Anda di halaman 1dari 26

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Rumah Sakit

2.1.1 Definisi Rumah Sakit


Menurut WHO, rumah sakit adalah suatu bagian menyeluruh (integral) dan
organisasi sosial dan medis, yang mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan yang lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun preventif, dimana
pelayanan keluarnya menjangkau keluarga dan lingkungan rumahnya, rumah sakit
juga merupakan pusat untuk latihan tenaga kesehatan dan untuk pendidikan biososial (Supriyanto, 2003). Rumah sakit perlu mempunyai fungsi pelayanan medis,
penunjang medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, rujukan, pendidikan dan
pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta menyelenggarakan administrasi
umum dan keuangan (Aditama, 2002). Perkembangan rumah sakit awalnya hanya
memberi pelayanan yang bersertifikat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien
melalui rawat inap. Pelayanan kesehatan di rumah sakit saat ini tidak saja bersifat
penyembuhan (kuratif) tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif).
Menurut UU RI No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif. Rumah sakit
diselenggarakan berazaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan,
etika, dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi,
pemerataan, perlindungan, dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi
sosial.
Pasien

adalah

setiap

orang

yang

melakukan

konsultasi

masalah

kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik


secara

langsung

maupun tidak

langsung

di rumah sakit.

Pengaturan

penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk:


1.

Mempermudah akses masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan;

2.

Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,

masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;


3.

Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;

4.

Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya


manusia rumah sakit dan rumah sakit.

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
340/Menkes/Per/III/2010, tugas rumah sakit umum adalah memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Berdasarkan UU RI No. 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit, fungsi dari rumah sakit adalah sebagai berikut:
1.

Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan sesuai


dengan standar pelayanan rumah sakit;

2.

Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan


kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

3.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam


rangka peningkatan kemampuan dalam memberi pelayanan kesehatan;

4.

Penyelenggaraan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan


memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.3 Pelayanan Rawat Inap


Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat umum yang meliputi pelayanan rawat jalan tingkat
pertama dan rawat inap tingkat pertama. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 29 tahun 2012, rawat inap tingkat lanjutan adalah pelayanan
kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik untuk

keperluan observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis dan


atau pelayanan medis lainnya termasuk konsultasi psikologi, yang dilaksanakan
pada pemberi pelayanan kesehatan tingkat lanjutan dimana peserta atau anggota
keluarganya dirawat inap di ruang perawatan paling singkat 1 (satu) hari.

2.2

Pelayanan Keperawatan
Berdasarkan Permenkes RI Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang

izin dan penyelenggaraan praktik perawat, perawat adalah seseorang yang telah
lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Permenkes RI, 2010). Keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk
pelayanan bio, psiko, sosio, spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada
individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup
seluruh proses kehidupan manusia untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
(Gaffar, 1999).
Menurut John Griffith dalam Trimumpuni (2009) kegiatan keperawatan
klinik di rumah sakit meliputi:
1.

Pelayanan keperawatan personal (personal nursing care), yang antara lain


berupa pelayanan keperawatan umum dan atau spesifik untuk sistem tubuh
tertentu, pemberian motivasi dan dukungan emosional pada pasien,
pemberian obat, dan lain-lain.

2.

Berkomunikasi dengan dokter dan petugas penunjang medik, mengingat


perawat selalu berkomunikasi dengan pasien setiap waktu sehingga
merupakan petugas yang seyogyanya paling tahu tentang keadaan pasien.

3.

Menjalin hubungan dengan keluarga pasien, komunikasi yang baik dengan


keluarga atau kerabat pasien akan membantu proses penyembuhan pasien itu
sendiri.

10

4.

Menjaga lingkungan bansal tempat perawatan. Perawat bertanggungjawab


terhadap lingkungan bangsal perawatan pasien, baik lingkungan fisik,
mikrobiologik, keamanan, dan lain-lain.

5.

Melakukan penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penyakit. Program


ini diberikan pada pasien dengan materi spesifik sesuai dengan penyakit yang
dideritannya.
Pelayanan keperawatan prima adalah pelayanan keperawatan professional

yang memiliki mutu, kualitas dan bersifat efektif, efisien sehingga memberikan
kepuasan pada kebutuhan dan keinginan lebih dari yang diharapkan pelanggan
atau pasien.

2.2.1 Peran dan Fungsi Perawat


Perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan
kesehatan yang dihadapinya adalah manusia, sehingga dalam hal ini empati
mutlak harus dimiliki oleh seorang perawat. Seorang perawat akan mampu
mengerti, memahami dan ikut merasakan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan
dan apa yang diinginkan pasien. Seorang perawat harus peka dalam memahami
alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien
tentang penyakitnya untuk dapat memberikan pelayanan yang prima. Perawat
harus mengerti bahwa yang dikeluhkan oleh pasien merupakan kondisi yang
sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien
(Potter dan Perry, 2005).
Peran dan fungsi perawat tersebut menurut Gaffar (1999) adalah sebagai
berikut:
a.

Peran Pelaksana (Care giver)


Peran perawat adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung
atau tidak langsung kepada individu, keluarga, dan masyarakat. Metode yang
digunakan adalah pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses
keperawatan.

11

Dalam melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai conforter,


protector dan advocatet, communicator serta rehabilitator. Sebagai comfortet
perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada pelanggan.
Peran sebagai protector dan advocate lebih terfokus pada kemampuan
perawat melindungi dan menjamin agar hak dan kewajiban terlaksana dengan
seimbang

dalam

memperoleh

pelayanan

kesehatan.

Peran

sebagai

communicator akan nampak bila perawat bertindak sebagai mediator antara


pelanggan dengan anggota tim kesehatan lainnya. Peran sebagai rehabilitator
berhubungan erat dengan tujuan pemberian asuhan keperawatan yaitu
mengembangkan fungsi organ tubuh atau bagian tubuh agar sembuh dan
dapat berfungsi normal.
b.

Peran sebagai Pendidik (Healt education)


Perawat berperan mendidik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
serta tenaga keperawatan lainnya atau tenaga kesehatan yang berada di bawah
tanggungjawabnya.

c.

Peran sebagai Pengelola (Manager)


Perawat dalam hal ini mempunyai peran dan tanggungjawab dalam
mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan yang berada di bawah
tanggungjawabnya sesuai dengan konsep manajemen keperawatan dalam
rangka paradigma keperawatan. Sebagai pengelola perawatan berperan dalam
memantau dan menjamin kualitas asuhan/pelayanan keperawatan serta
mengkoordinasikan dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan.

d.

Peran sebagai Peneliti


Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu
mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode
penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu
asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan.

12

2.2.2 Asuhan Keperawatan


Pelayanan keperawatan profesional diberikan dalam bentuk asuhan
keperawatan. Menurut konsorsium kelompok kerja keperawatan, asuhan
keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan praktik keperawatan
yang langsung diberikan kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan
kesehatan

dengan

menggunakan

metodologi

proses

keperawatan

yang

berpedoman pada standar asuhan keperawatan berdasar pada etik dan etiket
keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggungjawab keperawatan
(Nursalam, 2007).
Asuhan keperawatan menggunakan metode proses keperawatan yaitu proses
pemecahan masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau memelihara
pasien sampai taraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk
mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan pasien.
Menurut Dungoes (2000), proses keperawatan adalah proses yang terdiri
dari 5 tahap yang spesifik, yaitu :
a.

Pengkajian
Adalah pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien secara
sistematis, meliputi fisik, psikologi, sosiokultural, kognitif, kemampuan
fungsional, perkembangan ekonomi dan gaya hidup. Pengkajian mencakup
data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengumpulan riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnosa serta melihat kembali catatan
sebelumnya.

b.

Identifikasi masalah/diagnosa keperawatan


Adalah analisa data yang telah dikumpulkan untuk mengidentifikasi,
memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap
masalah aktual dan resiko tinggi.

c.

Perencanaan
Adalah proses dua bagian yaitu pertama adalah identifikasi tujuan dan
hasil yang diinginkan dari pasien untuk memperbaiki masalah kesehatan atau
kebutuhan yang telah dikaji, hasil yang diharapkan harus spesifik, realistik
dan

dapat

diukur,

menunjukkan

kerangka

waktu

yang

pasti,

13

mempertimbangkan keinginan dan sumber pasien, kedua adalah pemilihan


intervensi keperawatan yang tepat untuk membantu pasien dalam mencapai
hasil yang diharapkan.
d.

Implementasi
Adalah

melakukan

tindakan

dan

mendokumentasikan

proses

keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan.


e.

Evaluasi
Adalah menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang
diharapkan dan respon terhadap keefektifan intervensi keperawatan,
kemudian mengganti rencana keperawatan jika diperlukan.
Menurut Gillies (1996), ciri-ciri asuhan keperawatan yang berkualitas antara

lain:
1.

Memenuhi standar profesi yang ditetapkan.

2.

Sumberdaya untuk pelayanan asuhan keperawatan dimanfaatkan secara


wajar, efisien dan efektif.

3.

Aman bagi pasien dan tenaga keperawatan.

4.

Memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, etika dan tata nilai
masyarakat.

2.3

Keselamatan Pasien

2.3.1 Konsep Keselamatan Pasien


Sejak awal tahun 1900 Institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada
3 (tiga) elemen yaitu struktur, proses dan outcome dengan bermacam-macam
konsep dasar, program regulasi yang berwenang misalnya penerapan Standar
Pelayanan

Rumah Sakit,

Management,

Countinuos

penerapan
Quality

Quality

Assurance,

Improvement,

Total

Perizinan,

Quality

Akreditasi,

Kredensialing, Audit Medis, Indikator Klinis, Clinical Governance, ISO, dan lain
sebagainya. Harus diakui program-program tersebut telah meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun output dan
outcome. Namun, pada pelayanan yang telah berkualitas tersebut masih terjadi

14

KTD yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu
program untuk memperbaiki proses pelayanan, karena KTD sebagian dapat
merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah
melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan melibatkan pasien
berdasarkan hak-nya. Program tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah
keselamatan pasien (patient safety). Dengan meningkatnya keselamatan pasien
rumah sakit diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit
dapat meningkat. Selain itu keselamatan pasien juga dapat mengurangi Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD), yang selain berdampak terhadap peningkatan biaya
pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke area blamming, menimbulkan
konflik antara dokter/petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis,
tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktek, blow-up ke mass media yang
akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit, selain itu
rumah sakit dan dokter bersusah payah melindungi dirinya dengan asuransi,
pengacara dan sebagainya. Tetapi pada akhirnya tidak ada pihak yang menang,
bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit
(Depkes, 2006).
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi assessmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem
tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan (Permenkes, 2011).
Tujuannya antara lain:
1.

Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

2.

Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.

3.

Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.

4.

Terlaksananya

program-program

pencegahan

pengulangan kejadian tidak diharapkan.

sehingga

tidak

terjadi

15

2.3.2 Insiden Keselamatan Pasien


Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan
kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat
dicegah pada pasien, terdiri dari kejadian tidak diharapkan, kejadian nyaris cedera,
kejadian tidak cedera dan kejadian potensial cedera. Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris
Cedera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien,
tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius. Pelaporan insiden keselamatan pasien adalah suatu sistem untuk
mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk
pembelajaran (Setiowati, 2010).

2.3.3 Standar Keselamatan Pasien


Menurut Depkes RI (2006) standar keselamatan pasien rumah sakit terdiri
dari tujuh standar keselamatan pasien. Mengingat masalah keselamatan pasien
merupakan masalah yang perlu ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka
diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan acuan bagi
rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya. Standar keselamatan
pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada Hospital Patient Safety
Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi perumahsakitan di Indonesia.
Standar keselamatan pasien tersebut antara lain:
1.

Hak Pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
Kejadian Tidak Diharapkan.

16

2.

Mendidik Pasien dan Keluarga


Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban
dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

3.

Keselamatan Pasien dan Kesinambungan Pelayanan


Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

4.

Penggunaan Metoda-Metoda Peningkatan Kinerja untuk Melakukan Evaluasi


dan Program Peningkatan Keselamatan Pasien
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

5.

Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Keselamatan Pasien


Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Pimpinan menjamin
berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien
dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan.
Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar
unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat
untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta
meningkatkan keselamatan pasien. Pimpinan mengukur dan mengkaji
efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.

6.

Mendidik Staf tentang Keselamatan Pasien


Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien
secara jelas. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.

17

7.

Komunikasi Merupakan Kunci Bagi Staf untuk Mencapai Keselamatan


Pasien
Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

2.3.4 Langkah Menuju Keselamatan Pasien


Menurut Depkes RI (2006) terdapat tujuh langkah menuju keselamatan
pasien rumah sakit. Mengacu kepada standar keselamatan pasien maka rumah
sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor
dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu
pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain
yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan Tujuh Langkah Keselamatan
Pasien Rumah Sakit.
Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit adalah sebagai
berikut:
1.

Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.


Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. Pastikan
rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa yang harus dilakukan
staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah pengumpulan
fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf,
pasien dan keluarga. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang
menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah
sakit. Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan
pasien. Pada unit kerja pastikan rekan sekerja merasa mampu untuk berbicara
mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan apabila ada insiden.

18

Demonstrasikan kepada tim ukuran-ukuran yang dipakai di rumah sakit untuk


memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses
pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
2.

Pimpin dan dukung staf anda


Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan
pasien di rumah sakit. Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang
bertanggung jawab atas Keselamatan Pasien. Identifikasi di setiap bagian
rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjadi penggerak
dalam gerakan Keselamatan Pasien. Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam
agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit.
Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit
dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya. Pada unit kerja
nominasikan penggerak dalam tim untuk memimpin Gerakan Keselamatan
Pasien. Jelaskan kepada tim relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi
mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien. Tumbuhkan sikap
kesatria yang menghargai pelaporan insiden.

3.

Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko


Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan
identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. Telaah kembali
struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan non klinis,
serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan
Pasien dan Staf. Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem
pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh Direksi/Pimpinan rumah sakit.
Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan
insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan
kepedulian terhadap pasien. Pada unit kerja bentuk forum-forum dalam
rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu Keselamatan Pasien guna
memberikan umpan balik kepada manajemen yang terkait. Pastikan ada
penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah
sakit. Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan
akseptabilitas setiap risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk

19

memperkecil risiko tersebut. Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan


sebagai masukan ke proses asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit.
4.

Kembangkan sistem pelaporan


Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/
insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS). Lengkapi rencana implementasi sistem
pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar, yang harus dilaporkan ke
KKPRS. Pada unit kerja berikan semangat kepada rekan kerja untuk secara
aktif melaporkan setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah
tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung bahan pelajaran yang penting.

5.

Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien


Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. Pastikan
rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara
komunikasi terbuka tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya.
Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan
jelas bilamana terjadi insiden. Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan
semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.
Pada unit kerja pastikan tim kerja menghargai dan mendukung keterlibatan
pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden. Prioritaskan pemberitahuan
kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden, dan segera berikan
kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat. Pastikan, segera
setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan keluarganya.

6.

Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien


Berikan dorongan kepada staf untuk melakukan analisis akar masalah
untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. Pastikan staf yang
terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat, yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi penyebab. Kembangkan kebijakan yang
menjabarkan dengan jelas kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root
Cause Analysis/RCA) yang harus mencakup semua insiden yang telah terjadi
dan minimum satu kali per tahun untuk proses risiko tinggi. Pada unit kerja
diskusikan dalam tim pengalaman dari hasil analisis insiden. Identifikasi unit

20

atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan bagilah
pengalaman tersebut secara lebih luas.
7.

Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien


Gunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan. Gunakan informasi yang benar dan jelas
yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan
audit serta analisis, untuk menentukan solusi setempat. Solusi tersebut dapat
mencakup penjabaran ulang sistem (struktur dan proses), penyesuaian
pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang
menjamin keselamatan pasien. Lakukan asesmen risiko untuk setiap
perubahan yang direncanakan. Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh
KKPRS. Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil
atas insiden yang dilaporkan. Pada unit kerja libatkan tim dalam
mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien menjadi lebih
baik dan lebih aman. Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim
dan pastikan pelaksanaannya. Pastikan tim menerima umpan balik atas setiap
tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang

komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut


secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Apabila tujuh
langkah ini telah dilaksanakan dengan baik di rumah sakit maka dapat menambah
penggunaan metoda-metoda lainnya.

2.4

Budaya Keselamatan Pasien

2.4.1 Konsep Budaya Keselamatan Pasien


Budaya merupakan suatu kerangka yang kompleks baik secara nasional,
organisasi, sikap profesional dan nilai-nilai di dalam fungsi individu dan
kelompok (Robbins, 2001). Budaya organisasi merupakan nilai tak tertulis yang
memberikan pedoman, aturan, standar dalam berperilaku baik yang diterima atau
tidak oleh setiap pegawai dalam organisasi. Budaya organisasi dapat mendorong

21

atau melemahkan keefektifan organisasi (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson,


2005). Budaya keselamatan pasien merupakan pola terpadu perilaku individu
dan organisasi dalam memberikan pelayanan yang aman dan bebas dari cedera
(Ferguson & Fakelman, 2005). Budaya keselamatan menurut Sorra and
Nieva (2004) adalah suatu
perilaku,

kompetensi,

komitmen

dan

keluaran dari nilai individu dan kelompok,

dan pola serta kebiasaan

gaya

dan

kecakapan

yang

mencerminkan

dari manajemen organisasi dan

keselamatan kesehatan. Menurut O Toole yang dikutip Jianhong (2004) budaya


keselamatan di pelayanan kesehatan diartikan sebagai keyakinan, nilai perilaku
yang dikaitkan dengan keselamatan pasien yang secara

tidak sadar dianut

bersama oleh anggota organisasi.


WHO

(2009)

menyatakan

organisasi

pelayanan

kesehatan

mengembangkan budaya keselamatan pasien seperti tujuan

harus

yang

jelas,

prosedur yang tetap, dan proses yang aman. Parker et al (2006) dalam Fleming
(2008) mengatakan budaya

keselamatan

dipengaruhi

oleh

perubahan

keorganisasian, seperti perubahan kepemimpinan atau pengenalan tentang


sistem

baru.

Budaya

keselamatan dipengaruhi oleh sistem, praktek dan

proses organisasi. Sebagai contoh, suatu organisasi dengan suatu budaya


keselamatan lemah akan membatasi sistem keselamatan. Suatu organisasi
yang memiliki budaya positif, maka mempunyai banyak orang yang tepat untuk
mempromosikan keselamatan pasien.
Budaya

keselamatan

pasien

merupakan

suatu

hal

yang

penting

karena membangun budaya keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk


membangun program keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila
kita lebih fokus pada budaya keselamatan pasien maka akan lebih menghasilkan
hasil keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya menfokuskan pada
programnya saja (Fleming, 2006). Walshe and Boaden (2006) menyatakan
bahwa kesalahan medis sangat jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia
secara individu, namun lebih banyak disebabkan karena kesalahan sistem
di rumah sakit, yang mengakibatkan rantai-rantai dalam sistem terputus.

22

2.4.2 Indikator Budaya Keselamatan Pasien


Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) sejak 2000-2003,
suatu badan penelitian kualitas kesehatan di Amerika yang mendanai 100
penelitian untuk mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk menilai
budaya keselamatan pasien (AHRQ, 2004). Survei dengan 38 pertanyaan
tentang penerapan keselamatan pasien pada 4826 perawat di rumah sakit
Amerika Serikat dan Kanada. Adapun indikator dari budaya keselamatan pasien
sebagai berikut:
a.

Kerjasama
yaitu staf saling mendukung satu sama lain dalam unit kerja. Ketika
banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan cepat, staf bekerja sama
dalam sebuah tim untuk dapat menyelesaikan pekerjaan. Di dalam unit, staf
memperlakukan satu sama lain dengan hormat. Ketika salah satu daerah di
unit benar-benar sibuk, yang lain membantu.

b. Komunikasi
yaitu staf merasa bebas untuk berbicara apabila melihat sesuatu yang
negatif yang dapat mempengaruhi perawatan pasien. Staf merasa bebas untuk
mempertanyakan

keputusan

atau

tindakan-tindakan

mereka

dengan

kewenangan yang lebih. Staf tidak takut untuk bertanya ketika terjadi sesuatu
yang tidak benar.
c.

Kepemimpinan
Pimpinan atau atasan atau manajer memberikan pujian ketika dia melihat
pekerjaan yang dilakukan bawahannya sesuai dengan prosedur keselamatan
pasien ditetapkan. Pimpinan serius mempertimbangkan saran staf untuk
meningkatkan keselamatan pasien. Saat pekerjaan menumpuk, pimpinan
tidak menginginkaan stafnya mengabaikan keselamatan pasien.

d.

Pelaporan
Yaitu keberanian staf untuk melaporkan kejadian kesalahan yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera yang dapat dicegah pada pasien, yang terdiri dari kejadian tidak

23

diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak cedera dan kejadian


potensial cedera.
e.

Respon tidak menghukum terhadap kesalahan


yaitu staf tidak merasa takut terhadap kesalahan yang mereka buat akan
mempengaruhi pekerjaan mereka. Ketika suatu kesalahan dilaporkan, benarbenar permasalahan yang dilaporkan untuk dilakukan perbaikan bukan siapa
yang melakukan kesalahan yang dihukum.

2.4.3 Budaya Keselamatan Pasien di RSD dr. Soebandi Jember


Pengembangan program keselamatan pasien di RSD dr. Soebandi Jember
diawalai dengan pembentukan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS)
melalui

Surat

Keputusan

Direktur

nomor

440/49.SK/610/2010,

dimana

didalamnya melibatkan perwakilan komponen rumah sakit mulai dari Komite


Medik, SMF Bedah, SMF Saraf, SMF Anak, SMF Obgyn, SMF Penyakit Dalam,
Instalasi Rehab Medik, Bagian Diklat, Bidang Pelayanan Medik, dan Komite
Keperawatan. Tugas dari Tim KPRS ini antara lain adalah menyusun pedoman
dan program peningkatan keselamatan pasien rumah sakit, mengkoordinasikan
pelakasanaan program keselamatan pasien rumah sakit di berbagai unit kerja di
lingkungan rumah sakit, melakukan evaluasi pelaksanaan program dan membuat
laporan serta rekomendasi sebagai tindak lanjutnya. Di RSD dr. Soebandi Jember
sebenarnya keselamatan pasien sudah dilakukan sejak dulu namun sistemnya baru
dibentuk secara terstruktur pada tahun 2010. Berikut adalah struktur organisasi
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) dr. Soebandi Kabupaten
Jember.

24

KETUA
KOMITE

WAKIL KETUA
KOMITE

SEKRETARIS

POKJA
KAJIAN
KESELAMATAN
PASIEN

POKJA
KOMUNIKASI
KESELAMATAN
PASIEN

POKJA
PENDIDIKAN
DAN
LATIHAN

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit

(KKPRS) dr. Soebandi Kabupaten Jember

Membangun budaya keselamatan pasien di RSD dr. Soebandi Jember secara


garis besar dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama adalah menetapkan
budaya yang akan dibentuk dan budaya yang harus dihilangkan. Tahap ini diawali
dengan pengukuran awal budaya yang ada saat itu. Hasil pengukuran
menunjukkan potret budaya keselamatan pasien saat sistem keselamatan belum
terbentuk. Pada umumnya KTD belum dilaporkan secara resmi, laporan KTD
ditemukan secara kebetulan saat terjadi insiden. Budaya saling menyalahkan
terlihat nyata, sehingga karyawan merasa ketakutan untuk melaporkan kesalahan
medis yang terjadi karena takut akan hukuman.
Tahap kedua adalah pembentukan inner circle (guiding coalition). Tahap ini
bertujuan membentuk sebuah kelompok yang diharapkan dapat menjadi contoh
model dan akselerator perubahan menuju penyelarasan perilaku karyawan

25

dengan nilai-nilai organisasi yang baru. Kelompok ini sebagian besar diambil dari
karyawan di Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Rawat
Intensif, dan beberapa karyawan dari berbagai ruang.
Tahap ketiga adalah Pelatihan dan Workshop membangun budaya
keselamatan pasien. Tujuan dari pelatihan ini adalah menciptakan iklim dan
budaya yang mendukung upaya keselamatan pasien. Iklim budaya keselamatan
pasien yang dibentuk meliputi: menciptakan budaya

terbuka dan adil, melihat

kesalahan tanpa menyalahkan, budayakan komunikasi yang efektif di setiap unit


pelayanan, budayakan karyawan untuk melaporkan setiap kesalahan medis yang
terjadi di tiap unit. Tanamkan pengertian bahwa laporan KTD/KNC bukan untuk
mengadili atau menghukum pelaku kesalahan tetapi lebih untuk memperbaiki
sistem keselamatan pasien ke depan agar tidak terulang kejadian yang serupa.
Belajar dari kesalahan, menjadikan kesalahan sebagai guru terbaik untuk
perbaikan pelayanan kesehatan selanjutnya. Menjadikan pimpinan sebagai agen
perubahan, mulailah program keselamatan pasien dari pimpinan agar pimpinan
dapat menjadi agen perubahan bagi karyawan dibawahnya.
Tahap keempat adalah observasi, pengukuran dan evaluasi. Tujuan dari
tahap ini adalah mengetahui seberapa besar keberhasilan pelatihan dan workshop
yang telah dilakukan dan menetapkan tindak lanjut. Sebagian karyawan tidak lagi
merasa takut untuk melaporkan kejadian kesalahan medis yang terjadi di unit
kerjanya. Tidak lagi menyalahkan teman, menegur bahkan mengadili bila ada
yang berbuat kesalahan dan membahayakan keselamatan pasien. Perawat lebih
berani mengingatkan dokter untuk menuliskan resep dengan jelas agar mudah
dibaca. Pada saat operan jaga atau pergantian shift kerja serah terima pasien
laporannya lebih rinci dan ada bukti tertulis (tidak hanya disampaikan secara
lisan).
Saat ini Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit sudah mengembangkan dan
mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman serta memantau dengan hati-hati
penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru.

26

2.4.4 Budaya Keselamatan Pasien dalam Pelayanan Keperawatan


Keperawatan memberikan pelayanan di rumah sakit selama 24 jam dalam
sehari dan 7 hari dalam seminggu, jumlah tenaga keperawatan di rumah sakit
sangat banyak, perawat berada di berbagai unit kerja di rumah sakit, serta
mempunyai kontak yang konstan dengan pasien. Oleh karena itu, pelayanan
keperawatan di rumah sakit merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
yang mempunyai kontribusi yang sangat menentukan kualitas pelayanan rumah
sakit. Sehingga setiap upaya untuk peningkatan pelayanan rumah sakit juga
diikuti upaya peningkatan kualitas pelayanan keperawatan (Gillies, 1996).
Keselamatan pasien dalam keperawatan melibatkan kegiatan yang cukup
luas. Identifikasi risiko sejak awal merupakan kunci pencegahan terjadinya cedera
yang sangat tergantung dari pemeliharaan budaya diantaranya adanya rasa saling
percaya (trust), jujur (honesty), integritas (integrity) dan komunikasi terbuka
(open communication) dalam suatu sistem pelayanan keperawatan. Misalnya, saat
transfer pasien dari satu unit ke unit lainnya tetapi tidak ada budaya komunikasi
diantara petugas atau perawatnya sehingga informasi penting tentang kondisi
pasien saat itu tidak tersampaikan terhadap pihak kedua maka hal itu menjadi
kondisi yang rentan terjadi insiden keselamatan pasien.
Peran perawat dalam keselamatan pasien cenderung dipengaruhi oleh
berbagai faktor mengingat perawat merupakan salah satu bagian dari pilar asuhan
yang aman bagi pasien. Keberadaan perawat dalam tim secara efektif sangat
menentukan keberhasilan penerapan keselamatan pasien sesuai dengan peran
kritisnya dalam melakukan deteksi dini, deteksi risiko, dan koreksi abnormalitas
yang terjadi pada pasien dalam rangka pencegahan KTD (Mulia, 2010).
Penciptaan iklim dan budaya yang mendukung upaya keselamatan pasien
ditetapkan sebagai langkah awal karena mendasari proses penciptaan manajemen
keselamatan pasien. Inti aktifitas manajemen keselamatan pasien adalah kemauan
untuk belajar dari kesalahan untuk mencegah berulangnya insiden serupa. Upaya
tersebut hanya dapat terwujud bila ada keterbukaan dan rasa saling percaya
(mutual trust) yang akan mendorong pelaporan insiden keselamatan pasien.
Belajar dari insiden keselamatan pasien hanya akan berhasil jika setiap

27

permasalahan tidak dilihat sebagai kesalahan individu tetapi harus diperhatikan


dengan pendekatan sistem dan pemahaman faktor manusia. Budaya keselamatan
pasien

harus

menghilangkan

budaya

blaming

(menyalahkan),

naming

(menyebutkan atau mencari siapa yang salah), shaming (mempermalukan dan


mau mengakui kesalahan). Untuk mampu belajar dari kesalahan harus ditekankan
pada mencari apa yang salah, mengapa kesalahan tersebut dapat terjadi dan apa
yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kesalahan. Mencari siapa yang salah
tidak

akan

menyelesaikan

masalah

tetapi

akan

mendorong

untuk

menyembunyikan kesalahan yang menjadi halangan untuk belajar (Randy, 2010).

2.5

Hubungan Budaya Keselamatan Pasien dengan Insiden Keselamatan


Pasien
Menurut Reason (2001) insiden keselamatan pasien disebabkan oleh dua

faktor, yaitu kesalahan laten dan kesalahan aktif. Kesalahan laten (latent errors)
yang berhubungan dengan insiden keselamatan pasien meliputi lingkungan
eksternal, manajemen, lingkungan sosial atau organisasi, lingkungan fisik, dan
interaksi antara sistem dengan manusia. Kesalahan aktif (active errors) yang
berhubungan dengan insiden keselamatan pasien meliputi sifat dasar pekerjaan
dan karakteristik individu.
Kesalahan laten adalah faktor potensial yang tersembunyi dalam sistem
pelayanan kesehatan, faktor potensial ini bersifat tidak aktif atau tidak
menyebabkan insiden secara langsung. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa potensi yang menyebabkan insiden keselamatan pasien sebenarnya sudah
ada atau terjadi jauh sebelum dilakukannya pelayanan kesehatan pada pasien dan
perawat merupakan barrier dari terjadinya insiden tersebut pada pasien. Yang
termasuk dalam kesalahan laten diantaranya yaitu:
1. Lingkungan eksternal
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah pengetahuan dasar, teknologi
baru, inisiatif pemerintah, dan kebijakan kesehatan. Tekanan eksternal dapat
memberikan dampak terhadap usaha meningkatkan keselamatan pasien. Tekanan
eksternal dapat berupa tuntutan hukum, tuntutan masyarakat terhadap mutu dan

28

keselamatan pasien. Lingkungan eksternal merupakan suatu hal yang sangat


dibutuhkan agar organisasi dapat memiliki komitmen yang tinggi dalam
menerapkan mutu melalui keselamatan pasien. Tekanan lingkungan eksternal
lainnya berupa regulasi nasional terhadap kompetensi SDM pada pelayanan
kesehatan (standarisasi profesi, penilaian kompetensi staf, sertifikasi) dan untuk
institusi berupa akreditasi rumah sakit.
2. Manajemen
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah budaya keselamatan pasien,
beban pasien, susunan kepegawaian, ketersediaan SDM, struktur organisasi,
aksesibilitas personil, pengembangan karyawan, dan peran kepemimpinan.
Membangun budaya kesadaran akan nilai keselamatan pasien, menciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil merupakan langkah pertama
dalam menetapkan keselamatan pasien rumah sakit. Kondisi yang tidak terencana
dengan baik, kurang tepatnya keputusan, atau tidak mengambil suatu tindakan,
berkaitan dengan manajer dan siapa pun yang berada pada jajaran pengambil
keputusan, adalah periode laten karena semua itu terjadi sejak sangat lama.
Keputusan sering dibuat dengan cara longgar, tidak fokus, agak kacau. Karena
konsekuensi pengambilan keputusan bertambah secara terus-menerus, berinteraksi
dengan variabel lainnya, dan tidak mudah untuk mengisolasi dan menentukan,
orang-orang yang membuat kebijakan organisasi, membentuk budaya organisasi,
dan melaksanakan keputusan manajerial jarang bertanggung jawab atas tindakan
mereka.
3. Lingkungan Sosial atau Organisasi
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah lingkungan organisasi,
komunikasi, dan SOP. Lingkungan organisasi merupakan lingkungan manusia di
dalam organisasi melakukan perkerjaan mereka. Pengertian ini dapat mengacu
lingkungan suatu departemen, unit perusahaan yang penting seperti pabrik,
cabang, atau suatu organisasi secara keseluruhan. Iklim lingkungan organisasi
adalah konsep sistem yang dinamis. Lingkungan pekerjaan yakni lingkungan
organisasi rumah sakit dapat menentukkan kualitas dan keamanan pelayanan
perawat kepada pasien. Sebagai jumlah tenaga terbesar dalam ketenagaan

29

kesehatan, perawat mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman


untuk memberikan variasi dan perubahan kebutuhan pasien.
4. Lingkungan Fisik
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah desain tempat dan peralatan kerja,
suhu, kebisingan, dan pencahayaan. Pengelolaan gedung rumah sakit harus benarbenar mamikirkan keselamatan baik bagi pasien maupun keselamatan staf
didalamnya dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan lingkungan seperti
yang sudah diatur di dalam Permenkes nomor 1204/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Keuntungan dari lingkungan
fisik kerja yang sengaja dirancang untuk sifat dasar pekerjaan yang dilakukan
telah dipahami dengan baik pada industri lain yang berisiko tinggi selama
bertahun-tahun. Baru-baru ini, profesi pelayanan kesehatan telah mulai
mengapresiasi hubungan antara lingkungan fisik dan kinerja petugas.
5. Interaksi antara Sistem dan Manusia
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah sistem, peralatan, dan teknologi
informasi. Kesalahan medis sangat jarang disebabkan oleh faktor kesalahan
manusia secara individu, namun lebih banyak disebabkan karena kesalahan sistem
di rumah sakit yang menyebabkan rantai dalam sistem terputus. Interaksi sistem
dan manusia menunjuk pada tata dimana dua sistem berinteraksi atau
berkomunikasi dalam ruang lingkup sistem. Perawat menggunakan perangkat
medis dan peralatan secara intensif dan dengan demikian memiliki banyak
pengalaman. Tetapi seringkali terdapat kesesuaian yang kurang antara desain
kontrol dan tampilan perangkat dengan kemampuan serta pengetahuan dari
pengguna atau perawat itu sendiri.
Kesalahan aktif dapat disebabkan oleh beberapa pelaku pelayanan
kesehatan, seperti dokter, perawat, teknisi, dan lain-lain, yang berada pada
pelaksanaan atau tindakan yang bertanggung jawab pada pasien secara langsung.
Kesalahan aktif menunjukkan bahwa pelaku yang merupakan pemberi layanan
kesehatan yang akhir berinteraksi dengan pasien, adalah batas terakhir dari
pencegah insiden keselamatan pasien Dengan demikian, pelaku dapat melakukan
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan

30

yang seharusnya diambil oleh pelaku atau petugas lain yang berperan dalam
sistem pelayanan kesehatan. Yang termasuk dalam kesalahan aktif diantaranya
yaitu:
1. Sifat Dasar Pekerjaan
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah alur kerja, beban pekerjaan,
kerjasama tim, kompleksitas pekerjaan, kemampuan kognitif. Sifat dasar
pekerjaan merujuk pada karakteristik pekerjaan itu sendiri dan meliputi pula
sejauh mana prosedur yang digunakan terdefinisi dengan baik. Meskipun studi
empirik terhadap dampak faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan tidak
sebanyak studi pada faktor-faktor manusia, namun faktor ini tetap ada. Dengan
memperhatikan literature mengenai faktor-faktor yang berhubungan manusia, ada
banyak penelitian pada dampak dari pekerjaan yang berhubungan dengan faktorfaktor yang berkaitan dengan kinerja manusia sebagian besar diambil dari
pertahanan terkait operasi dan demikian pula pada industri lain yang sangat
berbahaya dimana kinerja keahlian manusia memainkan peran penting.
2. Karakteristik Individu
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah pengetahuan, keterampilan,
training dan edukasi, kelelahan dan kewaspadaan, tingkat pendidikan, pengalaman
kerja, usia, dan motivasi. Karakteristik individu merupakan faktor yang memiliki
dampak secara langsung pada mutu pelayanan dan meskipun mutu tersebut masih
kemungkinan dipertimbangkan untuk dapat diterima atau masih di bawah standar
baku. Karakteristik individu termasuk di antaranya adalah kualitas yang dibawa
individu tersebut ke dalam pekerjaan.

31

2.6

Kerangka Konsep Penelitian

Kesalahan Laten
1. Lingkungan Eksternal
a. Pengetahuan dasar
b. Teknologi baru
c. Inisiatif pemerintah
d. Kebijakan kesehatan
2. Manajemen
a. Budaya keselamatan pasien
b. Beban pasien
c. Susunan kepegawaian
d. Ketersediaan SDM
e. Struktur organisasi
f. Aksesibilitas personil
g. Pengembangan karyawan
h. Peran kepemimpinan
3. Lingkungan Sosial atau Organisasi
a. Lingkungan organisasi
b. Komunikasi
c. SOP
4. Lingkungan Fisik
a. Desain tempat dan peralatan kerja
b. Suhu, kebisingan, dan pencahayaan
5. Interaksi antara Sistem dengan Manusia
a. Sistem
b. Peralatan dan teknologi informasi

Kesalahan Aktif
1. Sifat Dasar Pekerjaan
a. Alur kerja
b. Beban kerja
c. Kerjasama tim
d. Kompleksisitas pekerjaan
e. Kemampuan kognitif
2. Karakteristik individu
a. Pengetahuan
b. Keterampilan
c. Training dan edukasi
d. Kelelahan dan kewaspadaan
e. Tingkat pendidikan, pengalaman kerja,
usia, dan motivasi.

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian


Sumber: Teori Reason (2001)

Insiden
Keselamatan
Pasien

32

Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
Berdasarkan kerangka konseptual penelitian diatas, dengan menggunakan
pendekatan teori Reason (2001) menyatakan bahwa insiden keselamatan pasien
disebabkan oleh 2 faktor, yakni kesalahan laten dan kesalahan aktif.
Kesalahan laten (latent errors) yang berhubungan dengan insiden
keselamatan pasien yaitu lingkungan eksternal, manajemen, lingkungan sosial
atau organisasi, lingkungan fisik, dan interaksi antara sistem dengan manusia.
Lingkungan eksternal meliputi pengetahuan dasar, teknologi baru, inisiatif
pemerintah, dan kebijakan kesehatan. Manajemen meliputi budaya keselamatan
pasien, beban pasien, susunan kepegawaian, ketersediaan SDM, struktur
organisasi,

aksesibilitas

personil,

pengembangan

karyawan,

dan

peran

kepemimpinan. Namun yang diteliti adalah budaya keselamatan pasien yang


merupakan bagian dari faktor manajemen. Lingkungan sosial atau organisasi
meliputi lingkungan organisasi, komunikasi, dan SOP. Lingkungan fisik meliputi
desain tempat dan peralatan kerja, suhu, kebisingan, dan pencahayaan. Interaksi
antara sistem dengan manusia meliputi sistem, peralatan, dan teknologi informasi.
Kesalahan aktif (active errors) yang berhubungan dengan insiden
keselamatan pasien yaitu sifat dasar pekerjaan dan karakteristik individu, namun
faktor ini tidak diteliti. Sifat dasar pekerjaan meliputi alur kerja, beban pekerjaan,
kerja sama tim, kompleksitas pekerjaan, kemampuan kognitif. Karakteristik
individu meliputi pengetahuan, keterampilan, training dan edukasi, kelelahan dan
kewaspadaan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, usia, dan motivasi.

2.7

Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ada hubungan antara budaya keselamatan pasien dalam pelayanan

keperawatan dengan insiden keselamatan pasien di Instalasi Rawat Inap RSD dr.
Soebandi Jember.

Anda mungkin juga menyukai