Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
PT. Pratama Abadi Industri adalah perusahaan yang bergerak di bidang
pembuatan sepatu. PT. Pratama Abadi Industri adalah PMA Korea yang berdiri
semenjak tahun 1989 dengan jumlah karyawan sebanyak 14.000 orang. PT. Pratama
Abadi Industri memiliki visi, menjadi perusahaan terdepan yang tertantang untuk
kreatif dalam lingkungan global yang dinamis dan memiliki misi, menciptakan nilai
bagi pelanggan, karyawan, masyarakat serta pemilik perusahaan melalui kerjasama
dan keterbukaan yang tertuang dalam PKB (Perjanjian kerja bersama).
Salah satu cara untuk mencapai visi tersebut maka PT. Pratama Abadi Industri
sangat mengutamakan pemenuhan target produksi. Untuk memenuhi target produksi
1.000.000 pasang/bulan yaitu dengan membagi sistem produksi dalam 2 bagian yaitu
bottom dan upper. Bottom meliputi proses pembuatan outsole, sedangkan upper
adalah bagian yang mengerjakan bagian atas sepatu (upper) dan menyatukan outsole
dengan upper. Bagian bottom dibagi dalam 6 Departemen yaitu Mixing, Phylon,
Rubber Proccess, Outsole Press, Pu Puck, dan Pre-Stockfit. Bagian Upper dibagi
dalam 4 Departemen, yaitu Departemen Factory 1, Departemen Factory 2,
Departemen Factory 3, dan Departemen Factory 4.
Krisis global yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 berdampak bagi
seluruh sektor ekonomi dan indutri padat karya adalah sektor yang paling cepat
1

terkena pengaruhnya, tidak terkecuali PT Pratama Abadi Industri. Perusahaan


mengalami penurunan order hingga 70 % 80%. Hal ini disebabkan karena daya beli
masyarakat Amerika dan Eropa turun, sementara mereka adalah tujuan ekspor utama
bagi perusahaan. Banyak industri padat karya yang memilih untuk mengurangi
karyawannya untuk mempertahankan stabilitas perusahaannya. Untuk menghindari
PHK besar-besaran maka perusahaan memilih untuk merubah sistem kerja.
Perubahan pertama yang dilakukan terkait jam kerja karyawan. Ada tiga pilihan yaitu
tetap pada 5 hari kerja, kembali ke 7 hari kerja dan 2 Shift (6 hari kerja). Dengan
pertimbangan untuk menyeimbangkan biaya dengan output produksi PT. Pratama
Abadi Industri menetapkan untuk merubah jam kerja menjadi 2 shift (6 hari kerja).
Perubahan yang terjadi adalah jam kerja yang awalnya 07.00-16.00 saat ini shift
pertama dari jam 6.45-14.45 dan shift 2 dari jam 14.45-22.45. waktu 5 hari kerja
(senin-jumat), saat ini menjadi 6 hari kerja (senin-sabtu).
Perubahan

jam

kerja

tersebut

besar

kemungkinan

menimbulkan

ketidaknyamanan bagi beberapa karyawan. Seperti penuturan salah satu karyawan.


yang seharusnya sabtu bisa kumpul sama anak, suami ini malah masih kerja
aja belum lagi kalau pas kita masuk malem rasanya badan capek semua,
orang-orang pada udah pada tidur kita masih kerja. Cuma mau gimana lagi
namanya kita bantu keuangan keluarga untuk beli kebutuhan rumah tangga
(wawancara, Des 2009).

Perubahan jam kerja tersebut juga mengakibatkan karyawan tidak lagi mendapatkan
lembur sehingga ada pengurangan pendapatan setiap bulannya. Berdasarkan data

payroll perbandingan pendapatan antara karyawan shift dan non shift dapat mencapai
Rp. 400.000-Rp. 600.000.
Ketidaknyamanan yang dialami karyawan juga disebabkan oleh perbedaan
budaya kerja Indonesia dengan Korea. Budaya kerja orang Korea terkenal sebagai
budaya kerja keras. PT. Pratama Abadi Industri memperkerjakan tenaga Korea
sebanyak 41 orang dan menjabat sebagai pimpinan dari setiap departemen yang ada.
Tenaga kerja Korea tersebut umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang
rendah dan biasanya bekerja hanya mengandalkan pengalaman, sehingga untuk
pemecahan masalah sering tidak memiliki metode analisa, hanya berdasarkan trial
error semata. Selain itu, karakteristik orang Korea yang menonjol adalah ingin maju
dan tidak ingin kalah dari yang lain. Mereka saling bersaing berlomba-lomba bekerja
lebih keras daripada yang lain, orang Korea punya sifat lain yaitu hurry-hurry atau
cepat-cepat atau terburu-buru. Walaupun di banyak hal membuat suatu pekerjaan
jadi dikerjakan tergesa-gesa, sifat ini membuat segalanya bisa cepat diselesaikan
(wordpress, studi-beasiswa-Korea 2009). Menurut hasil observasi yang dilakukan
peneliti bahwa para tenaga kerja Korea selalu meminta target dapat diselesaikan
dengan cepat tetapi tidak pernah memberitahukan bagaimana cara karyawan produksi
harus mencapainya serta tidak mau memahami masalah yang dialami oleh
karyawannya. Tenaga kerja Korea sering memberi instruksi dengan nada bicara tinggi
kepada para karyawan produksi. Hal ini menjadi salah satu penyebab karyawan
merasa bosan dengan pekerjaanya karena selalu dimarahi oleh pimpinan Korea.

Indikator lain adalah meningkatnya karyawan yang berobat di klinik


perusahaan. Menurut data dari General Affair tercatat sebelum adanya sistem shift
jumlah karyawan yang berobat sebanyak 3360 perbulan dan setelah sistem shift
berlaku jumlah karyawan yang berobat sebesar 4337 perbulan. Keluhan kesehatan
yang sering muncul adalah kelelahan karena kurang tidur dan masuk angin karena
kerja shift malam. Selain itu, keadaan ini diperparah dengan meningkatnya tingkat
kecelakaan kerja yang timbul karena pada pekerja shift beban kerja menjadi lebih
berat dan membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi.
Walaupun tidak ada peningkatan dalam hal absensi/ketidakhadiran karyawan
namun terjadi peningkatan jumlah karyawan mengundurkan diri. Sebelum sistem
shift jumlah karyawan yang keluar sebanyak 248 dalam kurun waktu 9 bulan terakhir
dan setelah sistem shift berjalan mencapai 717 karyawan yang mengundurkan diri.
(Sumber: Data Payroll PT. Pratama Abadi Industri).
Dilihat dari fenomena yang dialami PT. Pratama Abadi Industri dapat
disimpulkan bahwa perubahan jam kerja menjadi sumber stress bagi karyawan. Kerja
shift/kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk
& Tepas, 1985). Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan
gangguan perut dari pada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift
terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.
Pengaruhnya adalah pengaruh secara fisik dan psikis. Karena gangguan ritme
circadian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme
pengeluaran adrenalin.
4

Tekanan dan beban tersebut menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Reaksi


yang muncul adalah berusaha menghindar dan melarikan diri dari situasi atau stressor
tersebut misalnya dengan absen/tidak masuk kerja bahkan yang lebih parah
resign/mengundurkan diri, berusaha untuk mengendalikan situasi dan berusaha
mengatasi masalah misalnya ketika sakit karyawan pergi ke klinik perusahaan.

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian sebelumnya secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan
perubahan jam kerja dari non shift menjadi sistem shift ternyata menimbulkan
dampak bagi beberapa karyawan, khususnya karyawan shift antara lain, karyawan
merasa sulit mengatur waktu dengan keluarga, menurunnya jumlah penghasilan di
setiap bulan karena tidak lagi mendapat lembur sehingga semangat kerja karyawan
menurun.
Selain itu perubahan jam kerja dari Non shift menjadi shift juga menimbulkan
dampak pada karyawan, tidak hanya fisik psikologis, sosial namun juga dampaknya
pada ekonomi. Kalau dampak dari perubahan jam kerja ini tidak dapat diatasi
dikhawatirkan akan mengganggu proses produksi dan juga dapat mengakibatkan
penurunan mutu. Karena produk yang dihasilkan juga bergantung pada karyawan
yang mengerjakannya.
Dengan perubahan shift kerja itu karyawan berusaha untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi. Perubahan itu bisa diselesaikan secara kognitif
maupun melalui perilaku dalam usaha yang dilakukan karyawan dalam usaha untuk
5

mengatasi tuntutan-tuntutan internal atau eksternal yang dianggap membebani


karyawan tersebut.
Ada beberapa karyawan yang berusaha mengurangi, meredakan dan
menurunkan beban kerja dengan cara menghindar, melupakan tuntutan pekerjaan.
Namun, adapula yang mengatasi beban atau tekanan kerja dengan cara-cara yang
konstruktif dengan tindakan nyata, mengubah situsi. Perbedaan dalam mengatasi
beban (stressor) kerja berbeda-beda pada setiap karyawan tergantung pada
penghayatan karyawan terhadap perubahan jam kerja tersebut. Dengan kata lain ada
perbedaan cara mengatasi cara karyawan dalam mengurangi beban (stressor)
perubahan jam kerja.
Dari uraian di atas peneliti ingin melihat bagaimana coping stress karyawan
PT. Pratama Abadi Industri yang mengalami perubahan jam kerja dari Non Shift
menjadi Shift.

C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk:
1.

Melihat gambaran coping stress karyawan PT. Pratama Abadi Industri


yang mengalami perubahan jam kerja dari Non Shift menjadi Shift

2.

Melihat gambaran coping stress karyawan berdasarkan data penunjang


yaitu: Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama kerja,
pendapatan per bulan, status pernikahan

3. Melihat strategi coping stress yang paling dominan yang digunakan pada
karywan PT. Pratama Abadi Industri

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai dua manfaat, manfaat teoretis dan
manfaat praktis. Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang strategi coping stress pada karyawan yang pada umumnya
mengalami perubahan jam kerja dari Non Shift menjadi Shift.
Manfaat praktisnya adalah memberi tambahan informasi kepada pihak-pihak
yang bekerja di bagian kesejahteraan dan hubungan antar karyawan tentang apa saja
yang menjadi coping stress pada karyawannya. Selain bisa juga untuk pengembangan
kinerja perusahaan dengan cara training-training, karena dengan diketahuinya
informasi seputar karyawan diharapkan dapat diadakan training-training yang tepat
guna dan bisa mengembangkan potensi karyawan.

E. Kerangka Berpikir
Perusahaan Korea dengan sistem target yang ketat membuat perubahan jam kerja
dari 5 hari kerja menjadi 6 hari kerja (2 shift), ternyata membuat beberapa karyawan
bekerja penuh tekanan sehingga membuat mereka menjadi stres, karena banyak dari
mereka menjadi merasa tidak nyaman atas perubahan jam kerja tersebut. Perubahan

jam kerja dapat menimbulkan stress pada karyawan dan memunculkan berbagai
keluhan dari karyawan.
Stres adalah suatu fenomena yang terjadi saat karyawan menghadapi tuntutan atau
situasi yang menekan dan melebihi kapasitas penyesuaian dirinya, dan fenomena
tersebut dapat mempengaruhi perilaku individu (Lazarus, 1976). Beberapa karyawan
yang biasanya bekerja non shift pindah ke shift akan merasakan perubahan fisik yang
memerlukan penyesuaian diri, contohnya karyawan merasa kurang tidur. Apabila
karyawan tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan jam
kerja, maka perubahan jam kerja bisa menjadi stressor yang mengakibatkan reaksi
stres yang berbeda pada setiap karyawan. Sementara itu perubahan dari non shift
menjadi shift, mengakibatkan adanya perubahan dalam hal struktur pendapatan, yaitu
pendapatan bagi beberapa karyawan menjadi berkurang dibandingkan dengan sistem
kerja sebelumnya. Sedangkan dalam aspek sosial beberapa karyawan mengalami
keterbatasan dalam mengatur waktunya untuk bertemu dengan sanak keluarganya.
Dengan kata lain perubahan jam kerja yang mengakibatkan perubahan pada kondisi
psikologis, fisik, sosial yang dirasakan membebani akan membutuhkan coping untuk
mengurangi atau mengatasinya (coping).
Coping merupakan usaha-usaha, baik secara kognitif maupun melalui perilaku
yang dilakukan individu untuk mengatasi tuntutan-tuntutan internal atau eksternal
yang dianggap membebani individu tersebut. (Folkman & Lazarus, 1988 dalam
Sheridan & Radmacker, 1992).

Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif adalah coping
yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta
tidak merisaukan tekananyang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan
tersebut, Cohen dan Lazarus (dalamTaylor, 1991) mengemukakan, agar coping
dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas
coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :
Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek
untuk memperbaikinya, mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang
negative,

mempertahankan

gambaran

diri

yang

positif,

mempertahankan

keseimbangan emosional, melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan


orang lain.
Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan
pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk
dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi
sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping
outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome adalah kriteria hasil coping
untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu :
Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan
dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya tekanan darah,
detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Individu dapat kembali pada
keadaan seperti sebelum ia mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali.

Coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu
kembali pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres.
Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping dinyatakan berhasil jika
coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.

Lazarus dan Folkman membagi coping stress berdasarkan fungsinya yaitu:


Problem focus coping diidentifikasi menjadi 3 yaitu pertama, Planfull problem
solving, adanya usaha atau cara karyawan mencari cara-cara yang efektif dengan
mempertimbangkanya

berulang

kali

sebelum

akhirnya

memutuskan

untuk

menyelesaikan. Apabila coping task gagal terpenuhi maka hal yang akan terjadi
karyawan tidak menemukan cara yang efektif.
Kedua, karyawan menggunakan Confrontive coping, yaitu dengan cara yang
dilakukan dengan menolak perubahan secara langsung dan menolak untuk mengubah
cara berpikirnya, melainkan berusaha untuk mengubah cara berpikir orang lain.
Kegagalan coping task ditandai dengan kegagalan mengubah cara berpikir orang lain.
Ketiga, Seeking social support yaitu mengatasi masalah yang sedang dihadapi
dengan miminta orang lain untuk memberikan dukungan. Kegagalan coping task
ditandai dengan ketidakmampuan meminta dukungan pada orang lain. Dan semua
kegagalan pemenuhan copng task tersebut dapat berakibat kegagalan pada coping
outcome.
Namun ada juga karyawan yang mengurangi beban (stressor) dengan cara
Emotion ficused coping yaitu karyawan memiliki persepsi bahwa beban (stressor)
10

yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Emotion focused coping diidentifikasi
menjadi 5 yaitu pertama, Distancing yaitu cara karyawan melakukan aktifitas lain
untuk menghindari hal yang menyebabkan stress tersebut, dengan tidak memikirkan
masalah yang dihadapi dengan serius atau dengan seolah-olah masalah tersebut tidak
ada. Kedua, Escape-avoidance yaitu dengan cara tidak mau menerima kenyataan dan
berusahan selalu lari dari situasi yang menyebabkan stress tersebut atau memikirkan
harapan-harapan tertentu bahwa yang dialami akan segera berlalu. Ketiga, selfcontrol, yaitu cara mengontrol diri atau mengontrol perasaan agar emosi tidak
menguasai pikiran dan tingkah laku. Keempat, Accepting responsibility yaitu
karyawan melakukan introspeksi, berusaha menyadari kesalahan apa yang telah
diperbuat dan di kemudian hari dapat digunakan sebagai suatu pelajaran agar tidak
melakukan kesalahan yang serupa. Kelima, Positive reappraisal, yaitu karyawan
berusaha melihat kejadian yang menyebabkan stress (menjadi beban) dari perspektif
yang berbeda maupun yang mengandung makna religi.
Gambaran tentang bagaimana gambaran stressor, stres dan coping stres pada
karyawan PT. Pratama Abadi Industri yang mengalami perubahan jam kerja dari Non
shift menjadi Shift, dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut ini.

11





    
 




!
"
# 

$%
&'

  (
)(*

  
   
 


   

 

  
"   
#  
 !
+   

Gambar 1.1 Alur kerangka berfikir

12

Anda mungkin juga menyukai