Anda di halaman 1dari 4

HUBUNGAN ANTARA SHIFT KERJA DENGAN TINGKATAN

KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA DI PABRIK PERAKITAN


MOBIL INDONESIA
Taufiq Ihsan1 dan Indah Rachmatiah S. Salami.2
Program Studi Magister Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
1
Email: taufiqihsan@students.itb.ac.id, 2indahrss@tl.itb.ac.id
Abstrak : Berbagai masalah kesehatan telah diketahui dari kerja gilir. Pabrik perakitan mobil merupakan
industri besar yang terus berkembang, khususnya di Indonesia, masih menggunakan aktivitas fisik dalam
melaksanakan pekerjaannya, khususnya di kawasan pabrik sehingga memungkinkan untuk terjadinya
kelelahan kerja. Tuntutan produktivitas yang tinggi, ikut menerapkan kerja gilir bagi karyawannya.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan tingkat kelelahan pekerja terkait sistem kerja gilir. Lokasi
penelitian dilakukan di PT.X di Divisi Stamping. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dan
pengukuran kelelahan kerja dengan menggunakan alat ukur waktu reaksi (reaction timer) dan pengukuran
hormon kortisol pada air liur pekerja. Pengukuran dengan alat ukur waktu reaksi dilakukan dengan
responden pekerja shift I (pagi) dan shift II (malam) selama seminggu berturut-turut. Pengambilan air liur
untuk mengukur hormon kortisol, dilakukan sebelum maupun setelah pekerja melakukan aktivitas kerjanya.
Berdasarkan hasil pengukuran rerata waktu reaksi untuk pekerja shift I adalah 284,79 milidetik dan pekerja
shift II adalah 307,76 milidetik. Pengukuran denyut nadi rata-rata pekerja shift I 74,8 kali per menit dan
shift II 78,6 kali per menit. Hasil analisis statistik diperoleh hubungan shift kerja dengan waktu reaksi
(p=0,000), shift kerja dengan denyut nadi (p=0,000), shift kerja dengan konsentrasi hormon kortisol
(p=0,048), shift kerja dengan kelelahan subjektif (p=0,036)
Kata kunci : pabrik perakitan mobil, kelelahan kerja, shift kerja

Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan informasi mengenai tingkat
kelelahan para pekerja terkait dengan sistem shift
kerja pada subyek penelitian sehingga dapat
diambil langkah-langkah evaluasi dan perbaikan,
serta mengkaji jenis stressor kerja yang dominan
di lokasi studi penelitian.

PENDAHULUAN
Berdasarkan data mengenai kecelakaan
kerja yang tercatat di Kompas tahun 2004, di
Indonesia setiap hari rata-rata terjadi 414
kecelakaan kerja, 27,8% disebabkan kelelahan
yang cukup tinggi. Lebih kurang 9,5% atau 39
orang mengalami cacat (Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI, Dirjen Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, 2004 dalam
Hariyati, 2009).
Pabrik perakitan mobil merupakan
industri besar yang terus berkembang, khususnya
di Indonesia, membutuhkan pekerja dengan
tingkat kesehatan yang optimal sehingga
produktivitasnya terus meningkat. Pabrik
perakitan mobil, PT. X merupakan pabrik yang
memproduksi mobil untuk kawasan se-Asia
Tenggara juga memberlakukan sistem dua waktu
shift kerja yakni pagi dan malam, khususnya di
Divisi Stamping, tempat pembuatan dan
perakitan komponen mesin di PT. X, yang
volume produksinya mencapai 1000 tons/bulan
Karena sebab itulah, hubungan shift kerja dengan
kelelahan kerja di kalangan pabrik besar
semacam PT. X menjadikan menarik untuk
diteliti.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Divisi
Stamping, Sunter Plant II, PT. X, Jakarta Utara.
Sampel yang digunakan dalam pengumpulan
data dari 2 kelompok kerja, yaitu pekerja yang
mendapat shift pagi, dan shift malam yang
berjumlah 30 orang. Adapun kriteria sampel
yang akan diambil adalah pekerja yang telah
bekerja minimal 2 tahun , berjenis kelamin lakilaki dengan rentang usia 20-40 tahun..
Pengukuran kelelahan kerja berdasarkan waktu
reaksi dengan menggunakan alat reaction timer,
pengukuran konsentrasi hormon kortisol pada air
liur
dengan
metode
RIA
(Radiology
ImunoAssay), dan kuesioner IFRC untuk
kelelahan secara subjektif serta pengukuran
denyut nadi dengan alat tensimeter digital.

temperatur dan kebisingan dapat dilihat pada


Tabel 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik responden yang dilibatkan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 2 Rekapitulasi Kalori Beban Kerja dan


Bahaya Fisik Lingkungan Kerja di
Divisi Stamping

Tabel 1 Karakteristik Responden di Divisi


Stamping
Karakteristik
Responden

No
1

Jumlah
(orang)

Persentase
(%)

Shift I

Shift II

21-25 tahun

18

60

26-30 tahun

13,33

AA1

31-35 tahun

13,33

AA2

33,63

98,38

28,73

102,83

279,83

36-40 tahun

13,33

34,30

93,15

30,13

94,93

284,78

Jumlah

30

100

35,15

93,48

30,17

94,73

280,29

DM

25,70

78,94

25,30

79,45

174,36

1-5 tahun

18

60

6-10 tahun

13,33

34,48

95,98

30,00

98,73

210,18

11-15 tahun

13,33

34,78

96,34

30,17

99,34

284,78

MM

25,70

75,72

25,30

76,23

194,56

33,70

97,08

28,87

97,91

278,07

Line

Umur Pekerja

Masa Kerja

16-20 tahun

13,33

Jumlah

30

100

Belum Menikah

16

53.33

Menikah

14

46.67

Jumlah

30

100

AA1

6,67

AA2

6,67

13,33

13,33

DM

6,67

MM

6,67

13,33

13.33

20

Jumlah

30

100

30

100

Status Pernikahan

Tempe
-ratur
(OC)
29,87

Kebisingan
(dB)
104,06

282,84

Hasil pengukuran kelelahan dilihat dari


waktu reaksi responden, diperoleh bahwa rerata
waktu reaksi shift I 284,79 milidetik dengan
standar deviasi 27,98 milidetik. Pada shift II
diperoleh rerata waktu reaksi 307,76 milidetik
dengan standar deviasi 44,14 milidetik. Menurut
standar tingkat kelelahan berdasarkan waktu
reaksi, ini berarti tergolong kategori kelelahan
kerja ringan. Kelelahan kerja ringan memiliki
waktu reaksi antara 240 hingga 410 milidetik.
Menurut analisis statistik dengan
kruskall wallis test diketahui p-value untuk
parameter usia responden terhadap waktu reaksi
adalah 0,004 (p<0,05). Hal ini berarti rerata
waktu reaksi berdasarkan kelompok usia pekerja
dalam penelitian ini berbeda secara nyata.
Semakin tua umur seseorang semakin besar
tingkat kelelahan. Semakin berumur, maka akan
mengalami penurunan kekuatan otot yang
berdampak terhadap kelelahan dalam melakukan
pekerjaan (Setyawati dalam Maurits, 2008).
Berdasarkan hasil analisis statistik
dengan kruskall wallis test untuk parameter lama
kerja responden terhadap waktu reaksi, diperoleh
p-value sebesar 0,0394 (p<0,05). Hal ini
menandakan nilai rerata waktu reaksi menurut
kelompok lama kerja berbeda secara nyata. Lama
kerja akan memberikan pengaruh negatif apabila
semakin lama bekerja akan menimbulkan
kelelahan dan kebosanan serta semakin banyak
dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh
lingkungan kerja tersebut (Budiono, 2003).
Menurut hasil analisis statistik diperoleh
p-value untuk parameter line kerja terhadap
waktu reaksi dengan kruskall wallis test adalah
0,043 (p<0,05). Hal ini berarti nilai rerata waktu

Line Kerja

Pendidikan
SMA/ sederajat

Kebisingan
(dB)
99,44

Beban
Kerja
(kcal/h)

Tempe
-ratur
(OC)
33,93

Hasil pengukuran di lapangan, diperoleh


bahwa rerata kalori beban kerja berdasarkan SNI
7269: 2009 untuk tujuh line kerja, tergolong
kategori beban kerja sedang, yang membutuhkan
kalori untuk pengeluaran energi lebih besar dari
200 350 kkal/jam. Sementara itu, untuk line
DM dan MM, maka beban kerjanya termasuk
kategori beban kerja ringan, yang membutuhkan
kalori untuk pengeluaran energi sebesar 100
sampai dengan 200 kkal/jam.
Bahaya fisik yang diterima responden
saat bekerja di Divisi Stamping adalah berupa
temperatur dan kebisingan. Rekapitulasi kalori
beban kerja antar line kerja dan hasil pengukuran

reaksi antar line kerja di Divisi Stamping berbeda


secara nyata. Perbedaan antara line kerja terlihat
dari kalori beban kerja yang dialami oleh
responden. Beban kerja yang terlalu berlebihan
akan menimbulkan kelelahan baik fisik atau
mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit
kepala, gangguan pencernaan dan mudah marah.
Bukan hanya itu saja, pengulangan gerak dalam
jangka waktu yang lama akan menimbulkan
kebosanan dan rasa monoton, yang berujung
kepada kurangnya perhatian pada pekerjaan
secara potensial (Manuaba, 2000 dalam
Simanjuntak, 2010).
Berdasarkan hasil analisis statistik
wilcoxon test diperoleh p-value untuk hubungan
antara waktu reaksi dengan temperatur sebesar
0,000 (p<0,05), yang berarti terdapat pengaruh
yang signifikan antara temperatur lingkungan
kerja dengan waktu reaksi pekerja. Sedangkan pvalue untuk hubungan antara waktu reaksi
dengan kebisingan sebesar 0,000 (p<0,05), yang
berarti juga terdapat pengaruh nyata antara
kebisingan lingkungan kerja dengan waktu reaksi
pekerja.
Menurut Guyton (1991, dalam Ramdan,
2007), akibat suhu lingkungan yang tinggi, suhu
tubuh akan meningkat. Akibatnya hipotalamus
merangsang kelenjar keringat sehingga tubuh
mengeluarkan keringat, yang mengandung garam
natrium chlorida. Keluarnya garam natrium
chlorida bersama keringat akan mengurangi
kadarnya dalam tubuh, sehingga menghambat
transportasi glukosa sebagai sumber energi. Hal
ini menyebabkan penurunan kontraksi otot
sehingga tubuh mengalami kelelahan.
Tenaga kerja yang terpapar kebisingan
denyut nadinya akan naik, tekanan darah naik,
dan mempersempit pembuluh darah sehingga
cepat merasa lelah. Kebisingan mengganggu
konsentrasi, komunikasi, dan kemampuan
berpikir (Bahar, 2008).
Hasil analisis statistik mann whitney test
terdapat perbedaan nyata untuk rerata waktu
reaksi shift I dan shift II, dengan p-value sebesar
0,000 (p<0,05). Ini berarti adanya hubungan
antara shift kerja dengan perubahan nilai waktu
reaksi sebagai salah satu indikator kelelahan
kerja.
Salah satu penyebab kelelahan adalah
gangguan tidur yang antara lain dapat
dipengaruhi oleh kekurangan waktu tidur dan
ganguan pada circadian rhythms akibat jet lag
atau shift kerja (Barness, 2008). Kostreva et. al
(2002, dalam Ramdan, 2007) mendukung hasil
penelitian Czeisler yang menyatakan bahwa
perubahan shift kerja harus perlahan, dan pola
rotasi maju dengan waktu rotasi 2 minggu
dengan waktu libur rata-rata 2 hari/minggu.
Untuk mengurangi tingkat kesalahan, Berger dan
Hobbs (2009) menyarankan untuk melakukan

tidur siang pada pekerja shift malam,


menghilangkan kerja lembur hingga lebih 12 jam
dan mengerjakan tugas sebelum jam 4 pagi untuk
shift malam.
Pengukuran denyut nadi untuk shift I
diperoleh rerata 74,8 kali per menit dengan
standar deviasi 2,82 kali per menit, sedangkan
pada shift II rerata jumlah denyut nadi 78,6 kali
permenit dengan standar deviasi 3,23 kali per
menit. Berdasarkan analisis statistik dengan
mann-whitney test untuk jumlah denyut nadi
antara shift I dengan shift II, diperoleh p-value
sebesar 0,000 (p<0,05), yang berarti terdapat
perbedaan rerata jumlah denyut nadi.
Jumlah denyut nadi per menit akan
mempengaruhi kegiatan pekerja saat beraktivitas,
karena
peningkatan denyut
nadi
akan
mengakibatkan penyempitan pembuluh darah
dan semakin terkurasnya energi dalam
menyelesaikan pekerjaan, sehingga merangsang
untuk menjadi cepat lelah (Hariyati, 2009).
Konsentrasi hormon kortisol pada air
liur responden diperoleh rerata secara berurutan
antara shift I dan shift II sebesar 7,1 ng/ml
(standar deviasi 0,07 ng/ml); 12,7 ng/ml (standar
deviasi 0,42 ng/ml) untuk pengukuran sebelum
bekerja. Sementara itu, pengukuran konsentrasi
hormon kortisol setelah bekerja secara berurutan
antara shift I dan shift II sebesar 2,6 ng/ml
(standar deviasi 0,28 ng/ml); 6,5 ng/ml (standar
deviasi 0,42 ng/ml).
Berdasarkan analisis statistik mannwhitney test, diperoleh p-value untuk konsentrasi
hormon kortisol sebelum bekerja antara shift I
dengan shift II sebesar 0,033 (p<0,05), dan pvalue untuk konsentrasi hormon kortisol sesudah
bekerja antara shift I dan shift II sebesar 0,033
(p<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat
perbedaan secara nyata antara rerata konsentrasi
hormon kortisol akibat pengaruh perbedaan shift
baik sebelum maupun sesudah bekerja.
Ketika pekerja shift malam tidur di
siang hari, siklus tidur mereka berkurang, dan
kualitas tidur yang buruk, karena konsentrasi
kortisol tinggi dan tingkat melatonin yang rendah
(Shu-Fen, 2011). Pada waktu akhir shift malam
sebelum jam 5 pagi, terjadi perubahan tingkat
kortisol, suhu badan dan tingkat melatonin yang
akan berpengaruh pada kinerja pekerja (Arora,
2008). Hal ini mengakibatkan pada shift malam,
konsentrasi kortisol lebih tinggi pada sore hari
(sebelum bekerja) daripada pagi hari (setelah
bekerja). Perbedaan konsentrasi kortisol inilah
yang nantinya akan mempengaruhi kelelahan
kerja (Hennig et al , 2008).
Tingkatan kelelahan responden secara
subjektif diperoleh dari total skor kuesioner
IFRC. Hasil pengamatan di lapangan, diperoleh
persentase responden yang mengalami kelelahan
kerja ringan secara berurutan antara shift I dan

Barness, F.J., Kimberley, D.S, Alyssa, M., Benjamin,


W. 2008. What Aspects of Shiftwork Influence
off-shift well-being of Healthcare Workers?,
Applied Ergonomis Journals 39:586-596.
Elsevier, USA
Berger, A. M., and Hobbs, B. 2009. Impact of shift
work on health and safety on nurses and
patients, Clinical Journal of Ocology
Nursing, 10(4):465-480.USA
Budiono, AM S. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan
KK. Badan Penerbit UNDIP, Surabaya
Desyariani, V. 2008. Hubungan Waktu Tempuh dan
Over Time dengan Frekuensi Kelelahan pada
Pengemudi Truk Mixer PT.X tahun 2008.
Skripsi FKM-UI, Depok, Universitas
Indonesia
Hariyati, M. 2009. Pengaruh Beban Kerja terhadap
Kelelaahan Kerja pada Pekerja Linting
Manual di PT. Djitoe Indonesia Jakarta.
Skripsi FK-USM, Surakarta
Hennig, J., Kieferdorf, P., Moritz, C., Huwe, S., &
Netter, P. 2008. Changes in cortisol secretion
during shiftwork: Implications for tolerance
to shiftwork? Ergonomics Journal, 41(5),
610-621.USA
Maurits, L, Imam DW. 2008. Faktor dan Penjadualan
Shift Kerja, Jurnal Teknoin 13(20:11-22).
Yogyakarta
Ramdan, I. 2007. Dampak Giliran Kerja, Suhu dan
Kebisingan terhadap Perasaan Kelelahan
Kerja di PT LJP Provinsi Kalimantan Timur,
The
Indonesian
Journal
of
Public
Health,4(1): 8-13
Shu-Fen, N., Chung M, Chen C, Desley H, Anthony
O. 2011. The Effect of Shift Rotation on
Employee Cortisol Profile, Sleep Quality,
Fatigue and Attention Level, Journal of
Nursing Research 19(1):68-81. USA
Simanjuntak, R. 2010. Analisa Pengaruh Shift Kerja
terhadap Beban Kerja Mental, Jurnal
Teknologi 3:53-60 Institut Sains & Teknologi
AKPRIND, Yogyakarta

shift II sebesar 40%; 26,67%. Responden yang


mengalami kelelahan kerja sedang pada shift I
dan shift II adalah 60%, dan73,33%.
Rekapitulasi probabilitas parameter
yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan
regresi logistik binary diperoleh persamaan
kelelahan kerja (KK) sebagai berikut:
KK = 0,775 + 23,59 shift kerja 17,43
temperatur + 0,429 kebisingan + 0,049
usia
Tabel 3 Rekapitulasi Perhitungan Probabilitas
No

Parameter yang Diteliti

p-value

Usia

0,004*

Lama Kerja

0,039

Status Pernikahan

0,045

Line Kerja

0,043

Temperatur

0,000*

Kebisingan

0,000*

Shift Kerja

0,000*

Keterangan: *Parameter yang


analisis regresi logistik (p<0,025)

digunakan

dalam

Hasil regresi logistik menunjukkan


bahwa shift kerja memberikan dampak terbesar
terhadap kenaikan waktu reaksi kelelahan. Hal
ini dapat dilihat dari nilai Exp (B) sebesar 3,222
yang artinya bahwa kenaikan waktu reaksi 3,222
kali dari parameter lainnya akibat adanya
pengaruh shift kerja. Sehingga dapat disimpulkan
shift kerja sebagai prediktor terbesar yang
mempengaruhi perubahan kelelahan kerja di
pabrik perakitan mobil PT X.

KESIMPULAN
Shift kerja memberikan pengaruh
terhadap tingkatan kelelahan pekerja pabrik
perakitan mobil PT. X. Pekerja shift II (malam)
lebih tinggi tingkatan kelelahan berdasarkan
waktu reaksi dan kelelahan subjektif IFRC serta
jumlah denyut nadi per menit, dibandingkan saat
bekerja di shift I (pagi). Pengukuran konsentrasi
hormon kortisol pada air liur pekerja shift II juga
menunjukkan pola istirahat yang kurang optimal
sehingga berpengaruh terhadap kelelahan kerja.

Daftar Pustaka
Arora, V., Dunphy, C., Chang, V.Y, Ahmad,
F.,Humphrey, H.J., Meltzer, D. 2008. The
Effect on-Duty Naping on Intern Sleep Time
Fatique, Journal of Annals of Internal
Medicine,144(11), 793-802. USA
Bahar, A. 2008. Analisis Resiko Kesehatan terhadap
Paparan Bising di Lingkungan Kerja
Departemen Tempa dan Cor PT. X Tesis
Program Studi Teknik Lingkungan FTSLITB, Bandung

Anda mungkin juga menyukai