I.
PENDAHULUAN
Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh Varicella zoster virus
(VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi
virus yang terjadi sebagai reaktivasi VZV setelah infeksi primer. Kemudian
akan masuk melalui saraf selama episode awal cacar air, menetap di ganglion
spinalis posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama
orang tua dan individu yang mengalami imunitas tubuh yang kurang. Adapun
faktor penting yang mempengaruhi penyakit ini adalah umur, obat
imunosupresif, limfoma, kelelahan, gangguan emosional, dan terapi radiasi
yang berdasarkan hasil penelitian terbukti juga dapat terlibat dalam pengaktifan
kembali virus herpes, yang kemudian perjalanan ke saraf sensorik dan
menginfeksi kembali. (1,2)
Herpes zoster merupakan reaktivasi varisella laten dan berkembang
sekitar 20% pada orang dewasa dan 50% pada orang yang mengalami
penurunan sistem imun, namun banyak laporan kasus yang menunjukkan bahwa
herpes zoster juga dapat terjadi pada remaja bahkan pada anak-anak. .(1)
Pada anak-anak dengan herpes zoster yang tidak memiliki riwayat cacar
air, kemungkinan mereka telah memperoleh penyakit cacar air sebelumnya
melalui transplasenta. Pada individu dengan imunitas menurun, herpes zoster
mungkin cukup parah dan dapat memiliki gambaran klinis yang tidak biasa,
misalnya persisten, krusta, lesi verukosa pada pasien AIDS, atau hiperhidrosis
pasca herpetik. Penyakit kulit diseminata (didefinisikan sebagai lebih dari 20
vesikel di luar area dermatom primer atau berdekatan) dan/atau keterlibatan
viseral terjadi pada sekitar 10% dari orang yang memiliki imunitas menurun.(3)
Varicella-zoster virus adalah anggota keluarga virus herpes. Spesies
lainnya patogen bagi manusia termasuk Hepes simpleks virus-1 (HSV-l) dan
HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr, Human herpes virus-6 (HHV-6) dan
HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan sarkoma kaposi yang terkait virus
herpes yang disebut HHV-8. VZV ini mengandung kapsid yang berbentuk
PATOGENESIS
Patogenesis herpes zoster pada umumnya belum diketahui. Pada awalnya
virus mencapai ganglion diduga dengan cara hematogenik, transport neural
retrograde atau keduanya, menjadi laten pada sel ganglion. Virus ini berdiam di
ganglion posterior susunan saraf tepi ganglion kranialis. Kadang-kadang virus
ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranial sehingga
memberikan gejala-gejala gangguan motorik.(1)
Selama infeksi varisella primer, virus di dalam darah akan bereplikasi
dalam kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari. Viremia
sekunder
berkembang setelah siklus kedua replikasi virus dihati, limpa, dan organ lain.
Perjalanan virus ke epidermis yang menginvasi sel-sel endotel kapiler sekitar
14-16 hari. Setelah paparan VZV kemudian perjalanan dari lesi
kulit dan
mukosa untuk menyerang akar ganglion dorsalis dimana virus tersebut masih
dapat teraktivasi dikemudian hari.(3)
Penyebab reaktivasi tidak diketahui secara pasti tetapi insideni herpes
zoster berhubungan erat dengan menurunnya imunitas terhadap VZV. Herpes
zoster juga dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi oleh stress, demam,
terapi radiasi, kerusakan jaringan (misalnya trauma). Selama herpes zoster virus
terus berepikasi pada akar ganglion dorsalis yang terkena akan menyebabkan
nyeri ganglionistis. Peradangan dan nekrosis saraf dapat mengakibatkan
neuralgia berat yang dapat menyebabkan virus menyebar ke saraf sensoris.(3,4)
Infeksi virus VZV memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster.
Ketika immunitas seluler spesifik pada VZV menurun pada level kritis,
reaktivasi virus tidak berlangsung lama. Virus akan bereplikasi dan menyebar ke
dalam ganglion. Ini dapat menyebabkan nekrosis neural dan peradangan. Proses
ini dapat juga disertai dengan adanya neuralgia yang berat. Infeksi VZV
kemudian akan menyebar ke saraf sensorik sehingga dapat menyebabkan
neuritis yang intens. Kemudian akan berlanjut ke ujung saraf di kulit sehingga
akan menghasilkan karakteristik kluster dari vesikel zoster. (4)
A.
III.
DIAGNOSIS
ANAMNESIS DAN GEJALA KLINIS
Anamnesis yang perlu ditanyakan dalam menegakkan diagnosis herpes
zoster secara umum sama seperti dalam mendiagnosis penyakit lainnya. Namun
pada herpes zoter ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien, seperti
umur, kapan keluhan tersebut mulai muncul, dimana lokasi awalnya, apakah
mengalami penyebaran atau tidak, apakah disertai rasa nyeri, panas atau
terbakar, apakah ada riwayat kontak, apakah ada riwayat keluhan sebelumnya
dan apakah telah mendapat terapi sebelumnya. Semua hal tersebut dibutuhkan
untuk menyingkirkan dignosis banding dari herpes zoster. (4)
Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase eruptif
akut dan fase kronis (neuralgia post herpetik).(2)
a. Fase pre-eruptif atau preherpetik neuralgia
Gejala prodomal yang timbul ialah rasa terbakar, gatal dan nyeri yang
terlokalisir mengikut dermatom atau belum timbul erupsi difus setelah 4-5
hari berikutnya. Tanda-tanda prediktif pada herpes zoster ialah adanya
hiperesthesi pada daerah kutaneus pre erupsi yang lunak sejajar dengan
dermatom. Disertai juga gejala demam, nyeri kepala dan malaise yang terjadi
beberapa hari sebelum gejala lesi timbul, limfadenopati regional juga bisa
terjadi pada pasien. Nyeri segmental dan gejala lain secara bertahap mereda
Gambar 1. Papuleritematosa(6)
Gambar 2 .Vesikel(6)
c.
Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan
intensitasnya tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan
anterior horn cells. Nyeri abdominal, pleura atau gangguan elektrokardiografi
yang disebabkan keterlibatan viseral. Beberapa sindrom yang disebabkan oleh
Herpes Zoster, yaitu:
a. Keterlibatan motorik
Onset terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan
melibatkan nervus spinalis. Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan
motorik. Biasanya mengikuti dermatom yang disebabkan oleh virus dan bisa
juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda. Herpes zoster pada
anogenital bisa menyebabkan adanya gangguan defekasi dan urinasi.(7)
b. Herpes zoster trigeminal
Pada kasus herpes zoster trigeminal yang biasa terjadi adalah sebanyak
dua pertiga kasus terjadi pada bagian mata. Jika ada vesikel pada hidung akan
melibatkan N.nasosiliar (hutchinsons sign). Komplikasi yang terjadi pada
okular adalah uveitis, keratitis, konjungtivitis, edema konjungtiva (chemosis),
kelemahan otot okular, proptosis, skleritis, oklusi vaskular pada retina dan
ulkus, skar serta bias terjadi nekrosis pada kelopak mata. Keterlibatan ganglia
siliaris dapat menyebabkan Argyll-Robertson pupil. Jika terjadi pada bagian
maksilaris terdapat vesikel pada uvula dan tonsil. Vesikel pada lidah, basal
mulut dan mukosa buccal menunjukkan adanya keterlibatan divisi
mandibularis. Pada zoster orofasial, sakit gigi adalah petandanya.(7)
sindroma
Ramsay-Hunt.
Tertekannnya
N.vestibulokoklearis
B.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes Smear Tzank
Hapusan lesi ditempatkan pada slide kaca dan diwarnai dengan Giemsa.
Jika hapusan positif akan menunjukan sel keratinosit yang berinti balon dan
sel multinuklear raksasa. Tes ini cepat dan murah.(8)
Metode ini dapat mendeteksi VZV lebih cepat dibandingkan dengan
kultur virus serta lebih sensitif untuk mendeteksi antigen(4)
pada saat lesi berupa vesikel agar didapatkan sel hidup dan virus akan segera
rusak jika lesi telah menjadi pustular. Pada keadaan imun rendah, VZV dapat
bertahan sampai seminggu. Meskipun kultur sangat spesifik tetapi masih
memiliki sensitivitas yang rendah dan pada gejala klinis yang khas kultur
dapat dilakukan dan biasanya Tes Tzank sudah boleh mengkonfirmasi
Herpes zoster.(8)
e. Tes serologik
Tes ini digunakan untuk mendiagnosa riwayat varisella dan herpes zoster
dan
untuk
membandingkan
stadium
akut
dan
konvalesen
(fase
DIAGNOSIS BANDING
a. Herpes Simpleks
Herpes zoster dapat muncul di daerah genital sehingga harus
didiagnosis banding dengan herpes simpleks. Sering ditemukan gejala
prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, nyeri, dan gatal.
(4)
yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas, kemudian
diikuiti oleh edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah dan menimbulkan erosi atau eksudasi.
Pada yang kronik terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin juga fisur, dan batasnya tidak jelas.(4)
Gambar 9 .Lesi pada penderita dermatitis kontak alergi pada tangan yang
memberikan gambaran adanya vesikel, erosi dan krusta (4)
c. Gigitan serangga
Herpes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga. Sebagai
contoh, penyakit kulit dermatitis marin menyerupai gejala yang dimiliki
oleh herpes zoster. Lesi dermatitis marin ini sering didapatkan sesudah
mandi di laut. Lesi mula timbul dalam waktu 4 hingga 24 jam selepas
terpapar dengan air laut dengan gejala seperti eritema, papula, macula dan
urtikaria yang disertai dengan rasa nyeri dan sensasi panas. Lesi akan
berlanjutan menjadi vesikulopapul yang akan pecah menjadi krusta,
seterusnya akan sembuh dalam jangka waktu 7 smpai 10 hari.
Dermatitis marin ini juga turut disertai dengan gejala sistemik seperti
sub-febril, menggigil serta mual, muntah, nyeri kepala, spasma otot, dan
malaise.
11
PENATALAKSANAAN
1. TERAPI TOPIKAL
Pada herpes zoster fasa akut, aplikasi kompresi dingin, losen calamine
atau soda bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan mempercepat
pengeringan pada lesi vesikuler. Salep yang oklusif, krem, atau losen yang
mengadungi glukokortikoid tidak boleh diaplikasikan pada lesi herpes zoster.
Terapi topikal pada lesi herpes zoster dengan antiviral tidak efektif. (4)
Terapi topikal yang dapat diberikan berupa Lidocaine-Containing Patch
5% dan capsaicin cream. Pada studi yang pernah dilakukan, LidocaineContaining Patch 5% diberikan pada area yang sangat sakit dan sangat efektif
sebagai obat terapi topikal pada pasien herpes zoster yang mampu mengurangi
rasa nyeri.(10)
Pasien usia lebih dari 18 tahun dengan gejala PHN lebih dari 6 bulan
direkomendasikan untuk menggunakan capsaicin cream 0,075% pada area yang
nyeri 4 kali sehari selama 6 minggu. Efek samping dari obat ini berupa rasa
terbakar, menyengat dan timbul lesi eritem pada area kulit.(10)
2. ANTIVIRUS
Tujuan utama terapi herpes zoster adalh (1) mengurangi ekstensi, durasi,
dan severitas nyeri dan ruam pada dermatom primer; (2) mencegah terjadinya
penyakit di bagian tubuh yang lain; (3) mencegah dari terjadinya post-herpetic
neuralgia.
Obat antivirus yang biasa digunakan berupa asiklovir, famsiklovir dan
valaksilovir. Mekanisme kerja ketiga obat tersebut adalah ketiga obat tersebut
dimetabolisme menjadu gugus trifosfat yang akan menghambat DNA
polimerase virus. (11)
12
Pada pasien yang normal, pemberian asiklovir oral (800 mg 5 kali sehari
selama 7 hari), famsiklovir (500 mg setiap per 8 jam untuk 7 hari), dan
valasiklovir (1 g 3 kali sehari selama 7 hari) mampu mempercepat proses
penyembuhan lesi dan durasi serta severitas nyeri akut yang dialami oleh pasien
herpes zoster (pasien dengan umur kurang dari 50 tahun) yang dirawat dalam
jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit. Pasien dengan umur
lebih dari 50 tahun dan disertai dengan lesi herpes zoster pada bagian
oftalmikus pula diberikan pengobatan seperti berikut, asiklovir (800mg peroral
sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari), atau valasiklovir (1g peroral setiap per 8
jam selama 7 hari) atau famsiklovir (500mg peroral setiap per 8 jam selama 7
hari). Pengobatan ini diberikan pada pasien yang dirawat dalam jangka waktu
72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit.(4)
Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang ringan atau pasien
HIV, diberikan asiklovir (800 mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama 7-10
hari) atau valasiklovir atau famsiklovir. Pada pasien dengan penurunan tingkat
imunitas yang berat, diberikan asiklovir (10 mg/kg secara intravena setiap per 8
jam selama 7-10 hari).(4)
Tabel Terapi Antivirus Herpes Zoster(4)
KETERANGAN
REGIMEN
Normal
Usia <50 tahun
hari
Valacyclovir 1 g tiap 8 jam selama 7
hari
Acyclovir 5 x 800 mg selama 7 hari
bagian oftalmikus
Immunocompromised
13
Mild compromised
7-10 hari
Valacyclovir 1 g tiap 8 jam selama 7-10
hari
Acyclovir 5 x 800 mg selama 7-10 hari
denganinfeksi HIV-1
Acyclovir resistance
3. KORTIKOSTEROD
Prednison memiliki manfaat dalam mereduksi nyeri dalam waktu jangka
pendek
tetapi
menigkatkan jumlah pasien yang sembuh dari nyeri herpes pada bulan pertama
dan tidak didasari dengan pemberian asiklovir atau tidak. Asiklovir dan
prednison memberikan efek yang signifikan terhadap pasien agar kembali
beraktifitas seperti biasa. Kortikosteroid dapat segera diberikan pada pasien
dengan nyeri sedang hingga berat setelah diagnosa ditegakkan. Mekanisme
kerja dari kortikosteroid menghambat proliferasi limfosit T, imunitas seluler
dan ekspresi gen. Pasien dengan kontraindikasi pemberian kortikosteroid seperti
hipertensi, diabetes, gastritis, osteoporosis, dan psikosis harus dievaluasi dengan
teliti.Terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan kombinasi obat antiviral(10)
Terapi dengan kortikosteroid oral (prednison 40 mg tiap hari selama 7 hari,
kemudian di turunkan 5 mg 2 minggu kedepan) dapat mengurangi gejala akut
(fase inflamasi) pada herpes zoster. Tetapi terapi ini dilakukan dengan
kombinasi terapi antivirus.(12)
4. ANALGESIK
Tingkat nyeri hebat yang tinggi merupakan faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya PHN dan nyeri akut juga menyebabkan sensitisasi
sentral serta genesis untuk terjadinya nyeri yang kronik. Oleh sebab itu nyeri
pada herpes zoster harus dikontrol secara agresif. Tingkat nyeri hebat ditentukan
dengan menggunakan skala nyeri yang standar dan mudah. Analgetik yang
14
diberikan adalah analgetik yang opioid dan non-opioid dengan tujuan untuk
membatasi nyeri di bawah skala 3 atau 4 dari skala 0 smpai 10 serta tidak
mengganggu siklus tidur pasien. Pilihan pengobatan, dosis, dan waktu
pemberian analgetik adalah berdasarkan tingkatan nyeri, penyakit yang
menyertai dan respon terhadap obat. Apabila nyeri masih tidak berkurang,
anastesi regional atau lokal bisa dilakukan untuk mengontrol nyeri akut.(4)
Herpes zoster yang disertai nyeri harus diterapi secara dini dan agresif.
Pengobatan ini harus menggunakan prinsip analgesic ladder, dari
paracetamol/NSAID kemudian kodein, morfin atau oxycodone. Kebutuhan
terapi analgesik meningkat seiring dengan masa perdiode akut, sehingga harus
di pantau secara teratur (setiap 2-3 hari) sampai keluhan nyeri dapat dikontrol.
(12)
5. ANTIKONVULSAN
1. Gabapentin
Terapi gabapentin pada pasien usia lebih dari 18 tahun dengan gejala PHN
lebih dari 3 bulan mampu mengurangi tingkat keparahan nyeri pada pasien
tersebut. Gabapentin diberikan sebanyak 300 mg-3600 mg (dibagi menjadi 3
dalam tiap hari) selama 4 minggu. Pasien yang tidak dapat menerima dosis
tinggi, dosis dapat diturunkan menjadi 1200 mg (dibagi menjadi 3 dalam
tiap hari). Efek samping dari obat ini berupa rasa mengantuk, pusing dan
edem perifer.
2. Pregabalin
Terapi gabapentin pada pasien usia lebih dari 18 tahun dengan gejala PHN
lebih dari 3 bulan mampu mengurangi tingkat keparahan nyeri pada pasien
tersebut. Penentuan dosis berdasarkan creatinine clearance rate (CCR)
pasien. Pasien dengan CCR >60 mL/menit diberikan dosis 3x200 mg tiap
hari. Pasien dengan CCR 30-60 mL/menit diberikan dosis 3x100 mg/hari.
Semua pasien pada awalnya diberikan dosis 3x50 mg/hari kemudian
dinaikkan menjadi 3x100mg/hari selama 2 minggu.
6. TRICYCLIC ANTIDEPRESSANTS (TCA)
Antidepressan Trisiklik (TCA) diindikasikan pada penanganan PHN.
Mekanisme kerja TCA dalah menghambat uptake norepinefrin dan serotonin.
Antidepressan trisiklik yang biasa digunakan adalah nortriptilin, amitriptilin,
15
dan desipramin dengan dosis 10 -25 mg/hari. Walaupun terbukti efektif dalam
terapi PHN, obat ini memiliki efek samping berupa mulut kering, fatigue,
dizziness, sedasi, konstipasi, retensi urin, palpitasi, hipotensi ortostatik,
kenaikan berat badan, penglihatan kabur dan pemanjangan QT. Penggunaan
obat golongan ini harus lebih hati-hati pada orang tua dan pasien dengan
riwayat aritmia kordis atau penyakit jantung. Dosis awal 10 mg setiap malam (2
jam sebelum tidur) dengan titrasi ditingkatkan 20 mg setiap 7 hari menjadi 50
mg kemudian menjadi 100 mg dan 150 mg tiap malam(13).
V.
PENCEGAHAN
Vaksin Zoster
Salah satu pencegahan terhadap herpes zoster adalah dengan cara
menstimulasi kekebalan terhadap VZV (Vaksin zoster), terutama pada pasien
yang berusia tua karena dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan oleh
herpes zoster. Vaksin zoster mengandung VZV yang telah dilemahkan.(4)
Vaksinasi pada usia 60-79 tahun dapat mencegah kira-kira setengah kasus
herpes zoster dan dua-pertiga kasus PHN serta dapat mengurangi tingkat
keparahan nyeri pada pasien. Walaupun demikian, terapi medis (terapi antivirus
dan analgesik) tetap dipertimbangkan pada episode herpes zoster tanpa
memandang status munisasi.(14)
Vaksin zoster diberikan dengan dosis 0,65 mL yang diinjeksi secara
subkutan. Efek yang timbulkan berupa rasa nyeri, bengkak dan kemerahan pada
lokasi suntikan serta dapat menimbulkan efek sakit kepala dan kelelahan.(14)
Pemberian vaksin zoster dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki
riwayat anafilaktik setelah pemberian vaksin, kehamilan, riwayat penyakit akut
yang parah (riawayat penyakit tuberkulosis paru yang tidak diobati), leukimia,
limfoma atau penyakit neoplasma ganas lainnya yang dapat mengganggu
sumsum tulang atau sistem limfatik atau dengan AIDS atau manifestasi klinis
VI.
infeksi HIV.(4)
PROGNOSIS
Prognosis bagi penyakit herpes zoster umumnya baik. Pada herpes zoster
oftalmikus, prognosis nya bergantung pada tindakan perawatan secara dini.(1)
Perawatan sejak dini dari herpes zoster dapat menghindarkan dari kompilikasi
terburuk yang dihadirkan herpes zoster ini yaitu postherpetic neuralgia.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI; 2010. p. 60-1, 110, 130-3, 382.
2. Habif T. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th
ed. USA: Mosby; 2003. p. 394-406.
17
3. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology. 2nd ed. Volume 1. Elsevier
Limited; 2008. 12.1204-1210
4. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and Herpes Zoster. In : Wolff
KG,LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld, DJ. Fitzpatricks
Deramatology In General Medicine. 8thed: McGraw Hill; 2012. p. 3388-3401
5. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia; Diagnosis and
Therapeutic Considerations. Alternative Medicine Review. 2006. 11(2): 10211.
6. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of the Skin: Clinical
Dermatology. 11th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2011. p. 372-377
7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
8th ed. Australia: Blackshell Publishing Company; 2010. p. 33.22-28
8. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary Care.
Totowa, New Jersey: Human Press; 2006. p. 335-44.
9. Behener E, Anderson. Dermatophatology. Sweden; 2006. p. 136
10. Galluzi,KE. Management Strategies for Herpes Zoster and Postherpetic
Neuralgia. J Am Osteopath Assoc. 2007;107(suppl 3): S8-S13.
11. Gunawan, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit FKUI;
2007. p. 642-645
12. Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, et.al. A Vaccine to Prevent Herpes
Zoster and Postherpetic Neuralgia in Older Adults. The New England Journal
of Medicine. 2005;352:2271-84.
13. Christopher L. Wu and Srinivasa N. Raja.An Update on the Treatment of
Postherpetic Neuralgia.Maryland. 2008; S19-S30
14.
National Centre for Immunisation Research & Surveillance. Zoster
Vaccine for Australian Adults. NCIRS Fact sheet: December 2014. p.1-7
18