Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Dinamakan cedera kranioserebral karena cedera ini melukai baik bagian kranium (tengkorak)
maupun serebrum (otak). Cedera tersebut dapat mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah intra maupun
ekstraserebral, dan kerusakan jaringan otaknya sendiri. Cedera ini dapat terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor.
Di negara maju cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak pada generasi muda
dan usia produktif. Di negara berkembang seperti Indonesia dengan meingkatnya
pembangunan yang diikuti mobilitas masyarakat yang salah satu segi diwarnai dengan lalu
lintas kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas makin sering terjadi
dan korban cedera kepala makin banyak. Dari korban yang meninggal ini 80% disebabkan
cedera kepala. Selain itu, cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan
(luka tembus peluru), dan lainnya. Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi
kritis seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat
perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan
berat.
DEFINISI
Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu neurotraumatologi, yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional
dan akibatnya baik pada masa akut maupun sesudahnya. Akibat trauma dapat terjadi pada
masa akut (kerusakan primer) dan sesudahnya (kerusakan sekunder), oleh karena itu
manajemen segera dan intervensi lanjut harus sudah dilaksanakan sejak saat awal kejadian
guna mencegah/meminimalkan kematian maupun kecacatan pasien.
KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam komosio serebri,
kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terdapat
juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di
temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau
tertutup. Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun
hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural
(EDH), bisa hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan

subaraknoid (SAH). Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat


kesadaran Skala Koma Glasgow (tabel 1).
PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses cedera otak
dibagi:
1. Proses primer
Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses mekanik
yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya,
kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan
dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada daerah yang terkena.
2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan primer
membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun
fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi. Insult sekunder pada otak berakhir
dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
o Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dansistokeletonnya. Kerusakan ini
dapat berakibat:
- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel glia
- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium mengenai
semua jenis sel
- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran kapiler disusul
dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel
darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.

o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian membengkak
akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini menyebabkan kompresi
dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian
tekanan intrakranial Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi
neuronal yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler (Hays,5) dan
meningkatnya

kadar

neurotransmitter

eksitatorik.

Peningkatan

dan

kebocoran

neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death. Selain itu
kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium (ca)
intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya sitoskeleton karena
enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas yang memperburuk dan merusak
integritas membran sel yang masih hidup.
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury)
Penyebab dari proses inivbisa intrakranial atau sistemik:
o Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsur-angsur
dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi otak tidak
cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak
dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut
misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat
menyebabkan asidosis dan vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.
o Sistemik
Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat menyebabkan
penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan
sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly Hs yaitu hipotensi , hipokapnia,
hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan
hipoproteinemia. Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala.
Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup
mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang tumpul
atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang akan patah/retak.
Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai
ke basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan fraktur stellata dan bila lebihhebat
lagi dapat menyebabkan depresi fraktur. Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari

kecepatan pukulannya, tetapi yang lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang
mengenai tengkorak. Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak
sedangkan objek yang lebih besar dgnkecepatan yang sama menyebabkn depresi fraktur.
Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak bergerak lebih cepat dari
otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami contusio pada tempat bawah benturan,
tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada permukaan tengkorak yang kasar, pada tonjolantonjolan tulang, crista galli, pada sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti sering terlihat
pada contusio pada fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal basal). Pada
benturan didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior, sedangkan benturan pada
daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang sumbu axis, sedangkan lateral impact
menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke sisi lain. Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik
dari coup contra coup dan contusio adalah sebagai berikut:
1. Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur
2. Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan tulang yang tidak
rata
3. Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa contra coup efek
4. Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi contra coup tanpa lesi
coup.
Penatalaksanaan Kedaruratan
Cedera Kranioserebral
PATOLOGI & GEJALA KLINIS
Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan terletak
di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang
waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan
kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24
jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa disertai
muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal,
hemiparesis, dan refl eks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial)
umumnya di daerah temporal berbentuk cembung.

Hematoma Subdural (SDH)


Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan
kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah
lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.
Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan
akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada
dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi
edema.
Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk.
Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera kranioserebral,
sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak
dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan
mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi
yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan
otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan.
Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10
hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak,
tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang
umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma),
perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.

Fraktur Basis Kranii


Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior,
medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya
yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal.\ Fraktur anterior fosa melibatkan
tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu
adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu
hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan
VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan:
A. Kondisi kesadaran pasien
_ Kesadaran menurun
_ Kesadaran baik
B. Tindakan
_ Terapi non-operatif
_ Terapi operatif
C. Saat kejadian
_ Manajemen prehospital
_ Instalasi Gawat Darurat
_ Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan
tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan
dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:


1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural/EDH) dengan volume perdarahan lebih dari
30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi
pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis tengah lebih
dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau
herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura yang robek
disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak
1. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
2. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera kranioserebral
ringan (CKR).
PASIEN DENGAN KESADARAN MENURUN
1. Cedera kranioserebral ringan
(SKG=13-15)1-6

Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai
defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat
baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial,
misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan
gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu
dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di
rumah, dan bila dicurigai ada perubahan
kesadaran, dibawa kembali ke RS.
2. Cedera kranioserebral sedang
(SKG=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner. Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi
(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan
pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya
3. Cedera kranioserebral berat
(SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,
segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan
dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral

sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral juga
bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam
keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT &
RUANG RAWAT
1. Resusitasi dengan tindakan A =
Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika
perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral
disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Jika perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fisik

Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fi sik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi,
pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan
cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada harihari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera
diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah terpasang
tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak
dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah satu
indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk
pada CT scan otak abnormal,5 sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio
meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah
acuan klinis yang mendukung ke arah komosio.6 Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat,
tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor
yang sederhana.
Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian dengan OR
10,07 untuk GDS 201-220mg/ dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/ dL.8
Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak
boleh diberikan.

Analisis gas darah

Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi dan pO2
rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2
>95%, dan pCO2 30-35 mm Hg.
Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
Trombosit, PT, aPTT, fi brinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko late hematomas perlu
diantisipai. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar
ffi brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
5. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma intrakranial.
Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas
20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu
bidang.
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30 menit.
Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB
dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
6. Nutrisi

Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata pada cedera
kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/
hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari,
lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30
mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan
mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C,
riboflavin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien dengan kesadaran
menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut
dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan
lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk
mengurangi risiko flebitis.
7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas digerakkan pasif
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi kognitif dan fungsi kortikal
luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes
orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan
pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan MiniMental State Examination (MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan
dengan konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
8. Komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.

c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan tindakan menurunkan
suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan
perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik
dengan dosis sesuai berat badan.
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain. Antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan
kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau
stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena
hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2
receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5
hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah tulang yang
nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter
untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi
kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi
pernapasan.
9. Proteksi serebral (neuroproteksi)
Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera otak primer dengan timbulnya kerusakan
sekunder memberikan kesempatan untuk pemberian neuroprotektor. Manfaat obat-obat
tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-obat tersebut antara lain golongan antagonis
kalsium (mis., nimodipine) yang terutama diberikan pada perdarahan subaraknoid (SAH) dan
sitikolin untuk memperbaiki memori. Dari beberapa percobaan penting, terungkap bahwa
agen neuroprotektor yang diberikan setelah cedera otak dapat menekan kematian dan
menambah perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih diragukan
kegunaannya. Manajemen harus sudah mendeteksi sejak awal dan melakukan pencegahan
efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya komplikasi sekunder dan
kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi intervensi non-farmasi (terapi gizi).Hal yang

perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia,
hipotensi, maupun demam yang dapat memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen
intensif dengan obat proteksi serebral berdasarkan patofisiologi mekanisme kerja yang
spesifik menjanjikan perbaikan luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral.
KONTROVERSI MANAJEMEN
Steroid
Pemberian kortikosteroid untuk cedera kranioserebral ini masih kontroversial. Ada yang
mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang mengatakan boleh saja diberikan. Efek yang
jelas terlihat dan berguna ialah pada kasus cedera spinal. Terapi kortikosteroid yang
menjanjikan di masa datang adalah 21 aminosteroid (lazaroid) yang masih diteliti.
PREDIKSI LUARAN
Luaran cedera kranioserebral secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan meninggal. Untuk
prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa sistem penskoran, antara lain
(yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata,
Napas, Motorik). Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi
hidup dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi luaran pasien
cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya cedera
berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi, dan/atau iskemia
serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang
perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam
(pemeriksaan GOAT), fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah satu caranya dengan
pemeriksaan MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari rumah sakit, yang akan
memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang keluar tanpa adanya
gejala tersebut diatas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI, 2006.
2. Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia, 1981.
3. Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initial prehospital management. AAN Hawaii,
2011.
4. Marion DW. Head injury. Powner DJ. Nutrition/metabolism in the trauma patient. In: The
Trauma Manual. Peitzman AB et al. (eds.). Lippincott Raven, 1998.
5. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd
ed. BMJ books, 2000.
6. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN Hawaii,
2011.
7. Musridatha E, Jannis J, Soertidewi L. Modifi kasi revised trauma score pada pasien dewasa
cedera kranioserebral sedang. Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2006.
8. Emril RD. Leukositosis sebagai salah satu indikator adanya lesi struktural intrakranial pada
penderita cedera kepala tertutup dengan skala koma Glasgow awal 13-15. Penelitian Bagian
Neurologi, FKUI/RSCM, 2003.
9. Syarif I, Soertidewi L,Yamanie N. Hubungan antara leukositosis dan peningkatan suhu
tubuh dengan CKS dan CKB tertutup selama 3 hari onset di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo,
Jakarta. Tesis. Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2001.
10. Handisurya I. Nilai prognostik kadar glukosa darah sewaktu pada cedera kranioserebral
berat tertutup fase akut. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM, 1996.
11. Dewati E, Soertidewi L, Yamanie N. Kadar albumin serum dan keluaran penderita cedera
kranioserebral. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM, 1999.
12. Gunawan A, Soertidewi L, Musridatha E. Uji prognostik: skor motorik, frekuensi nafas,
dan membuka mata (MNM skor) untuk memprediksi keluaran dalam tiga hari pada pasien
dewasa

trauma kapitis sedang-berat. Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2011.


CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 331 6/5/2012 11:01:33 AM

Anda mungkin juga menyukai