komunitas hars segera dilakukan investigasi. Pelaksanaan desinfeksi secara
serentak terhadap discharge tenggorokan.
Imunisasi rutin dilakukan dengan memberikan imunisasi Oral Polio Vaccine
(OPV) yaitu virus polio yang sudah dilemahkan, pada bayi minimal 4 kali pemberian
sebanyak 2 tetes vaksin shabin setiap kali pemberian sesuai dengan jadwal. Cakupan
diharapkan >80% bayi berusia satu tahun di setiap desa. Tujuannya adalah
memberikan perlindungan (kekebalan humoral) pada setiap anak (Judarwanto, 2005).
Berbeda dengan strategi imunisasi rutin, PIN adalah pemberian imunisasi polio
(OPV) pada anak usia balita tanpa melihat status imunisasi anak sebelumnya, usia
ditetapkan berdasarkan kajian epidemiologi. Dilaksanakan secara masal dan serentak
pada saat transmisi terendah yaitu pada bulan Oktober dan November, dilaksanakan 2
kali putaran dengan interval 4 minggu (Judarwanto, 2005).
2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostic dari Poliomyelitis anterior akuta antara lain:


1. Pemeriksaan Lab : virus polio dapat di isolasi dan dibiakkan dari bahan
hapusan tenggorokan pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai
beberapa minggu. Berbeda dengan enterovirus lainnyan, virus polio jarang dapat
di isolasi dari cairan serebrospinalis. Bila pemeriksaan isolasi virus tidak
mungkin dapat dilakukan, maka dipakai pemeriksaan serologi berupa tes
netralisasi dengan memakai serum pada fase akut dan konvalesen. Dikatakan
positif bila ada kenaikan titer 4 kali atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan
bermanfaat untuk menegakkan diagnose poliomyelitis. Selain itu bias juga
dilakukan pemeriksaan CF (Complement Fixation), tetapi ditemukan reaksi
silang diantara ketiga tipe virus ini. Pemeriksaan likuor serebrospinal akan
menunjukkan pleiositosis biasanya kurang dari 500/mm3, pada permulaan lebih
banyak polimorfonukleus dari limfosit, tetapi kemudian segera berubah menjadi
limfosit yang lebih dominan. Sesudah 10-14 hari jumlah sel akan normal
kembali. Pada stadium awal kadar protein normal, kemudian pada minggu kedua
dapat naik sampai 100mg, dengan jumlah set menurun sehingga disebut
dissociation cytoalbuminique, dan kembali mencapai normal dalam 4-6 minggu.
Glukosa normal. Pada pemeriksaan darah tepi dalam batas normal dan pada urin
terlihat gambaran yang bervariasi dan bias ditemukan albuminuria ringan.
2. Pemeriksaan radiology
2.10 Penatalaksanaan
Begitu penyakit mulai timbul, kelumpuhan sering kali tidak tertangani lagi
karena ketidakadaan obat yang dapat menyembuhkannya. Antibiotika yang biasanya
digunakan untuk membunuh virus juga tidak mampu berbuat banyak. Rasa sakit
dapat diatasi dengan memberikan aspirin atau acetaminophen, dan mengompres
dengan air hangat pada otot-otot yang sakit.
1. Poliomielitis aboratif
a. Diberikan analgetk dan sedative
b. Diet adekuat

c. Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya dicegah aktifitas


yang berlebihan selama 2 bulan kemudian diperiksa neurskeletal secara teliti.
2. Poliomielitis non paralitik
a. Sama seperti aborif
b. Selain diberi analgetika dan sedative dapat dikombinasikan dengan kompres
hangat selama 15 30 menit,setiap 2 4 jam.
3. Poliomielitis paralitik
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Perawatan dirumah sakit


Istirahat total
Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
Fisioterafi
Akupuntur
Interferon

Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan. Poliomielitis abortif diatasi


dengan istirahat 7 hari jika tidak terdapat gejala kelainan aktifitas dapat dimulai lagi.
Poliomielitis paralitik/non paralitik diatasi dengan istirahat mutlak paling sedikit 2
minggu perlu pemgawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernapasan.
Fase akut :
Analgetik untuk rasa nyeri otot.Lokal diberi pembalut hangat sebaiknya dipasang
footboard (papan penahan pada telapak kaki) agar kaki terletak pada sudut yang
sesuai terhadap tungkai..Pada poliomielitis tipe bulbar kadang-kadang reflek menelan
tergaggu sehingga dapat timbul bahaya pneumonia aspirasi dalam hal ini kepala anak
harus ditekan lebih rendah dan dimiringkan kesalah satu sisi.
Sesudah fase akut :
Kontraktur.atropi,dan attoni otot dikurangi dengan fisioterafy. Tindakan ini dilakukan
setelah 2 hari demam hilang.

Anda mungkin juga menyukai