Anda di halaman 1dari 4

Pengalaman Komunikasi Rohani 21 Juli 2016

Pagi itu aku mendapat kabar pak Pudjono sudah berada dirumahnya di Bandung setelah
perjalanan semalam dari Yogyakarta. Aku bilang kepada nyonya bahwa akan main dan
ngobrol ke rumah pak Pudjono. Ternyata pak Pudjono sedang membongkar kunci pintu
rumah yang sulit untuk dibuka. Karena merasa lebih awas dalam penglihatan yang kasat
mata, maka aku membantu memperbaiki dan memasang kembali.
Kemudian kami ngobrol berdua ke utara selatan dan berbicara juga dengan ibu Pudjono
yang sedang berada di Denpasar yang kebetulan menelpon ke Bandung. Dalam ngobrol
berdua, tiba tiba pak Pudjono berkata bahwa ada penglihatan simbol kedua tangan
terbuka yang menyangga bola dunia dan terlihat jelas gambar pulau Kalimantan selain
pulau pulau lainnya. Kami tidak tahu arti simbol tersebut. Kejadian tersebut berkisar
pukul 11.30.
Kemudian datanglah mas Hari yang sebelumya memang sudah berkunjung duluan.
Penglihatan selanjutnya adalah simbol pisang satu sisir yang sudah matang. Kami belum
sampai membicarakan arti dari simbol simbol yang terlihat, mendadak pak Pudjono
berkata mendengar suara :Awan iki suguhane lepet. Tegese diwolak walik padha, ora
ana ngarep ora ana mburi. Kuwi ngemu teges isa dadi pengarep isa dadi kacung. Isa
ngenggoni, isa nggandheng, isa ngrangkul ngarep utawa mburi. Ngono kuwi kuncine
kowe dadi pemimpin, dadi panjer. Aku wis suwe ora krungu kowe nangis. Sak iki
Padha ngadega, aturna sungkemmu. Sang Hyang Mulya teka lan ana.
(Siang ini suguhannya lepet. Maknanya dibolak balik sama, tidak ada depan tidak ada
belakang. Hal itu berarti bisa menjadi pemimpin bisa menjadi pembantu. Bisa
menempatkan, bisa menggandeng, bisa merangkul yang didepan atau yang
dibelakang. Begitu itu kuncinya kalau kalian menjadi pemimpin, menjadi panutan.
Aku sudah lama tidak mendengar kalian menangis. Sekarang berdirilah, sampaikan
sembah sujud kalian. Sang Hyang Mulia datang dan ada)
Dalam hati kami berdoa dan mengucap syukur akan pengalaman ini, yang rasanya sudah
lama sekali tidak mengalami lagi. Kebetulan pagi itu dirumah aku membaca sedikit
pengalaman eksorsisme yang dialami seorang wanita di Swiss berkisar tahun 1975-1978.
Maka aku menanyakan apakah kejadian dalam eksorsisme itu benar adanya. Suara
jawaban yang terdengar adalah :Tangekna atimu ben wani menanggapi, wani ngothak
athik. Kowe kudu ngandel, kuwi kedadeyan, dudu dongeng, dudu pangalembana. Dadi
awakmu kudu eksis. Kawruhmumu durung tekan semono, amarga dudu alur
peziarahanmu lan dudu alur pisowananmu. Sangkan paraning dumadi kan wis kok
othak athik, wis kok cepeng. Dadi ora kena wigih ora kena nggegirisi kahanan kuwi.
(Bangkitkan hati kalian biar berani menanggapi, berani mengolah. Kalian harus
percaya, itu kejadian, bukan dongeng, bukan untuk dipuji. Jadi kalain harus eksis.
Pengetahuan kalianbelum sampai segitu, karena bukan sejurusan dengan peziarahan
kalian dan bukan sejurusan dengan keinginan menghadap kepadaKu. Asal mula
kejadian alam raya kan sudah kalian olah, sudah kalian pegang. Jadi tidak boleh
takut takut, tidak boleh tercekam oleh keadaan itu.)

Sang TriTunggal Mahakudus wus kacepeng. Samubarang kawruh sing kok tampa wis
nyukupi. Yen ana kurang mantebe utawa bimbang, tinggal kari taren marang Sang
Saka (dari yang diatas).
(Sang TriTunggal Mahakudus sudah kalianpegang, Segala pengetahuan yang kalian
terima sudah mencukupi. Bila ada kurang puasnya atau bimbang, kan tinggal
bertanya kepada Sang Ada (Saka yang dimaksud adalah yang dari semula ada)
Kami mencoba mengenyam untuk mengerti apa yang telah kami dengar bersama.
Kemudian aku bertanya kembali tentang penerimaan Komuni Suci dalam perayaan
Ekaristi. Yang benar itu apakah diterima dengan tangan dan kemudian dimasukkan
kedalam mulut, ataukah langsung diterima melalui lidah yang dijulurkan seperti sebelum
Konsili Vatikan kedua, seperti yang dialami dalam eksorsisme. Suara jawaban yang
terdengar :Kowe ngandel ora yen kuwi Sang Juru Selamat? Kami menjawab bersamaan
bahwa kami sangat percaya. Kemudian suara kembali :Aja meneh kowe ndemok, kowe
nyekel. Sowan wae ora saben uwong kepareng. Becike melet. (Apalagi kalian
meraba. kalian memegang. Menghadap saja tidak setiap orang diterima. Sebaiknya
menjulurkan lidah)
Kami bertiga tercengang karena selama ini memang sudah dibiasakan dengan cara
menerima Tubuh Kristus dengan telapak tangan, baru kemudian diambil dan dimakan.
Terdengar suara lagi :Sing apik lan sopan melet. Sing ngomong yen kuwi Tubuh
Kristus kuwi apa? Ya kuwi sing pantes ketaman lan ketempelan (pada saat itu terlihat
gambaran seseorang yang sedang merangkak / mbrangkang dan menjilat terus
memakan Hosti yang jatuh ke tanah) (Yang baik dan sopan menjulurkan lidah. Yang
bicara kalau itu Tubuh Kristus itu apa?Yaitu yang pantas kejatuhandan ketempelan
(berkat)
Sang Saka Swarga kang wus turun, kang wus ana, kang wus makarya, kang wus
dadi pangandel, kang wus mekrad, kang wus ana sak tengahing Allah, sak tengahing
Rama, ya Rama dhewe. Ya kang ngasta isining ana. (Sang Dari Surga yang sudah
turun, yang sudah ada, yang sudah berkarya, yang sudah menjadi kepercayaan, yang
sudah naik ke surga, yang sudah berada ditengah tengah Allah, ditengah tengah
Bapa, ya Bapa sendiri. Ya yang memegang isinya ada)
Kami ngobrol bertiga untuk mencoba mengerti ajaran pada siang itu. Hal ini ternyata
tidak mudah untuk begitu saja dicerna. Rasanya perlu belajar sejarah perkembangan dari
satu konsili ke konsili selanjutnya.
Sewaktu pak Pudjono bertanya tentang arti sakramen yang sesungguhnya, jawaban suara
yang terdengar :Sakramen kuwi angger angger kang uwis dipatenkan, dicap, distempel.
Dadi ya ngono kuwi, aja diothak athik, ndhak kok plesetake.
Setelah hening sejenak, kemudian terdengar suara lagi :Tirakatmu tahun iki mula
kurang, nganti kowe ora isa nyela (nyelakake) Kami mengiyakan dan mengakui bahwa
karena kesibukan masing masing, kami jarang berkumpul bersama seperti dahulu. Kami

membicarakan mumpung masih dalam masa yubileum kerahiman, apa yang akan kita
lakukan.
Berkisar tengah hari pukul 12.00, terdengar suara :Wiwit sak iki tekan sesuk langit
terbuka.Tangekna atimu ben muncul wani dadi tangguh, sembada. Kowe wong telu
kuwi dines lho, ora guyon. Kowe kuwi jane ngandel, ning yen ora weruh kok kurang
marem. Becike sowan na (hantarkan) sedulurmu sing isih kablenggu. Gampangane
mangkene, kabeh uwong kanggonan dosa. Dongakna sedulurmu sing kok anggep
durung nemoni dalan padhang; nanging ana buku kehadiran ana jenenge. Sing cerak
cerak dhisik wae. Langit terbuka kuwi, kowe janji dhewe arep tetulung ndongakake
nganggo caramu - nyuwargakake nganggo cara lan pangandelmu. Sak iki lan sesuk
kowe diparengke; aturmu tekan. Ora usah nganggo embel embel, ubarampe, riyual,
imam, pemuka. Ora usah nganggo kuwi. (Mulai saat ini sampai besok pagi Sabtu
jam 03.00 langit terbuka. Bangkitkanlah hati kalian biar muncur keberanian menjadi
tangguh, mampu. Kalian bertiga itu resmi lho, bukan bergurau. Kalian itu sebenarnya
percaya, tetapi kalau tidak bisa melihat kok mesti kurang puas. Sebaiknya hantarkan
saudara kalian yang masih terbelenggu. Gampangnya begini, semua orang berdosa.
Doakan saudara kalian yang kalian anggap belum menemukan jalan terang, tetapi
dalam buku kehidupan ada namanya. Yang dekat dekat dulu saja. Langit terbuka,
kalaian sudah berjanji sendiri akan menolong, mendoakan dengan cara kalian - men
surga kan dengan cara dan kepercayaan kalian. Sekarang dan besuk kalian
diperbolehkan; doa kalian sampai. Tidak usah memakai embel embel, perlengkapan,
ritual, imam, pemuka, Tidak usah menggunakan itu)
Aku mengajak doa spontan mendoakan siapa saja yang telah meninggal, yang kita kenal
masing masing. Aku memulai permohonan dengan menyebutkan nama nama yang aku
kenal dan aku ingat, entah keluarga entah bukan tanpa melihat latar belakang agama
mereka. Nenek moyangku jelas belum pengikut Kristus. Kemudian dilanjutkan dengan
permohonan pak Pudjono dan diteruskan mas Hari.
Setelah kami merasa selesai dengan permohonan, terdengar suara yang mencengangkan
:Entek entekane, tangisana awakmu dhewe; limbang limbangen, jaganen sembarang
uni kang ala. Gantinen nganggo uni bestari. Tumben dina iki ora nyangkal, ora
kakehan usul, ora kakehan ko gek, mengko ndhak...
(Pada akhirnya, tangisilah diri kalian sendiri; renungkanlah, jagalah dari segala
bicara yang jelek. Gantilah dengan bicara yang santun enak didengar. Kok tidak
seperti biasanya, hari ini tidak menyangkal, tidak kebanyakan usul, tidak kebanyakan
kata jangan jangan...)
Kami tersenyum sendiri karena kami sebenarnya sering banyak bertanya dan menawar.
Kemudian aku yang bertanya bahwa saat kerahiman langit terbuka kan hanya kami
bertiga yang mendengar. Apakah bisa kami wartakan kepada orang yang percaya, agar
juga berdoa untuk yang sudah meninggal pada saat yang penting secara rohani ini.
Jawaban yang terdengar :Ngadega; suwuna marang Gusti, ben uwong uwong sing ora
ngerti, ora krungu, ben dadi tanggap; cekak aos. (Berdirilah; mintakanlah kepada

Tuhan, biar orang orang yang tidak mengerti, tidak mendengar, biar menjadi tanggap;
singkat padat)
Kami berdoa kembali bergantian dan dalam pandangan mataku yang meram, aku melihat
sinar keputihan memancar dari atas. Pak Pudjono mengatakan bahwa ia melihat sinar
yang kemerahan. Aku berkata dengan nada setengah bertanya, apakah ini sinar kerahiman
seperti yang dilihat oleh santa Faustina. Kami diam dan bertanya dalam diri.
Mendadak pak Pudjono berkata bahwa kami bertiga diminta berdiri karena akan diberi
tanda seperti pita yang disematkan di dada kiri dengan peniti. Suara yang terdengar yang
tidak kami pikirkan :Iki dianggo tandha kabecikanmu, dianggo tandha lubering
atimu, dianggo tandha kepedulianmu; kang wujude pengarep-arep kamukten
langgeng kanggo sedulurmu = sapadha padha.
Aku dan pak Pudjono merasa sangat terharu dan ingin menangis. Ternyata mas Hari
kemudian seperti melihat seorang perempuan berambut panjang yang diperkirakan dari
keraton. Dalam penglihatan pak Pudjono, ternyata ternyata wanita tersebut seorang suster
yang bernama Camela berasal dari Bumiayu. Pakaiannya putih namun depannya ada
penutup berwarna biru. Ordonya kurang jelas sepertinya menyebut virgin (perawan
Maria?). Kemudian suster tersebut membawa lilin menyala dan diletakkan diatas meja.
Mas Hari diminta untuk mematikan lilin dengan cara meniupnya. Ini kami anggap
sebagai tanda bahwa komunikasi rohani telah selesai dan ditutup. Waktunya berkisar
pukul 13.00.
Aku menyempatkan diri untuk bertanya, langit terbuka penuh kerahiman itu besok Jumat
sampai jam berapa. Jawabannya malah diberi waktu sampai hari Sabtu jam 03.00.
Kami mengucap syukur dan berterima kasih atas segala rahmat karunia ini. Mas Hari

Anda mungkin juga menyukai