Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Perotinitis adalah inflamasi peritonium- lapisan membran serosa rongga abdomen dan
meliputi viseramerupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan lepas pada palpasi, defans
muskular dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang
melingkupi kavitas abdomendan ogran yang terletak didalamnya. Peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnya melalui perforasi usus seperti
rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang
steril. Selalin itu juga dapat disebabkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung
dari perforasiulkus atau empedu dari perforasi kantong empedu ataulaserasi hepar. Pada
wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisir pada rongga pelvis dari infeksitube falopi
aau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak ditangani dapat berakibat fatal.

Etiologi
Bentuk peritonitis paling sering adalah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksiintra abdomen tapi biasanya terjadi
pada pasien yang ascites yaitu terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga
menjadi translokasi bskteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang
terjadi penyebabran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan ascites, semakin tinggi resiko terjadinya peritonitis dsn
abses. Ini terjadi karen aikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen ascites yang
pathoge yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Colli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7% spesies pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri
gram positive yaitu straphylococus pneumoniae 15%, Staphylococus 3% selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campuran bakteri.Perotonitis tersier terjadi karenainfeksi
peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis yang adekuat, bukan
berasal dari kelaiana organ, pada pasien peritonitis sekunder biasanya timbul abses atau
flagmon dengan atau tanpa fisula.selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau
1

kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium atau
substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya
penyakit Crohn).

Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pitapita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.Peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
2

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi

tersebut

menyebabkan

mukus

yang

diproduksi

mukosa

mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks

sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga
intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga
tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,
mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum.
Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya

bersifat monomikrobial, biasanya

E. Coli, Sreptococus

atau

Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:

Spesifik : misalnya Tuberculosis


Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum

peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh

bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.


Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya

appendisitis.
C. Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis

Manifestasi klinik
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak
sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karenairitasi peritoneum.

Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis
umum.

Demam

Distensi abdomen

Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis.

Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh
dari lokasi peritonitisnya.

Nausea

Vomiting

Penurunan peristaltik.

Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma
cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan
paraplegia dan penderita geriatric. Adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang
tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral). Kemudian lama kelamaan
menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit
tertentu, misalnya : perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat/ iskemia.
Tanda-Tanda Peritonitis, yaitu sebagai berikut :

Demam tinggi
Pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia
Takikardi
Dehidrasi
Hipotensi

Pemeriksaan Diagnostik
Test laboratorium
1. Leukositosis
2. Hematokrit meningkat
3. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis
didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
4. X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam


memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen
3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah
horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi
anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 3543 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif
maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi,
penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air
fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada
ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di
kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air
fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid
level dan step ladder appearance.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dari peritonitis adalah sebagai berikut :

Eviserasi Luka.
Pembentukan abses.

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.

3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.
PENGOBATAN
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analgesik diberikan
untuk mengatasi nyeri anti emetic dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara
adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan.
Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru
dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah
atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis
atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa
tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan
abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum, maka tindakan
laparotomi diperlukan.
Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah
dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase
peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien
harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar
dilakukan laparotomi.
penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan.
f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
8

g. Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi penginfeksi dan
diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase.
h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.

Gambaran Umum Ruptur Lien


Definisi
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien
dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu
operasi. (R.sjamsuhidajat&Wim de jong, 2005)
Ruptur pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau pecahnya lien yang
merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul, secara
langsung atautidak langsung. (sjamsuhidayat&Wim dejong,1997)
Anatomi dan Fisiologi
Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat ratarata pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil setelah berumur
60 tahun sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi,
panjang 10-11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm.
Lien terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah
diafragma, terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan
peritoneum yang diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu :

Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara tumpul).


Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
Ligamentum splenorenal.

Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi kirakira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis, variasi cabang
pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang
terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum memasuki
lien. Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan inferior
sebelum memasuki hilus. Sehingga hemi splenektomi bisa dilakukan pada keadaan
tersebut.Vena lienalis bergabung dengan vena mesenterika superior membentuk vena porta.
Lien asesoria ditemukan pada 30 % kasus. Paling sering terletak di hilus lien, sekitar arteri

lienalis, ligamentum splenokolika, ligamentum gastrosplenika, ligamentum splenorenal, dan


omentum majus. Bahkan mungkin ditemukan pada pelvis wanita, pada regio presakral atau
berdekatan dengan ovarium kiri dan pada scrotum sejajar dengan testis kiri.(
Dibedakan menjadi 2 tipe :

Berupa konstriksi bagian organ yang dibatasi jaringan fibrosa.


Berupa massa terpisah.
Secara fisik, lien banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu, diafragma

kiri di superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar
adrenal di posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.
Fungsi lien dibagi menjadi 2 kategori :
a. Fungsi filtrasi
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang rusak misalnya sel darah
merahyang mengalami gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled icells,
serta membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi
b. Fungsi Imunologi
Lien termasuk dalam bagian dari sistem limfoid perifer, mengandung limfosit T matur
dan limfosit B. Lomfosit T bertangggung jawab terhadap respon cell mediate immune
(imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral.
Fungsi lien dibagi menjadi 5 kategori :

Filter sel darah merah


Produksi opsonin-tufsin dan properdin
Produksi Imunoglobulin M
Produksi hematopoesis in utero
Regulasi T dan B limfosit
Pada janin usia 5-8 bulan lien berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah

dan putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu, lien berfungsi menyaring darah,
artinya sel yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua ditahan dan
dirusak oleh sistem retikuloendotelium disana.
Lien juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri
melalui darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi. Kemampuan ini akibat adanya
mikrosirkulasi yang unik pada lien. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga
lien punya waktu untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen
partikulat dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang
respon anti bodi. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati lien.
Lien dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah, dapat
membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua akan kehilangan aktifitas
10

enzimnya dan lien yang mengenali kondisi ini akan menangkap dan menghancurkannya.
Pada asplenia kadar tufsin ada dibawah normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang
melingkupi sel sel darah putih dan merangsang fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah
tua. Properdin adalah komponen penting dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila
kadarnya dibawah normal akan mengganggu proses opsonisasi bakteri yang berkapsul seperti
meningokokkus, dan pneumokokkus.
Patofisiologi
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain
karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri
setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster
beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam
lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran
tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap
menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara
peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial kemudian.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum dan
organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini
biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi
pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari
granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel,
hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke
area abses, dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general,
kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi.
Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien yang meliputi :

Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam lainnya.
Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma. Yang sering
dicederai adalah paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah
mesenterium.
11

Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat menimbulkan


perdarahan. Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi selama jumlah trombosit >
70.000 dan waktu protrombin 20 % di atas normal.

Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau
trauma thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati,
dan pankreas. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga
kontak seperti judo, karate dan silat.Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam
jangka waktu beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh
kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena adanya tamponade sementara
pada laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang membesar secara lambat

dan kemudian pecah.


Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas,
umpamanya karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik
terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen
lain dapat terjadi pada punksi lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi 5 :
1.
2.
3.
4.
5.

Cedera kapsul
Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
Avulsi lien dilakukan splenektomi total
Hematoma subkapsuler

Manifestasi klinik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien bergantung pada adanya organ lain yang
ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik
hebat yang fatal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat
sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan pemeriksaaan abdomen secara
berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati
perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan
peritoneum).
12

Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan
intrabdomen, atau seperti ada tumor intra abdomen pada bagian kiri atas yang nyeri tekan
disertai anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang terjadi
sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus ini.
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi dengan atau
tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian
atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri
di daerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada

kurang dari separuh kasus.

Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan masa di kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya
hematom subkapsular atau omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsular
disebut tanda Ballance. Kadang darah bebas di perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak
geser.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya didapat
leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis. Bila terjadi
perdarahan akanmenurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi leukositosis. Sedangkan bila
terdapat eritrosit dalam urine akan menunjang akan adanya trauma saluran kencing.
Pemeriksaan Radiologi
Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu lien, dan lien
akan cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya mencoba untuk
mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru disadari setelah seminggu
atau sepuluh hari setelah trauma pertama. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan,
diantaranya USG, CT scan dan angiography. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT Scan
merupakan pemeriksaan pilihan utama. Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai
daerah yang kurang densitasnya dibanding lien. Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam
lien menunjukkan hematom atau laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien
menunjukkan subkapular hematom. Kadang, dengan penanganan konservatif, abses mungkin
akan terbentuk kemudian dan dapat diidentifikasi pada CT Scan karena mengandung gas.
Sensitivitas pada CT Scan tinggi, namun spesifikasinya rendah, dan kadang riwayat dan
gejala penting untuk menentukkan diagnosis banding.

13

Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah. Fraktur iga
menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada kuadran kiri atas yang menyebabkan
keadaan patologi pada lien. Fraktur iga kiri bawah terdapat pada 44 % pasien dengan

ruptur lien dan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan lebih lanjut.


Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma sebelah
kiri, atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa
dijadikan tanda yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri yang
meninggi disertai dengan trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma

lien sampai dibuktikan sebaliknya.


Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu
perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara lien.
Gambaran ini menunjukkan adanya massa pada kuadran kiri atas dan menunjukkan
adanya hematom subkapsular atau perisplenik.
Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan dari tepi
caudal bawah lien, menjadi gambaran splenomegali.
Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama, dan

massa yang ada memiliki batas yang tegas.


Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya perdarahan retroperitonial
ataudarah bebas intraabdominal terlihat kontras dengan yang disebutkan diatas.
Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot
psoas.
Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara pada kolon
desenden ke medial.
Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan darah.
Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam
dapat ditemukan.
Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis
membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial fat.

Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek karena
diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari hematom
subkapsuler atau parenkimal yaitu menetap, menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.

14

Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan formasi yang


salah dari kista.
Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma. Sekitar 80 %
terbentuk dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista serous dan kemungkinan
adanya darah telah diserap kembali semuanya.
Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis fibrosis pada
sekitar 30 % kista.
Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di dalam dan
luar batas..
Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista residual
traumatik pada area tindak endemic untuk organisme Echinococcus.
Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.
Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi dari

Echinococcus granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal geografik.


Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien dan
karakteristik gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam penyembuhan
hematom, kalsifikasi dari batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi,
kalsifikasi kavitas dapat muncul linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung

dari ukuran regresi hematom.


Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang hampir sama,
seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang menjadi
kalsifikasi yang mirip dengan hematom subkapsular.

Gambar 2. Gambaran trauma lien

15

Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of


Medicine,Department

of

Radiology.

Diakses

darihttp://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada kuadran kiri atas
dibawah diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi hematom lien

Gambar a dan b.
Gambaran cedera lienSumber : Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007, diakses
darihttp://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073pada tanggal 20-06-2011
USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen, lukaluka.USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas intraperitoneal. Darah dalam peritoneum
tampak sebagai gambaran cairan anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus
denganorgan solid disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis
traumaorgan solid atau trauma intestinal.Tujuan utama pemeriksaan USG lien pada trauma
tumpul abdomen yaitu untuk menentukanapakah ada darah di kuadran kiri atas.

Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.


Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa tanda
dapatditemukan yaitu :
Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat
dipikirkansebagai subkapsular.
Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya tidak
reguler.
Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, perdarahan
subkapsular lebih mungkin merubah bentuk lien.
16

Membran diatas subkapsular tipis dan jarang digambarkan, oleh karena itu

tidak adanya temuan ini tidak menunjukkan diagnosis.


Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat seiring
pembentukkan trombus. Hematom yang telah lama menunjukkan echogenesiti yang
samaatau lebih terang dibanding parenkim dan tetap tampak dalam 48 jam sampai
lisisdimulai. Fase echogenik biasanya sesuai dengan waktu ketika pencitraan
dilakukandalam keadaan yang paling akut. Sebagai hasil lisis, hematom kembali ke

echogenesiticairan, dan patologi ini kembali lebih jelas.


Kelainan parenkim umum yang halus.
Laserasi tampak sebagai daerah yang hipoechoic, yang dapat berbentuk tidak
teratur ataupun linear.
Infark lien mempunyai gambaran yang sama, tapi biasanya lebih baik
dapatditentukan. Infark berbentuk baji, dengan puncak mengarah ke
hilus.Dibandingkan dengan cedera traumatis dimana distribusi lebih kompleks
terlihat.
Kehalusan cedera parenkim mungkin berhubungan dengan perdarahan lokal
yangterkait. Setiap darah terjebak segera menggumpal, menjadi isoechoic
dengan jaringan sekitarnya.

Computed Tomography
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak hanya
sebagaiawal, tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani secara non-bedah. CT
juga semakin banyak digunakan untuk trauma tembus yang secara tradisional ditangani
dengan operasi.
CT pada trauma abdomen:
1. Evaluasi awal dari:
a) Trauma tumpul
b) Trauma tembus
2. Follow up dari pengelolaan non-operatif
3. Menyingkirkan adanya cedera
Tabel 1 : Grading untuk trauma lien menurut gambaran CT-Scan

17

Sumber: American Association for the Surgery of Trauma Splenic Injury Scale6
Sebuah cara untuk mengingat sistem ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Grade 1 kurang dari 1 cm.


Grade 2 adalah sekitar 2 cm (1-3 cm).
Grade 3 lebih dari 3 cm.
Grade 4 adalah lebih dari 10 cm.
Grade 5 adalah devascularization total atau maserasi.

Kelemahan grading ini adalah:


1. Sering meremehkan tingkat cedera.
2. kemungkinan variasi antar pembaca
3. Tidak memasukkan:
a. Adanya perdarahan aktif
b. Kontusio
4. Post-traumatik infark
5. Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen non-operasi (NOM)
The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the Surgery of Trauma
juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada tahun 1994, sebagai berikut:

Grade I
Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.

Grade II
Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh darah

trabecular.

Grade III
18

Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau meluas dan
terdapat ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan pembuluh darah

trabecular.
Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan devascularisasi

lebih dari 25% dari lien.


Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.

19

Anda mungkin juga menyukai