REFERAT
Pembimbing :
Penyusun:
PERSETUJUAN
Referat
Judul:
KEGAWATDARURATAN THT
Pada Hari
, Tanggal
2016
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul
KEGAWATDARURATAN THT.
Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Karawang
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada:
1. dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD selaku pembimbing dalam
kasus ini.
2. Dokter dan staf SMF Ilmu THT KL RSUD Karawang.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu THT KL RSUD Karawang atas
bantuan dan dukungannya.
Saya
menyadari
dalam
pembuatan
referat
ini
masih
banyak
terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama
dalam bidang ilmu penyakit dalam.
Penyusun
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap harinya, dokter-dokter yang bertugas dalam Instalasi Gawat Darurat
mendiagnosa dan mengobati berbagai kasus gangguan telinga, hidung, dan
tenggorokan (THT). Meskipun mayoritas kondisi ini tergolong tidak berbahaya,
ada beberapa gangguan THT kritis yang harus segera dikenali dan ditindaklanjuti
dengan adekuat. Referat berikut ini membahas kondisi-kondisi dalam lingkup
THT yang berpotensi mengancam nyawa, antara lain: Epistaksis, sudden deafness,
abses leher dalam, obstruksi saluran nafas atas, benda asing saluran nafas, trauma
laring, otitis eksterna maligna. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ulasan, uji
coba, dan rekomendasi telah diterbitkan yang telah maju pemahaman patofisiologi
dan mengklarifikasi sesuai diagnostik kerja-up dan pengelolaan kondisi ini.
Dengan informasi ini, diharapkan dokter-dokter dalam setting gawat darurat dapat
lebih efektif mengenali gangguan ini dan memberikan pengobatan berbasis bukti
saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Kegawatdaruratan di bidang THT :
1. Epistaksis
2. Tuli Mendadak
3. Obstruksi Saluran Napas Atas
4. Trauma Laring
5. Esofagitis Korosif
2.1 Epistaksis
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat
sebab lokal atau sebab kelainan sistemik. Epistaksis seringkali merupakan
gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering
berhenti sendiri tanpa perlu bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat
dan sulit ditangani merupakan suatu kedaruratan yang harus segera
ditanggulangi.
Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk menentukan karena sebagian besar
episode berhenti dengan sendirinya dan, karena itu, tidak dilaporkan.
Namun, dari beberapa sumber memperkirakan prevalensi kejadian seumur
hidup epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%, dengan kurang
dari 10% kasus memerlukan perhatian medis. [6, 15, 14]
Distribusi usia memiliki puncak ganda pada usia anak-anak (2-10
tahun) dan lanjut usia (50-80 tahun). Epistaksis tidak biasa terjadi pada
bayi tanpa gangguan koagulopati dan anatomi hidung (atresia choana,
neoplasma). trauma lokal biasanya tidak terjadi sampai usia balita. Remaja
juga memiliki insiden lebih jarang. Pertimbangkan penyalahgunaan obat
terlarang (kokain) pada pasien remaja. Prevalensi epistaksis cenderung
lebih tinggi pada laki-laki (58%) dibandingkan pada wanita (42%).
Klasifikasi
A. Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach yang terdiri dari ujungujung a. etmoidalis, a. sphenopalatina, a. palatine mayor, dan a. labialis
superior. Pendarahan pada epistaksis anterior jauh lebih umum,
biasanya unilateral, ringan, seringkali berulang dan dapat berhenti
sendiri.
B. Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Pendarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau
pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina.
Etiologi
A. Penyebab Lokal
Pendarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek
atau mengeluarkan ingus terlalu keias, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti pada kecelakaan lalu-lintas. Dapat juga terjadi
karena benda asing. Selain akibat trauma penyebab local juga dapat
berupa udara kering dan dingin, infeksi lokal hidung dan sinus
paranasal, pajanan zat kimiawi, dan tumor (hemangioma dan
karsinoma)
B. Penyebab Sistemik
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah sistemik seperti yang terjadi
pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes
melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat penyebab
sistemik seringkali terjadi posterior, lebih hebat dan dapat berakibat
fatal. Infeksi sistemik (dengue hemorrhagic fever, demam tifoid, dan
morbilli), kelainan kongenital (teleangiektasis hemoragik herediter,
Von Willenbrand disease), kelainan hematologi (leukemia, anemia,
Penggunaan
obat-obatan,
terutama
antitrombosit
atau
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
penunjang
khusus
hanya
dilakukan
pada
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan
perdarahan,
mencegah
komplikasi
dan
mencegah
secara
kimia
dapat
dilakukan
dengan
pada
kedua
sisi
septum,
karena
dapat
pemasangan
tampon
anterior
dengan
antibiotik
spektrum
luas.
Vaghela
(2005)
jari
untuk
memasukkan
tampon
kedalam
tampon
dengan
balon
lebih
pemasangan
mudah
tampon
dilakukan
posterior
antibiotik.
Pemasangan
tampon
dapat
menyebabkan
Epidemiologi
Ketulian pada tuli mendadak sebagian besar kasus terjadi pada satu
telinga (unilateral) dan hanya 1,7% - 2% kasus terjadi pada dua telinga
(bilateral ). Insidensi di Amerika Serikat terjadi 5-20 kasus tuli mendadak
per 100.000 penduduk pertahun. Diperkirakan dari 15.000 laporan kasus
ketulian mendadak diseluruh dunia setiap tahunnya 4000 diantaranya
terjadi di AS. Insiden tertinggi antara usia 50-60 tahun, sedangkan insiden
terendah antara usia 20-30 tahun dengan angka kejadian sama pada pria
dan wanita.
Hadjar E melaporkan di sub bagian Neurotologi THT FKUI/ RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2001
terdapat 262 pasien tuli mendadak yang merupakan 6,24 % dari seluruh
penderita ketulian dan10% dari tuli sensorineural dan 36% dari penderita
tuli akibat kelainan vaskuler. Penelitian di RSUD dr. Soetomo (1990-1993)
oleh Wiyadi7 mendapatkan 53 penderita tuli mendadak. Penelitian di
tempat yang sama oleh Wachid8 pada periode tahun 1997-2002 didapatkan
374 penderita tuli mendadak dengan distribusi jumlah penderita laki-laki
kurang lebih sama dengan penderita perempuan.10
Klasifikasi
A. Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach yang terdiri dari
ujung-ujung a. etmoidalis, a. sphenopalatina, a. palatine mayor, dan a.
labialis superior. Pendarahan pada epistaksis anterior jauh lebih umum,
biasanya unilateral, ringan, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
B. Epistaksis posterior
Penyakit gondok
Meningitis kriptokokal
Toksoplasmosis
Sipilis
10
Rubella
Perubahan mikrosirkulasi
Vertebrobasilar insufisiensi
Penyakit Cardiopulmonary
11
Kolitis ulserativa
Kekambuhan polychondritis
Lupus eritematosus
Poliarteritis nodosa
Wegener Granulomatosis
E. Obat-obat ototoksik
Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh obat-obat ototoksik. Tuli ini
biasanya didahului oleh tinitus. Sebagai aturan umum, setiap obat atau zat kimia
yang menimbulkan efek toksik terhadap ginjal dapat dan biasanya juga bersifat
ototoksik.1
Tabel. 1. Agen-agen ototoksik1
Golongan obat & zat
Antibiotik
12
Farmasetin
Kolistin
Diuretik
Furosemid
Asam etakrinat
Bumetanid
Asetazolamid
Manitol
Salisilat
Kinin
Klorokuin
Antineoplastik
Bleomisin
Nitrogen mustard
Cis-platinum
Lain-lain
Pentobarbital
Heksadin
Mandelamin
Praktolol
Zat kimia
Karbon monoksida
Minyak chenopodium
Nikotin
Zat warna anilin
Alkohol
Kalium bromat
13
Logam berat
Air raksa
Emas
Timbale
Arsen
F. Bising
Bising dengan intensitas 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan
pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Bising merupakan bunyi yang
tidak diinginkan atau yang timbul akibat getaran-getaran yang tidak teratur &
periodik.
Hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising antara
lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar
bising.
G. Trauma Kepala
Pada cedera yang mengakibatkan trauma mekanis terhadap tulang temporal,
maka dapat terjadi fraktur pada tulang tersebut, yang biasanya disertai dengan
gangguan lainnya berupa gangguan kesadaran, hematoma subduralatau
epidural.
Fraktur temporal
14
Diagnosis
A. Anamnesis
hari.13
Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka
kehilangan pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi klik
B. Pemeriksaan Fisik
15
C. Pemeriksaan Penunjang
Audiometri khusus
o Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor :
100% atau kurang dari 70%, kesan :dapat ditemukan
rekrutmen.
o Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif. Kesan : Bukan
tuli retrokoklea.
adanya
neuroma
akustik, pasien
Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental
selama 2 minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang
16
Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia,
derajat tuli saraf dan adanya faktor- faktor predisposisi. Pada umumnya
makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk
sembuh, bila telah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi
lebih kecil. Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga
tidak sembuh.8
Rata-rata usia pasien yang mengalami pemulihan sempurna adalah
40 tahun. Usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 60 tahun memiliki masa
pemulihan yang buruk. Penderita dengan gejala vertigo berat ditemukan
prognosis buruk dibanding pasien tanpa gejala vertigo. Selain itu pasien
dengan kondisi yang memperberat penyembuhan antara lain seperti DM,
riwayat minum obat ototoksik lama, viskositas darah yang tinggi, juga
memiliki prognosis lebih buruk.
17
belum mempunyai gigi molar yang lengkap dan belum dapat mengunyah
makanan dengan baik. Enam sampai delapan persen benda asing yang
teraspirasi berupa plastik yang sukar didiagnosis secara radiologik, karena
bersifat non-iritatif serta radiolusen, sehingga dapat menetap ditraktus
trakeobronkial untuk periode yang lama. Benda asing dilaring dan trakea
lebih sering terdapat pada bayi kurang dari 1 tahun. Benda asing hidung lebih
sering terjadi pada anak-anak, karena anak yang berumur 2-4 tahun
cenderung
memasukkan
benda-benda
yang
ditemukan
dan
dapat
dijangkaunya ke dalam lubang hidung, mulut atau dimasukkan oleh anak lain.
Benda asing bronkus paling sering berada di bronkus kanan, karena
bronkus utama kanan lebih besar, mempunyai aliran udara lebih besar dan
membentuk sudut lebih kecil terhadap trakea dibandingkan dengan bronkus
utama kiri. Benda asing disaluran napas dapat menjadi penyebab berbagai
penyakit paru, baik akut maupun kronis dan harus dianggap sebagai diagnosis
banding.
Patogenesis
Benda asing mati (inanimate foreign bodies) di hidung cenderung
menyebabkan edema dan inflamasi mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi,
epitaksis, jaringan granulasi dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Benda
asing hidup (animate foreign bodies) menyebabkan reaksi inflamasu dengan
derajat bervariasi, dari infeksi lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan
tulang hidung dengan membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau.
Cacing askaris dihidung dapat menimbulkan iritasi dengan derajat yang
bervariaso karena gerakannya.
Tujuh puluh lima persen dari benda asing di bronkus ditemukan pada
anak di bawah umur 2 tahun, dengan riwayat yang khas yaitu pada saat benda
atau makanan ada didalam mulut, anak tertawa atau menjerit, sehingga pada
saat inspirasi, laring terbuka dan makanan atau benda asing masuk ke dalam
laring. Pada saat benda asing itu terjepit di sfingter laring, pasien batuk
berulang-ulang (paroksismal), sumbatan di trakea, mengi dan sianosis. Bila
benda asing telah masuk ke dalam trakea atau bronkus, kadang-kadang terjadi
19
fase asimtomatik selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti oleh fase
pulmonum dengan gejala yang tergantung pada derajat sumbatan bronkus.
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan mempunyai sifat
higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air, serta
menyebabkan iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema, dan
meradang, serta dapat pula terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing,
sehingga gejala sumbatan bronkus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala
karingotrakeobronkitis, toksemia, batuk dan demam yang tidak terus-menerus
(irreguler).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih
ringan, dan lebih mudah didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik, karena
umumnya benda asing anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang
terbuat dari metal dan tipis, seperti peniti, jarum, dapat masuk ke dalam
bronkus yang lebih distal dengan gejala batuk spasmodik. Benda asing yang
lama berada dibronkus dapat menyebabkan perubahan patologik jaringan
sehingga menimbulkan komplikasi, antara lain penyakit paru kronik
supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan granulasi yang menutupi
benda asing.
Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan, katena kasus aspirasi
ditegakkan karena kasus aspirasi benda asing sering tidak segera
dibawa ke dokter pada saat kejadian. Perlu diketahui macam benda
atau bahan yang teraspirasi dan telah beberapa lama tersedak benda
asing itu.
B. Pemeriksaan Fisik
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung
pada lokasi benda asing, derajat sumbatan(total atau sebagian) sifat,
bentuk dan ukuran benda asing,
Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai kematian
sebelum diberi pertolongan, akibat sumbatan total.
20
Radiologi Konvensional
Benda asing yang bersifat radioopak dapat dibuat Ro foto segera
setelah kejadian, sedangkan benda asing radiolusen (seperti
kacang-kacangan) dibuatkan Ro foto setelah 24 jam kejadian,
karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran
radiolusen yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak
tanda atelektasis atau emfisema.
Leher dalam posisi tegak untuk penilaian jaringan lunak leher dan
pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral sangat penting
pada aspirasi benda asing. Pemeriksaan toraks lateral dilakukan
dengan lengan di belakang punggung, leher dalam fleksi dan
kepala ekstensi untuk melihat keseluruhan jalan napas dari mulut
sampai karina. Karena benda asing di bronkus sering tersumbat di
21
Video Fluoroskopi
Merupakan cara terbaik untuk melihat saluran napas secara
keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi
dan adanya obstruksi parsial.
Bronkogram
Berguna untuk benda asing radiolusen yang berada di perifer pada
pandangan endoskopi, serta perlu untuk menilai bronkiektasis akibat
benda asing yang lama berada di bronkus.
Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin dan Analisis Gas Darah diperlukan untuk mengetahui
adanya gangguan keseimbangan asam basa serta tanda infeksi traktus
trakeobronkial.
Penatalaksanaan
kirinya
diletakkan
di
atasnya.
Kemudian
dilakukan
22
diusahakan
24
bawah,
yang
menyebabkan
sesak
napas,
sehingga
Kriteria Jackson
Jackson (1936) membagi sumbatan bronkus dalam 4 tingkat
1. Sumbatan sebagian dari bronkus.
25
26
Tatalaksana: Krikotiroidektomi
Intubasi Endotrakeal
Indikasi :
-
Membantu ventilasi
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut yang berasal dari
lambung
Teknik Intubasi :
-
Posisi pasien tidur telentang, leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi.
Spatel
valekula,
lalu
Balon diisi dengan udara lalu pipa endotrakeal difiksasi dengan benar.
Harus berhati-hati dalam memasukkan pipa endotrakeal karena dapat
menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara sehingga timbul
granuloma dan stenosis laring atau trakea.
Trakeostomi
Tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk
bernapas. Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak
yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga
27
Menurut waktu dilakukan tindakan dibagi dalam : Trakeostomi darurat dan segera
dengan
persiapan
sarana
sangat
kurang
dan
Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik
(legal artis).
Indikasi :
-
keadaan
koma-Untuk
memasang
respirator
atau alat
Krokotiroidektomi
Dilakukan dengan cara membelah membran krikotiroid.
Kontraindikasi :
-
28
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat
luka sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher
selain dapat menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cedera pada
jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya. Hal
ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh
tangkai pompa air, leher membentur dashboard dalam kecelakaan waktu
mobil berhenti, tertendang, atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik,
atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri.
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,
mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan
menyembuhkan.
Seperti
kita
ketahui,
dalam
penanganan
trauma
Disability, Exposure/Environmental
control) yang
disusun
29
Epidemiologi
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun
cenderung meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan
80% kasus terjadi pada 2,5 cm diatas carina.
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea
adalah 1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah
1 dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk melaporkan 1
kasus TLT dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam yang datang ke D. Gussack
dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus trauma.
Sabina dkk melaporkan 23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring,
8 kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan belas dari 23
kasus akibat trauma tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal ini sesuai
dengan penemuan dari Lee bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4
kasus/tahun. Shelly dkk, mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700
kasus trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65
kasus tersebut (1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%)
mengalami trauma tembus.
TLT lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita. Symbas melaporkan
perbandingannya adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia produktif (1940 tahun). Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih tinggi
mobilitasnya dibandingkan dengan wanita.
Etiologi
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi
trakeostomi atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan
endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia
(cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
30
2.
3.
31
belum
terbukti
Wanita
Trakeomalacia
Tube
dengan
ganda
Pengembangan balon /
cuff berlebihan
Perawakan pendek
penggunaan
mandrain
Batuk yang terlalu keras
dan berlebihan
Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan
oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan
pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di
antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara
kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma
langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea
32
maupun laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher
dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan
intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan
menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme
lain yang cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea
yang berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang
terjadi cenderung sesuai level dari trumanya.
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai
biasanya jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang
didapat cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea
anak-anak masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun
kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak
dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal
ini disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan
jaringan submukosa dengan perikondrium.
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada
trauma
akselerasi-deselerasi
dengan
posisi
glotis
menutup
juga
akan
Trauma Tajam
Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang
paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai
adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih
banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban
menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada
trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan.1 Para penulis menyimpulkan
bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin
meningkat terutama karena kejahatan.(3)
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas,
trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka
tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas
bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis.
Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan
oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.(3)
Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas,
pernah
dilaporkan
adanya
trauma
laringotrakea
akibat
: iatrogenik
34
daerah muka, dada, dan abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi
kulit.
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak
dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,
luka sayat, luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan) juga
dapat timbul akibat trauma laring.
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring,
misalnya oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka
terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena
terjadinya asfiksia. Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan
adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang
keluar dari trakea.
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi
saja. Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan
dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam
keadaan tidak sadar dan sesak nafas.
Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya
dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu
mungkin terdapat suara parau, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma
berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring,
sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia
atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang
ditemukan di daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
-
Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada
perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru.
Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan
35
Luka tertutup
Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa
memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan
masalah di kemudian hari, yaitu kesukaran dekanulasi. Olson
berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling
lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah
lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan
menimbulkan komplikasi di kemudian hari.
umumnya
pengobatan
konservatif
dengan
istirahat
suara,
36
yang terbuka dengan gelambir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk
menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold dari silastik, porteks
atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis
pita suara, dan stenosis laring.
Prognosis
Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami
gangguan menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan
memproteksi aspirasi isi faring. Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar
atau granulasi yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma tumpul leher
cenderung mengalami komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi
dibanding pada trauma tajam. Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila
terapi definitif baru dilakukan setelah >24 jam pasca trauma.(3)
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian atau
pada saat menuju rumah sakit, dan setelah tindakan operatif-pun angka
mortalitasnya
masih
mencapai
14-25%
akibat
cedera
lain
yang
menyertai.10 Penulis lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul
jalan napas meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di
UGD.4 Mortalitas pasien dengan trauma jalan napas dilaporkan berkisar 15-30%
dan biasanya disebabkan karena syok yang irreversibel, aspirasi masif darah,
cedera vaskuler di daerah servikotorakal dan cedera organ ikutan.4 Namun Lee
dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab kematian tersering pada trauma
laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi darah.1 Mortalitas pada
trauma tumpul lebih besar dibanding pada trauma tajam, dilaporkan pada trauma
tumpul 40% sedangkan pada trauma tajam hanya 20%.(3)
37
basa kuat dan zat organik.Zat kimia yang tertelan dapat bersifat korosif
atau toksik. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan
pada saluran yang dilaluinya sedangkan zat kimia yang bersifat toksik
hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.1
Epidemiologi
Sebanyak 75% dari kasus esofagitis korosif disebabkan oleh basa
kuat, 20 % oleh asam kuat.Asam kuat menyebabkan banyak luka
superfisial
pada
esofagus,
namun
pada
lambung
lebih
banyak
yang
dilaporkan
dari
American
Association
of
Poison
38
sering
terkena
dan
paling
parah
tingkat
2. Asam kuat
Kerusakan jaringan akibat tertelan asam kuat bersifat
nekrosis menggumpal (coagulation necrosis), terjadi proses
denaturasi protein superfisial yang akan menimbulkan
bekuan, krusta atau keropeng yang dapat melindungi
jaringan di bawahnya dari kerusakan. Lambung merupakan
organ yang paling sering terkena pada kasus tertelan asam
kuat.Keropeng
dan
bekuan
protein
yang
terbentuk
Contoh
Basa
cairan
pembersih,
baterai),
calcium
dan
Diagnosis
A. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat
korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien
berupa rasa terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat serta
bisa juga mengeluhkan susah menelan.
B. Pemeriksaan fisik
Selain penegakan diagnosis dan autoanamnesis atau alloanamnesis yang
cermat
serta
diperlukan
bukti-bukti
yang
diperoleh
ditempat
C. Pemeriksaan Laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila
terdapat tanda-tanda gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit
darah.11
Dapat juga dilakukan beberapa pemeriksaan diantaranya :11
a.
b.
D. Pemeriksaan Radiologik
Foto rontgen toraks postero-anterior dan lateral perlu dilakukan
untuk mendeteksi adanya perforasi seperti udara pada mediastinum,
pneumotorak,cairan pada pleura, atau gambaran udara bebas dibawah
diafragma.12
Pemeriksaan
(esofagogram)
rontgen
tidak banyak
esofagus
menunjukan
dengan
kontras
kelainan
barium
pada stadium
41
Gambar 10.
Gambaran radiologis Saluran cerna bagian
atas menunjukan esofagus striktur pada pasien
yang memiliki riwayat menelan larutan alkali.
(Diambil dari kepustakaan 3)
ii.
Fase Laten
42
Gambar 12.
Gambar C menunjukan esofagogram hari ke 13
setelah minum larutan asam.Dapat terlihat batasan
yang memendek (panah putih) dan batasan yang
panjang di esofagus distal (panah hitam).Gambar D
menunjukan esofagogram hari ke 23 setelah
menelan larutan asam.Terdapat 2 area stenosis.
(dikutip dari kepustakaan 12)
iii.
Fase kronik
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah
terbentuk jaringan parut, sehingga terjadi striktur esofagus.11
E. Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di
esofagus. Pada esofagoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema
dan kadang-kadang ditemukan ulkus.2,11
Derajat luka Esofagitis korosif berdasarkan hasil Endoskopi
Derajat 0
Hasil dari endoskopi normal
Derajat 1
Derajat 2a
Derajat 2b
Derajat 3a
Derajat 3b
Nekrosis yang luas
Tabel 1. Derajat luka Esofagitis korosif berdasarkan hasil Endoskopi
(Diambil dari kepustakaan 3)
Penatalaksanaan
43
A. Perawatan Umum
i.
ii.
B. Terapi Medik
i.
ii.
Kortikosteroid
diberikan
untuk
mencegah
terjadinya
C. Esofagoskopi
i.
ii.
D. Pembedahan
i.
untuk
operasi
lebih
awal
dapat
kriteria
endoskopi
dapat
menolong
untuk
45
46
BAB III
KESIMPULAN
47
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,
surveillance, and control. 2009.
2. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits :
Serovars of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to
the hospitals of Semarang. Konas PETRI, 2002.
3. Lau C et al. Leptospirosis: an emerging disease in travellers. Travel
Med Infect Dis. 2010 Jan;8(1):339.
4. Zein U. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV.
Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
1823-5.
5. Longo, Dan L., et.al. Harrisons Priciples of Internal Medicine, 18th edition.
US: The McGraw-Hill Companies. 2012. 1048-51
6. Meites E, Jay MT, Deresinski S. Reemerging leptospirosis, California.
Emerg Infect Dis 2004; 10:406412.
7. Cook GC, Zumla A. Mansons Tropical Disease, 22 rd edition. US: Saunders
Ltd. 2008. 1164-6.
8. Papadakis M, Mcphee SJ, Rabow MW, Current Medical Diagnosis and
Treatment, 52nd edition. US: The McGraw-Hill Companies. 2013. 1477-9.
9. Dutta TK,Christopher M. Leptospirosis-An Overview. Review Article.
JAPI Vol 53 June 2005
10. Jaurguiberry S, Roussel M, BrinchaultRabin G. Clinical presentation of
leptospirosis: a retrospective study of 34 patients admitted to a single
institution in metropolitan France. Eur J Clin Microbiol Infect Dis
2005;11:391394.
11. Faine S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva WHO, 1982.
12. Dolhnikoff M, Mauad T, Bethlem EP, Carvalho CR. Pathology and
pathophysiology of pulmonary manifestations in leptospirosis. Braz J Infect
Dis. 2007 Feb. 11(1):142-8.
13. Brett-Major DM, Coldren R. Antibiotics for leptospirosis. Cochrane
Database Syst Rev. 2012 Feb 15. 2:CD008264.
14. Meaudre E, Asencio Y, Montcriol A, Martinaud C, Graffin B, Palmier B, et
al. [Immunomodulation in severe leptospirosis with multiple organ failure:
plasma exchange, intravenous immunoglobulin or corticosteroids?].Ann Fr
Anesth Reanim. 2008 Feb. 27(2):172-6.
15. Trivedi SV, Chavda RK, Wadia PZ, Sheth V, Bhagade PN, Trivedi SP, et al.
The role of glucocorticoid pulse therapy in pulmonary involvement in
leptospirosis. J Assoc Physicians India. 2001 Sep. 49:901-3.
48
doxycyclin,
and
cefotaxime
for
patients
with
severe
49