Anda di halaman 1dari 18

P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai

perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking


treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara
(contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle;
1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat
Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan
persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) UndangUndang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa
Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek
hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32
A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak.
Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B merupakan
perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan konsekuensinya
tunduk pada The Viena Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi
Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum (pendapat yang berterima umum), bahwa
di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu hukum antar
negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara
berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi bagian dari hukum
nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No
24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian internasional
antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus untuk P3B karena materinya
tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan
bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden yang salinannya disampaikan kepada
DPR (sebagai lembaga legislative). Karena lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan
Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan
pertukaran nota diplomatic antara Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku
di kedua negara mitra runding tersebut.
b. Model, Sifat, dan Tujuan Umum.
1. Model Perjanjian
Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan mobilitas
sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya
untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan
hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang
menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian
keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat
mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu
bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik
(misalnya Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang
memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1) P3B dapat
memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan domestik (misalnya pengecualian), (2)
memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan
lainnya.

Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN, atau (3)
US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju)
mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju
mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan
negara mitra runding mendasarkan pada US Model.
Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan perpajakan antara
negara anggota OECD, sebagai organisasi dari negara-negara industri maju dengan kekuatan
ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian merupakan
dasar pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para anggota domisili
berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan penerimaan.
Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap wilayah,
pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan dialami
timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan
berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada
negara domisili wajib pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan
pajak sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk
memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan
kredit pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak
domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk
menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh negara
sumber.
Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan
berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD Model, yang kebanyakan meminta
negara sumber untuk merelakan penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai sebagai
panduan P3B antara negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh karakteristik
hubungan ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh ketimpangan
arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara berkembang
lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut menyebabkan
pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian penerimaan pajak
dari objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan pemajakan negara
sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang tersebut menyebabkan
terbatasnya dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik lainnya. Selain menyebabkan
kurang kondusifnya iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan dana juga
menyebabkan tidak mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara pengutang
untuk membayar utang luar negeri dan dalam negerinya.
2. Sifat P3B
Istilah treaty dan convention sering dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan.
Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi dapat
dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya adalah .treaty..
Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan tujuan kultural dan ekonomi serta dalam
bentuk sederhana. Konvensi untuk mengeliminasi pajak berganda umumnya dirumuskan dalam
bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan hukum publik internasional, P3B
bersifat mengikat kedua negara (contracting states). Selanjutanya, menurut Knechtle (1979),
P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga mempunyai validitas internal domestik dan
menjadi self executing. Sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai
kemungkinan yang dapat bersifat restriktif atau ekspansif. Sebagai elemen dari hukum

3.
1)
2)
3)
4)

5)
6)
7)
4.

internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek, P3B membatasi aplikasi dari ketentuan
domestik (kewenangan mengenakan pajak). Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak bisa
diperoleh hanya dengan menciptakan kewajiban pajak yang tidak tersurat (ada) dalam
ketentuan domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam ketentuan domestik (dengan
ketentuan pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van Raad (1986) menyatakan
bahwa kewajiban tersebut hanya dapat dikenakan berdasarkan ketentuan domestik (misalnya
undang-undang perpajakan) dan bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan)
pajak pada ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B. Hanya
untuk tujuan aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan domestik tersebut
dikesampingkan.
Tujuan P3B
Selain untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar mobilitas global sumberdaya,
Pires (1989) menyebutkan beberapa tujuan lain dari P3B, antara lain:
melindungi wajib pajak,
mendorong atau menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
memudahkan ekspansi perusahaan negara maju,
membantu mengurangi dan menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajak,
meningkatkan kerja sama aplikasi ketentuan domestik, perbaikan perutakaran informasi dan
pengalaman perpajakan, peningkatan pengetahuan tentang kemampuan bayar wajib pajak,
perbaikan interpretasi ketentuan pajak (misalnya sehubungan dengan praktik transfer pricing),
harmonisasi kriteria pemajakan,
mencegah diskriminasi,
menumbuhsuburkan hubungan ekonomis dan sebagainya, dan meningkatkan pencegahan
penyalahgunaan perjanjian dan kerja sama dalam penetapan dan penagihan serta aktivitas
administrasi pajak lainnya.
Struktur P3B
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model
yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi
antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD,
antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model,
sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US
Model
Berikut adalah perbandingan struktur antara model OECD dan Model UN :
MODEL UN
MODEL OECD
B AB I RUANG LINGKUP
PERJANJIAN
Pasal 1 : orang dan badan yang
Pasal 1 : orang atau badan yang
Tercakup dalam perjanjian
tercakup dalam perjanjian
Pasal 2: pajak-pajak yang tercakup
Pasal 2 : pajak-pajak yang
dalam Persetujuan
tercakup
BAB II PENGERTIANPENGERTIAN
Pasal 3 : definisi-definisi umum
Pasal 3 : pengertian umum
Pasal 4 : penduduk
Pasal 4 : penduduk
Pasal 5 : bentuk usaha tetap
Pasal 5 : but
BAB III PAJAK ATAS

PENGHASILAN
Pasal 6 : penghasilan dari harta tak
gerak
Pasal 7 : laba usaha
Pasal 8 : perkapalan dan pengangkutan
udara
Pasal 9 : perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa
Pasal 10: dividen
Pasal 11: bunga
Pasal 12: royalti
Pasal 13 : keuntungan dari
pemindahtanganan harta
Pasal 14 : pekerjan bebas
Pasal 15 : pekerjaan dalam hubungan
kerja
Pasal 16 : imbalan direktur
Pasal 17 : para artis dan atlit
Pasal 18 : pensiun
Pasal 19 : pejabat pemerintah
Pasal 20 : guru dan peneliti
Pasal 21 : siswa dan pemagang
BAB IV PAJAK ATAS KEKAYAAN
Pasal 22: penghasilan lainnya
BAB V METODA PENGHINDARAN
Pasal 23: metode penghindaran pajak
berganda
BAB VI KETENTUAN KHUSUS
Pasal 24: non diskriminasi
Pasal 25 tata cara persetujuan bersama
Pasal 26 : pertukaran informasi
Pasal 27 : pejabat diplomatik dan
konsuler
Pasal 28 : berlakunya persetujuan
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29: berakhirnya persetujuan

Pasal 6 : penghasilan dari harta


tak gerak
Pasal 7 : laba usaha
Pasal 8 : pelayaran,
pengangkutan danau dan sungai,
dan penerbangan jalur
internasional
Pasal 9 : perusahan yang
mempunyai hubungan istimewa
Pasal 10: dividen
Pasal 11: bunga
Pasal 12: royalti
Pasal 13 : keuntungan karena
pemindahtanganan harta
Pasal 14 : pekerjaan bebas
Pasal 15 : hubungan pekerjaan
Pasal 16 : pembayaran untuk
direktur
Pasal 17 : para artis dan
olahragawan
Pasal 18 : pensiun
Pasal 19 : jabatan pemerintahan
Pasal 20 : mahasiswa dan pelajar
Pasal 21 : penghasilan lain-lain
Pasal 22 : kekayaan
Pasal 23: metoda pengkreditan
Pasal 24 non diskriminasi
Pasal 25 prosedur kesepakatan
bersama
Pasal 26 : pertukaran informasi
Pasal 27 : para diplomat dan
pejabat konsular
Pasal 28 : perluasan wilayah
berlakunya perjanjian
Pasal 29 : berlakunya perjanjian
Pasal 30 : penghentian perjanjian

1.16 Aplikasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

a.

b.

a)
b)
c)
d)
e)
c.

d.

Dalam mendorong efisiensi ekonomi, pemajakan merupakan salah satu pertimbangan


yang tidak begitu saja dengan mudah dapat diabaikan. Dalam sistem pajak, netralitas
dimasksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau
mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan wajib pajak untuk melakukan kegiatan ekonomi
atau investasi di dalam atau di luar negeri. Netralitas pajak menghendaki agar ketentuan
perpajakan tidak memberikan perlakuan yang berbeda atas satu kegiatan atau satu keputusan
ekonomi dari kegiatan atau keputusan ekonomi lainnya. P3B merupakan salah satu kebijakan
dalam mewujudkan netralitas pajak tersebut. Beberapa hal yang sering dialami dalam
aplikasinya meliputi:
Kedudukan P3B
Untuk mengalokasikan hak pemajakan atas kategori penghasilan tertentu kepada salah satu
negara penandatangan, P3B mempunyai ketentuan tersendiri tentang sumber penghasilan.
Dalam bahasa P3B istilah asal (originating, atau arising) lebih sering dipakai ketimbang istilah
sumber (source); Dapat terjadi bahwa kriteria penentu asal penghasilan P3B tidak sama dengan
kriteria penentu Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan berdasarkan peraturan domestik.
Dalam hal demikian, maka prioritas pemberlakuan diberikan kepada ketentuan dalam P3B.
Penentuan penduduk (residensi)
Sebagaimana telah dikemukanpada bagian awal modul ini, bahwa penentuan domisili suatu
badan usaha menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh berdasarkan kriteria (1) tempat pendirian
residence dengan memberikan ketentuan (Pasal 4 ayat (3) model OECD) .Tiebreaker Rule. ,
yaitu dengan merujuk apakah kepada (1) tempat pendirian, (2) manajemen efektif, atau (3)
kesepakatan bersama (mutual agreement procedures). Dengan merujuk kepada ketentuan solusi
tersebut, maka untuk tujuan penerapan P3B tidak terdapat residensi ganda.
Sementara itu, untuk menentukan status penduduk wajib pajak orang pribadi apabila terjadi
dual residences, ditetapkan berdasarkan:
Tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
Hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan
pokok)
Tempat kebiasaan berdiam
Kewarganegaraan;
Persetujuan bersama pejabat-pejabat yang berwenang.
Time Test untuk Penentuan BUT
Keberadaan BUT menentukan hak pemajakan bagi negara sumber. Negara sumber mempunyai
hak pemajakan penuh terhadap suatu atau kegiatan yang memenuhi kriteria BUT.
Pasal 2 ayat (5) UU PPh menentukan kriteria BUT meliputi keberadaan sarana fisik dan
terpenuhinya batas waktu tertentu (time test) untuk suatu aktivitas atau kegiatan. Dalam hal ini,
aktivitas di bidang konstruksi (membangun jalan, jembatan, bangunan dan sebagainya)
kriterianya tidak menggunakan time test. Time test digunakan untuk menentukan keberadaan
BUT pemberian jasa saja, yaitu pemberian jasa yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam 12
bulan. Namun, apabila antara Indonesia dengan negara domisili WPLN sudah ada P3B, maka
penentuan BUT dari aktivitas pemberian jasa tersebut berdasarkan time-test yang disepakati
dalam P3B.
Surat Keterangan Domisili (SKD)
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemotongan
PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku, maka untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh 26

1)

2)
3)

e.

f.

sesuai dengan P3B dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-03/PJ.101/1996 sebagai berikut :
Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada
pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan
fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang
membayar penghasilan terdaftar;
Asli SKD menjadi dasar bagi pihak yang membayar untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai
dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat
kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar
penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi yang telah
dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak
yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang
aslinya.
Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di
negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat
pada kantor pajak tempat wajib pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima
dan dipersamakan dengan surat keterangan domisili yang dibuat competent authority.
Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedures)
Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau
kedua Negara Pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan
pajak yang tidak sesuai dengan P3B, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur
oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan
masalahnya kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana ia
berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut perlakuan diskriminatif, maka
permasalahan tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada
Persetujuan di mana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu
dua tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan P3B.
Apabila keberatan yang diajukan itu cukup beralasan untuk diselesaikan dan apabila atas
masalah itu tidak dapat ditemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, pejabat yang
berwenang harus berusaha menyelesaikan masalah itu melalui prsetujuan bersama dengan
pejabat yang berwenang dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk
menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan melalui suatu
persetujuan bersama harus berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keraguraguan
yang timbul dalam penafsiran atau penerapan P3B. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama
untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan dapat
berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan tersebut. Pejabat-pejabat
yang berwenang dari Negara Pihak pada Persetujuan, melalui konsultasi, mengembangkan
tatacara, kondisi, dan tehnik yang bersifat bilateral guna pencapaian prosedur persetujuan
bersama.
Pertukaran Informasi
Adakalanya untuk kelancaran pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri, khususnya untuk
mencegah terjadinya penggelapan dan penyelundupan pajak, diperlukan informasi dari negara

1.

2.
a)
b)
c)

pihak lainnya. Untuk kelancaran pertukaran informasi (exchange of information) diatur dalam
P3B sebagai berikut:
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan akan melakukan
tukar menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan memberikan
informasi itu hanya untuk maksud tertentu tetapi juga boleh mengungkapkan informasi itu
dalam pengadilan umum atau dalam pembuatan keputusan-keputusan pengadilan.
Negara pihak tidak dapat mewajibkan negara pihak lainnya untuk :
Melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan perundangundangan
dan praktek administrasi yang berlaku di Negara itu atau di Negara Pihak lainnya pada
Persetujuan;
Memberikan informasi yang tidak mungkin diberikan di bawah perundang-undangan atau
dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara Pihak lainnya pada
Persetujuan;
Memberikan informasi yang mengungkapkan rahasia apapun di bidang perdagangan, usaha,
industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi lainnya yang
pengungkapannya bertentangan dengan kebijaksanaan umum (ordre public).
Dalam P3B atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing
mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak menurut
undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan P3B.
Setiap informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan harus dijaga
kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu diperoleh berdasarkan
perundang-undangan nasional negara tersebut. Bagaimanapun, informasi yang dianggap
rahasia itu hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk
pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau
penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan
keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam P3B

Penurunan Harga Jual adalah mark down yaitu 1 jumlah yang dikurangkan dari
harga jual apabila seorang pelanggan menjual surat berharga kepada dealer di
bursa paralel (over the countery) andaikan surat berharga dibeli dan dealer,
pelanggan harus membayar mark up atau jumlah yang ditambahkan pada harga
beli; 2 pengurangan dalam harga yang ditawarkan oleh penanggung untuk obligasi
pemerintah setelah pasar menunjukkan kekurangan minat beli pada harga orisinal;
3 penyesuaian ke bawah dan nilai sekuritas oleh bank dan perusahaan investasi,
didasarkan pada penurunan dalam penawaran pasar; 4 pengurangan dan harga jual
eceran asli, yang ditentukan dengan menambahkan suatu faktor yang disebut mark
on, pada biaya barang dagangan; apa saja yang ditambahkan pada mark on
dimasukkan kenaikan harga (mark up) dan istilah mark dowm tidak berlaku kecuali
harga diturunkan di bawah harga jual asli
DEFINISI TRANSFER PRICING
Transfer pricing adalah harga yang dibebankan satuan usaha individual dalam
suatu perseroan multisatuan usaha atas transaksi di antara mereka sendiri.
Konsep ini digunakan bila setiap satuan usaha dikelola sebagai suatu pusat

laba, yang masing-masing bertanggung jawab atas laba dari modal yang
diinvestasikan. Dengan praktek transfer pricing, perusahaan akan melaporkan
rugi sehingga tidak perlu membayar pajak.
Bukan rahasia umum untuk meminimalisasi pajak, perusahaan sering melakukan
transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak
tetap saja dipandang sebagai beban yang mengurangi kecil keuntungan. Atas
dasar itu wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi
beban pajak dengan transfer pricing. Transfer pricing merupakan terminologi
yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antarbeberapa
perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang
terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup.
Transfer pricing menyebabkan ketidakadilan dalam perpajakan karena perbedaan
struktur perusahaan. Perusahaan yang dipecah-pecah menjadi suatu grup dapat
merekayasa laba sehingga meminimalkan pajak. Sementara itu, perusahaan tunggal
harus membayar pajak seperti apa adanya. Untuk menegakkan keadilan perpajakan
dimaksud, buku Tax Law Design and Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan
dua pendekatan. Pertama, dengan merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu
negara dapat mengambil laba global grup dan mengalokasikan sebagian laba
tersebut berdasar formula tertentu kepada sumber yang berada di negaranya dan
kemudian memajaki bagian laba dimaksud.
Kedua, suatu negara dapat menentukan laba dari cabang usaha (bentuk usaha
tetap) atau anak perusahaan yang beroperasi di negaranya terpisah dari grup
berdasar harga yang wajar yang seharusnya terjadi apabila transaksi dilakukan
dengan pihak di luar grupnya (arm's length price).
Dari kedua pendekatan tersebut, UU Pajak Penghasilan (PPh) menyebut pendekatan
kedua (pendekatan harga dan laba wajar- arm's length profits). Hal ini sejalan
dengan praktik pemajakan internasional yang berterima umum dan dianjurkan
untuk negara-negara anggota OECD.
Pasal 18 ayat (2) UU PPh menegaskan pemberlakuan arm's length price dan profit
tersebut dengan memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menghitung
kembali laba fiskal dan menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat
transaksi antara pihak yang terdapat hubungan istimewa. Untuk operasionalisasi
Pasal 18 ayat (2) dimaksud. diterbitkan SE No.04/PJ.7/1993. Nampaknya Surat
Edaran ini merujuk pada Pedoman Transfer Pricing OECD tahun 1979.
Subtansi dalam Surat Edaran tersebut lebih bersifat normatif, sehingga
operasionalisasi dalam praktik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dimaklumi
karena kondisi dan istrumen pendukung upaya mengatasi transfer pricing di
Indonesia masih langka. Data pembanding harga, biaya dan laba kotor dari dunia
perdagangan, industri dan sektor lainya sulit didapatkan. Sehingga kebanyakan
koreksi dari pemeriksaan atas transfer pricing dengan mudah dapat dipatahkan
oleh wajib pajak di Pengadilan Pajak

1. Perbedaan translasi dan konversi antar mata uang asing


Translasi mata uang asing adalah Proses penyajian ulang informasi keuangan dari satu mata uang
ke mata uang lainnya. Sedangkan konversi antar mata uang asing adalah pertukaran dari satu
mata uang ke mata uang lain secara fisik.

Perbedaannya adalah, Translasi hanyalah perubahan satuan unit moneter, misalnya pada sebuah
necara yang dinyatakan dalam pound Inggris disajikan ulang ke dalam nilai ekuivalen dolar AS.
Tidak ada pertukaran fisik yang terjadi, dan tidak ada transaksi terkait yang terjadi. Sedangkan
konversi, memungkinkan adanya pertukaran fisik yang terjadi dan ada transaksi terkait yang
terjadi.
2. Istilah dalam translasi mata uang asing
1. Konversi, merupakan pertukaran suatu mata uang ke dalam mata uang lain.
2. Kurs kini, merupakan nilai tukar yang berlaku pada tanggal laporang keuangan
yang relevan.
3. Posisi aktiva bersih yang beresiko, merupakan kelebihan aktiva yang diukur
dalam atau berdenominasi dalam mata uang asing dan di translasikan dengan
menggunakan kurs kini dari kewajiban yang diukur atau berdenominasi dalam
mata uang asing dan ditranslasikan dengan menggunakan kurs kini.
4. Kontrak pertukaran forward,merupakan suatu perjanjian untuk
mempertukarkan mata uang dari Negara yang berbeda dengan menggunakan kurs
tertentu (kurs forward) pada tanggal tertentu di masa depan.
5. Mata uang fungsional, merupakan mata uang utama yang digunakan oleh suatu
perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha. Biasanya mata uang tersebut
adalah mata uang Negara dimana perusahaan itu berlokasi.
6. Kurs histories, merupakan kurs nilai mata uang asing yang digunakan pada saat
suatu aktiva atau kewajiban dalam mata uang asing dibeli atau terjadi.
7. Mata uang pelaporan, merupakan mata uang yang digunakan perusahaan dalam
menyusun laporan keuangan.
8. Kurs spot, merupakan nilai tukar untuk pertukaran mata uang dalam waktu
segera.
9. Penyesuaian translasi, merupakan penyesuaian yang timbul dari proses translasi
laporan keuangan dari mata uang fungsional suatu perusahaan menjadi mata uang
pelaporannya.
Daftar istilah translasi mata uang asing yang diadaptasi dari PSAK (SFAS) no.52, 1981.
1. Atribut, karakteristik kuantitatif suatu pos yang diukur untuk keperluan akuntansi.
Contoh, biaya histories dan biaya penggantian yang merupakan atribut suatu aktiva.
2. Konversi, pertukatan suatu mata uang ke dalam mata uang lain.

3. Kurs kini, nilai tukar yang berlaku pada tanggal laporan keuangan yang relevan.
4. Diskonto, ketika tingkat pertukaran yang berikutnya lebih rendah daripada tingkat yang
berlaku sekarang.
5. Posisi aktiva bersih yang beresiko, kelebihan aktiva yang diukur dalam atau
berdenominasi dalam mata uang asing dan ditranslasikan dengan menggunakan kurs kini
dari kewajiban yang diukur atau berdenominasi dalam mata uang asing dan ditranslasikan
dengan menggunakan kurs kini.
6. Mata uang asing, suatu mata uang selain mata uang yang digunakan oleh suatu Negara,
mata uang selain mata uang pelaporan yang digunakan oleh perusahaan.
7. Laporan keuangan dalam mata uang asing, laporan keuangan yang menggunakan
mata uang asing sebagai unit pengukuran.
8. Transaksi mata uang asing, transaksi (yaitu penjualan atau pembelian barang atau jasa,
atau utang pinjaman atau piutang usaha) dengan syarat-syarat yang dinyatakan dalam
mata uang selain mata uang fungsional perusahaan.
9. Translasi mata uang asing, proses untuk menyatakan jumlah-jumlah yang
berdenominasi atau diukur dalam suatu mata uang ke dalam mata uang yang lain dengan
menggunakan kurs nilai tukar diantara dua mata uang tersebut.
10. Operasi luar negri, suatu operasi yang menghasilkan laporan keuangan yang (1)
dikombinasikan atau dikonsolidasikan atau diperhitungkan berdasarkan metode ekuitas
dalam laporan keuangan perusahaan pelapor dan (2) disusun dalam mata uang asing
selain mata uang pelaporan perusahaan pelapor.
11. Kontak pertukaran forward, suatu perjanjian untuk mempertukarkan mata uang dari
Negara yang berbeda dengan menggunakan kurs tertentu (kurs forward) pada tanggal
tertentu di masa depan.
12. Mata uang fungsional, mata uang utama yanga digunakan oleh suatau perusahaan dalam
menjalankan kegiatan usaha, dan dalam menghasilkan atau menggunakan kasnya.
13. Kurs histories, kurs nilai tukar mata uang asing yang digunakan pada saat suatu aktiva
atau kewajiban dalam mata uang asing dibeli atau terjadi.
14. Mata uang local, mata uang suatu Negara tertentu yang digunakan; mata uang pelaporan
yang digunakan oleh suatu operasi domestic atau luar negeri.
15. Pos-pos moneter, kewajiban untuk membayar atau hak untuk menerima sejumlah unit
mata uang dalam nilai yang tetap di masa depan.

16. Mata uang pelaporan, mata uang yang digunakan perusahaan dalam menyusun laporan
keuangan.
17. Tanggal penyelesaian, tanggal saat suatu utang dibayarkan oleh suatu piutang tertagih.
18. Kurs spot, nilai tukar untuk pertukaran mata uang dalam waktu segera.
19. Tanggal transaksi, tanggal saat suatu transaksi dicatat dalam catatan akuntansi
perusahaan pelapor.
20. Penyesuaian translasi, penyesuaian yang timbul dari proses translasi laporan keuangan
dari mata uang fungsional suatu perusahaan menjadi mata uang pelaporannya.
21. Unit pengukuran, mata uang yang digunakan untuk mengukur aktiva, kewajiban,
pendapatan dan beban.
3. Perbedaan keuntungan dan kerugian translasi mata uang asing
Jika sudut pandang mata uang local yang digunakan ( sudut pandang perusahaan local),
masuknya penyesuaian translasi dalam laba berjalan tidak perlu dilakukan. Memasukkan
keuntungan dan kerugian translasi dalam laba akan mendistorsikan hubungan keuangan yang asli
dan dapat menyesatkan para pengguna informasi tersebut. Keuntungan atau kerugian translasi
harus diperlakukan dari sudut pandang mata uang local sebagai penyesuaian terhadap ekuitas
pemilik.
Jika mata uang pelaporan induk perusahaan merupakan unit pengukuran laporan keuangan yang
ditranslasikan ( sudut pandang induk perusahaan ), sangat disarankan untuk mengakui
keuntungan atau kerugian translasi laba sesegera mungkin. Sudut pandang induk perusahaan
melihat anak perusahaan luar negeri sebagai perluasan dari induk perusahaannya. Keuntungan
dan kerugian translasi mencerminkan kenaikan atau penurunan ekuitas investasi asing dalam
mata uang domestic dan harus diakui.
4. Keuntungan dan kerugian translasi mata uang asing
1. Penagguhan
Perubahan nilai ekuivalen mata uang domestic dari aktiva bersih anak perusahaan luar negeri
tidak direalisasikan dan tidak berpengaruh terhadap arus kas mata uang local yang dihasilkan
dari entitas asing. Penyesuaian translasi harus diakumulasikan secara terpisah sebagai bagian dari
ekuitas konsolidasi.
2. Pengangguhan dan Amortisasi
Penangguhan keuntungan atau kerugian translasi dan melakukan amortisasi penyesuaian ini
selama masa manfaat pos-pos neraca terkait, terutama yang terkait dengan utang akan
ditangguha=kandan diamortisasi selama umur aktiva tetap terkait, yaitu dibebankan terhadap
laba dengan cara yang sama dengan beban depresiasi atau ditangguhkan dan diamortisasi selama
sisa masa pinjaman sebagai penyesuaian terhadap beban bunga.

3. Penangguhan parsial
Keuntungan dan kerugian translasi adalah dengan mengakui kerugian sesegera mungkin setelah
terjadi, tetapi mengakui keuntungan hanya setelah direalisasikan, hal ini semata-mata hanya
karena merupakan keuntungan, tetap mengabaikan terjadinya perubahan kurs.
4. Tidak ditangguhkan
Mengakui keuntungan dan kerugian translasi dalam laporan laba rugi sesegera mungkin. Namun,
memasukkan keuntungan dan kerugian translasi dalam laba tahun berjalan akan
memperkenalkan elemen acak ke dalam laba sehingga dapat menghasilkan fluktuasi laba yang
sangat signifikan apabila terjadi perubahan kurs nilai tukar.
Keuntungan dan kerugian translasi ini mencerminkan kenaikan atau penurunan ekuitas investasi
dalam mata uang domestic dan harus diakui.
5. Pengaruh Metode translasi mata uang asing terhadap Laporan Keuangan
Walaupun sebagian besar isu teknis dalam akuntansi cenderung terpecahkan dengan sendirinya
sejalan dengan berlalunya waktu, translasi valuta asing terrnyata merupakan suatu pengecualian.
Bahwa tren ini akan terus berlanjut didukung oleh perkembangan-perkembangan seperti
runtuhnya dominasi mata uang dolar, pergerakan nilai mata uang yang disetujui oleh pemerintah,
dan globalisasi pasar-pasar modal dunia, yang telah meningkatkan pentingnya pelaporan dan
pengungkapan keuangan. Perkembangan-perkembangan seperti ini telah berperan besar
meningkatkan ketertarikan eksekutif-eksekutif keuangan, akuntan, dan komunitas keuangan pada
pentingnya dan konsekuensi-konsekuensi ekonomi dari translasi valuta asing. Mari kita lihat
hakekat dan perkembangan dari teki-teki akuntansi intemasional ini.
Single Rate Method
Berdasarkan pendekatan translasi ini, laporan keuangan operasi luar negeri, yang dianggap oleh
perusahaan induk sebagai entitas yang otonom, memiliki domisili pelaporan mereka sendiri. Ini
adalah lingkungan akuntansi lokal tempat dimana perusahaan afiliasi asing tersebut
mentraksaksikan urusan bisnisnya. Untuk mempertahankan rasa lokal dari laporan valuta,
suatu cara harus ditemukan agar translasi bisa dilaksanakan dengan distorsi yang minimal. Cara
yang paling baik adalah penggunaan metode kurs berlaku.
Karena semua laporan keuangan valuta asing sebenarnya dikalikan dengan suatu konstansta,
metode translasi ini mempertahankan hasil keuangan dan hubungan asli (misalnya. rasio-rasio
keuangan) dalam laporan konsolidasi dari entitas-entitas individual yang dikonsolidasi. Hanya
bentuk perkiraan-perkiraan luar negeri, bukan hakekatnya, yang berubah dalam metode kurs
berlaku.
Meskipun menarik dan sederhana secara konseptual, metode kurs berlaku dipersalahkan oleh
sebagian orang karena merusak tujuan dasar dari laporan keuangan konsolidasi, yaitu karena
menyajikan, untuk keuntungan pemegang saham perusahaan induk, hasil-hasil operasi dan posisi

keuangan perusahaan induk dan perusahaan-perusahaan anaknya dari perspektif valuta tunggal
yaitu. mempertahankan valuta pelaporan perusahaan induk sebagai unit pengukuran. Dalam
metode kurs berlaku, hasil-hasil konsolidasi akan mencerminkan perspekfif-perspektif valuta
dari masing-masing negara tempat dimana perusahaan-perusahaan anak berada. Misalnya, jika
sebuah aktiva dip=roleh sebuah perusahaan anak di luar negeri seharga VA 1,000 ketika kursnya
adalah VA 1=$1, maka biaya historisnya dari perspektif dolar adalah $1.000; dari perspektif
valuta lokal juga $1,000. Jika kurs berubah menjadi VA 5 = $1, biaya historis aset tersebut dari
perspektif dolar (translas biaya historis) tetap $1,000. Jika valuta lokal tetap dipertahankan
sebagai unit pengukuran, nifai aset akan diekspresikan sebesar $200 (translasi kurs berlaku).
Metode kurs berlaku juga dipersalahkan karena mengasumsikan bahwa semua aktiva-valuta
lokal dipengaruhi oleh risiko nilai tukar (yaitu, mengasumsikan bahwa fluktuasi valuta domestik
yang ekivalen, yang disebabkan oleh fluktuasi kurs translasi berjalan, merupakan indikator
perubahan nilai intrinsik aktiva-aktiva tersebut). Hat ini jarang benar karena nilai persediaan dan
aktiva-aktiva tetap di luar negeri umumnya didukung oleh inflasi lokal.
Multiple Rate Methods
Metode-metode kurs berganda mengkombinasikan nilai tukar berjalan dan historis dalam proses
translasi. 3 metode semacam itu akan dibahas berikut ini.
Metode berlaku-historis. Berdasarkan pendekatan berlaku-historis, yang populer di AS dan
ditempat-tempat lain sebelum tahun 1976, aktiva lancar dan kewajiban lancar sebuah perusahaan
anak di luar negeri ditranslasikan kedalam valuta pelaporan perusahaan induknya dengan
menggunakan kurs berlaku. Aktiva dan kewajiban non-lancar ditranslasikan dengan kurs historis.
Item-item laporan laba-rugi, kecuali beban depresiasi dan amortisasi, ditranslasikan dengan kurs
rata-rata masing-masing bulan operasi atau dengan basis rata-rata tertimbang dari seluruh
periode yang akan dilaporkan. Beban depresiasi dan amortisasi ditranslasikan dengan memakai
kurs historis yang berlaku pada saat aset yang bersangkutan diperoleh.
Metodologi ini, sayangnya, memiliki sejumlah kelemahan. Misalnya, metode ini kurang memilik
justifikasi konseptual. Definisi-definisi yang ada mengenai aktiva dan kewajiban lancar dan nonlancar tidak menjelaskan mengapa cara klasifikasi seperti itu menentukan kurs mana yang akan
digunakan dalam proses transiasi.
Metode moneter-nonmoneter. Seperti halnya metode berlaku-historis, metode moniternonmoneter memakai pola klasifikasi neraca untuk menentukan kurs translasi yang tepat.
Karena item-item moneter diselesaikan dalam kas; pemakaian kurs berlaku untuk
mentranslasikan item-item valuta asing menghasilkan valuta domestik ekivalen yang
mencerminkan nilai realisasi atau nilai penyelesaiannya.
Metode Temporal Menurut pendekatan temporal, translasi valuta merupakan suatu proses
konversi pengukuran (yaitu, penyajian ulang nilai tertentu). Karena itu, metode ini tidak dapat
digunakan untuk mengubah atribut suatu item yang sedang diukur; metode ini hanya dapat

mengubah unit pengukuran. Translasi saldo valuta asing, misalnya, hanya mengubah (restate)
denominasi persediaan. tidak penilaian aktualnya. Dalam GAAP AS, aktiva kas diukur
berdasarkan jumiah yang dimiliki pada tanggal neraca. Piutang dan hutang dinyatakan dalam
jumlah yang diharapkan akan diterima atau dibayar pada saat jatuh tempo. Kewajiban dan aktiva
lain diukur pada harga yang berlaku ketika itemitem tersebut diperoleh atau terjadi (harga
historis). Meskipun begitu, beberapa diantaranya diukur berdasarkan harga yang berlaku pada
tanggal laporan keuangan (harga berjalan), seperti persediaan dibawah aturan biaya atau pasar.
Pendek kata, ada dimensi waktu yang berkaitan dengan nilai-nilai uang ini.
Menurut Lorensen, cara terbaik untuk mempertahankan basis-basis akuntansi yang digunakan
untuk mengukur item-item valuta asing adalah dengan mentranslasikan jumlah uang luar
negerinya dengan kurs yang berlaku pada tanggal pengukuran uang luar negeri berlangsung.
Prinsip temporal dengan demikian menyatakan bahwa
uang, piutang, dan hutang yang diukur pada jumlah yang dijanjikan seharusnya ditranslasikan
memakai kurs yang berlaku pada tanggal neraca. Aktiva dan kewajiban yang diukur pada harga
uang seharusnya ditranslasikan memakai kurs yang berlaku pada tanggal yang berkenaan dengan
harga uang tersebut.
Metode translasi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis metode yang menggunakan kurs
translasi tunggal untuk menyajikan ulang saldo dalam mata uang asing ke dalam nilai ekuivalen
dalam mata uang domestic atau metode yang menggunakan berbagai macam kurs.
1. Metode Kurs Tunggal
Metode ini sudah lama popular di Eropa, menerapkan suatu kurs nilai tukar, yaitu kurs terkini
dan kurs penutupan, untuk seluruh aktiva dan kewajiban lancer. Pendapatan dan beban dalam
mata uang asing umumnya ditranslasikan dengan menggunakan kurs nilai tukar yang berlaku
pada saat pos-pos tersebut diakui. Namun demikian untuk memudahkan pos-pos ini umumnya
ditranslasikan dengan menggunakan rata-rata tertimbang kurs nilai tukar yang tepat untuk
periode tersebut. Laporan keuangan sebuah operasi asing memiliki domisili pelaporannya
sendiri, lingkungan mata uang local di mana perusahaan afiliasi asing melakukan usahanya.
Suatu aktiva atau kewajiban dalam mata uang asing dikatakan menghadapi resiko mata uang
asing jika ekuivalen dalam mata uang digunakan untuk mentranslasikan aktiva atau kewajiban
tersebut.
2. Metode Kurs Berganda
Metode Kurs Berganda menggabungkan kurs nilai tukar histories dan kurs nilai tukar kini dalam
proses translasi.
3. Metode Kini-Nonkini
Berdasarkan Metode Kini-Non Kini, aktiva lancar dan kewajiban lancer anak perusahaan luar
negeri ditranslasikan ke dalam mata uang pelaporan induk perusahaannya berdasarkan kurs kini.
Aktiva dan kewajiban tidak lancer ditranslasikan berdasarkan kurs histories. Pos-pos laporan
laba rugi (kecuali beban depresiasi dan amortisasi) ditranslasikan berdasarkan kurs rata-rata yang
berlaku dalam setiap bulan operasi atau berdasarkan rata-rata tertimbang selama keseluruhan
periode pelaporan. Beban depresiasi dan amortisasi ditranslasikan berdasarkan kurs histories
yang tercatat saaat aktiva tersebut diperoleh.
Namun demikian, metode ini tidak mempertimbangkan unsur ekonomis. Menggunakan kurs
akhir tahun untuk mentranslasikan aktiva lancer secara tidak langsung menunjukkan bahwa kas,

piutang, dan persediaan dalam mata uang asing sama-sama menghadapi resiko nilai tukar.
4. Metode Moneter-Nonmoneter
Metode Moneter-Non Moneter juga menggunakan skema klasifikasi neraca unutk menentukan
kurs translasi yang tepat. Aktiva dan kewajiban moneter ditranslasikan berdasarkan kurs kini.
Pos-pos non moneter aktiva tetap, investasi jangka panjang, dan persediaan investor
ditranslasikan dengan menggunakan kurs histories. Pos-pos laporan laba rugi ditranslasikan
dengan menggunakan prosedur yang sama dengan yang dijelaskan untuk konsep kini-non kini.
5. Metode Temporal
Dengan menggunakan metode temporal, tranlasi mata uang merupakan proses konversi
pengukuran atau penyajian ulang nilai tertentu. Metode ini tidak mengubah atribut suatu pos
yang diukur, melainkan hanya mengubah unit pengukuran. Translasi saldo-saldo dalam mata
uang asing menyebabkan pengukuran ulang denominasi pos-pos tersebut tetapi bukan penilaian
sesungguhnya. Berdasarkan GAAP AS, kas diukur berdasarkan jumlah yang dimiliki pada
tanggal neraca. Piutang dan utang dinyatakan sebesar jumlah yang diperkirakan akan diterima
atau akan dibayar pada saat jatuh temponya.
6. Evaluasi dan pemilihan metode translasi mata uang asing
Berdasarkan metode temporal, pos-pos moneter seperti kas, piutang, dan utang ditranslasikan
berdasarkan kurs kini. Pos-pos moneter ditranslasikan dengan kurs yang mempertahankan dasar
pengukuran pada awalnya. Secara khusus, aktiva yang nilainya dalam laporan mata uang asing
sebesar biaya histories, ditranslasikan berdasarkan kurs histories. Mengapa demikian? Hal ini
dikarenakan biaya histories dalam mata uang asing yang ditranslasikan dengan kurs nilai tukar
histories menghasilkan biaya histories dalam mata uang domestik.
Keempat metode yang dibahas pada satu waktu pernah digunakan di Amerika Serikat dan dapat
ditemukan hingga hari ini di berbagai Negara. Secara umum, metode ini menimbulkan hasil
translasi mata uang asing yang cukup berbeda. Ketiga metode yang pertama (metode kurs kini,
metode kini-non-kini, dan metode moneter-non-moneter) digunakan dalam mengidentifikasikan
aktiva dan kewajiban manakah yang beresiko atau dapat dilindungi dari resiko mata uang asing.
Kemudian, metode translasi diterapkan secara konsisten dengan memperhatikan perbedaan
tersebut.
MANA YANG TERBAIK?
KURS KINI YANG TEPAT
Sejauh ini istilah kurs nilai tukar yang digunakan dalam metode translasi mengacu pada histories
atau kurs kini. Kurs rata-rata sering digunakan dalam laporan laba rugi untuk pos-pos beban.
Beberapa Negara menggunakan kurs nilai tukar yang berbeda untuk transaksi yang berbeda.
Dalam situasi ini harus dipilih beberapa kurs nilai tukar yang ada. Beberapa alternative yang
disarankan adalah:
1. kurs pembayaran dividen
2. kurs pasar bebas, dan
3. kurs penalty atau preferensi yang dapat digunakan, seperti yang terkait dalam kegiatan ekspor
impor.

7. Hubungan translasi mata uang asing dengan inflasi


Penggunaan kurs kini untuk mentranslasikan biaya perolehan aktiva non-moneter yang berlokasi
di lingkungan berinflasi pada akhirnya akan menimbulkan nilai ekuivalen dalam mata uang
domestik yang jauh lebih rendah dari pada dasar pengukuran awalnya. Pada saat yang
bersamaan, laba yang ditranslasikan akan jauh lebih besar sehubungan dengan beban depresisasi
yang juga lebih rendah. Hasil translasi seperti itu dengan mudah dapat lebih menyesatkan
pembaca ketika memberikan informasi kepada pembaca. Penilaian dolar yang lebih rendah
biasanya merendahkan kekuatan laba akutal dari aktiva luar negeri yang didukung oleh inflasi
lokal dan rasio pengembalian atas investasi yang terpengaruh inflasi di suatu operasi luar negeri
dapat menciptakan harapan yang palsu atas keuntungan masa depan.
FASB menolak penyesuaian inflasi sebelum proses translasi, karena penyesuaian tersebut tidak
konsisten dengan kerangka dasar penilaian biaya historis yang digunakan dalam laporan
keuangan dasar di AS. Sebagai solusi FAS No 52 mewajibkan penggunaan dolar AS sebagai
mata uang fungsional untuk operasi luar negeri yang berdomisili dilingkungan dengan
hiperinflasi. Prosedur ini akan mempertahankan nilai konstan ekuivalen dolar aktiva dalam mata
uang asing, karena aktiva tersebut akan ditranslasikan menurut kurs historis. Pembebanan
kerugian translasi atas aktiva tetap dalam mata uang asing terhadap ekuitas pemegang saham
akan menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap rasio keuangan. Masalah translasi mata
uang asing tidak dapat dipisahkan dari masalah akuntansi untuk inflasi asing

Tax Haven
merupakan suatu bentuk negar
a yang menerapkan sistem
perpajakan yang tidak sesuai dengan standar pajak internasional.
Tax Haven
merupakan istilah yang diberikan kepada negara
negara yang tidak membebankan
pajak atau membebankan pajak dalam jumlah minimal.
Tax Haven
sendiri sudah
cuku
p dikenal oleh kalangan pebisnis karena memberikan kemudahan perpajakan dan
memiliki sistem kerahasiaan bank yang sangat ketat, oleh sebab itu sangat sulit
sekali
untuk memperoleh data informasi nasabah dari bank
bank yang beroperasi di
Tax
Haven
. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan memberlakukan sistem pajak dan

perbankan yang sedemikian rupa akan menarik para investor dan pebisnis untuk
melakukan kegiatan ekonomi disana, alhasil keadaan ini menyebabkan
Tax Haven
bercitra buruk sebagai negara surga bagi tindak pidana pencucian uang
dikarenakan
kemudahankemudahan yang diberikan tadi, maka bukan rahasia lagi kalau
Tax
Haven
akan menjadi pusat transit atau tempat penyimpanan bagi uang
uang haram
yang akan diputihkan.
double-dip menyerupai resesi yang berkelanjutan yang diselingi oleh beberapa
periode pertumbuhan, kemudian diikuti oleh penurunan panjang dalam bidang
perekonomian.
NBER tidak mendefinisikan double-dip lebih detail lagi, kata Hall yang juga profesor
ekonomi di Universitas Stanford.
Dalam Econo-Speak, Hall menjelaskan: "Gagasan Hall adalah sebuah hipotesa
karena hal ini belum terjadi - bahwa double-dip adalah aktivitas perekonomian
mungkin naik untuk jangka waktu tertentu, tetapi tidak cukup jauh untuk
menyelesaikan sebuah siklus, lalu jatuh lagi, dan akhirnya naik di atas tingkat
aslinya, lalu menyelesaikan siklus yang sempat tertunda tersebut."
Hall mengatakan kondisi Amerika Serikat yang paling dekat dengan keadaan
double-dip ini adalah pada saat terjadi resesi ekonomi di tahun 1980 dan 1981. Tapi
NBER menyimpulkan bahwa resesi di dua tahun tersebut adalah dua hal yang
berbeda dengan double-dip, meskipun memiliki keadaan yang hampir mirip, resesi
tersebut bukanlah double-dip," katanya.
Tidak demikian dengan Sung Won Sohn, profesor di California State University,
Kepulauan Channel. Sohn mengatakan resesi di era 80-an awal tersebut sesuai
dengan definisinya tentang double-dip: Sebuah resesi yang diikuti dengan sebuah
periode pendek pertumbuhan lalu diikuti kembali dengan sebuah resesi.
Brian Bethune, ekonom di IHS Global Insight, memiliki pandangan serupa dengan
pandangan Hall: Sebuah periode di mana perekonomian menyusut, mulai tumbuh
lagi dan kemudian menyusut lagi dan keadaan ini setidaknya berlangsung selama
kurang lebih enam bulan. "Tidak ada rumus matematika di sini, melainkan hanya

sebuah penilaian," kata Bethune.


NBER telah mendeklarasikan bahwa perekonomian jatuh ke dalam resesi pada
bulan Desember 2007 dan belum menunjukkan akhir sampai saat ini. Dikatakan
pula bahwa pada bulan April perekonomian akan prematur dalam hal resesi ini.

Anda mungkin juga menyukai