Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk mengoptimalkan terapi
pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana sumber pengobatan tersebut apakah obat
berdasarkan resep dokter, obat tanpa resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk
mendapatkan luaran terapi pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini
dapat terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga
kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam pharmaceutical
care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling kepada pasien untuk mempersiapkan dan
memotivasi pasien untuk mengikuti rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi
(American Society of Health-System Pharmacist [ASHP], 1997).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran farmasis dalam edukasi
dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM
tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan
efek positif pada kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National
Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui pemberian booklet,
wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama-sama dapat memberikan efek positif
luaran terapi pada pasien DM tipe 2. (Suppapitiporn et al., 2005).
Disamping itu, diabetes melitus adalah penyakti kronis yang membutuhkan terapi pengobatan
yang lama untuk mengurangi resiko kejadian komplikasi (American Diabetes Association, 2014).
Tujuh puluh lima persen penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan
jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling utama (Price and WIlson,
2005).
Pada tahun 2013 DM telah menyebabkan 5,1 juta angka kematian di duania. Indonesia menempati
urutan ke-7 dari 10 negara dengan penderita DM tertinggi pada tahun 2013 (International
Diabetes Federation, 2013). Pada tahun 2011 pengeluaran biaya untuk terapi DM mencapai USD
465 miliar, dan diperkirakan akan meningkat sebesar USD 595 miliar pada tahun 2030
(International Diabetes Federation, 2013).

Pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan biaya
terjadi akibat penerapan teknologi canggih, karakter supply induced demand dalam pelayanan
kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif serta inlasi. Kenaikan biaya pemeliharaan
kesehatan semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun
masyarakat. Peningkatan biaya tersebut mengancam askes dan mutu pelayanan kesehatan
(Andayani, 2013). Menurut Janis (2014), menyatakan bahwa kebijakan BPJS akan meningkatkan
permintaan terhadap pelayanan kesehatan bagi masyrakat yang selama ini kurang mampu untuk
membayar jasa kesehatan. Konsep SJSN dikatakan dapat berhasil karena BPJS merupakan
transformasi dari Askes yang mempunyai potensi kinerja yang baik.
Menurut Murni (2010), meyatakan bahwa RSUD Dr. Moewardi Surakarta pola pengobatan yang
paling cost effective berdasarkan glukosa darah yang mencapai target adalah kombinasi golongan
sulfonilurea degan biguanid dengan biaya pengobatan rata-rata terkecil Rp. 181.140,45. Menurut
Murniningdyah (2009), menyatakan bahwa RS Pandan Arang Boyolali pola pengobatan dengan
SUlfonilurea lebih cost effective dengan nilai ACER sebesar RP. 445,34 dibanding ddengan
golongan biguanid dan alpha glucosidase inhibitor. Menurut Listiyaning, A. (2006), menyatakan
bahwa di RSU Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective
berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi sulfonilurea dengan biguanid. Menurut Efranda, J.
(2014), menyatakan bahwa di Poliklinik Khusus RSU Pusat Dr. M. Djamil Padang pola
pengobatan antidiabetik oral yang cost effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi
glimepiride dengan metformin dengan nilai sebesar Rp. 942.060.
Berdasarkan sumber dari RSUD Dr. Moewardi Surakarta, jumlah pasien rawat jalan yang
menggunakan BPJS semakin meningkat. Sebagai salah satu rumah sakit rujukan terbesar di Kota
Surakarta terutama untuk pasien dengan BPJS, analisis cost effective dirasa dapat memberi
masukan kepada klinisi rumah sakit untuk menyeimbangkan biaya dan outcome yang
menguntungkan bagi pasien. Dalam hal ini, BPJS dibentuk dengan tujuan untuk mencakup seluruh
masyarakat Indonesia dan bersifat wajib, sehingga dapat diketahui apakah jaminan kesehatan
tersebut efektif digunakan karena seiring bertambahnya tahun, biaya kesehatan terutama obat
semakin meningkat.
Menurut UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Ditetapkan bahwa setiap individu, keluarga

dan mmasyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya dan negara


bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu. Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan.
Dari latar belakang tersebut maka dilakukan penulisan makalah mengenai efektifitas biaya
antidiabetik oral pada penderita diabetes melitus tipe 2 rawat jalan peserta BPJS di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Tahun 2014 akan penyakit yang diderita pasien dan dalam
menggunakan obat antidiabetes oral.

2.2 Rumusan masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana pengaruh efektifitas
biaya terhadap penggunaan antidiabetik oral pada penderita DM tipe 2 rawat jalan menggunakan
BPJS di RSUD Dr. Moewardi?

2.3 Tujuan
Tujuan makalah ini adalah mengetahui biaya dan efektivitas terapi antidiabetik oral
tertinggi peserta BPJS penderita DM tipe 2 rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Subjek Penelitian
Diabetes Mellitus adalah:
a.

Suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya
peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif (Subekti, et al.., 1999).

b.

Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi


karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes
Association, 2003; Soegondo, 1999).

c.

Keadaan hiperglikemia kronis sebagai akibat dari berbagai faktor lingkungan dan
genetik, sering keduanya bersama-sama (WHO, 1980, disadur dari Wiyono, 2000)

d.

Merupakan gangguan metabolisme dan distibusi gula oleh tubuh penderita.

e.

Suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena
tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup.

2.2 Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus Menurut ADA 2003


a.

Diabetes Melitus Tipe 1


(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
(1).Melalui proses imunologik
(2).Idiopatik

b.

Diabetes Melitus Tipe 2


(bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

c.

Diabetes Melitus Tipe Lain


1)

Defek genetik fungsi sel beta:

2)

Kromosom 12, HNF-1 alfa (dahulu MODY 3)

3)

Kromosom 7, Glukokinase (dahulu MODY 2)

4)

Kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu MODY 1)DNA mitochondria.

5)

Defek genetik kerja insulin

6)

Penyakit eksokrin pangkreas:


a)

Pangkreatitis

b)

Trauma/pangkreatektomi

c)

Neoplasma

d)

Cystic Fibrosis

e)

Hemochromatosis

f)
7)

8)

Pangkreatopati fibro kalkulus

Endokrinopati:
a)

Akromegali

b)

Sindroma cushing

c)

Feokromositoma

d)

Hipertiroidisme
Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidine, asam nikotinat, glukokortikoid,

hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon alfa

9)

Infeksi : rubella kongenital dan CMV

10)

Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin

11)

Sindroma genetik lain : Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington Chorea,


Sindroma Prader Willi.

2.3 Epidemiologi
Secara epidemiologi DM seringkali tidak terdeteksi. Berbagai faktor genetik,
lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes. Ada kecenderungan
penyakit ini timbul dalam keluarga. Disamping itu juga ditemukan perbedaan kekerapan dan
komplikasi diantara ras, negara dan kebudayaan.
Dari segi epidemiologi, ada beberapa jenis diabetes. Dulu ada yang disebut diabetes
pada anak, atau diabetes juvenilis dan diabetes dewasa atau maturity-onset diabetes. Karena
istilah ini kurang tepat, sekarang yang pertama disebut DM tipe 1 dan yang kedua disebut DM
tipe 2. Ada pula jenis lain, yaitu diabetes melitus gestasional yang timbul hanya pada saat
hamil, dan diabetes yang disebabkan oleh karena kerusakan pankreas akibat kurang gizi
disebut MRDM (Malnutrition Related DM) atau Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi
(DMTM).
Kekerapan DM tipe 1 di negara Barat 10% dari DM tipe 2. Bahkan di negara tropik
jauh lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan
puncaknya pada masa akil balik. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.
DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul
makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada dekade ke 7 kekerapan diabetes mencapai
3 sampai 4 kali lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa.
Pada keadaan dengan kadar glukosa darah tidak terlalu tinggi atau belum ada
komplikasi, biasanya pasien tidak berobat ke rumah sakit atau ke dokter. Ada juga yang
sudah di diagnosis sebagai diabetes tetapi karena kekurangan biaya biasanya pasien tidak
berobat lagi. Hal ini menyebabkan jumlah pasien yang tidak terdiagnosis lebih banyak
daripada yang terdiagnosis. Menurut penelitian keadaan ini pada negara maju sudah lebih dari
50% yang tidak terdiagnosis dan dapat dibayangkan berapa besar angka itu di negara
berkembang termasuk Indonesia (Slamet Suyono Dalam Pusat Diabetes dan Lipid, 2007).

Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi DM tipe 2


akan meningkat menjadi 5 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional
menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologis adalah bertambahnya usia,
jumlah dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Soegondo, 1999).
Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat disebabkan oleh
berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup, berkurangnya kematian akibat
infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang disebabkan oleh karena gaya hidup yang salah
seperti kegemukan, kurang gerak/ aktivitas dan pola makan tidak sehat dan tidak teratur
(Slamet Suyono Dalam Pusat Diabetes dan Lipid, 2007).

2.4 Gambaran Klinis


Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di sisi
lain timbulnya DM bisa berasal dari kekurangan insulin yang bersifat relatif yang disebabkan
oleh adanya resistensi insulin (insuline recistance). Keadaan ini ditandai dengan
ketidakrentanan/ ketidakmampuan organ menggunakan insulin, sehingga insulin tidak bisa
berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah
meningkat (hiperglikemi) (M.N Bustan, 2007).
Gejala klasik DM adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama pada
malam hari , banyak makan serta berat badan yang turun dengan cepat. Disamping itu kadangkadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal,
penglihatan jadi kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi diatas 4 kg. Kadang-kadang ada pasien yang sama sekali tidak merasakan
adanya keluhan. Mereka mengetahui adanya DM hanya pada saat chek up ditemukan kadar
glukosa darahnya tinggi (Suyono Dalam Pusat Diabetes dan Lipid, 2007).

2.5 Patofisiologi
Seperti suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan
mengganti sel yang rusak. Disamping itu juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat

berfungsi dengan baik. Energi sebagai bahan bakar itu berasal dari bahan makanan yang
terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.
Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan
itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam
lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk kedalam pembuluh
darah dan diedarkan ke seluruh untuk dipergunakan oleh organ-organ didalam tubuh sebagai
bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu
kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui
proses kimia yang rumit, yan hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin (suatu zat/ hormon yang dikeluarkan oleh
sel beta pankreas) memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukan glukosa
ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar. Insulin yang dikeluarkan oleh
sel beta dalam pulau-pulau Langerhans (kumpulan sel yang berbentuk pulau di dalam
pankreas dengan jumlah 100.000) yang jumlahnya sekitar 100 sel beta tadi dapat
diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel,
untuk kemudian dimetabolisir menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak
dapat masuk sel. Dan akibatnya glukosa akan tetap berada didalam pembuluh darah, yang
artinya kadarnya didalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini tubuh akan menjadi
lemas karena tidak ada sumber energi di dalam sel. Inilah yang terjadi pada DM tipe 1. Tidak
adanya insulin pada DM tipe 1 karena pada jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan
karena adanya peradangan pada sel beta (insulitis). Insulitis bisa disebabkan karena macammacam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubela, CMV, herpes, dan lain-lain.
Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah dewasa (Suyono, 1999).
Sedangkan pada DM tipe2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak.
Tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor ini
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam sel. Pada keadaan tadi jumlah
lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi
karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit
sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah

akan meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaanya
adalah pada DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal.
Keadaan ini disebut resistensi insulin (Suyono, 1999).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
faktor-faktor di bawah ini banyak berperan, antara lain:
1)

Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)

2)

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

3)

Kurang gerak badan

4)

Faktor keturunan (herediter)

Baik pada DM tipe 1 maupun pada DM tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan
bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin.
Mungkin inilah sebabnya penyakit ini disebut juga penyakit kencing manis (Suyono, 1999).

2.6 Diagnosa
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat
ditegakan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosa DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosa DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah kapiler (Perkeni, 1998).
Diagnosis diabetes dipastikan bila:
a.

Terdapat keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai dengan satu nilai pemeriksaan glukosa
darah tidak normal (glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau glukosa darah puasa 126
mg/dl).

b.

Terdapat keluhan khas yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak khas (lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulvae) disertai dengan dua nilai
pemeriksaan glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu 200 mg/dl dan atau
glukosa darah puasa 126 mg/dl yang diperiksa pada hari yang sama atau pada hari yang
berbeda).

2.7 Komplikasi
Apabila glukosa darah tidak terkontrol dengan baik, beberapa tahun kemudian hampir
selalu akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes dapat dibagi dalam dua kelompok
besar:
a. Komplikasi akut.
Timbul secara mendadak. Ini merupakan keadaan gawat darurat. Keadaan ini bisa
menjadi fatal apabila tidak ditangani dengan segera. Termasuk dalam kelompok ini adalah
hipoglikemia(glukosa darah terlalu rendah), hiperglikemia(glukosa darah terlalu tinggi), dan
terlalu banyak asam dalam darah (ketoasidosis diabetik).
b. Komplikasi kronis.
Timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi akhirnya berangsur menjadi
makin berat dan membahayakan. Misalnya, komplikasi pada saraf (neoropati), mata
(retinopati, katarak, glaukoma), ginjal (nefropati), jantung (angina, serangan jantung, tekanan
darah tinggi, PJK), pembuluh darah, hati(hepatitis, perlemakan hati/ fatty liver, batu empedu),
tuberkulosis paru, gangguan saluran makan, infeksi sehingga mengganggu fungsi kekebalan
tubuh dan penyakit kulit(Bruise,vitiligo, necrobiosis lipoidica, xanthelasma, alopecia,
lipohypertrophy/ hipertropi insulin, lipoatropi insulin, kulit kering karena kerusakan saraf
otonom sehingga keringat menjadi berkurang, infeksi jamur seringkali diantara jari
kaki, acanthosis nigricans/ penimbunan pigmen gelap dibelakang leher dan ketiak, kulit yang
menebal pada penderita DM yang lebih dari 10 tahun).

2.8 Pemberian Obat/ Pengobatan Pasien DM


Pemberian obat kepada pasien sesuai petunjuk dokter merupakan suatu tindakan/
praktek kesehatan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
sebagai bagian dari perilaku seseorang terhadap stimulus atau objek kesehatan (yang dalam
hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit DM yang diderita seseorang), yang
kemudian dalam proses selanjutnya akan melaksanakan atau mempraktekkan sesuai apa yang
diketahuinya dan disikapi/ dinilainya baik untuk dilakukan ( Notoadmodjo S, 2007).
Menurut Sidartawan Soegondo, prinsip pemberian obat/ pengobatan terhadap pasien
DM terdiri atas 2 yaitu:

a. Pengobatan dengan insulin dan,


b. Pengobatan dengan Obat Hipoglikemik Oral.
a.

Pengobatan dengan Insulin


Indikasi pemberian obat bagi pasien dengan terapi insulin, diberikan untuk:
1)

Semua orang dengan diabetes tipe 1 yang memerlukan insulin eksogen


karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.

2)

Orang dengan diabetes tipe 2 tertentu yang mungkin membutuhkan insulin


bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah atau
apabila mengalami stres fisiologi seperti pada tindakan pembedahan.

3)

Orang dengan diabetes kehamilan (diabetes yang timbul selama kehamilan)


membutuhkan insulin bila diet tidak saja dapat mengendalikan kadar glukosa
darah.

4)

Orang yang diabetes dengan ketoasidosis.

5)

Orang dengan diabetes yang mendapat nutrisi parenteral atau yang


memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode
resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.

6)

b.

Pengobatan sindroma hiperglikemi non-ketotik-hiperosmolar

Cara Penggunaan Insulin


Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau

sebelum makan) dan insulin prandial (setelah makan).


Insulin basal ialah insulin yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa
akibat glukoneogenesis dan juga mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi.
Insulin Prandial ialah jumlah insulin yang dibutuhkan untuk mengkonversi
bahan nutrien ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak terjadi hiperglikemia
postprandial.
Insulin Koreksi (supplement) ialah insulin yang diperlukan akibat kenaikan
kebutuhan insulin yang disebabkan adanya penyakit atau stres.

Pemberian insulin

tergantung pada kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Untuk pasien yang nonemergensi, pemberian suntikan subkutan atau intramuskular (jarang dilakukan). Pada
pasien dengan kondisi kegawatan diberikan dengan pompa infus atau secara bolus intra
vena. Insulin dapat juga diberikan secara subkutan dengan menggunakan pompa insulin
atau yang dikenal dengan continuous subcutaneous insulin infusion (CSII).
Sebelum menyuntikan insulin, kedua tangan dan daerah yang harus disuntik
haruslah bersih. Tutup vial insulin harus diusap dengan isopropil alkohol 70%. Untuk
semua macam insulin kecuali kerja cepat, harus digulung-gulung secara perlahan-lahan
dengan kedua telapak tangan (Jangan dikocok) untuk melarutkan kembali suspensi.
Ambilah udara sejumlah insulin yang akan diberikan dan suntikanlah kedalam vial untuk
mencegah terjadi ruang vakum dalam vial. Hal ini terutama diperlukan bila akan dipakai
campuran insulin.
Bila mencampur insulin kerja cepat dengan kerja menengah atau panjang, maka insulin
yang jernih atau kerja cepat harus diambil terlebih dahulu. Setelah insulin masuk ke alat
suntik, periksalah apa mengandung gelembung udara. Satu atau dua ketukan pada alat
suntik dalam posisi tegak akan dapat mengurangi gelembung tersebut. Gelembung
tersebut sebenarnya tidaklah terlalu berbahaya tetapi dapat mengurangi dosis insulin.
Penyuntikan dilakukan pada jaringan subkutan. Pada umumnya disuntikan dengan sudut
90 derajat. Pada pasien kurus dan anak-anak, setelah kulit dijepit dan insulin disuntikan
dengan sudut 45 derajat agar tidak terjadi penyuntikan intra muskular. Aspirasi tidak perlu
dilakukan secara rutin. Bila suntikan terasa sakit atau mengalami perdarahan setelah
proses penyuntikan maka daerah tersebut sebaiknya ditekan selama 5-8 detik.

Anda mungkin juga menyukai