Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Agung Pranoto
Diabetes & Nutrition Centre
Division of Endocrine Metabolism, Department of Internal Medicine
Dr Soetomo Hospital, Medical Faculty of Airlangga University
Isolasi Insulin dari pankreas anjing dan pembuktian efektifitas biologis oleh
Banting, Best, Collip, dan MacLeod di tahun 1921 merupakan salah satu temuan medis
terbesar dalam era dunia kedokteran modern. Pada awalnya bahan anti diabetik ini
dinamakan isletin oleh Banting dan Best, selang beberapa waktu kemudian McLeod
menamainya sebagai insulin, yang
berhasil dimurnikan oleh Collip sehingga
dimungkinkan untuk disuntikan pada manusia. Pasien pertama yang mendapatkan
suntikan insulin adalah Leonard Thompson pada tanggal 11 Januari 1922 di Rumah Sakit
Umum Toronto. Penggunaan insulin secara meluas dimungkinkan setelah terdapat
kemajuan dalam metode ekstraksi dan purifikasi insulin.
Pada tahun 1936, Hagedorn menemukan protein protamine dari ikan jika
dicampurkan dengan insulin dapat memperlambat pelepasan insulin yang disuntikan
subkutan , sehingga dapat memperpanjang efek dari insulin. Scott dan Fisher menemukan
dengan penambahan zinc dapat memperpanjang waktu aksi insulin protamine, sehingga
selanjutnya memungkinkan dilakukan pengembangan zinc insulin (PZI). Pada tahun
1946, dapat dikembangkan suatu insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn), suatu
bentuk insulin protamine yang lebih stabil, yang masih digunakan pada masa kini.
Pada era 60 tahun sejak ditemukannya, insulin hanya tersedia dalam bentuk
preparat dari sapi atau babi. Sejak tahun 1990 telah diperkenalkan insulin analog yang
mempunyai profil farmakokinetik yang lebih cocok untuk pemberian suntikan sebelum
makan, dan berbagai temuan baru cara pemberian regimen insulin. Setelah meliwati masa
80 tahun penggunaan insulin maka beberapa langkah kemajuan yang besar dapat dicapai
dengan perbaikan formula insulin, penggunaan yang meluas alat glukometer yang
memungkinkan pasien melakukan self monitoring blood glucose (SMBG), dan
pemahaman yang semakin baik mengenai kebutuhan fisiologis insulin. Meskipun
demikian dengan berbagai kemajuan yang ada, pemberian insulin subkutan bukanlah cara
yang fisiologis dan keterbatasan-2 ini masih membuka kesempatan temuan inovasi
dimasa mendatang. Pada makalah ini akan disajikan mengenai konsep terapi insulin
setelah terapi insulin basal dengan glargine telah tercapai optimal, melalui strategi
basal plus, dalam pengelolaan DMT2
FISIOLOGI REGULASI HEMOSTASIS GLUKOSA DAN SEKRESI INSULIN
Glukosa darah berasal dari karbohidrat yang diserap melalui usus dan glukosa
hasil produksi dari hepar. Peningkatan absolut dari kadar glukosa darah akan merangsang
pelepasan insulin. Influks glukosa post prandial kadarnya dapat mencapai 20 sampai 30
kali lebih tinggi dibandingkan dengan produksi glukosa oleh hepar pada saat antar
makan. Fase 1 pelepasan insulin berakhir dalam waktu 10 menit dan berefek menekan
produksi glukosa hepar dan mencetuskan pelepasan insulin tahap 2 yang berlangsung
dalam waktu 2 jam dan cukup memenuhi pemasukan karbohidrat pada saat makan.
Diantara makan sel beta pankreas mensekresi insulin jumlah kecil secara kontinu untuk
mencukupi proses metabolik yang disebut insulin basal (Mayfield & White, 2004).
Fungsi sel beta pankreas yang normal yaitu memberikan respon yang linear
menurut kadar glukosa darah. Paparan glukosa yang tinggi dalam darah akan
menyebabkan kenaikan drastis insulin darah dengan pola yang tajam dan selanjutnya
akan turun dan mendatar kembali.
Sekresi insulin basal orang dewasa sehat tanpa DM bervariasi antara 0,5-1,0
Unit/jam. Insulin basal bertanggung jawab terhadap kelangsungan hemostasis glukosa
basal. Insulin basal pada orang sehat tanpa DM berfungsi sebagai pengaturan kecepatan
produksi glukosa yang berlebihan dari hepar melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Sekresi insulin terjadi secara kontinu pada waktu antar makan dan sepanjang malam hari.
Terapi insulin jangka menengah dan jangka panjang adalah usaha untuk menyerupai pola
insulin basal, misalnya: penggunaan insulin analog glargine bertujuan menggantikan
fungsi sekresi insulin basal.
Sekresi insulin post prandial atau pasca stimulasi terjadi sebagai respon terhadap
makanan atau snack pada beberapa saat sebelum makan dan berlangsung sampai 30
menit berikutnya. Preparat insulin analog glulisine/apidra, lispro dan aspart mempunyai
profil yang lebih mirip jika dibandingkan dengan insulin regular (Mayfield & White,
2004; ADA 2002).
Insulin Basal
Insulin Basal
Makan
Endogenous Insulin
8 Pagi
12 Siang
6 Sore
pilihan untuk pengobatan pasien DM. Insulin manusia dan berbagai preparat insulin
analog yang di produksi dengan tehnologi DNA rekombinan menjadi preparat insulin
yang digunakan pada sebagian besar negara-negara didunia termasuk Indonesia. Insulin
untuk penggunaan klinik mempunyai karakteristik farmakokinetik yang mempunyai
indikasi tertentu. Preparat insulin yang tersedia adalah rapid acting, short acting,
intermediate acting, dan long acting. Insulin yang diproduksi dewasa ini memiliki
kemurnian yang terjamin dengan urutan rantai asam amino yang identik dengan native
human insulin, dimana urutan rantai asam amino dapat dimodifikasi untuk mendapatkan
efek khusus yang diinginkan, sehingga bisa mempunyai efek cepat atau jangka panjang
(Gambar 2).
Insulin tradisional (misalnya: Reguler, NPH, dan ultralente) memiliki 2 bentuk
sifat yang dapat menyebabkan komplikasi terapi. Pertama, profil penyerapan obat sering
tak menentu, menyebabkan fluktuasi glukosa dari hari ke hari. Kedua, diperlukan
koordinasi waktu injeksi dan jadwal makan agar onset kerja yang lambat dan aktifitas
puncak menjadi sesuai. Insulin reguler harus disuntikkan 30 sampai 60 menit sebelum
makan agar sesuai dengan influks glukosa post prandial. NPH dapat menyebabkan
hipoglikemia selama efek puncak antara 4 10 jam pasca injeksi, jika pasien tidak makan
snack. Insulin campuran premixed Insulin reguler dan NPH, mempunyai pola aktifitas
insulin bimodal yang memerlukan jadwal dan jumlah makan yang cukup untuk 12 jam
pasca injeksi (Mayfield & White, 2004; Skyler, 2004)
Problem penggunaan insulin tradisional dapat dihindari dengan pemakaian insulin
analog (misalnya: glargine, aspart, dan lispro). Perubahan urutan asam amino 1 sampai 3
lokasi tertentu pada insulin manusia akan memberikan perubahan kecepatan absorpsi dan
lebih mirip dengan profil yang ideal. Glulisine (Apidra), lispro dan aspart mulai aktif
didalam waktu 15 menit, dan mencapai puncak dalam 1 jam, sehingga dapat mirip
dengan pelepasan insulin yang normal pada waktu makan. Glargine (Lantus)
memberikan pola tanpa puncak dan pelepasan terus menerus selam 24 jam mirip dengan
pola basal yang normal. Harga insulin analog umumnya lebih mahal 60 100% jika
dibandingkan dengan insulin tradisional (dikutip: Mayfield and White, 2004).
Terapi insulin yang paling ideal secara teori harus mirip dengan pelepasan insulin
secara fisiologis, yaitu disebut terapi insulin basal-bolus, dengan komposisi kebutuhan
insulin basal 50-60% dan insulin bolus/prandial 40-50% (Gambar 2). Komposisi regimen
insulin harus cocok dengan derajat hiperglikemi, faktor-faktor risiko yang terkait
hipoglikemi, kondisi komorbid, kemampuan dan ketrampilan pasien menyerap informasi
yang diberikan dokter, dan faktor harga.
Pembagian Insulin atas dasar durasi waktu kerja insulin adalah sebagai berikut (Skyler,
2004; dikutip: Mayfield and White, 2004; dikutip: Hendromartono, 2004; Tjokroprawiro
& Pranoto, 2005):
1. Insulin basal (Misalnya: neutral protamine Hagedorn (NPH) atau isophane insulin
(Novolin N, Humulin N), ultralente (extended insulin zinc suspension), dan
insulin analogue glargine (Lantus).
2. Isulin bolus atau meal time (Misalnya: Insulin reguler (Novolin R, Humulin R),
insulin analogue aspart, lispro dan Insulin Glulisine (Apidra).
3. Insulin kombinasi misalnya, Insulin premixed NPH dan Insulin regular atau
analog, merupak an insulin kombinasi basal dan bolus. Misalnya Insulin Mixtard
(30/70).
75
Makan Pagi
Makan Siang
Makan Malam
Kurva ideal
terapi insulin
normal
Kurva insulin
normal
50
25
4:00
8:00
12:00
16:00
20:00
24:00
4:00
Jam
Gambar 2. Profil ideal terapi insulin (dikutip: Mayfield and White, 2004).
Karakteristik Farmakokinetik Insulin (Tabel 1) (Mayfield and White, 2004; Dikutip:
Hendromartono, 2004; Tjokroprawiro & Pranoto, 2006)
Insulin Glulisine (Apidra), Aspart, dan Lispro. Insulin Glulisine (Apidra),
Aspart, dan Lispro adalah suatu human insulin analog yang dibuat dengan menggunakan
tehnik rekombinan DNA. Khusus insulin Glulisine (Apidra) dirancang dengan cara
merubah asam amino asparagine dengan lysine pada rantai B pada posisi B3, lysine
dengan glutamic acid pada posisi B29 (Gambar 3A). Perubahan ini menghasilkan sediaan
insulin apabila diberikan subkutan akan lebih mudah berdisosiasi menjadi bentuk
monomer sehingga cepat diabsorpsi dengan onset kerja 5 menit dan bisa mencapai
puncak dalam waktu 1 jam, sebaliknya pada insulin regular dalam bentuk hexamer
memerlukan waktu yang lebih panjang untuk berdisosiasi menjadi bentuk monomer.
Insulin lispro ini mempunyai lama kerja (duration of action) yang lebih singkat yaitu
sekitar 4 jam, keadaan ini mempunyai keuntungan menurunkan risiko late hypoglycemia
dibandingkan dengan insulin reguler. Perbedaan struktur ini juga dapat mencegah insulin
lispro berikatan dengan antibodi human insulin, sehingga pemakaian insulin lispro aman
bagi penderita yang alergi terhadap insulin. Insulin kerja cepat ini digunakan untuk
menyerupai sekresi insulin fase pertama, dimana Pankreas normal mengadakan respon
terhadap makanan dengan pengeluaran insulin bolus. Efek onset yang cepat
memungkinkan insulin dapat serasi dengan peningkatan glukosa darah setelah
pemasukan karbohidrat. Insulin harus diinjeksikan segera saat mulai makan, tetapi khusus
pada anak-anak dapat diberikan setelah makan mengingat pada anak-anak jumlah
pemasukan kalori sulit diperkirakan. Mengingat efek yang sangat cepat maka diperlukan
insulin basal agar tidak terjadi hiperglikemia pada saat sebelum makan berikutnya.
Insulin Glulisine (Apidra), Aspart, dan Lispro sudah beredar di Indonesia.
Insulin regular. Meskipun insulin ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan insulin pada
saat makan, umumnya harus diinjeksikan 30-45 menit sebelum makan, mengingat onset
kerja agak lambat. Sehingga efek insulin kurang dapat diprediksikan dan berefek lebih
lama, dan mungkin tejadi suatu waktu senjang (lag time) antara injeksi dan mulai
terjadinya efek penurunan glukosa darah.
Glutamic acid
Asp
Lys
Thr
Thr
Thr
Thr
Phe
Phe
Gly
B29
Arg
B30
A21
Glu
Asn
Cys
Gly
Tyr
Cys
Asn
Val
Glu
A1
Gly
Ile
Leu
Leu
Tyr
Gln
Leu
Tyr
Ala
Glu
Leu
Val
Glu
Gln
Cys
Cys
Thr
Ser
Ile
Cys
Ser
Val
Leu
His
B1
Phe
Val
Asn
Gln
His
Leu
Cys
Gly
Ser
Lysinee
Lys
Thr
Thr
Asp
Thr
Thr
Phe
Phe
Gly
B29
Arg
A21
B30
Glu
Asn
Glycinee
Cys
Gly
Tyr
Cys
Asn
Val
Glu
A1
Gly
Ile
Leu
Leu
Tyr
Gln
Leu
Tyr
Ala
Glu
Leu
Val
Glu
Gln
Cys
Cys
Thr
Ser
Ile
Cys
Ser
Val
Leu
His
Arg
B1
Arg
Phe
Val
Asn
Gln
His
Leu
Cys
Gly
Ser
Peningkatan berat badan sebesar 3,01 (SD 4,33) kg dan 3,54 (4,48) kg. Perbaikan
kepuasan pengobatan lebih besar pada kelo,pok glargine dibandingkan dengan kelompok
lispro dengan perbedaan angka rerata 3,13; 95% CI 2,044,22) (Bretzel et al, 2009).
Perbaikan kontrol glikemik dengan pengalihan insulin NPH menjadi Glargine
Setelah observasi selama 12 bulan, maka pada kelompok DMT1 ditemukan
penurunan HbA1c sebesar 0,38% (p < ),001), sedangkan pada kelompok DMT2
penurunan HbA1c sebesar 0,13% (p < 0,001. Terjadi pula penurunan HbA1c yang pada
angka dasar > 8% pada kelompok DMT1 mengalami penurunan 0,57% (p < 0,001)
sedangkan kelompok DMT2 menurun sebesar 0,47% (p < 0,001). Pada kelompok
Glargine tidak ada peningkatan berat badan bermakna dan dosis total insulin (Sharplin et
al, 2009).
Studi Pooled Analysis Glargine. Data dikumpulkan dari 11 studi prospektif, 24 minggu,
acak, studi control (N=2311) menggunakan insulin glargine. Penentuan dosis mengikuti
algoritma dengan cara titrasi bertahap sampai guladarah puasa mencapai < 100 mg/dl.
Rerata umur 58,6 tahun, wanita 55,8%, dan warna kulit putih 81,6%. Pada Tabel 1.
Diperlihatkan dosis insulin pada minggu ke 24 yang dilakukan weight-adjusted insulin
doses, jumlah pasien yang mencapai HbA1c < 7%, dan angka hipoglikemia berat per
tahunnya. Pada pasien obes (BMI > 30) memerlukan dosis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok pasien non obes dan pada pasien dengan kadar HbA1c
yang tinggi. Pada usia lanjut (> 65 tahun) versus pasien usia < 65 tahun. Pasien dapat
mencapai HbA1c < 7% dengan kadar HbA1c awal < 9%, setelah 24 minggu dapat
dicapai 65% pasien versus pasien dengan HbA1c awal > 9% sejumlah 40%. Angka
kejadian hipoglikemia berat per tahunnya rendah pada semua kelompok, angka kejadian
sedikit lebih tinggi pada HbA1c awal yang tinggi. Pada usia lanjut dosis awal dimulai
dengan 0,1 U/kg dan dititrasi bertahap sampai 0,3 0,4 U/kg, sampai yarget tercapai.
Pada kelompok usia dewasa, jika HbA1c saat awal < 9% dosis dimulai dengan 0,1 U/kg
dan disesuaikan sampai 0,4 U/kg; jika HbA1c > 9 % dosis awal 0,2 U/kg dan disesuaikan
sampai 0,5 0,6 U/kg. Dosis glargine harus ditentukan dokter sesuai dengan keadaan
individual sampai mencapai target dengan cara yang aman, mengurangi kejadian
hipoglikemia berat (Bergenstal et al, 2011).
ORIGIN TRIAL (The Origin Trial Investigator, 2012).
Latar belakang, melakukan pemenuhan yang cukup untuk kebutuhan basal insulin
sampai dapat mencapai kadar glukosa darah puasa mungkin dapat menurunkan terjadinya
kardiovaskuler, yang sejauh ini belum pernah ada yang meneliti atau membuktikan
kebenarannya. Metode Penelitian, sejumlah 12.537 subyek (rerata umur, 63,5 tahun)
dengan risiko kardiovaskuler dan glukosa darah puasa terganggu, toleransi glukosa
terganggu atau DMT2, dilakukan pemberian insulin glargine secara alokasi random
(dengan target glukosa darah puasa < 95 mg/dl atau diberikan pengobatan standard dan
menerima terapi n-3 fatty acids atau placebo dengan menggunakan rancang desain
Factorial 2 X 2. Hasil akhir sebagai coprimary outcome berupa nonfatal myocardial
infarction, non fatal stroke, atau kematian yang terkait dengan penyebab kardiovaskuler
dan kejadian tersebut yang disertai dengan revaskularisasi atau rawat inap terkait payah
jantung. Hasil mikrovaskuler, insidens diabetes, hipoglikemia, berat badan, dan kanker
juga dibandingkan antar kelompok tersebut. Hasil, rerata masa obervasi adalah 6,2 tahun
(interquartile range, 5,8 sampai 6,7). Angka insidens hasil kardiovaskuler sama pada
kelompok insulin glargine dan kelompok terapi standard: 2,94 dan 2,85 per 100 orangtahun. Untuk Coprimary outcome (hazard ratio 1.02; 95%CI 0.94 - 1.11; p = 0.63) dan
5.52 and 5.28 per 100 orang-tahun, secara berurutan, untuk second coprimary outcome
hazard ratio, 1.04; 95%CI, 0.97-1.11; p = 0.27). Pasien DM baru terdiagnosis kurang
lebih setelah 3 bulan penghentian terapi pada 30% versus 35% dari sejumlah 1456
subyek penelitian yang pada awalnya tidak menderita DM (odds ratio, 0.80; 95%CI,
0.64-1.00; p = 0.05). Frekuensi hipoglikemia berat sejumlah 1,00 versus 0,31 per 100
orang-tahun. Rerata median peningkatan berat badan pada kelompok insulin glargine
sebesar 1.6 kg, dan pada kelompok terapi standard turun 0.5 kg. Kejadian kanker tidak
berbeda bermakna (hazard ratio, 1.00; 95%CI, 0.88-1.13; p = 0.97) (Tabel1 dan Gambar
2). Kesimpulan. Jika menggunakan insulin glargine selama lebih dari 6 tahun untuk
mencapai target glukosa darah yang normal, maka insulin glargine mempunyai efek
netral terhadap hasil kardiovaskuler dan kanker. Meskipun dapat menunda onset DM
baru, insulin grlargine meningkatkan risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan
yang ringan.
Tabel 1. Jenis Insulin (ADA, 2002; Mayfield and White, 2004; Dikutip: Hendromartono,
2004; Tjokroprawiro & Pranoto, 2005, Kerlan et al, 2013)
Produksi
Insulin analog kerja cepat (Rapid acting analogs)
Humalog (Insulin Lispro)
NovoRapid (Insulin Aspart)
Apidra (Insulin Glulisine)
Insulin jangka pendek (Short acting)
Humulin R (regular)
Novolin R (regular)*
Velosulin BR (reguler buffer)*
Actrapid
Novolet Actrapid
Iletin II R (regular pork)*
Insulin jangka menengah (Intermediate acting)
Humulin L (Lente)
Humulin N (NPH)
Novolin L (Lente)*
Novolin N (NPH)*
Insulatard Human
Novolet Insulatard
Monotard Human
Iletin II L (Lente pork)*
Iletin II N (NPH pork)*
Insulin jangka panjang (Long acting)
Humulin U (Ultralente)
Insulin analog jangka panjang (Long acting analog)
Lantus (insulin glargine)
Levemir (insulin detemir)
Insulin analog Degludeg (Ultra long duration)
Tresiba
Kombinasi
Novolet Mixtard
Mixtard 70/30
Humulin 50/50 (50% NPH, 50% regular)*
Humulin 70/30 (70% NPH, 30% regular)
Humalog 75/25 (75% insulin lispro protamine
suspension (NPL), 25% insulin lispro
Novolin 70/30 (70% NPH, 30% regular)*
NovoMix30 biphasic insulin Aspart
Farmasi
Lily
Novo Nordisk
Sanofi Aventis
Lily
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Lily
Lily
Lily
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Lily
Lily
Lily
Sanofi Aventis
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Novo Nordisk
Lily
Lily
Lily
Novo Nordisk
Novo Nordisk
malam hari. Hasil akhir menujukkan insulin glulisine dan lispro dapat mencapai hasil
rerata penurunan A1C yang sama, dan proporsi pencapaian A1C < 7 pada insulin
glulisine 35,5% dan insulin lispro 34,5%. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknan pada
kejadian hipoglikemia simptomatik, nocturnal, ataupun hipoglikemia berat yang
memerlukan intervensi khusus (Dreyer et al, 2005)
Penelitian fase 3, multisenter, terbuka, kelompok parallel, pada sejumlah 876
orang DMT2 yang memiliki rerata A1C 7,55%. Subyek peserta diberikan intervensi
secara acak dengan terapi insulin glulisine dan NPH, terapi insulin regular manusia dan
NPH selama 26 minggu. Karakteristik dasar pada kedua kelompok tersebut mempunyai
kesamaan A1C, kebutuhan insulin jangka panjang dan insulin jangka pendek. Subyek
peserta diberikan tambahan insulin subkutan glulisine 0 sampai 15 menit sebelum makan
pagi atau makan malam. Secara acak diberikan pula insulin regular manusia subkutan 30
sampai 45 menit sebelum makan pagi dan malam. Diperkenankan pula untuk mencampur
insulin regular manusia dengan NPH. Hasil penelitian menunjukkan penurunan
bermakna A1C pada kelompok glulisine setelah waktu 12 minggu (p < 0,05). Pada
kelompok glulisine didapatkan rerata profil insulin 7 titik pemeriksaan mempunyai rerata
glukosa darah yang lebih rendah dibanding kelompok insulin regular manusia, terutama
pada waktu 2 jam setelah makan pagi dan 2 jam setelah makan malam menunjukkan
kemaknaan statistik p < 0,05. Proporsi kejadian hipoglikemik pada kelompok glulisine
dan insulin regular manusia menunjukan angka yang setara yaitu hipoglikemik
simptomatik (51,7% vs 53,6%), hipoglikemik nocturnal (21,4% vs 24,5%), atau
hipoglikemik berat (1,4% vs 1,2%) (Dailey et al, 2004).
Berdasarkan bukti penelitian klinik dan farmakokinetik, peran insulin
glulisine/APIDRA sebagai insulin onset cepat, insulin bolus saat makan, mempunyai sifat
farmakokinetik yang setara dengan insulin lispro, aspart dan mempunyai efektifitas yang
setara dengan insulin regular manusia, lispro dan aspart.
TERAPI INSULIN SECARA FISIOLOGIS: KONSEP TERAPI BASAL-BOLUS
Terapi insulin replacement secara ideal dapat mencakup profil sekresi fisiologis
insulin, seperti yang bisa diamati pada profil post prandial dan profil insulin puasa pasca
absorbsi (Tabel 2). Konsep terapi basal-bolus ditujukan untuk sedapat mungkin
mendekati pola fisiologis sekresi insulin pada individu yang sehat (Gambar 2)
Tabel 2. Konsep Basal-Bolus Keuntungan insulin basal-bolus
Komponen Insulin
Kegunaan
Basal
Menjamin kadar insulin konstan dalam sehari
Malam hari menekan produksi glukosa dari hepar dan
proses lipolisis, dan efeknya mencapai periode waktu
antar makan
Mencukupi kebutuhan insulin harian sampai 50%
Bolus
Kadar insulin meningkat segera dan tajam, serta
mencapai puncak dicapai dalam waktu 1 jam
Mencegah kenaikan hiperglikemia setelah makan
Mencukupi kebutuhan insulin setiap makan antara 10
20% dari kebutuhan total insulin harian
Peranan insulin basal pada regimen basal-bolus adalah untuk menekan produksi
glukosa hepar dan lipolisis pada fase pasca absorbsi antar makan dan pada malam sampai
pagi hari. Peranan insulin bolus adalah untuk membatasi hiperglikemia yang terjadi
setelah makan.
Konsep terapi insulin basal-bolus secara rutin dipergunakan pada DMT1, tetapi
dapat pula diaplikasikan pada DMT2, mengingat pada DMT2 terjadi pula peningkatan
glukosa darah pada saat prandial, ataupun interprandial atau waktu puasa (Nathan et al,
2006; Monnier & Colette, 2006; Raccah et al, 2007). Seiring dengan progresifitas
perjalanan klinik DM, akhirnya pasien DM bisa memerlukan terapi insulin basal-bolus
baik itu yang sifatnya sementara ataupun menetap. Konsep terapi basal-bolus ideal dapat
dilihat pada Lampiran 1 (Gambar 6), dan Lampiran 2 (Gambar 7).
STRATEGI TERAPI SETELAH PENCAPAIAN OPTIMAL INSULIN BASAL
Pemberian insulin basal-bolus pada DMT2 dapat diberikan secara bertahap
(stepwise basal-prandial), pada awalnya insulin basal (misal: glargine) diberikan
bersamaan dengan obat oral, pada tahap berikutnya diberikan insulin prandial (misal:
aspart, lispro atau glulisine) diberikan seiring dengan progresifitas penurunan sel beta
pankreas.
Strategi ini disebut pula sebagai STRATEGI BASAL-PLUS, yang
merupakan pendekatan bertahap menuju regimen basal-blolus. Insulin prandial diberikan
sebesar 4 unit diawali pada jadwal makan utama, sehingga diharapkan memperbaiki
hiperglikemia postprandial. Injeksi prandial dapat diberikan secara progresif sampai
akhirnya menuju pada terapi basal-bolus. Konsep terapi basal-plus memberikan
fleksibilitas pada pasien, bisa menyesuaikan dengan jadwal makan yang tidak beraturan,
dapat menyesuaikan dengan gaya hidup per individual dan jadwal olahraga, dan frekuensi
suntikan dimulai dengan 2 kali sehari, misal insulin basal glargin disertai 1 kali suntik
insulin prandial (aspart, lispro atau glulisine) pada jadwal makan utama yang paling besar
porsi jumlahnya, penambahan injeksi prandial pada jadwal makan lainnya bisa diberikan
jika diperlukan. Strategi Basal-Plus merupakan pentahapan yang fleksibel, dimana
penambahan injeksi prandial dapat ditambahkan seiring dengan progresifitas perjalanan
klinik DM, yang akhirnya memerlukan terapi Basal-Bolus. Obat oral golongan insulin
sekretagog harus diturunkan bertahap atau akhirnya dihentikan jika pemberian insulin
prandial mulai diberikan, mengingat mempunyai efek sinergis dengan insulin. (Nathan et
al, 2006; Monnier & Colette, 2006; Raccah et al, 2007; Abrahamson & Peters, 2012).
Terapi basal-plus merupakan strategi yang fleksibel dengan berbagai pola makan yang
bervariasi pada DMT2.
Porsi makan terbesar dapat dikenali dengan hasil lonjakan glukosa darah tertinggi
dari pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan. Strategi Basal-Plus adalah
pemberian insulin prandial dosis tunggal, misalnya glulisine yang ditambahkan pada
porsi makanan utama. Kontrol glikemik selama 24 jam dapat dicapai dengan perbaikan
A1c melalui pendekatan terapi puncak prandial pada porsi makanan utama terbesar.
Puncak prandial pada porsi makanan utama sangat bervariasi sesuai kebiasaan individuindividu DM dan kebiasaan makan berbagai negara. Sebagian pasien DM tidak bisa
mempunyai kebiasaan yang teratur dengan selingan snack 3 kali per hari. Ada pasien
yang makan 1 atau 2 kali makan utama dengan porsi yang besar. Pola makan juga bisa
bervariasi dari hari kehari, sehingga pemberian insulin dengan dosis yang sama setiap
harinya dapat tidak efektif. Strategi Basal-Plus dengan memberikan insulin glulisine
pada porsi makanan terbesar merupakan strategi yang fleksibel dan bertahap sebelum
pasien memerlukan terapi basal-bolus seiring dengan progresifitas perjalan klinik DM.
Studi OPAL merupakan penelitian yang pertamakalinya membuktikan bahwa
terapi basal-plus efektif untuk menurunkan A1c. Studi ini dengan sampel DMT2
sejumlah 158 pasien yang telah menjalani terapi insulin glargine yang bisa dengan baik
mencapai rerata kadar gula darah puasa < 120 mg/dl., tetapi kadar A1c berkisar pada
angka >6,5 sampai <9,0%. Pasien dilakukan penggolongan atas dasar jumlah makan yang
terbanyak, dibuktikan dengan kadar gula darah post prandial yang tertinggi, dan
kemudian secara acak diberikan insulin glulisine pada saat makan pagi atau jumlah
makan terbanyak. Obat hipoglikemik oral tetap diberikan selama studi berlangsung. Hasil
akhir menunjukkan A1c turun dari angka 7,4 menjadi 7,0 pada minggu ke 26, dan
sejumlah 26% pasien dapat mencapai A1c < 6,5% dan kadar gula darah puasa tetap tidak
berubah. Rata-2 dosis insulin glargine tidak berubah selama penelitian, sedangkan rerata
dosis harian glulisine meningkat dari 5 menjadi 11 unit (Tabel 4).
Basal-Plus Insulin
Telecare: electronic transfer of blood glucose readings.(Glulisine at Breakfast 7%; Lunch 43%;
Supper 50%)
Gambar 4. Efektifitas Basal Plus pada studi Eleonor memberikan penurunan lebih lanjut
HbA1c sebesar 0,7 0,8%.
Randomized, 1-year comparison of three ways to initiate and advance insulin for type 2
diabetes: twice-daily premixed insulin versus basal insulin with either basal-plus one
prandial insulin or basal-bolus up to three prandial injections (Riedle et al, 2013).
Insulin basal plus injeksi prandial tunggal, sama efektif pada perbaikan kontrol
glikemik dengan regimen premixed. Regimen penuh basal bolus sedikit lebih efektif
dibanding degan regimen premixed. Strategi regimen basal-bolus stepwise dapat
memperbaiki kontrol glikemik dengan angka kejadian hipoglikemik yang lebih sedikit.
Intensification of insulin therapy with basal-bolus or premixed insulin regimens in
type 2 diabetes: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials
(Giugliano et al, 2015).
Mendapatkan hasil bahwa 13 RCT yang diberikan selama kurun waktu 16-60
minggu dan melibatkan sejumlah 5255 pasien mendapatkan kesimpulan utama
(penurunan HbA1c). Perubahan meta-analisis pada level HbA1c antara basal-bolus dan
insulin premix menghasilkan perbedaan kecil dan tidak signifikan dengan hasil 0,09%
(95% Cl -0,03 hingga 0,21), dengan keragaman substansial dalam penelitian sebesar (I
2 = 74.4 %). Tidak didapatkan perbedaan secara statistik pada rata-rata untuk
keseluruhan hipoglikemia (0,16 episode/pasien/tahun, 95% Cl -2,07 hingga 2,3),
perubahan berat badan (-0,21 kg, -0,164 hingga 0,185), dan dosis harian insulin (-0,54
U/hari, -2,7 hingga 1,6). Likelihood untuk mencapai kadar HbA1c <7 % adalah lebih
tinggi dari 8% (3-13 %, I 2 = 68.8 %) pada basal-bolus dibandingkan dengan insulin
premixed.
Use of a basal-plus insulin regimen in persons with type 2 diabetes stratified by age
and body mass index: A pooled analysis of four clinical trials (Lankisch MR et al,
2015).
Sebanyak 711 pasien dengan rata-rata umur 59,9 tahun dan rata-rata lama
mengidap diabetes 11 tahun dilibatkan dalam analisis populasi. Basal-plus dihubungkan
dengan penurunan secara signifikan pada kadar HbA1c dan PPG pada pemberian selama
6 bulan, peningkatan dosis glargine dan glulisine cenderung sedikit namun signifikan
secara statistik, perubahan berat badan serta BMI pada semua pasien. Proporsi pada
pasien dengan HbA1c<7% juga mengalami peningkatan pada semua populasi penelitian,
sedangkan prevelensi hipoglikemia adalah rendah dan tidak banyak perbedaan diantara
para pasien. Dari hasil yang didapatkan, didapatkan saran untuk menggunakan basal-plus
agar mencapai respon pengobatan yang baik dengan resiko rendah hipoglikemia dan
kenaikan berat badan, didasarkan pada umur dan BMI pasien.
PRDOMAN TERAPI
Terapi insulin bisa dimulai pada pasien DMT2 baru (naive) yang gagal mencapai
1C < 7 dengan 1 macam obat golongan metformin, umumnya memberikan hasil yang
terbaik (Gambar 5A). Algoritma pemberian insulin basal dapat dilihat pada Lampiran 3
(Tabel 3). Update American Diabetes Association (ADA) dan European Association for
The Study of Diabetes (EASD) (2015), dapat dilihat pada Lampiran 4
Penggelolaan DMT2 menurut konsensus The American Diabetes
Association/European Association for the study of Diabetes (2012) didasarkan atas
harapan pencapaian kadar HbA1c. Pada saat pasien datang pertama kali penggobatan awal
diberikan secara tunggal dengan obat metformin pasien dianjurkan untuk makan yang
sehat, kontrol berat badan dan meningkatkan aktivitas. di dalam pemberian penggobatan
selalu harus di pertimbangkan efektifitas penurunan HbA 1c , kemungkinan hipoglikeni
pengaruh terhadap berat badan pasien, kemungkinan efek samping dan harga. pasien
harus dilakukan penetapan target HbA1c yang ingin dicapai dalam waktu 3 bulan. jika
dengan obat tunggal gagal maka dengan obat tunggal selama 3 bulan gagal maka
diberikan obat kombinasi 2 macam antar lain : Sulfonylurea, Thiazolidinedione, DPP-4
inhibitor, GLP-1 receptor agonist, Insulin (Umumnya insulin basal). Jika kombinasi
dengan 2 macam obat gagal setelah 3 bulan tidak tercapai target HbA 1cnya maka
diberikan kombinasi macam obat :
Metformin + Sulfonylurea + TZD atau DPP-4-i atau GLP-1-RA atau Insulin
Metformin + Thiazolidinedione + SU atau DPP-4-i atau GLP-1-RA atau Insulin
Metformin + DPP-4 inhibitor + SU atau TZD atau Insulin
Metformin + GLP-1 receptor agonist + SU atau TZD atau Insulin
Metformin + Insulin (Umumnya basal) + TZD atau DPP-4-i atau GLP-1-RA
Jika dengan kombinasi obat gagal maka diberikan strategi terapi insulin yang komplek
misalnya dengan pemberian insulin dosis multipel (Inzucchi et al, 2012).
.
Diagnosis
Tidak
Tidak
A1C 7%
Intensifkan insulin#
Tidak
A1C 7%
A1C 7%
Ya*
Tambah Sulfonilurea
- Kurang efektif
Ya* Tidak
Tambah Glitazon+
Ya*
A1C 7%
Tambah Glitazon
- Tanpa hipoglikemia
Ya* Tidak
Tidak
A1C 7%
A1C 7%
Ya*
Tambah Sulfonilurea
Ya*
Gambar 5A. Algoritme pengelolaan DMT2. Diingatkan pentingnya pola hidup setiap
kunjungan (Nathan et al. 2006).
*Periksa A1C setiap 3 bulan sampai 7% dan kemudian paling sedikit setiap 6 bulan.
+Walaupun tiga jenis obat oral dapat digunakan, dianjurkan memulai insulin berdasarkan
efektivitasnya dan biaya.
#Lihat Gambar 5B untuk memulai dan penyesuaian insulin.
Pasien DMT2 dengan gejala simptomatik atau gagal dengan terapi oral dapat
memulai insulin dengan algoritma pada Gambar 5A. Konsep terapi Basal-Plus dapat
dimulai jika GDP sudah dalam rentang sasaran (70-130 mg/dl), tetapi pola glukosa
darah sebelum makan siang, makan malam, tidur tergantung hasil GD ada yang tingi
sehinggan memerlukan tambahkan suntikan kedua; biasanya dimulai dengan 4U dan
disesuaikan dengan 2 U setiap 3 hari sampai GD dalam rentang sasaran (Gambar 5B).
Teruskan
rejimen;
ukur A1C
setiap 3 bulan
Tidak
GD sebelum
makan siang
tinggi; tambahkan
RAI pada saat
sarapan
Ya
GD sebelum makan
malam tinggi;
tambahkan IAI saat
sarapan atau RAI saat
makan siang
GD sebelum
tidur tinggi;
tambahkan RAI
saat makan
malam
Gambar 5B. Memulai dan penyesuaian rejimen insulin (Nathan et al. 2006).
GD=gula darah; GDP=gula darah puasa; RAI=rapid-acting insulin; IAI=intermediate
acting insulin.
KESIMPULAN
Indikasi pemberian Insulin prandial merupakan indikasi, jika kontrol glikemik masih
tidak adekuat, padahal pemberian insulin basal telah tercapai adekuat ditunjukkan
dengan rerata glukosa puasa harian telah mencapai target, tetapi A1c masih belum
ideal
Strategi Basal-Plus adalah pemberian dosis tertentu dari insulin prandial sebelum
porsi makan utama harian yang paling besar porsinya atau sebelum pemberian insulin
prandial pada porsi makan utama harian lainnya jika diperlukan, suatu strategi
bertahap atau fase transisi menuju terapi basal-bolus jika diperlukan seiring dengan
progresifitas perjalanan klinik DMT2
Terapi Basal-Plus, merupakan alternatif pilihan yang cukup fleksibel
Pada penelitian metaanalisis oleh Giugliano et al, (2015), terapi Basal-bolus
dibanding dengan insulin premixed mempunyai risiko hipoglikemi yang sama, dan
angka likelihood pencapaian HbA1c < 7 sedikit lebih banyak.
Beberapa pemberian insulin prandial dapat diberikan mengikuti karakteristik gaya
hidup dan pola makan pasien DMT2 yang kadang-kadang bervariasi yang sifatnya
individual
DAFTAR PUSTAKA
1. Askandar Tjokroprawiro, Agung Pranoto Soehardjono Soedjono , 1988. Insulin:
Biosintesis, Macam, dan Indikasi Klinik. Medika vol 3: 276
2. Askandar Tjokroprawiro, 1998. Capita Selecta 1998. Naskah Lengkap PKB XIII Lab
SMF Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr.Soetomo Surabaya, 12-13 September
3. Agung Pranoto (2005). Insulin Therapy for Type 2 Diabetes: Rationale & Evidence.
Prosiding Surabaya Diabetes Workshop 5 (SDW-5), Surabaya, 1
4. Askandar Tjokroprawiro & Agung Pranoto, 2005. Diabetes Mellitus Garis Besar
Kuliah Untuk Mahasiswa Semester 7, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya
5. Askandar Tjokroprawiro, 2005. Insulin Usages in Hospital and Clinical Daily
Practice Indications and Theurapetic Regimen. Surabaya Diabetes Workshop V.
6. Agung Pranoto, 2006. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan.
WorkShop KONAS Perkeni, 2006
7. Agung Pranoto, 2006. Insulin Kinetics and Insulin Regimens In Type 2 Diabetes.
Problem Base Learning. Perkeni-New Castle, Jakarta IV, 9-10 September 2006
8. Andrews WJ, Vasquez B, Nagulesparan M, Klimes I, Foley J, Unger R, Reaven GM:
Insulin therapy in obese, non-insulin-dependent diabetes induces improvements in
insulin action and secretion that are maintained for two weeks after insulin
withdrawal. Diabetes 33:634-642, 1984
9. American Diabetes Association (ADA), 2004. Position Statement Standards of
Medical Care in Diabetes. Diabetes Care vol 27, Suppl 1, January
10. American Diabetes Association (ADA), 2006. Position Statement Standards of
Medical Care in Diabetes 2006. Diabetes Care vol 29, Suppl 1, January
30. Wright A, Burden AC, Paisey RB, Cull CA, Holman R, 2002. U.K. Prospective
Diabetes Study Group. Sulfonylurea inadequacy: efficacy of addition of insulin over
6 years in patients with type 2 diabetes in the U.K. Prospective Diabetes Study
(UKPDS 57). Diabetes Care 25:330-6.
31. Yki-Jarvinen H, Kauppila M, Kujansuu E, Lahti J, Marjanen T, Niskanen L, Rajala S,
Ryysy L, Salo S, Seppala P, et al, 1992. Comparison of insulin regimens in patients
with non-insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med 327(20):1426-33.
32. Yki-Jrvinen H, Dressler A, Ziemen M, 2000. Less nocturnal hypoglycemia and
better post-dinner glucose control with bedtime insulin glargine compared with
bedtime NPH insulin during insulin combination therapy in type 2 diabetes. Diabetes
Care 23:1130-6.
33. Yki-Jarvinen H., 2001. Combination therapies with insulin in type 2 diabetes.
Diabetes Care. 2001 24(4):758-767
34. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck M, Peters
AL, Tsapas A, Wender R, Matthews DR; American Diabetes Association (ADA);
European Association for the Study of Diabetes (EASD). Management of
hyperglycemia in type 2 diabetes: a patient-centered approach: position statement of
the American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the
Study of Diabetes (EASD). Diabetes Care. 2012 Jun;35(6):1364-79.
35. Sharplin P, Gordon J, Peters JR, Tetlow AP, Longman AJ, McEwan P. Switching from
premixed insulin to glargine-based insulin regimen improves glycaemic control in
patients with type 1 or type 2 diabetes: a retrospective primary-care-based analysis.
Cardiovasc Diabetol. 2009 Feb 16;8:9
36. Perkeni (2011). Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Diabetes Mellitus.
37. Abrahamson MJ, Peters A. Intensification of insulin therapy in patients with type 2
diabetes mellitus: an algorithm for basal-bolus therapy. Ann Med. 2012
Dec;44(8):836-46.
38. Giugliano D, Chiodini P, Maiorino MI, Bellastella G, Esposito K. Giugliano D,
Chiodini P, Maiorino MI, Bellastella G, Esposito K. Endocrine. 2015 Aug 18.
39. Lankisch MR, Del Prato S, Dain MP, Mullins P, Owens DR. Use of a basal-plus
insulin regimen in persons with type 2 diabetes stratified by age and body mass index:
A pooled analysis of four clinical trials. Prim Care Diabetes. 2015 Jul 3. pii: S17519918
40. Riddle MC1, Rosenstock J, Vlajnic A, Gao L. Randomized, 1-year comparison of
three ways to initiate and advance insulin for type 2 diabetes: twice-daily premixed
insulin versus basal insulin with either basal-plus one prandial insulin or basal-bolus
up to three prandial injections. Diabetes Obes Metab. 2014 May;16(5):396-402.
41. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck M, Peters
AL, Tsapas A, Wender R, Matthews DR. Management of hyperglycemia in type 2
diabetes, 2015: a patient-centered approach: update to a position statement of the
American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes Care. 2015 Jan;38(1):140-9.
EFEK INSULIN
42. Lampiran 1.
6A
Siang
Malam
Analog
Analog
Analog
Tengah Malam
Glargine
or
Detemir
HS
Jadwal Makan
EFEK INSULIN
6B
Pagi
Pagi
Siang
Analog
Analog
Malam
Night
Analog
NPH/Lente
HS
Jadwal Makan
Gambar 6. Insulin basal dan bolus ideal dengan dosis injeksi multipel (Skyler et al, 2004).
Keterangan:
6A: Injeksi bolus (prandial) dengan insulin cepat analog (insulin lispro, insulin
atau insulin glulisine), dan insulin basal injeksi menjelang tidur malam dengan
glargine.
6B: Insulin bolus dengan insulin cepat analog (insulin lispro, insulin aspart, atau
glulisine), dan insulin basal injeksi menjelang tidur malam dengan insulin
menengah (NPH atau lente) pada menjelang tidur dan sebelum sarapan pagi.
aspart,
insulin
insulin
jangka
6B, sarapan pagi; D, makan malam; HS snack tidur malam; L, makan siang; REG, regular.
Tanda panah: menunjukkan waktu suntik insulin
EFEK INSULIN
Lampiran 2.
Siang
Pagi
REG
7C
Malam
REG
Tengah Malam
REG
Glargine
or
Detemir
HS
EFEK INSULIN
Jadwal Makan
7D
Siang
Pagi
REG
Malam
REG
Tengah Malam
REG
NPH/Lente
HS
EFEK INSULIN
Jadwal Makan
7E
Pagi
Siang
Analog
Analog
Evening
Night
Analog
Glargine
or
Detemir
HS
Jadwal Makan
Gambar 7 (lanjutan): Insulin basal dan bolus ideal dengan injeksi multipel (Skyler et al, 2004).
Keterangan:
7C. Injeksi bolus dengan Insulin Reguler jangka pendek, dan Insulin basal menjelang tidur
malam dengan insulin glargine or detemir.
7D: Injeksi bolus Prandial dengan Insulin Reguler jangka pendek, dan Insulin basal menjelang
tidur malam dan sebelum sarapan pagi dengan insulin jangka menengah (NPH atau lente)
7E: Program insulin dengan 4 kali injeksi bolus insulin analog pada saat sebelum makan atau
snack, dan insulin basal dengan insulin glargine atau detemir yang separuhnya pada pagi
bangun tidur dan separuhnya lagi menjelang tidur malam. Program ini memberikan fleksibilitas
waktu.
B, sarapan pagi; D, makan malam; HS snack tidur malam; L, makan siang; REG, regular.
Tanda panah: menunjukkan waktu suntik insulin
Lampiran 3.
Tabel 3. Perencanaan insulin basal pada waktu menjelang tidur malam pada DMT2
(Skyler, 2004).
Perencanaan terapi didasarkan dengan target GDP 70-100 mg/dl. Perencanaan harus
disesuaikan dengan kebutuhan individu setiap pasien.
Dosis awal adalah 10 unit saat menjelang tidur malam dengan menggunakan insulin basal
(insulin glargin, insulin detemir, insulin NPH, atau insulin ultra-lente). Dosis disesuaikan
setiap minggu dengan pedoman sebagai berikut:
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya > 180 mg/dl
Tingkatkan dosis insulin basal menjelang tidur malam dengan dosis 8 unit.
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya 140 - 180 mg/dl
Tingkatkan dosis insulin basal menjelang tidur malam dengan dosis 6 unit.
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya 120 140 mg/dl
Tingkatkan dosis insulin basal menjelang tidur malam dengan dosis 4 unit.
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya 100 - 120 mg/dl
Tingkatkan dosis insulin basal menjelang tidur malam dengan dosis 2 unit.
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya 70 100 mg/dl
Dosis insulin basal menjelang tidur malam tetap dipertahankan
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya < 70 mg/dl
Insulin basal menjelang tidur malam kembali pada dosis sebelumnya
Jika GDP selama 4 hari sebelumnya < 56 mg/dl atau jika ada episode hipoglikemik berat
Insulin basal menjelang tidur malam diturunkan dengan dosis 2 - 4 unit.
Lampiran 4:
Approach to starting and adjusting insulin in type 2 diabetes. This figure focuses mainly
on sequential insulin strategies, describing the number of injections and the relative
complexity and flexibility of each stage. Basal insulin alone is the most convenient initial
regimen, beginning at 10 U or 0.10.2 U/kg, depending on the degree of hyperglycemia.
It is usually prescribed in conjunction with metformin and possibly one additional
noninsulin agent. When basal insulin has been titrated to an acceptable fasting blood
glucose but HbA1c remains above target, consider proceeding to Combination
injectable therapy (see Fig. 2) to cover postprandial glucose excursions. Options
include adding a GLP-1 receptor agonist (not shown) or a mealtime insulin, consisting of
one to three injections of a rapid-acting insulin analog* (lispro, aspart, or glulisine)
administered just before eating. A less studied alternative, transitioning from basal
insulin to a twice daily premixed (or biphasic) insulin analog* (70/30 aspart mix, 75/25
or 50/50 lispro mix) could also be considered. Once any insulin regimen is initiated, dose
titration is important, with adjustments made in both mealtime and basal insulins based
on the prevailing blood glucose levels, with knowledge of the pharmacodynamic profile
of each formulation used (pattern control). Noninsulin agents may be continued,
although sulfonylureas, DPP-4 inhibitors, and GLP-1 receptor agonists are typically
stopped once insulin regimens more complex than basal are utilized. In refractory
patients, however, especially in those requiring escalating insulin doses, adjunctive
therapy with metformin and a TZD (usually pioglitazone) or SGLT2 inhibitor may be
helpful in improving control and reducing the amount of insulin needed. Comprehensive
education regarding self-monitoring of blood glucose, diet, and exercise and the
avoidance of, and response to, hypoglycemia are critically important in any insulintreated patient. FBG, fasting blood glucose; GLP-1-RA, GLP-1 receptor agonist; hypo,
hypoglycemia; mod., moderate; PPG, postprandial glucose; SMBG, self-monitoring of
blood glucose; #, number. *Regular human insulin and human NPH-Regular premixed
formulations (70/30) are less costly alternatives to rapid-acting insulin analogs and
premixed insulin analogs, but their pharmacodynamic profiles make them suboptimal for
the coverage of postprandial glucose excursions. A less commonly used and more costly
alternative to basalbolus therapy with multiple daily injections in type 2 diabetes is
continuous subcutaneous insulin infusion (insulin pump). In addition to the suggestions
provided for determining the starting dose of mealtime insulin under basalbolus,
another method consists of adding up the total current daily insulin dose and then
providing one-half of this amount as basal and one-half as mealtime insulin, the latter
split evenly between three meals.