Anda di halaman 1dari 14

RINGKASAN

KAJIAN PENYUSUNAN KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN


ANTAR NEGARA
Staf Ahli Bidang Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
Bidang Percepatan Pembangunan Pembangunan KTI dan Kawasan Tertinggal 1
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi landasan yuridis yang berkenaan dengan
pengembangan kelembagaan kawasan perbatasan antar negara, (2) mngidentifikasi instansi-instansi
yang terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan saat ini baik di tingkat pusat maupun daerah, (3)
mengevaluasi mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan saat ini oleh lembaga-lembaga terkait,
serta (4) merumuskan alternatif-alternatif bentuk kelembagaan pengelola kawasan perbatasan yang
bersfiat terpadu dan terintegrasi
Penyusunan kajian terdiri dari empat tahap, yaitu (1), Pengumpulan data dan informasi, (2)
Evaluasi dan analisis data dan informasi, (3) Perumusan alternatif bentuk kelembagaaan dan desain
kelembagaan, dan (4) Seminar dan finalisasi.
Selama ini terdapat tiga bentuk kelembagaan di pusat dan di daerah yang terkait dengan
pengelolaan kawasan perbatasan, yaitu antara lain : (a) komite-komite perbatasan (GBC RIMalaysia, JBC RI-Timor Leste, JBC RI-PNG, dan Border Commitee RI-Fillipina); (b) instansi-instansi
pusat terkait; dan (c) pemerintah daerah terkait. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa
kelembagaan pengelola perbatasan yang ada saat ini pada umumnya menghadapi beberapa
permasalahan, baik dari segi kepemimpinan, struktur, program, maupun sumber daya, sehingga
diperlukan penyempurnaan terhadap kelembagaan pengelola perbatasan yang ada saat ini.
Di dalam penyempurnaan terhadap kelembagaaan pengelola perbatasan terdapat 5 (lima)
alternatif kelembagaan pengelola perbatasan, yaitu : (1) Kelembagaan yang tetap mempertahankan
mekanisme saat ini dengan memperbaiki koordinasi pada mekanisme pengelolaan secara sektoral. (2)
Kelembagaan yang tetap mempertahankan mekanisme kelembagaan saat ini dengan memperbaiki
koordinasi diantara komite-komite ad-hoc yang ada, (3) Lembaga struktural khusus di tingkat pusat,
yaitu Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Antarnegara (BP-KPA), (4) Lembaga ad-hoc khusus di
tingkat pusat yang berfungsi koordinasi, yaitu Dewan Koordinasi Perbatasan Kawasan Perbatasan
Antarnegara (DP-KPA), atau (5) Lembaga semi-struktural yang berfungsi koordinasi program dan
mengalokasikan anggaran dari sektor terkait, yaitu Badan Koordinasi Percepatan pembangunan
Kawasan Perbatasan Antarnegara (BK-P2KPA).
Sebagai tindak lanjut dari kajian ini, maka pemerintah perlu melakukan beberapa upaya
antara lain : (1) Membentuk kelembagaan perbatasan dengan memilih salah satu dari lima alternatif
yang ditawarkan oleh kajian ini; (2) Merumuskan aturan perundang-undangan sebagai landasan bagi
penyusunan kelembagaan perbatasan antarnegara; (3) Merumuskan tugas pokok dan fungsi
kelembagaan secara jelas sesuai dengan visi pengembangan kawasan perbatasan antarnegara; (4)
Merumuskan pembagian kewenangan yang jelas dan tegas dalam implementasi pembangunan di
kawasan perbatasan untuk menghindari duplikasi dan overlapping; dan (5) Menyusun struktur
organisasi pengelola kawasan perbatasan yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan.
1

Ikhwanuddin@bappenas.go.id

I.

LATAR BELAKANG

Kawasan perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara.
Kawasan perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah
kedaulatan, pemanfaatan sumberdaya alam, serta keamanan dan keutuhan wilayah. Masalah
perbatasan memiliki dimensi yang kompleks. Terdapat sejumlah faktor krusial yang terkait
didalamnya seperti yurisdriksi dan kedaulatan negara, politik, sosial ekonomi, dan pertahanan
keamanan. Secara garis besar terdapat tiga isu utama dalam pengelolaan kawasan perbatasan
antarnegara, yaitu : (1) Penetapan garis batas baik darat maupun laut, (2) Pengamanan kawasan
perbatasan, dan (3) Pengembangan kawasan perbatasan. Penanganan berbagai permasasalahan pada
tiga isu utama diatas masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala utama adalah aspek
kelembagaan, dimana selama ini pengelolaan perbatasan antarnegara ditangani secara parsial oleh
berbagai komite perbatasan yang bersifat ad-hoc maupun oleh instansi pusat terkait secara sektoral.
Hal ini menyebabkan solusi untuk menanganani permasalahan yang ditawarkan cenderung parsial dan
tidak menyeluruh. Untuk mewujudkan penanganan kawasan perbatasan yang efektip secra nasional
diperlukan lembaga pengelola perbatasan antarnegara yang terpadu dan terintegrasi.
Sampai sekarang ini belum pernah dilakukan pengkajian dan evaluasi tentang kemampuan
institusi atau kelembagaan dalam mengelola kawasan perbatasan. Oleh karena itu permasalahan yang
akan dijawab dalam kajian ini antara lain : (1) Landasan yuridis yang berkenaan dengan
pengembangan kelembagaan perbatasan, (2) Lembaga yang terkait dalam pengelolaan kawasan
perbatasan saat ini, (3) Tugas pokok dan peran lembaga-lembaga terkait baik di tingkat pusat maupun
daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan antarnegara saat ini, (4) Mekanisme pengelolaan
kawasan perbatasan saat ini oleh instansi-instansi yang ada saat ini, dan (5) Alternatif bentuk
kelembagaan pengelola kawasan perbatasan yang bersifat terpadu ?

II.

TUJUAN
Tujuan dari penyusunan kajian ini adalah untuk :

(1) Mengidentifikasi landasan yuridis yang berkenaan dengan pengembangan kelembagaan kawasan
perbatasan antar negara.
(2) Mengidentifikasi instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan saat ini baik
di tingkat pusat maupun daerah.
(3) Mengevaluasi mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan saat ini oleh lembaga-lembaga terkait.
(4) Merumuskan aternatif-alternatif bentuk kelembagaan pengelola kawasan perbatasan yang bersfiat
terpadu dan terintegrasi.
Ruang lingkup kajian ini adalah : (a) mengumpulan data dan informasi, (b) evaluasi dan
analisis data dan informasi, (c) perumusan alternatif bentuk kelembagaaan dan desain kelembagaan,
dan (d) seminar dan finalisasi.
Output dari penyusunan kajian ini adalah adanya alternatif bentuk kelembagaan yang bersifat
terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan antarnegara. Berbagai alternatif konsep

kelembagaan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam membentuk kelembagaan
pengelola kawasan perbatasan antarnegara baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota.

III.

METODOLOGI

3.1.

Kerangka Analisis

Melalui analisis terhadap faktor kepemimpinan, tujuan, program, sumberdaya, dan struktur,
dapat dianalisis kondisi kelembagaan pengelolaan perbatasan saat ini. Dari analisis ini dapat
dirumuskan alternatif bentuk kelembagaan yang efisien, terpadu dan terintegrasi. Perumusan alternatif
bentuk kelembagaan pengelola perbatasan dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis data
sekunder dan primer. Melalui analisis tugas dan fungsi, desain organisasi, serta masukan dari berbagai
seminar, maka diperolehlah berbagai alternatif lembaga pengelola perbatasan.
3.2.

Metode Pelaksanaan Kajian

Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengevaluasi bentuk dan mekanisme
kelembagaan pengelola perbatasan yang ada saat ini, meliputi struktur, tugas, pokok, fungsi, dan
mekanisme koordinasi.
Perumusan alternatif bentuk kelembagaan dan Desain Organisasi dilakukan secara deskriptif
berdasarkan hasil analisa data dan informasi pada bagian sebelumnya. Melalui analisis struktur, tugas
pokok, fungsi dan mekanisme koordinasi kelembagaan pengelola kawasan perbatasan yang ada saat ini
dapat dilihat kelemahan dan kelebihan berbagai model kelembagaan pengelola kawasan perbatasan.
Dari analisis tersebut dapat dirumuskan alternatif bentuk kelembagaan pengelola perbatasan yang
terpadu dan terintegrasi.
Selanjutnya untuk memperoleh umpan-balik dari seluruh stakeholder terkait dengan bentuk
kelembagaan pengelola kawasan perbatasan dilakukan melalui berbagai seminar atau lokakarya.
Finalisasi kajian dilakukan berdasarkan berbagai masukan dan saran dari seluruh stakeholder terhadp
kelembagaan pengelola kawasan perbatasan.

3.3.

Data

Data dan informasi yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui diskusi, wawancara, dan seminar dengan aparat di pusat
dan daerah (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan NTT), sedangkan untuk mendapatkan
data sekunder dalam kajian ini diperoleh dari studi literatur, hasil kajian, buku-buku ilmiah, peraturan
perundangan, jurnal-jurnal ilmiah, serta artikel dari internet yang berkaitan dengan kelembagaan
pengelola perbatasan antarnegara.

IV.

HASIL KAJIAN DAN ANALISIS

4.1.

Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan Pengembangan Kelembagaan

Terdapat berbagai peraturan-perundang-undangan yang terkait ketiga isu utama dalam


pengelolaan kawasan perbatasan, antara lain (1) peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penetapan garis batas dan penegasan kedaulatan wilayah, (2) peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan pengamanan kawasan perbatasan, serta (3) peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pengembangan kawasan perbatasan.
Landasan yuridis penetapan perbatasan Republik Indonesia telah termaktub dengan jelas di
dalam Pasal 25 A UUD 1945 tentang wilayah Negara. Selain itu terdapat sejumlah peraturan
perundang-undangan yang mengatur batas negara, baik
dalam bentuk UU, PP, maupun
Keppres/Perpres. Undang-undang tersebut secara spesifik mengatur prinsip-prinsip cara penarikan
batas, misalnya UU No. 5 tahun 1984 tentang ZEEI, UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan
UNCLOS, UU No 6 tahun 1996 tentang Perairan yang didukung oleh PP No. 38 tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis Garis Pangkal Indonesia. Selain peraturan perundang-undangan mengenai
aturan penarikan garis batas, telah ada pula peraturan perundang-undangan mengenai pengesahan hasil
perundingan batas negara dengan negara tetangga, misalnya UU No. 2 Tahun 1971 mengenai Batas
Laut Teritorial Indonesia-Malaysia, UU no.7 tahun 1973 mengenai Batas Laut Teritorial IndonesiaSingapura. Untuk melengkapi pengaturan terhadap UU tersebut telah dikeluarkan beberapa Keppres
yang mengatur secara spesifik batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga, misalnya Keppres No.
89 tahun 1969 menganai pengaturan batas wilayah Indonesia-Malaysia.
Terkait dengan upaya pengamanan kawasan perbatasan, beberapa peraturan perundangundangan seperti PP No. 36 tahun 2002, PP No. 37 tahun 2002, dan PP No. 38 tahun 2002 memberi
dasar dan kewenangan bagi aparat guna menegakkan hukum dalam rangka perwujudan kedaulatan
nyata di perbatasan, khususnya di perbatasan laut. Meski demikian, upaya penegakan hukum di
kawasan perbatasan laut saat ini sering menimbulkan kerancuan di lapangan akibat para adanya
penafsiran yang berbeda tentang implementasinya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang
berikan undang-undang. Selain itu tersebarnya kewenangan dalam penegakan hukum di kawasan
perbatasan serta luasnya wilayah yang harus diawasi dan tidak sebanding dengan sarana pendukung
operasional seringkali dimanfaatkan oleh para pelanggar hukum yang terkadang menggunakan
teknologi lebih maju. Hal ini menyebabkan sulitnya upaya koordinasi dalam penegakan hukum di
kawasan perbatasan.
Terkait dengan upaya pengembangan kawasan perbatasan, UU no. 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang telah memasukkan kawasan perbatasan sebagai salah satu bentuk kawasan tertentu,
yaitu kawasan yang ditetapkan secara nasional yang penataan ruangnya dipriotaskan. Adanya penataan
ruang kawasan perbatasan dimaksudkan untuk mendorong keterpaduan pengembangan kawasan
perbatasan untuk mengurangi kesenjangan wilayah dan perwujudan kawasan perbatasan sebagai
beranda depan negara; Mempercepat pembangunan kawasan melalui upaya pengembangan pusat
pertumbuhan ekonomi dan membuka keterisolasian wilayah, dengan tetap menjaga kelestraian
lingkungan dan sosial budaya setempat; serta mendorong perwujudan kerjasama ekonomi sub regional
secara sinergis dan seimbang dengan menganut keserasian antara pendekatan keamanan dan
pendekatan kesejahteraan masyarakat.
Upaya pengembangan kawasan perbatasan juga telah didukung oleh Peraturan Presiden No 7
Tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, dimana
arah kebijakan program pengembangan kawasan perbatasan adalah untuk menjaga keutuhan wilayah
NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan
budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara
tetangga.
Tantangan ke depan adalah menyelesaikan landasan yuridis terhadap batas-batas wilayah baik
BLT, BLK, dan ZEE melalui kesepakatan dengan negara-negara tetangga.

4.2.

Kelembagaan Pengelolaan Perbatasan saat ini

Kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan saat ini terdiri dari 3 (tiga) bentuk kelembagaan,
yaitu : (a) Komite-komite Perbatasan, antara lain General Border Committee (GBC) RI-Malaysia, Joint
Border Committee (JBC) RI-PNG, JBC RI Timor Leste, dan Border Commitee RI Filipina, (b)
Instansi-instansi pemerintah pusat terkait, antara lain menangani tim-tim teknis dan melakukan
berbagai program secara sektoral, (c) Pemerintah daerah terkait baik provinsi maupun kabupaten,
dimana dalam pengelolaannya dilaksanakan oleh Bappeda atau unit khusus yang dibentuk untuk
menangani pengelolaan kawasan perbatasan (misalnya Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah di
Provinsi Papua).
Berdasarkan 5 aspek kelembagaan, yaitu kepemimpinan, tujuan, program, sumberdaya, dan
struktur, dapat dianalisis kondisi kelembagaan pengelolaan perbatasan saat ini.

4.2.1. Komite-komite Perbatasan


(1)

General Border Committee RI-Malaysia

GBC RI-Malaysia merupakan forum kerjasama perbatasan antara pemerintah RI dengan


Malaysia. Hasil analisa aspek-aspek kelembagaan GBC RI-Malaysia diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis aspek-aspek kelembagaan GBC RI-Malaysia
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur
Tujuan
Program
Sumberdaya

(2)

Hasil Analisis
Diketuai Panglima TNI
Ketua membawahi SPC yang terdiri dari 5 Bidang, yaitu COCC, JKLB, KK Sosek
Malindo, dan KK SAR
Membahas isu dan permasalahan perbatasan dalam bidang sosial, ekonomi,
maupun pertahanan keamanan diantara RI-Malaysia
Melakukan perumusan program melalui bidang-bidang namun implementasinya
dilakukan oleh instansi-instansi yang terkait di tingkat pusat dan daerah.
Tidak memiliki anggaran, aparat, dan prasarana yang mandiri karena berfungsi
sebagai forum ad hoc dan bukan institusi yang bersifat struktural

Joint Border Committee RI-PNG

JBC RI-PNG merupakan forum kerjasama perbatasan antara pemerintah RI dengan PNG. Hasil
analisa aspek-aspek kelembagaan JBC RI-PNG diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis aspek-aspek kelembagaan JBC RI-PNG
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur
Tujuan
Program
Sumberdaya

Hasil Analisis
Diketuai oleh Menteri dalam Negeri
Dipimpin oleh ketua yang membawahi Sub Komisi Teknis dan Border Liaision
Meeting
Membahas isu dan permasalahan perbatasan RI-PNG
Melakukan perumusan program melalui bidang-bidang namun implementasinya
dilakukan oleh instansi-instansi yang terkait di tingkat pusat dan daerah.
Tidak memiliki anggaran, aparat, dan prasarana yang mandiri karena berfungsi
sebagai forum ad hoc dan bukan institusi yang bersifat struktural

(3)

Joint Border Committee RI-Timor Leste

JBC RI-Timor Leste merupakan forum kerjasama perbatasan antara pemerintah RI dengan
Timor Leste. Hasil analisa aspek-aspek kelembagaan JBC RI-TImor diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis aspek-aspek kelembagaan JBC RI-Timor Leste
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur
Tujuan
Program
Sumberdaya

(4)

Hasil Analisis
Diketuai oleh Dirjen PUM Depdagri
Dipimpin oleh ketua yang membawahi Sub Komisi Teknis dan Border Liaision
Membahas isu dan permasalahan perbatasan RI-Timor Leste
Melakukan perumusan program melalui bidang-bidang namun implementasinya
dilakukan oleh instansi-instansi yang terkait di tingkat pusat dan daerah.
Tidak memiliki anggaran, aparat, dan prasarana yang mandiri karena berfungsi
sebagai forum ad hoc dan bukan institusi yang bersifat struktural

Border Committee RI-Filipina

Border Committe RI-Filipina merupakan forum kerjasama perbatasan antara pemerintah RI


dengan Filipina. Hasil analisa aspek-aspek kelembagaan Border Committee RI-Filipina diperlihatkan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis aspek-aspek kelembagaan Border Commitee RI-Filipina
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur
Tujuan
Program
Sumberdaya

Hasil Analisis
Diketuai oleh Pangdam VII/Wirabuana
Dta*
Membahas isu dan permasalahan perbatasan RI-Filipina, terutama mengenai isu
penetapan batas laut.
Dta
Tidak memiliki anggaran, aparat, dan prasarana yang mandiri karena berfungsi
sebagai forum ad hoc dan bukan institusi yang bersifat struktural

*data tidak ada

4.2.2. Kelembagaan di Tingkat Pusat


Pengelolaan kawasan perbatasan di Indonesia saat ini tidak dilakukan oleh suatu institusi
khusus dan belum memiliki struktur yang jelas, dimana pengelolaan dilakukan oleh instansi-instansi di
tingkat pusat yang terkait secara sektoral. Hasil analisa kelembagaan pada mekanisme pengelolaan
sektoral oleh instasni pusat terkait diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Kelembagaan pada Mekanisme Pengelolaan Sektoral oleh Instansi
Pusat Terkait
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur

Tujuan

Program

Sumberdaya

Hasil Analisis
Belum ada satu instansi khusus yang bertanggung jawab atau berwenang penuh
dalam menangani permasalahan perbatasan
- Pekerjaan dibagi berdasarkan tugas pokok dan fungsi sektornya masing-masing
- Belum ada mekanisme koordinasi yang jelas antar instansi terkait sehingga
seringkali terjadi overlapping kewenangan
RPJM 2004-2009 :
1. Menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang
dijamin oleh hukum internasional;
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi
ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat
strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.
Telah ada program pengembangan kawasan perbatasan dalam Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun
2004-2009.
Telah ada anggaran, aparat, dan prasarana yang mandiri di sektor masing-masing
namun kapasitasnya masih relatif minim dan pemanfaatannya belum efektif karena
belum ada mekanisme kelembagaan yang menyeluruh.

4.2.3. Kelembagaan di Daerah


Bentuk institusi pengelola kawasan perbatasan di tingkat daerah tidak sama antar satu daerah
dengan daerah lainnya. Secara umum terdapat dua model institusi pengelolaan di daerah. Model
pertama adalah pengelolaan kawasan perbatasan melalui pembentukan institusi khusus pengelola
perbatasan di tingkat provinsi yang diikuti dengan pembentukan badan-badan serupa di tingkat
kabupaten yang diberi kewenangan untuk menangani permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan.
Contoh dari model ini sudah ada , yaitu : (1) Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah, Papua (BKPD),
yaitu lembaga perbatasan di provinsi Papua, (2) Pengelolaan wilayah perbatasan oleh unit Bappeda di
daerah melalui kerjasama antara kedua negara (Tabel 6). Contoh dari model kedua ini adalah
pengelolaan kawasan perbatasan oleh Bappeda di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau
melalui pelaksanaan kerjasama Sosek Malindo (Tabel 7)
Tabel 6. Analisis aspek-aspek kelembagaan BPKD Papua
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur

Tujuan

Program
Sumberdaya

Hasil Analisis
Diketuai oleh Kepala BPKD
- Dipimpin oleh seorang kepala dan didukung oleh kesekretariatan untuk
melaksanakan urusan administrasi umum, keuangan, kepegawaian dan
penyusunan program. Kepala membawahi pula bidang-bidang yang terdiri dari
bidang perbatasan, kerjasama, dan pemberdayaan potensi perbatasan.
- Koordinasi dengan pusat belum jelas.
Memiliki pernyataan tujuan : Menangani dan mengembangkan potensi perbatasan
dan kerjasama pemerintah daerah dengan daerah di negara lain serta tugas lain
yang diberikan oleh gubernur
Memiliki otoritas dan program mandiri dalam bidang pengembangan prasarana dan
sarana perbatasan, kerjasama, dan pemberdayaan potensi wilayah.
Merupakan institusi struktural sehingga memiliki anggaran, aparat, dan prasarana
yang mandiri

Tabel 7. Analisa Aspek-aspek kelembagaan


Sosek Malindo Tingkat Daerah di Provinsi Kalimantan Barat
Aspek Kelembagaan
Kepemimpinan
Struktur

Hasil Analisis
Kepala Bappeda Provinsi
Merupakan bagian dari Kelompok Kerjasama Sosek Malindo Indonesia. Ketua Sosek
Malindo tingkat daerah membawahi tim-tim teknis yang bertugas untuk merumuskan
buku kertras kerja yang kemudian dilaporkan kepada sekretariat Sosek Malindo
Tingkat pusat.
Memiliki pernyataan tujuan : Mengkaji secara rinci kerjasama Sosial Ekonomi di
daerah dan memantau pelaksanaannya sesuai arahan arahan KK Sosek Malindo
Tingkat Pusat.
Hanya berwenang untuk merumuskan program di tingkat daerah, sedangkan
implementasinya diserahkan kepada instansi terkait.
Merupakan forum ad-hoc sehingga tidak memiliki anggaran, aparat, dan prasarana
yang mandiri.

Tujuan

Program
Sumberdaya

4.2.4. Hubungan antara lembaga-lembaga terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan


Gambar 1 dibawah ini menunjukkan hubungan antara komite-komite perbatasan, instansi pusat
terkait dengan pemerintah daerah dalam kegiatan pengelolaan kawasan perbatasan.

Gambar 1. Hubungan Komite Perbatasan, Instansi Pusat terkait, dan Pemerintah Daerah dalam
kegiatan pengelolaan kawasan perbatasan saat ini.

Instansi
Pusat
Terkait
JBC
RI-PNG
BC
RI-FILIPINA

Pengelolaan
Kawasan
Perbatasan

JBC
RI-TIMLES
GBC
RI-MALAYSIA

Pemerintah
Daerah
Terkait

Hubungan Koordinasi
Implementasi program Instansi pusat
Implementasi program pemerintah daerah terkait
Pembagian Kewenangan pusat-daerah Berdasarkan UU No. 32/2004

Berdasarkan hasil analisis dan gambar diatas berdasarkan aspek kepemimpinan, struktur, program, dan
sumberdaya, terdapat beberapa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan perbatasan di
Indonesia, antara lain :
(1) Kepemimpinan :
(a) Komite-komite perbatasan yang ada saat ini diketuai oleh instansi yang berbeda sehingga
pengelolaan kawasan perbatasan tidak terintegrasi secara nasional.
(b) Di tingkat pusat, belum ada satu institusi khusus yang ditunjuk/berwenang penuh untuk
menangani kawasan perbatasan.
(c) Di tingkat daerah, belum seluruh daerah memiliki institusi khusus yang memiliki wewenang
untuk menangani permasalahan perbatasan.
(d) Dalam pelaksanaan kerjasama Sosek Malindo, kepemimpinan yang ada saat ini kurang sesuai
dengan bentuk dan isi kerjasama Sosek Malindo.
(2) Struktur :
(a) Dalam pelaksanaan komite perbatasan, hanya instansi-instansi tertentu yang terlibat dalam
pelaksanaan border committee sesuai dengan kesepakatan kerjasama sehingga pengelolaan
kawasan perbatasan tidak dilaksanakan secara menyeluruh.
(b) Tidak ada koordinasi antar komite perbatasan.
(c) Bentuk komite perbatasan yang bersifat ad-hoc menyebabkan lembaga tidak memiliki fungsi
implementasi sehingga ada kemungkinan hasil kesepakatan cenderung tidak berjalan baik di
lapangan.
(d) Kegiatan instansi-instansi di tingkat pusat dilakukan secara sektoral dan berjalan sendirisendiri.
(e) Belum terdapat mekanisme hubungan yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah
(3) Program :
(a) Program pada komite-komite perbatasan dirumuskan berdasarkan isu-isu yang terjadi sehingga
cenderung bersifat parsial dan tidak menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh
(b) Bentuk komite perbatasan yang bersifat ad-hoc menyebabkan sulitnya melakukan monitoring
implementasi program secara berkelanjutan terhadap instansi pelaksana.
(c) Pelaksanaan program oleh instansi-instansi pusat cenderung dilaksanakan secara sektoral dan
tidak terpadu.
(d) Di tingkat daerah, karena tidak adanya hubungan yang jelas dengan pusat, pelaksanaan
program masih berjalan sendiri tanpa mengacu kebijakan di tingkat pusat.
(4) Sumber Daya :
(a) Komite perbatasan dan kerjasama Sosek Malindo sebagai suatu forum ad hoc tidak memiliki
aparat, prasarana, dan anggaran yang mandiri sehingga implementasi dari program yang telah
disepakati kurang efektif
(b) Instansi-instansi pusat terkait memiliki anggaran, aparat, dan prasarana yang mandiri dari tiap
sektor namun kapasitasnya masih relatif minim dan pemanfaatannya belum efektif karena
belum ada mekanisme kelembagaan yang terpadu dan menyeluruh.
(c) Lembaga perbatasan di tingkat daerah dihadapkan pada permasalahan minimnya anggaran,
prasarana, dan kualitas aparat untuk menunjang operasionalisasi lembaga

4.3.

Alternatif Bentuk Kelembagaan Pengelola Perbatasan

Terdapat 4 (empat) alternatif bentuk dan mekanisme kelembagaan dalam pengelolaan kawasan
perbatasan, yaitu :
4.3.1. Kelembagaan yang tetap mempertahankan mekanisme kelembagaan saat ini dengan
memperbaiki koordinasi pada mekanisme pengelolaan secara sektoral.
Bentuk kelembagaan ini tidak mengubah mekanisme pengelolaan saat ini, namun ditekankan
kepada perbaikan koordinasi antar instansi pusat terkait. Perbaikan koordinasi dilakukan dengan
menunjuk suatu institusi yang diberi kewenangan penuh untuk melakukan koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, serta monitoring evaluasi program. Lembaga tersebut dapat merupakan Kementerian
Koordinator atau Kementerian Negara yang memiliki kewenangan lintas sektoral. Selain itu, harus
dibentuk sub-unit di tiap instansi yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan mengenai
pengelolaan kawasan perbatasan sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya masing-masing.
4.3.2. Kelembagaan yang tetap mempertahankan mekanisme kelembagaan saat ini dengan
memperbaiki koordinasi diantara komite-komite ad-hoc yang ada.
Bentuk kelembagaan ini pada prinsipnya hampir sama dengan alternatif pertama, instansi yang
ditunjuk diberi kewenangan untuk mengkoordinasikan komite-komite perbatasan yang ada. Selain itu
diperlukan peningkatan keterlibatan sektor-sektor terkait di dalam komite-komite perbatasan yang ada
saat ini.
4.3.3. Kelembagaan berbentuk Struktural (Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Antarnegara
/BP-KPA).
Lembaga ini merupakan lembaga khusus pengelola perbatasan di tingkat pusat yang bersifat
struktural (Badan setingkat LPND). Lembaga ini merupakan lembaga yang memiliki sumberdaya
aparatur, anggaran, dan prasarana mandiri, serta memiliki kewenangan dan otoritas penuh dalam hal
perencanaan program, koordinasi pelaksanaan, dan implementasi. BP-KPA dapat dipimpin oleh
seorang kepala, dibantu oleh sekretaris utama dan staf ahli serta membawahi deputi-deputi.
Keberadaan BP-KPA akan mengambil alih fungsi-fungsi yang sebelumnya tersebar di
berbagai departemen. Dengan demikian agar lembaga ini efektif diperlukan konsolidasi dan koordinasi
dengan instansi-instansi teknis terkait. Selain itu untuk meningkatkan koordinasi dengan pemerintah
daerah, lembaga baru perlu melibatkan pemda dalam perumusan, implementasi, monitoiring, serta
evaluasi program. Lembaga ini juga perlu menggali sumber-sumber dana alternatif untuk membiayai
pembangunan kawasan perbatasan seperti melalui hibah dan kerjasama ekonomi dengan negera
tetangga. Untuk memenuhi kebutuhan aparat, diperlukan anggaran yang cukup besar untuk melakukan
perekrutan SDM aparatur dari instansi-instansi yang telah ada saat ini baik di pusat maupun daerah.
4.3.4. Lembaga berbentuk Add Hoc (Dewan Koordinasi Perbatasan Kawasan Perbatasan
Antarnegara /DP-KPA).
Lembaga ini merupakan lembaga koordinasi di tingkat pusat dan dipimpin langsung oleh
presiden. DP-KPA merupakan wadah koordinasi instansi-instansi terkait dalam pengelolaan kawasan
perbatasan, sehingga tidak memiliki sumberdaya aparatur, anggaran, dan prasarana secara mandiri.
Lembaga ini dipimpin oleh presiden yang dibantu oleh ketua harian dan didukung oleh sekretariat

jenderal untuk menangani permasalahan administratif. Presiden juga membawahi pokja-pokja yang
dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi-fungsi strategis dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
DP-KPA ini dinilai akan lebih mudah diterima dibandingkan alternatif ketiga karena disamping
tidak mengambil alih fungsi yang telah ada di berbagai instansi-instasi juga tidak menggunakan biaya
yang besar dalam pembentukannya.
Namun demikian, karena tidak memiliki otoritas dalam implementasi dan tidak memiliki
anggaran yang mandiri, lembaga ini dikhawatirkan sulit untuk melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait. Dengan demikian, untuk menerapkan
bentuk lembaga ini diperlukan pemantauan dan evaluasi rutin untuk menilai komitmen dan kinerja dari
sektor terkait. Agar lembaga ini efektif dan pembangunan di kawasan perbatasan sesuai dengan
rencana yang dibuat, diperlukan kebijakan khusus dari presiden sebagai ketua badan/dewan. Untuk
meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah, lembaga ini perlu melibatkan pemda dalam
perumusan, implementasi, monitoiring, serta evaluasi program yang dilaksanakan
4.3.5. Kelembagaan Semi Struktural (Badan Koordinasi Percepatan Pembangunan Kawasan
Perbatasan Antarnegara /BK- P2KPA)
BK-P2KPA merupakan lembaga koordinasi yang bersifat semi-struktural. Lembaga ini
disamping bersifat adhoc berfungsi untuk mengkoordinasikan program dan pendanaan dari instansiinstansi pusat terkait, juga memiliki aparat tetap di dalam sekretariat yang berfungsi sebagai national
operation center untuk melakukan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring program,
termasuk untuk mengarahkan dan mengelola anggaran. Adanya kewenangan untuk mengarahkan dan
mengelola anggaran dimaksudkan untuk memberikan otoritas penuh kepada lembaga dalam
melakukan koordinasi dan kontrol secara efektif terhadap implementasi program pembangunan yang
dilakukan oleh sektor-sektor terkait, sehingga pelaksanaan pembangunan di kawasan perbatasan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dengan demikian agar lembaga ini dapat berjalan efektif,
perlu diadakan suatu dana alokasi khusus yang ditujukan untuk pengembangan kawasan perbatasan.
V.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian diatas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan :

Hingga saat ini telah disusun beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan legitimasi
bagi pengelolaan kawasan perbatasan, baik ditinjau dari sisi kadaulatan wilayah, keamanan,
maupun dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan kawasan. Namun
demikian dalam implementasinya masih terjadi kewenangan yang tersebar dan belum adanya
koordinasi yang baik. Hal ini disebabkan belum adanya suatu kelembagaan khusus yang
memayungi lembaga-lembaga yang terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan antar negara.

Kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan yang ada saat ini belum berjalan secara optimal,
untuk itu perlu ditinjau kembali baik dari segi kepemimpinan, struktur, program, maupun
pemanfataan sumber daya yang dimiliki, baik pada komite-komite perbatasan, instansi pusat
terkait, maupun pemerintah daerah di kawasan perbatasan.

Terdapat 5 (lima) model alternatif kelembagaan pengelola perbatasan yang masing-masing


memiliki kelebihan dan kelemahan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
pengambil kebijakan dalam memutuskan alternatif terbaik sesuai dengan kondisi yang ada :

Lembaga yang mempertahankan mekanisme kelembagaan yang sudah saat ini dengan
memperbaiki koordinasi pada mekanisme pengelolaan secara sektoral.

Lembaga yang mempertahankan mekanisme kelembagaan yang sudah ada saat ini dengan
memperbaiki koordinasi diantara komite-komite ad-hoc yang ada.

Membentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Antarnegara (BP-KPA).

Membentuk Dewan Koordinasi Perbatasan Kawasan Perbatasan Antarnegara (DP-KPA).

Membentuk Badan Koordinasi Percepatan Pembangunan Kawasan Perbatasan Antarnegara


(BK- P2KPA)

5.2.

Rekomendasi

Di dalam menanganai pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan diperlukan suatu


lembaga pengelola perbatasan. Dari hasil kajian diperoleh beberapa alternatif bentuk lembaga
pengelola perbatasan, dan masing-masing lembaga tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Oleh
karena itu untuk memilih bentuk kelembagaan yang mana yang
Adapun untuk menentukan alternatif kelembagaan mana yang paling baik merupakan suatu hal
bersifat relatif. Setiap alternatif kelembagaan yang ditawarkan dalam kajian pada dasarnya dapat
diterapkan. Namun demikian. Setiap alternatif disamping memiliki kelebihan masing-masing, juga
memiliki kelemahan. Berdasarkan hal tersebut, agar alternatif-alternatif yang ada dapat diterapkan
secara optimal, maka dalam penerapannya diperlukan beberapa upaya pemecahan antara lain :
Alternatif I
(1) Menunjuk satu institusi yang memiliki kewenangan penuh untuk melakukan koordinasi,
perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi program Lembaga tersebut bisa
merupakan Menteri Koordinator, atau Menteri Negara memiliki kewenangan untuk
mengkoordinasikan antar sektor yang ada;
(2) Memberikan kewenangan kepada tiap-tiap sub unit di tiap Departemen/Instansi terkait untuk dapat
mengambil keputusan yang terkait dengan masalah perbatasan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing.
Alternatif II
(1) Menunjuk suatu institusi khusus yang diberikan kewenangan untuk mengkoordinasikan komitekomite yang telah ada
(2) Meningkatkan keterlibatan instansi pusat yang terkait dengan pelaksanaan kerjasama dalam komite
(3) Meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam implementasi pelaksanaan kerjasama
dalam komite.
Alternatif III
(1) Melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait;

(2) Melibatkan Pemerintah Daerah dalam perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi program;
(3) Mencari alternatif sumber dana lain untuk membiayai kelangsungan kegiatan lembaga ini,
misalnya dari hibah, kerjasama luar negri ataupun dari Pemerintah Daerah yang terkait; dan
(4) Dalam upaya memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang cukup banyak, dapat diambil dari
instansi terkait yang telah ada baik di pusat maupun di daerah.
Alternatif IV
(1) Melakukan pemantauan dan evaluasi rutin untuk menilai komitmen dan kinerja Departemen/LPND
terkait;
(2) Adanya kebijakan-kebijakan khusus dari presiden agar pelaksanaan pembangunan perbatasan
sesuai dengan rencana yang dibuat;
(3) Mengintesifkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah di dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring evaluasi program pengembangan kawasan perbatasan.
Alternatif V
(1) Mengadakan Dana Alokasi Khusus bagi kegiatan pembangunan di kawasan perbatasan untuk
dikelola oleh lembaga ini.
(2) Melakukan pemantauan dan evaluasi rutin untuk menilai komitmen dan kinerja Departemen/LPND
terkait;
(3) Dalam upaya memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia di dalam unit kesekretariatan, dapat
diambil dari instansi terkait yang telah ada baik di pusat maupun di daerah.
(4) Adanya kebijakan-kebijakan khusus dari presiden agar pelaksanaan pembangunan perbatasan
sesuai dengan rencana yang dibuat;
(5) Mengintesifkan koordinasi dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota)
di dalam perencanaan program dan pendanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi program
pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan.

DAFTAR PUSTAKA
Dakhuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta
Departemen dalam Negeri. 2004. Rancangan Keputusan Presiden tentang Rencana Induk
Pengembangan Wilayah Perbatasan NKRI. Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum. UU No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang. Jakarta
Deputi Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional Bappenas. 2004.
Perbatasan Perbatasan Terpadu. Jakarta.

Pengembangan Wilayah

Dirjen PUM Depdagri. 2005. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara dalam
Perspektif Otonomi Daerah dan Kesejahteraan Rakyat. Makalah Seminar. Jakarta.
Bratakusumah, D dan Solihin, D. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara. Jakarta.
Keputusan Presiden no. 36 Tahun 996 tentang Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah
Perbatasan dan Dasar Laut (Pankorwilnas). Jakarta.
Keputusan Presiden no. 77 Tahun 1996 tentang Dewan Kelautan Nasional. Jakarta.
Nainggolan, P Partogi. 2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia : Ancaman Terhadap
Integrasi Teritorial. Jakarta.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. 2005. Kerjasama Sosek Malindo Tingkat Daerah dalam
Pengelolaan Perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat. Makalah Seminar. Jakarta.
Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009. Jakarta
Pemerintah Provinsi Papua. 2005. Kelembagaan BPKD Provinsi Papua. Makalah Seminar. Jakarta
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional/RTRWN.
Jakarta
Sihombing, M. 2005. Pemahaman Penetapan dan Pengelolaan Perbatasan Sebagai Syarat
Terapainya Optimalisasi Pengelolan Kerjasama Perbatasan Antarnegara. Makalah Seminar.
Jakarta
Soelaiman, M. Munandar. 2002. Dinamika Masyarakat Transisi. Yogyakarta
Sudrajat. 2005. Kelembagaan Pengelolaan Perbatasan Antarnegara dalam Perspektif Pertahanan dan
Keamanan Nasional. Makalah Seminar. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai