Anda di halaman 1dari 2

Untuk mengantisipasi resiko yuridis yang muncul, Ikatan Perawat Anestesia Indonesia (IPAI)

meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum kepada mereka dalam melakukan
tindakan medis anestesia, atau yang lazim dikenal sebagai pembiusan. Permintaan itu
merupakan salah satu rekomendasi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) IPAI di Jakarta
yang berakhir 8 April lalu.
Ketua Umum IPAI Mustafa Usman mengatakan rekomendasi tersebut merupakan upaya
para perawat anestesia untuk mendapatkan legalitas praktek perawatan dan tindakan medis
anestesia. Para perawat khawatir tindakan mereka bisa diseret ke jalur hukum. Faktanya,
sudah ada perawat yang berurusan dengan aparat penegak hukum gara-gara melakukan
tindakan anestesia.
Misalnya yang terjadi di Batam. Seorang perawat anestesi melakukan pembiusan terhadap
seorang ibu yang akan melahirkan. Selang lima jam kemudian, bayi yang baru dilahirkan
meninggal dunia. Perawat tersebut dilaporkan pengacara korban karena diduga telah
melakukan tindakan yang ilegal.
Walaupun pada akhirnya, perawat tersebut tidak sampai terkena sanksi pidana atau denda,
kata Mustafa, tetapi tetap saja kejadian ini menimbulkan kekhawatiran bagi perawat
anestesi di Indonesia. Sebagai catatan, tindakan perawat tersebut memang tidak dilakukan
dengan didampingi oleh dokter anestesi, karena keterbatasan dokter anestesi di daerah.
Bila payung hukum tidak dibuatkan, kalangan perawat khawatir akan dijerat UU No. 29
Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Pasal 73 UU ini tegas menyebutkan : Setiap orang dilarang
gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang memiliki
surat izin praktik. Ketentuan dimaksud tidak berlaku bagi
kewenangan oleh Peraturan Perundang-undangan.

menggunakan identitas berupa


masyarakat seolah-olah yang
surat tanda registrasi dan/atau
tenaga kesehatan yang diberi

Selanjutnya, pasal 77 menegaskan bahwa Setiap orang dengan sengaja menggunakan


identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolaholah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150 juta.
Menurut Mustafa Usman, kedua pasal tadi menjadi sumber ketakutan perawat anestesi
dalam menjalankan prakteknya. Untuk itulah mereka meminta Menteri Kesehatan
menerbitkan payung hukum, minimal dalam bentuk Peraturan Menteri.
Saat ini aturan yang masih dipakai oleh Perawat Anestesi adalah Standar Pelayanan
Anestesi Reanimasi di Rumah Sakit. Buku standar Departemen Kesehatan tersebut
dikeluarkan pada tahun 1999. Memang, kata Mustafa, buku ini masih relevan untuk dipakai
saat ini. Tetapi buku tersebut harus ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri Kesehatan.
Karena menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Menteri termasuk kategori peraturan
perundang-undangan.
Ketidakadaan peraturan perundang-undangan yang diminta oleh pasal 73 UU Praktek
Kedokteran sebenarnya menjadi dilemma bagi perawat anestesi, di daerah khususnya. Di

satu sisi, Perawat Anestesi harus melakukan tindakan medis sendiri karena tidak ada dokter
anestesi. Namun di sisi lain, dapat dikenai sanksi pidana atau denda.
Harus didampingi dokter
Pendapat berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Anestesi Indonesia
(IDSAI) Bambang Tutuko. Menurut dia, yang harus melakukan tindakan medis adalah
dokter. Pengertian dokter di sini tidak hanya terbatas pada dokter anestesi saja tetapi
mencakup dokter secara umum, terutama dalam keadaan darurat.
Jika melakukan tindakan kedokteran, perawat anestesia harus didampingi dokter atau
perawat tersebut mendapat pelimpahan tugas dari dokter. Karena yang harus melakukan
tindakan kedokteran harus orang yang berkompeten, ujar dokter yang ikut mengajukan
judicial review UU No. 29 Tahun 2004 ini.
Bambang Tutuko menyadari dengan keterbatasan jumlah dokter anestesi di Indonesia.
Meski jumlah dokter anestesia kurang, tindakan pembiusan (anestesi) terkait erat dengan
tindakan pembedahan. Dalam proses pembedahan mustahil tidak ada dokter bedah atau
dokter lainnya.
Sehingga dalam kondisi darurat pun, dalam hal tidak ada dokter anestesi, dokter lain yang
melakukan pembedahan dapat melimpahkan kewenangannya kepada perawat anestesi. Jadi
intinya, perawat anestesi tidak boleh melakukan tindakan anestesi seorang diri. Ia merujuk
pada pasal 77 UU Praktek Kedokteran.
Bambang menilai permintaan IPAI atas payung hukum anestesia, sebagai usaha membuat
perawat anestesi menjadi mandiri. Bambang mengingatkan bahwa yang harus didahulukan
adalah kepentingan publik, bukan kepentingan golongan baik IDSAI maupun IPAI. Oleh
sebab itu, Permenkes kalaupun kelak diterbitkan tidak boleh merugikan banyak pihak,
apalagi pasien.

Anda mungkin juga menyukai