Anda di halaman 1dari 53

KEGAWATDARURATAN THT

REFERAT

Pembimbing :

dr. Aditya Sp. THT


dr. Bima Sp. THT

Penyusun:

Maximillion Levin Anggasaputra


NIM : 030 11 181

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT - KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, FEBRUARI 2016

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN
Referat

Judul:
KEGAWATDARURATAN THT

Nama Koas: Maximillion Levin Anggasaputra


NIM 030.11.181

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari

, Tanggal

2016

Pembimbing

dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul
KEGAWATDARURATAN THT.
Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Karawang
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada:
1. dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD selaku pembimbing dalam
kasus ini.
2. Dokter dan staf SMF Ilmu THT KL RSUD Karawang.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu THT KL RSUD Karawang atas
bantuan dan dukungannya.
Saya

menyadari

dalam

pembuatan

referat

ini

masih

banyak

terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama
dalam bidang ilmu penyakit dalam.

Jakarta, 22 Februari 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

ii

Lembar Persetujuan Pembimbing..........................................................................i


Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar isi................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan...1
BAB II Pembahasan..............................................................................................2
Definisi...........................................................................................................2
Struktur dan Morfologi...................................................................................3
Epidemiologi..................................................................................................5
Patogenesis dan Patofisiologi.........................................................................9
Manifestasi Klinis...........................................................................................11
Komplikasi.....................................................................................................17
Diagnosis.........................................................................................................18
Diagnosis Banding...........................................................................................25
Tatalaksana......................................................................................................27
Pencegahan......................................................................................................28
Prognosis.........................................................................................................32
BAB III Kesimpulan..............................................................................................34
Daftar Pustaka.......................................................................................................35

iii

BAB I
PENDAHULUAN
Setiap harinya, dokter-dokter yang bertugas dalam Instalasi Gawat Darurat
mendiagnosa dan mengobati berbagai kasus gangguan telinga, hidung, dan
tenggorokan (THT). Meskipun mayoritas kondisi ini tergolong tidak berbahaya,
ada beberapa gangguan THT kritis yang harus segera dikenali dan ditindaklanjuti
dengan adekuat. Referat berikut ini membahas kondisi-kondisi dalam lingkup
THT yang berpotensi mengancam nyawa, antara lain: Epistaksis, sudden deafness,
abses leher dalam, obstruksi saluran nafas atas, benda asing saluran nafas, trauma
laring, otitis eksterna maligna. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ulasan, uji
coba, dan rekomendasi telah diterbitkan yang telah maju pemahaman patofisiologi
dan mengklarifikasi sesuai diagnostik kerja-up dan pengelolaan kondisi ini.
Dengan informasi ini, diharapkan dokter-dokter dalam setting gawat darurat dapat
lebih efektif mengenali gangguan ini dan memberikan pengobatan berbasis bukti
saat ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Kegawatdaruratan di bidang THT :
1. Epistaksis
2. Tuli Mendadak
3. Obstruksi Saluran Napas Atas
4. Trauma Laring
5. Esofagitis Korosif
2.1 Epistaksis
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat
sebab lokal atau sebab kelainan sistemik. Epistaksis seringkali merupakan
gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering
berhenti sendiri tanpa perlu bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat
dan sulit ditangani merupakan suatu kedaruratan yang harus segera
ditanggulangi.
Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk menentukan karena sebagian besar
episode berhenti dengan sendirinya dan, karena itu, tidak dilaporkan.
Namun, dari beberapa sumber memperkirakan prevalensi kejadian seumur
hidup epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%, dengan kurang
dari 10% kasus memerlukan perhatian medis. [6, 15, 14]
Distribusi usia memiliki puncak ganda pada usia anak-anak (2-10
tahun) dan lanjut usia (50-80 tahun). Epistaksis tidak biasa terjadi pada
bayi tanpa gangguan koagulopati dan anatomi hidung (atresia choana,
neoplasma). trauma lokal biasanya tidak terjadi sampai usia balita. Remaja
juga memiliki insiden lebih jarang. Pertimbangkan penyalahgunaan obat
terlarang (kokain) pada pasien remaja. Prevalensi epistaksis cenderung
lebih tinggi pada laki-laki (58%) dibandingkan pada wanita (42%).

Klasifikasi
A. Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach yang terdiri dari ujungujung a. etmoidalis, a. sphenopalatina, a. palatine mayor, dan a. labialis
superior. Pendarahan pada epistaksis anterior jauh lebih umum,
biasanya unilateral, ringan, seringkali berulang dan dapat berhenti
sendiri.
B. Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Pendarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau
pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina.
Etiologi
A. Penyebab Lokal
Pendarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek
atau mengeluarkan ingus terlalu keias, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti pada kecelakaan lalu-lintas. Dapat juga terjadi
karena benda asing. Selain akibat trauma penyebab local juga dapat
berupa udara kering dan dingin, infeksi lokal hidung dan sinus
paranasal, pajanan zat kimiawi, dan tumor (hemangioma dan
karsinoma)
B. Penyebab Sistemik
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah sistemik seperti yang terjadi
pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes
melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat penyebab
sistemik seringkali terjadi posterior, lebih hebat dan dapat berakibat
fatal. Infeksi sistemik (dengue hemorrhagic fever, demam tifoid, dan
morbilli), kelainan kongenital (teleangiektasis hemoragik herediter,
Von Willenbrand disease), kelainan hematologi (leukemia, anemia,

hemophilia), dan penggunaan obat-obatan anti pembekuan darah juga


dapat menyebabkan epistaksis.
C. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu dapat ditemukan. Diperkirakan 10%
dari kasus epistaksis tidak memiliki penyebab yang jelas bahkan
setelah pemeriksaan seksama.
Diagnosis
A. Anamnesis

Derajat keparahan, frekuensi, dan durasi epistaksis

Sisi yang mengalami perdarahan; unilateral atau bilateral

Riwayat trauma, epistaksis sebelumnya, mudah lebam,


hipertens, peyakit hati, leukemia, penyakit sistemik lainnya

Penggunaan

obat-obatan,

terutama

antitrombosit

atau

antikoagulan harus ditanyakan


B. Pemeriksaan Fisik

Periksa kavum nasi secara menyeluruh dengan speculum nasal.


Dapat juga sambil diberikan vasokonstriktor 1/5.000 s/d
1/10.000 dan pantokain atau lidokain 2% selama 10-15 menit
untuk membantu menentukan titik perdarahan dan mengurangi
nyeri. Jika perdarahan tidak berhenti setelah pemasangan
tampon, darah keluar dari kedua lubang hidung, dan darah terus
mengalir di faring posterior, pertimbangkan kemungkinan
epistaksis posterior.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan

penunjang

khusus

hanya

dilakukan

pada

kecurigaan koagulopati atau adanya perdarahan massif.

Laboratorium: darah lengkap dan profil hemostasis (waktu


perdarahan, PT, aPTT, dan INR)

Radiologis: MRI atau CT-Scan untuk pasien dengan kecurigaan


keganasan atau benda asing yang sulit dilihat dengan
pemeriksaan fisik.

Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan

perdarahan,

mencegah

komplikasi

dan

mencegah

berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa


dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan
dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam
keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap
untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas
yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau
pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan
selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 5 menit. Dengan cara ini
dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior
atau posterior. (FKUI, 2007)
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah
perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit,
hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam
keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan
defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,
masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur
diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi
kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian
transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian
cairan. (Munir, 2006)
a. Tatalaksana Epistaksis Anterior
1. Kateurisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi
lokal dengan menggunakan tampon kapas yang telah
dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan
5

epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal


dan penilefrin 0.5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga
hidung dan dibiarkan selama 5 10 menit untuk
memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.
Kauterisasi

secara

kimia

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau dengan


asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan
larutan asam triklorasetat 40 70%. Setelah tampon
dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan
tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan
akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak
dilakukan

pada

kedua

sisi

septum,

karena

dapat

menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia


dapat digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005)
menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis
yang ditelitinya. (Munir, 2006)
2. Tampon anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila
sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka
diperlukan

pemasangan

tampon

anterior

dengan

menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin


atau salap antibiotik. Tampon dipasang sebanyak 2-4 buah
dan dipertahankan selama 2x24 jam. Diberikan juga kepada
pasien

antibiotik

spektrum

luas.

Vaghela

(2005)

menggunakan swimmers nose clip untuk penanggulangan


epistaksis anterior.
b. Epistaksis Posterior
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan
anestesi umum atau setidaknya dengan anestesi lokal yang
adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya

darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan


tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan
oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat
dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil
melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya
dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar
dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan.
Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga
tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.
Bantuan

jari

untuk

memasukkan

tampon

kedalam

nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih


tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat
pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.
Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat
pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung,
supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi
pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2 3 hari.
2. Tampon Balon
Pemakaian
dibandingkan

tampon
dengan

balon

lebih

pemasangan

mudah
tampon

dilakukan
posterior

konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol


epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu:
kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang
ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F
diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat
di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc
larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior
sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika
dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa
sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon.
7

Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi


dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping
hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol
perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
(Vaghela, 2005)

Komplikasi dan Pencegahan


Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri
atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Pada
perdarahan yang hebat dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah
kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan
gagal ginjal.
Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan
hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark
miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian
infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh
darah yang terbuka dapat menyebabkan terjadinya infeksi, sehingga perlu
diberikan

antibiotik.

Pemasangan

tampon

dapat

menyebabkan

rinosinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh


karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan
tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila
perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Pemasangan tampon
posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole
atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat
dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh
dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.
2.2 Tuli Mendadak
Definisi
Tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya
adalah sensorineural, Kriteria yang biasa digunakan adalah gangguan

pendengaran sensorineural yang lebih besar dari 30 dB, lebih dari 3


frekuensi yang berdekatan dan terjadi dalam periode < 3 hari. Sebagian
besar kasus biasa terjadi unilateral dan dengan prognosis cukup baik.

Epidemiologi
Ketulian pada tuli mendadak sebagian besar kasus terjadi pada satu
telinga (unilateral) dan hanya 1,7% - 2% kasus terjadi pada dua telinga
(bilateral ). Insidensi di Amerika Serikat terjadi 5-20 kasus tuli mendadak
per 100.000 penduduk pertahun. Diperkirakan dari 15.000 laporan kasus
ketulian mendadak diseluruh dunia setiap tahunnya 4000 diantaranya
terjadi di AS. Insiden tertinggi antara usia 50-60 tahun, sedangkan insiden
terendah antara usia 20-30 tahun dengan angka kejadian sama pada pria
dan wanita.
Hadjar E melaporkan di sub bagian Neurotologi THT FKUI/ RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2001
terdapat 262 pasien tuli mendadak yang merupakan 6,24 % dari seluruh
penderita ketulian dan10% dari tuli sensorineural dan 36% dari penderita
tuli akibat kelainan vaskuler. Penelitian di RSUD dr. Soetomo (1990-1993)
oleh Wiyadi7 mendapatkan 53 penderita tuli mendadak. Penelitian di
tempat yang sama oleh Wachid8 pada periode tahun 1997-2002 didapatkan
374 penderita tuli mendadak dengan distribusi jumlah penderita laki-laki
kurang lebih sama dengan penderita perempuan.10
Klasifikasi
A. Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach yang terdiri dari
ujung-ujung a. etmoidalis, a. sphenopalatina, a. palatine mayor, dan a.
labialis superior. Pendarahan pada epistaksis anterior jauh lebih umum,
biasanya unilateral, ringan, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
B. Epistaksis posterior

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri


sfenopalatina. Pendarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti
sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis
atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina.
Etiologi
Penyebab pasti kadang sulit untuk diketahui, umumnya diakibatkan
gangguan pada saraf telinga (pada rumah siput/koklea) oleh berbagai hal
seperti: trauma kepala, bising yang keras, infeksi virus, perubahan tekanan
atmosfir dan adanya kelainan darah., autoimun, obat ototoksik, dan rupture
membrane labirin. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah
iskemia koklea dan infeksi virus.8
A. Virus
Ketulian mendadak sensorineural ditemukan pada kasus-kasus
penyakit MUMPS, measles, rubella, dan influenza yang disebabkan
oleh infeksi adenovirus dan sitomegalovirus (CMV). Pemeriksaan
serologis terhadap pasien dengan ketulian sensorineural idiopatik
menunjukkan adanya peningkatan titer antibody terhadap sejumlah
virus. Antara 25-30 % pasien dilaporkan dengan riwayat infeksi
saluran nafas atas dengan kurang satu bulan onset kehilangan
pendengaran.
Contoh Infeksi yang dapat menyebabkan tuli mendadak :

Herpesvirus (simpleks, zoster, varisela, sitomegalovirus)

Penyakit gondok

Human immunodeficiency virus

Meningitis kriptokokal

Toksoplasmosis

Sipilis

10

Rubella

B. Etiologi Vaskuler (Iskemia Koklea)


Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Pembuluh
darah koklea merupakan ujung arteri (end artery), sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan, Pada kasus emboli, trombosis, vasospasme, dan
hiperkoagulasi atau viskositas yang meningkat, akan meningkatkan
terjadi iskemia yang berakibat degenerasi luas pada sel-sel ganglion
stria vaskularis dan ligament spiralis. Kemudian diikuti oleh
pembentukan jaringan ikat dan penulangan.8
Contoh penyakit Vaskular yang dapat menyebabkan tuli mendadak :

Perubahan mikrosirkulasi

Penyakit vaskular yang berhubungan dengan mitokhondriopathy

Vertebrobasilar insufisiensi

Deformabilitas sel darah merah

Penyakit sel sabit

Penyakit Cardiopulmonary

Kanal ion terbukadepolarisasi sel rambutpelepasan neurotransmiter

C. Ruptur membran labirin


Ruptur membran labirin berpotensial menyebabkan kehilangan
pendengaran sensorineural yang tiba-tiba, membran basalis dan
membran reissner merupakan selaput tipis yang membatasi endolimfe
dan perilimfe. Ruptur salah satu dari membran atau keduanya dapat
menyebabkan ketulian mendadak.

11

D. Penyakit autoimun pada telinga dalam


Ketulian sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun
telinga dalam masih belum jelas, tapi aktivitas imunologik koklea
menunjukkan fakta yang tinggi.
Contoh penyakit Autoimmune yang dapat menyebabkan tuli
mendadak :

Kolitis ulserativa

Kekambuhan polychondritis

Lupus eritematosus

Poliarteritis nodosa

Wegener Granulomatosis

E. Obat-obat ototoksik
Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh obat-obat ototoksik. Tuli ini
biasanya didahului oleh tinitus. Sebagai aturan umum, setiap obat atau zat kimia
yang menimbulkan efek toksik terhadap ginjal dapat dan biasanya juga bersifat
ototoksik.1
Tabel. 1. Agen-agen ototoksik1
Golongan obat & zat
Antibiotik

Contoh Obat & zat


- Aminoglikosida
Streptomisin
Dihidrostreptomisin
Neomisin
Gentamisin
Tobramisin
Amikasin
- Antibiotik lain
Vankomisin
Eritromisin
Kloramfenikol
Ristosetin
Polimiksin B
Viomisin

12

Farmasetin
Kolistin
Diuretik

Furosemid
Asam etakrinat
Bumetanid
Asetazolamid
Manitol

Analgetik dan Antipiretik

Salisilat
Kinin
Klorokuin

Antineoplastik

Bleomisin
Nitrogen mustard
Cis-platinum

Lain-lain

Pentobarbital
Heksadin
Mandelamin
Praktolol

Zat kimia

Karbon monoksida
Minyak chenopodium
Nikotin
Zat warna anilin
Alkohol
Kalium bromat

13

Logam berat

Air raksa
Emas
Timbale
Arsen

F. Bising
Bising dengan intensitas 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan
pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Bising merupakan bunyi yang
tidak diinginkan atau yang timbul akibat getaran-getaran yang tidak teratur &
periodik.

80 dB : maksimal pajanan 24 jam/hari

85 dB : maksimal pajanan 8 jam/hari

91 dB : maksimal pajanan 2 jam/hari

100 dB : maksimal pajanan 15 menit/hari

115 dB : maksimal pajanan 28 detik/hari

Hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising antara
lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar
bising.
G. Trauma Kepala
Pada cedera yang mengakibatkan trauma mekanis terhadap tulang temporal,
maka dapat terjadi fraktur pada tulang tersebut, yang biasanya disertai dengan
gangguan lainnya berupa gangguan kesadaran, hematoma subduralatau
epidural.

Fraktur temporal

Fraktur longitudinal : berawal dari foramen magnum dan berjalan ke luar


menuju ke liang telinga. Telinga biasanya berdarah dan terjadi gangguan
pendengaran yang konduktif.

Fraktur tranversal : sering menyebabkan cedera labirin dan saraf fasialis


karena garis frakturnya melintasi labirin

14

Diagnosis
A. Anamnesis

Kehilangan pendengaran tiba-tiba biasanya satu telinga yang


tidak jelas penyebabnya berlangsung dalam waktu kurang dari 3

hari.13
Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka
kehilangan pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi klik

atau pop kemudian pasien kehilangan pendengaran.14


Gejala pertama adalah berupa tinitus (91%), beberapa jam bahkan
beberapa hari sebelumnya bisa didahului oleh infeksi virus, trauma

kepala, obat-obat ototoksik, dan neuroma akustik


Pusing mendadak (vertigo) merupakan gejala awal terbanyak kedua
setelah tinnitus (42,9%) secara umum dan terbanyak untuk yang
disebabkan oleh iskemik koklear dan infeksi virus, dan vertigo akan
lebih hebat pada penyakit meniere. Vertigo jarang pada tuli

mendadak akibat neuroma akustik, obat ototoksik.15


Telinga terasa penuh (40,7%)
Otalgia (6,3 %)
Parestesia (3,5 %)
Mual dan muntah.
Demam tinggi dan kejang.
Riwayat infeksi virus seperti mumps, campak, herpes zooster,
CMV,influenza B.
Riwayat hipertensi.
Riwayat penyakit metabolik seperti DM.
Riwayat berpergian dengan pesawat atau menyelam ke dasar laut
Riwayat trauma kepala dan bising keras.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop, tidak ditemukan kelainan


pada telinga yang sakit. Sementara dengan pemeriksaan pendengaran
didapatkan hasil sebagai berikut:
o Tes penala :
Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat,
Schwabach memendek. Kesan : Tuli sensorieural
o Audiometri nada murni :
Tuli sensorineural ringan sampai berat.

15

C. Pemeriksaan Penunjang

Audiometri khusus
o Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor :
100% atau kurang dari 70%, kesan :dapat ditemukan
rekrutmen.
o Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif. Kesan : Bukan
tuli retrokoklea.

Audiometri tutur (speech audiometry) : SDS ( speech discrimination


score): kurang dari 100% Kesan : Tuli sensorineural.

BERA (Brainstem Evolved Responce Audiometry) Menunjukkan tuli


sensori neural ringan sampai berat.

Pemeriksaan Laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa


kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen,
hipotiroid, penyakit autoimun, dan faal hemostasis.8

Pemeriksaan tomografi computer (CT-scan) dan pencitraan resonansi


magnetic (MRI) dengan kontras diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi tulang temporal.
Bila diduga kemungkinan

adanya

neuroma

akustik, pasien

dikonsulkan ke bagian Saraf. Pemeriksaan arteriografi diperlukan


untuk kasus yang diduga akibat thrombosis.8
Penatalaksanaan

Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental
selama 2 minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang

besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovaskular.


Vasodilatansia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian
Complamin injeksi.
3x 1200 mg (4 ampul) selama 3 hari
3x 900 mg (3 ampul) selama 3 hari
3x 600 mg (2 ampul) selama 3 hari
3x 300 mg (1 ampul) selama 3 hari

16

Prednison 4 x 10 mg (2 tablet), tappering off tiap 3 hari (hati hati

pada penderita DM).


Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari
Neurobion 3x1 tablet /hari
Diet rendah garam dan rendah kolesterol
Inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter/menit),
Obat antivirus sesuai dengan virus penyebab.
Hiperbarik oksigen terapi (OHB)

Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia,
derajat tuli saraf dan adanya faktor- faktor predisposisi. Pada umumnya
makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk
sembuh, bila telah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi
lebih kecil. Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga
tidak sembuh.8
Rata-rata usia pasien yang mengalami pemulihan sempurna adalah
40 tahun. Usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 60 tahun memiliki masa
pemulihan yang buruk. Penderita dengan gejala vertigo berat ditemukan
prognosis buruk dibanding pasien tanpa gejala vertigo. Selain itu pasien
dengan kondisi yang memperberat penyembuhan antara lain seperti DM,
riwayat minum obat ototoksik lama, viskositas darah yang tinggi, juga
memiliki prognosis lebih buruk.

2.3 Obstruksi Saluran Nafas


Benda asing didalam suatu organ ialah benda asing yang berasal dari luar
tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada.
Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing eksogen,
biasanya masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan yang berasal dari
dalam tubuh, disebut benda asing endogen.
Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda
asing eksogen padat terdiri dari zat organik, seperti kacang-kacangan (yang

17

berasal dari tumbuh-tumbuhan), tulang (yang berasal dari kerangka binatang)


dan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan lain-lain.
Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang bersifat iritatif,
seperti zat kimia, dan benda caiir non-iritatif, yaitu cairan dengan pH 7,4.
Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan
darah, nanah, krusta, pengkijuan, membran difteri, bronkolit, cairan amnion,
mekonium dapat masuk ke dalam saluran nafas bayi pada saat proses
persalinan.
Etiologi
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam
saluran napas antara lain, faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial, tempat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal
(antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi),
faktor fisik (yaitu kelainan dan penyakit neurologik), proses menelan yang
belum sempurna pasa anak, faktor dental, medikal dan surgikal (antara lain
tindakan bedah, ekstraksi gigi, belum tumbuh gigi molar pada anak yang
berumur < 4 tahun), faktor kejiwaan (antara lain emosi, gangguan psikis),
ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan (antara lain
meletakkan benda asing dimulut, persiapan makan yang kurang baik, makan
atau minum tergesa-gesa, makan sambil bermain (pada anak-anak),
memberikan kacang atau permen pada anak yang gigi molarnya belum
lengkap).
Epidemiologi
Dari semua kasus benda asing yang masuk ke dalam saluran napas
dan saluran cerna yang terjadi pada anak-anak, sepertiga dari benda asing
yang teraspirasi tersangkut di saluran napas. Lima puluh lima persen dari
kasus benda asing disaluran napas terjadi pada anak berumur kurang dari 4
tahun pasa tahun 1975 anak dibawah umur 4 tahun, insidens kematian
mendadak akibat aspirasi atau tertelan benda asing lebih tinggi. Bayi dibawah
umur 1 tahun, gawat napas karena aspirasi benda asing merupakan penyebab
utama kematian (national safety council, 1981). Kacang atau biji tumbuhan
lebih sering teraspirasi pada anak yang berumur antara 2-4 tahun, karena
18

belum mempunyai gigi molar yang lengkap dan belum dapat mengunyah
makanan dengan baik. Enam sampai delapan persen benda asing yang
teraspirasi berupa plastik yang sukar didiagnosis secara radiologik, karena
bersifat non-iritatif serta radiolusen, sehingga dapat menetap ditraktus
trakeobronkial untuk periode yang lama. Benda asing dilaring dan trakea
lebih sering terdapat pada bayi kurang dari 1 tahun. Benda asing hidung lebih
sering terjadi pada anak-anak, karena anak yang berumur 2-4 tahun
cenderung

memasukkan

benda-benda

yang

ditemukan

dan

dapat

dijangkaunya ke dalam lubang hidung, mulut atau dimasukkan oleh anak lain.
Benda asing bronkus paling sering berada di bronkus kanan, karena
bronkus utama kanan lebih besar, mempunyai aliran udara lebih besar dan
membentuk sudut lebih kecil terhadap trakea dibandingkan dengan bronkus
utama kiri. Benda asing disaluran napas dapat menjadi penyebab berbagai
penyakit paru, baik akut maupun kronis dan harus dianggap sebagai diagnosis
banding.

Patogenesis
Benda asing mati (inanimate foreign bodies) di hidung cenderung
menyebabkan edema dan inflamasi mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi,
epitaksis, jaringan granulasi dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Benda
asing hidup (animate foreign bodies) menyebabkan reaksi inflamasu dengan
derajat bervariasi, dari infeksi lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan
tulang hidung dengan membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau.
Cacing askaris dihidung dapat menimbulkan iritasi dengan derajat yang
bervariaso karena gerakannya.
Tujuh puluh lima persen dari benda asing di bronkus ditemukan pada
anak di bawah umur 2 tahun, dengan riwayat yang khas yaitu pada saat benda
atau makanan ada didalam mulut, anak tertawa atau menjerit, sehingga pada
saat inspirasi, laring terbuka dan makanan atau benda asing masuk ke dalam
laring. Pada saat benda asing itu terjepit di sfingter laring, pasien batuk
berulang-ulang (paroksismal), sumbatan di trakea, mengi dan sianosis. Bila
benda asing telah masuk ke dalam trakea atau bronkus, kadang-kadang terjadi

19

fase asimtomatik selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti oleh fase
pulmonum dengan gejala yang tergantung pada derajat sumbatan bronkus.
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan mempunyai sifat
higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air, serta
menyebabkan iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema, dan
meradang, serta dapat pula terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing,
sehingga gejala sumbatan bronkus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala
karingotrakeobronkitis, toksemia, batuk dan demam yang tidak terus-menerus
(irreguler).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih
ringan, dan lebih mudah didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik, karena
umumnya benda asing anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang
terbuat dari metal dan tipis, seperti peniti, jarum, dapat masuk ke dalam
bronkus yang lebih distal dengan gejala batuk spasmodik. Benda asing yang
lama berada dibronkus dapat menyebabkan perubahan patologik jaringan
sehingga menimbulkan komplikasi, antara lain penyakit paru kronik
supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan granulasi yang menutupi
benda asing.
Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan, katena kasus aspirasi
ditegakkan karena kasus aspirasi benda asing sering tidak segera
dibawa ke dokter pada saat kejadian. Perlu diketahui macam benda
atau bahan yang teraspirasi dan telah beberapa lama tersedak benda
asing itu.
B. Pemeriksaan Fisik
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung
pada lokasi benda asing, derajat sumbatan(total atau sebagian) sifat,
bentuk dan ukuran benda asing,
Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai kematian
sebelum diberi pertolongan, akibat sumbatan total.

20

Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing akan mengalami 3


stadium. Stadium pertama merupakan gejala permulaan, yaitu batukbatuk hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms if coughing), rasa
tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorokan (gagging), bicara
gagap (sputtering) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan
segera.
Pada stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti interval
asimtomatik. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleksrefleks akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang.
Stadium ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis
atau cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena
gejala dan tanda tidak jelas.
Pada stadium tiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi,
erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga
timbul batuk-batuk, hemoptisis, dan abses paru.
Bila seorang pasien, terutama anak, diketahui mengalami rasa
tercekik atau manifestasi lainnya, rasa tersumbat di tenggorokan,
batuk-batuk sedang makan, maka keadaan ini haruslah dianggap
sebagai gejala aspirasi benda asing.
C. Pemeriksaan Penunjang

Radiologi Konvensional
Benda asing yang bersifat radioopak dapat dibuat Ro foto segera
setelah kejadian, sedangkan benda asing radiolusen (seperti
kacang-kacangan) dibuatkan Ro foto setelah 24 jam kejadian,
karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran
radiolusen yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak
tanda atelektasis atau emfisema.
Leher dalam posisi tegak untuk penilaian jaringan lunak leher dan
pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral sangat penting
pada aspirasi benda asing. Pemeriksaan toraks lateral dilakukan
dengan lengan di belakang punggung, leher dalam fleksi dan
kepala ekstensi untuk melihat keseluruhan jalan napas dari mulut
sampai karina. Karena benda asing di bronkus sering tersumbat di

21

orifisium bronkus utama atau lobus, pemeriksaan paru sangat


membantu diagnosis.

Video Fluoroskopi
Merupakan cara terbaik untuk melihat saluran napas secara
keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi
dan adanya obstruksi parsial.

Bronkogram
Berguna untuk benda asing radiolusen yang berada di perifer pada
pandangan endoskopi, serta perlu untuk menilai bronkiektasis akibat
benda asing yang lama berada di bronkus.

Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin dan Analisis Gas Darah diperlukan untuk mengetahui
adanya gangguan keseimbangan asam basa serta tanda infeksi traktus
trakeobronkial.

Penatalaksanaan

Benda asing di laring.


Pasien dengan benda asing di laring harus diberi pertolongan dengan
segera, karena asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa
menit. Pada anak dengan sumbatan tiotal pada laring, dapat dicoba
menolongnya dengan memegang anak dengan posisi terbalik, kepala
ke bawah, kemudian daerah punggung/tengkuk dipukul, sehingga
diharapkan benda asing dapat dibatukkan ke luar.
Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring
secara total ialah dengan cara Heimlich maneuver, dapat dilakukan
pada anak maupun orang dewasa. Dengan Heimlich maneuver,
dilakukan penekanan pada paru. Caranya ialah, bila pasien masih
dapat berdiri, maka penolong berdiri di belakang pasien, kepalan
tangan kanan penolong diletakkan di atas prisesus xifoid, sedangkan
tangan

kirinya

diletakkan

di

atasnya.

Kemudian

dilakukan

22

penekanan ke belakan ke atas dan ke arah aaru beberapa kali,


sehingga diharapkan benda asing akan terlempar ke luar dari mulut
pasien.
Bila pasien sudah terbaring karena pingsan, maka penolong
bersetumpu pada lututnya di kedua sisi pasien, kepalan tangan
diletakkan di bawah prosesus xifoid, kemudian dilakukan penekanan
ke bawah dan ke arah paru pasien beberapa kali, sehingga benda
asing akan terlempar ke luar mulut. Pada tindakan ini posisi muka
harus lurus, leher jangan ditekuk ke samping, supaya jalsn napas
merupakan garis lurus.
Komplikasi Heimlich maneuver ialah kemungkinan terjadi rupture
lambung atau hati dan fraktur iga. Oleh karena itu pada anak
sebaiknya cara menolongnya tidak dengan menggunakan kepalan
tangan, tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan kanan.
Pada sumbatan benda asing tidak total di laring, perasat Heimlich
tidak dapat digunakan. Dalam hal ini pasien masih dapat di bawa ke
rumah sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan
laringoskop atau bronkoskop, atasu kalau alat-alat itu tidak ada,
dilakukan trakeostomi ssebelum merujuk. Pada waktu tindakan
trakeostomi, pasien tidur dengan posisi Trendelenburg, kepala lebih
rendah dari badan, supaya benda asing tiudak turun ke trakea.
Kemudian pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai
fasilitas laringoskopi atau bronkoskopi untuk mengeluarkan benda
asing itu dengan cunam. Tinddakan ini dapat dilakukan dengan
anastesi umum ataupun lokal.

Benda asing di trakea.


Benda asing di trakea dikeluarkan dengan bronkoskopi. Tindakan ini
merupakan tindakan yang harus segera dilakukan, dengan pasien
tidur terlentang posisi Tendelenburg, supaya benda asing tidak turun
ke dalam bronkus.
Pada waktu bronkoskopi, benda asing dipegang dengan cunam yang
sesuai dengan benda asing itu, dan ketika dikeluarkan melalui laring
23

diusahakan

sumbu panjang benda asing segaris dengan sumbu

panjang trakea, jadi pada sumbu vertical, untuk memudahkan


pengeluaran benda asing itu melalui rima glottis.
Bila fasilitas untuk melakukan bronkoskopi tidak ada, maka pada
kasus benda asing di trakea dapat dilakukan trakeostomi, dan bila
mungkin benda asing itu dikeluarkan dengan memakai cunam atau
alat penghisap melalui trakeostomi. Bila tidak berhasil pasien dirujuk
ke rumah sakit dengan fasilitas endoskopi, ahli dan personal yang
tersedia optimal.

Benda asing di bronkus.


Untuk mengeluarkan benda asing dari bronkus dilakukan dengan
bronkoskopi, menggunakan bronkoskop kaku atau serat optic dengan
memakai cunam yang sesuai dengan benda asing itu. Tindakan
bronkoskopi harus segera dilakukan, apalagi bila benda asing bersifat
organic.
Benda asing yang tidak dapat di keluarkan dengan cara bronkoskopi,
seperti benda asing tajam, tidak rata dan tersangkut pada jaringan,
dapat dilakukan servikotomi atau torakotomi untuk mengeluarkan
benda asing tersebut.
Antibiotik dan kortikosteroid tidak rutin diberikan setelah tindakan
endoskopi pada ekstraksi benda asing. Fisioterapi dada dilakukan
pada kasus pneumonia, bronchitis purulenta dan atelektasis.
Pasien dipulangkan 24 jam setelah tindakan, jika paru bersih dan
tidak demam.
Foto toraks pasca bronkoskopi dibuat hanya bila gejala pulmonum
tidak menghilang. Gejala-gejala persisten seperti batuk, demam,
kongesti paru, obstruksi jalan napas ataunodinofagia memerlukan
penyelidikan lebih lanjut dan pengobatan yang tepat dan adekuat.

Benda asing di hidung.

24

Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan


memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung di bagian
atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring.
Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan
cara ini benda asing itu akan ikut terbawa ke luar. Dapat pula
menggunakan cunam Nortman atau wire loop.
Tidaklah bijaksana bila mendorong benda asing dari hidung ke arah
nasofaring dengan maksud supaya masuk ke dalam mulut. Dengan
cara itu benda asing dapat terus masuk ke laring dan saluran napas
bagian

bawah,

yang

menyebabkan

sesak

napas,

sehingga

menimbulkan keadan yang gawat.


Pemberian antibiotika sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada
kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan infeksi hidung
maupun sinus.

Benda asing di tonsil


Dapat diambil dengan memakai pinset atau cunam. Biasanya yang
tersangkut di tonsil ialah benda tajam, seperti tulang ikan, jarum atau
kail.

Benda asing di dasar lidah


Dapat dilihat dengan kaca tenggorok yang besar. Pasien diminta
menarik lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorok
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kasnan memegang cunam
untuk mengambil bemnda tersebut. Bila pasien sangat perasa
sehingga menyukarkan tindakan, sebelumnya dapat disemprotkan
obat pelali (anastetikum), seperti xylocain atau pantocain.

Kriteria Jackson
Jackson (1936) membagi sumbatan bronkus dalam 4 tingkat
1. Sumbatan sebagian dari bronkus.

25

Pada sumbatan ini inspirasi dan ekspirasi masih dapat terlaksana,


akan tetapi saluaranya sempit sehingga terdengar bunyi nafas
(mengi), seperti pada asma bronchial.
Penyebab: benda asing di dalam bronkus, penekanan bronkus dari
luar, edema dinding bronkus, seperti tumor di dalam lumen
bronkus
Tatalaksana: Tindakan konservatif dengan pemberian antiinflamasi,
anti alergi, anti biotik serta pemberian oksigen intermiten jika
disebabkan oleh peradangan.
2. Sumbatan dengan ekspirasi terhambat
Pada waktu inspirasi udara nafas masih dapat lewat, akan tetapi
pada ekspirasi terhambat, karena kontraksi otot bronkus. Bentuk
sumbatan ini menahan udara di bagian distal sumbatan, dan proses
yang berulang pada tiap pernafasan mengakibatkan terjadinya
emfisema paru obstruktif.
Penyebab: benda asing di bronkus, edema dinding bronkus pada
bronchitis.
Tatalaksana: Intubasi endotrakea dan trakeostomi
3. Sumbatan dengan inspirasi yang terhambat.
Pada keadaan ini inspirasi terhambat, sedangkan ekspirasi masih
dapat terlaksana. Udara yang terdapat di bagian distal sumbatan
akan diabsorpsi, sehingga terjadi atelaktasis paru
Penyebab: benda asing di dalam lumen bronkus, gumpalan ingus,
tumor yang bertangkai
Tatalaksana: Intubasi endotrakea dan trakeostomi
4. Sumbatan total, sehingga inspirasi dan ekspirasi tidak dapat
terlaksana. Akibat keadaan ini adalah atelaktasis paru
Penyebab: benda asing yang menyumbat umen bronkus dan
peradangan berat bronkus

26

Tatalaksana: Krikotiroidektomi

Intubasi Endotrakeal
Indikasi :
-

Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas

Membantu ventilasi

Memudahkan menghisap sekret dari traktus trakeobronkial

Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut yang berasal dari
lambung

Teknik Intubasi :
-

Posisi pasien tidur telentang, leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi.

Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri,


dimasukkan melalui mulut sebelah kanan sehingga ligah terdorong ke
kiri.

Spatel

diarahkan menelusuri pangkal lidah ke

valekula,

lalu

laringoskop diangkat ke atas sehingga terlihat pita suara.


-

Dengan tangan kanan pipa endotrakeal dimasukkan melalui dua celah


di antara pita suara ke dalam trakea.

Balon diisi dengan udara lalu pipa endotrakeal difiksasi dengan benar.
Harus berhati-hati dalam memasukkan pipa endotrakeal karena dapat
menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara sehingga timbul
granuloma dan stenosis laring atau trakea.

Trakeostomi
Tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk
bernapas. Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak
yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga

27

Menurut waktu dilakukan tindakan dibagi dalam : Trakeostomi darurat dan segera
dengan

persiapan

sarana

sangat

kurang

dan

Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik
(legal artis).
Indikasi :
-

Mengatasi obstruksi laring

Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran napas bagian


atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring.

Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak


dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien
dalam

keadaan

koma-Untuk

memasang

respirator

atau alat

bantu pernapasan-Untuk mengambil benda asing dari subglotik,


apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.

Krokotiroidektomi
Dilakukan dengan cara membelah membran krikotiroid.
Kontraindikasi :
-

Anak < 12 tahun.

Tumor laring yang sudah meluas ke subglotis dan terdapat laringitis.

2.4 Trauma Laring


Trauma laring eksterna adalah termasuk trauma yang tidak lazim,
diperkirakan kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Trauma laring
dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius dan dapat
merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya.
Prinsip utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah
melindungi jalan nafas. Fungsi vokal, selain merupakan prioritas kedua

28

karena harus mendahulukan keselamatan, biasanya ditentukan oleh efektifitas


dari penanganan awal.

Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat
luka sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher
selain dapat menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cedera pada
jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya. Hal
ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh
tangkai pompa air, leher membentur dashboard dalam kecelakaan waktu
mobil berhenti, tertendang, atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik,
atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri.
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,
mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan
menyembuhkan.

Seperti

kita

ketahui,

dalam

penanganan

trauma

dikenal primary survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary


survey dan akhirnya terapi definitif. Selama primary survey, keadaan yang
mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu
juga. Pada primary survey dikenal sistem ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation,

Disability, Exposure/Environmental

control) yang

disusun

berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama penanganan


adalah menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu, trauma jalan
nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan efektif
untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan.(1,3)
Penulis lain melaporkan insidensi trauma laring < 1% dari semua kasus
trauma. Mortalitas trauma laringotrakea cukup tinggi yaitu 20-40%. Penulis
lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas
meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di UGD. Dari data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa trauma laringotrakea merupakan keadaan
yang jarang ditemukan namun mengancam jiwa, sehingga dipandang perlu
untuk dibuat tinjauan pustakanya.(3)

29

Epidemiologi
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun
cenderung meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan
80% kasus terjadi pada 2,5 cm diatas carina.
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea
adalah 1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah
1 dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk melaporkan 1
kasus TLT dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam yang datang ke D. Gussack
dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus trauma.
Sabina dkk melaporkan 23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring,
8 kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan belas dari 23
kasus akibat trauma tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal ini sesuai
dengan penemuan dari Lee bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4
kasus/tahun. Shelly dkk, mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700
kasus trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65
kasus tersebut (1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%)
mengalami trauma tembus.
TLT lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita. Symbas melaporkan
perbandingannya adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia produktif (1940 tahun). Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih tinggi
mobilitasnya dibandingkan dengan wanita.
Etiologi
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi
trakeostomi atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan
endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia
(cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.

30

4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse)


misalnya akibat menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
Klasifikasi
Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan
yang timbul, dalam 3 golongan(2) :
1.

Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma,


emfisema submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.

2.

Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing


injuries).

3.

Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.

Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi


primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.
Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas
bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut
yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.(3)
Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan
atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi
nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang
berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma
yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang
mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan
sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal,
erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur
bronkial. Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi
sebenarnya masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan
Radsel melaporkan kira-kira 0.1 % pasien.(3)

31

Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan


etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff
dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea
pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi
indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa
faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi (tabel
1).(3)
Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi(6)
Faktor resiko yang pasti

Faktor resiko yang masihDugaan,


mungkin

belum

terbukti

sebagai faktor resiko

Wanita

Penggunaan kortikosteroid Trakeostomi perkutan

Usia > 50 tahun

Trakeomalacia

Tube

dengan

lumen Posisi yang salah dari tube Obesitas.

ganda
Pengembangan balon /
cuff berlebihan

Perawakan pendek

Kondisi medis yang buruk


Kesalahan

penggunaan

mandrain
Batuk yang terlalu keras
dan berlebihan

Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan
oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan
pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di
antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara
kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma
langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea

32

maupun laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher
dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan
intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan
menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme
lain yang cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea
yang berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang
terjadi cenderung sesuai level dari trumanya.
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai
biasanya jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang
didapat cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea
anak-anak masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun
kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak
dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal
ini disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan
jaringan submukosa dengan perikondrium.
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada
trauma

akselerasi-deselerasi

dengan

posisi

glotis

menutup

juga

akan

mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan


robekan pada bagian membran trakea.16 Robekan ini terjadi akibat diameter
transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan
diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang
mendadak.
Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti
dikatakan oleh Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan
yang besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga
halnya dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan
dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda
dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil. Selain
itu energi yang diterima hanya diteruskan ke satu arah saja.
Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi
empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang
cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang
tertutup dan trauma benturan langsung.
33

Trauma Tajam
Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang
paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai
adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih
banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban
menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada
trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan.1 Para penulis menyimpulkan
bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin
meningkat terutama karena kejahatan.(3)
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas,
trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka
tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas
bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis.
Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan
oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.(3)
Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas,
pernah

dilaporkan

adanya

trauma

laringotrakea

akibat

: iatrogenik

injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation),


pisau cukur, strangulasi,electrical injury, luka bakar, dan caustic injury.(3)
Diagnosis
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul
mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara
serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara
akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara.
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur
tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan
masuk ke jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke

34

daerah muka, dada, dan abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi
kulit.
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak
dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,
luka sayat, luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan) juga
dapat timbul akibat trauma laring.
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring,
misalnya oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka
terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena
terjadinya asfiksia. Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan
adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang
keluar dari trakea.
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi
saja. Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan
dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam
keadaan tidak sadar dan sesak nafas.
Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya
dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu
mungkin terdapat suara parau, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma
berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring,
sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia
atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang
ditemukan di daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
-

Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada
perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru.
Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan

35

menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak


terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan
eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang
cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk
mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan
serum anti-tetanus.
-

Luka tertutup
Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa
memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan
masalah di kemudian hari, yaitu kesukaran dekanulasi. Olson
berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling
lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah
lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan
menimbulkan komplikasi di kemudian hari.

Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi


atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung
atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan.
Pada

umumnya

pengobatan

konservatif

dengan

istirahat

suara,

humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan


mukosa laring yang edem, hematoma, atau laserasi ringan, tanpa adanya
gejala sumbatan laring.
Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah:
4. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
5. Emfisema subkutis yang progresif.
6. Laserasi mukosa yang luas.
7. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
8. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya
ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami
fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan

36

yang terbuka dengan gelambir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk
menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold dari silastik, porteks
atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis
pita suara, dan stenosis laring.
Prognosis
Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami
gangguan menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan
memproteksi aspirasi isi faring. Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar
atau granulasi yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma tumpul leher
cenderung mengalami komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi
dibanding pada trauma tajam. Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila
terapi definitif baru dilakukan setelah >24 jam pasca trauma.(3)
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian atau
pada saat menuju rumah sakit, dan setelah tindakan operatif-pun angka
mortalitasnya

masih

mencapai

14-25%

akibat

cedera

lain

yang

menyertai.10 Penulis lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul
jalan napas meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di
UGD.4 Mortalitas pasien dengan trauma jalan napas dilaporkan berkisar 15-30%
dan biasanya disebabkan karena syok yang irreversibel, aspirasi masif darah,
cedera vaskuler di daerah servikotorakal dan cedera organ ikutan.4 Namun Lee
dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab kematian tersering pada trauma
laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi darah.1 Mortalitas pada
trauma tumpul lebih besar dibanding pada trauma tajam, dilaporkan pada trauma
tumpul 40% sedangkan pada trauma tajam hanya 20%.(3)

2.5 Esofagitis Korosif


Definisi
Esofagitis korosif ialah peradangan di esofagus yang disebabkan
oleh luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat,

37

basa kuat dan zat organik.Zat kimia yang tertelan dapat bersifat korosif
atau toksik. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan
pada saluran yang dilaluinya sedangkan zat kimia yang bersifat toksik
hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.1
Epidemiologi
Sebanyak 75% dari kasus esofagitis korosif disebabkan oleh basa
kuat, 20 % oleh asam kuat.Asam kuat menyebabkan banyak luka
superfisial

pada

esofagus,

namun

pada

lambung

lebih

banyak

menyebabkan kerusakan yang serius.Angka kejadian esofagitis korosif


tertelan asam kuat, basa kuat, cairan pemutih diperkirakan sekitar 206,636
kasus

yang

dilaporkan

dari

American

Association

of

Poison

Control.Sebanyak 27 kasus menyebabkan kematian.80% merupakan


ketidaksengajaan dan kelalaian yang terjadi pada anak. Sedangkan pada
remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada remaja sabagai
Etiologi
Zat kimia asam atau alkali kuat sering menyebabkan esofagitis korosif. Zat
ini terdapat pada bahan pembersih kuat yang disebut air keras, yang terdiri
atas natrium hidroksida dan natrium karbonat.4
Basa kuat adalah zat-zat yang mempunyai pH lebih dari 12 seperti
natriumkarbonat, natrium metasilikat, amonia, sodium hidroksida, dan
potassiumhidroksida, zat ini dapat dijumpai sehari-hari diantaranya pada
sabun pencucipiring, sabun pencuci kain, dan pembersih lantai. Asam kuat
adalah zat-zat yangmempunyai pH kurang dari 2, seperti asam nitrat, asam
hidroklorat, merkuri,asam sulfat, perak nitrat, fenol, natrium hipoklorit
zat-zat tersebut terdapat padapemutih pakaian, pembersih toilet, pembersih
saluran air, pembersih karat,kaporit, dan sebagainya.1

Zat-zat kaustik yang memiliki pH kurang dari 2 atau lebih dari 12


merupakan zat yang bersifat korosif.3
1. Basa kuat

38

Tertelan basa kuat menyebabkan jaringan nekrosis mencair


(liquefactum necrosis), sebuah proses yang melibatkan
saponifikasi lemak dan melarutkan protein. Kematian sel
disebabkan oleh emulsifikasi dan perusakan struktur
membran sel. Ion hidroksi (OH-) yang berasal dari zat basa
bereaksi dengan jaringan kolagen sehingga menyebabkan
terjadinya bengkak dan pemendekan jaringan (kontraktur),
trombosis pada pembuluh darah kapiler, dan produksi panas
oleh jaringan.3
Jaringan yang paling sering terkena pada kontak pertama
oleh basa kuat adalah lapisan epitel squamosa orofaring,
hipofaring, dan esofagus. Esofagus merupakan organ yang
paling

sering

terkena

dan

paling

parah

tingkat

kerusakannya saat tertelan basa kuat dibandingkan dengan


lambung, 22,5% zat NaOH yang kontak dengan esofagus
untuk 10 detik dan 30% NaOH selama 1 detik akan
menyebabkan kerusakan jaringan esofagus. Dalam 48 jam
terjadi udem jaringan yang bisa menyebabkan obstruksi
jalan nafas,selanjutnya dalam 5-15 hari dapat terbentuk
striktur.3

2. Asam kuat
Kerusakan jaringan akibat tertelan asam kuat bersifat
nekrosis menggumpal (coagulation necrosis), terjadi proses
denaturasi protein superfisial yang akan menimbulkan
bekuan, krusta atau keropeng yang dapat melindungi
jaringan di bawahnya dari kerusakan. Lambung merupakan
organ yang paling sering terkena pada kasus tertelan asam
kuat.Keropeng

dan

bekuan

protein

yang

terbentuk

mengelupas dalam 3-4 haridigantikan oleh jaringan


granulasi, perforasi jaringan dapat terjadi pada proses ini.
Komplikasi akut yang terjadi adalah, muntah akibat dari
spasme pylorik, perforasi dan perdarahan saluran cerna.
39

Jika zat asam terserap oleh darah menyebabkan asidosis


metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut, dan kematian.3,11
Secara umum, asam kuat menyebabkan kerusakan pada lambung lebih
berat dibandingkan dengan kerusakan di esofagus, sedangkan basa kuat
menimbulkan kerusakan di esofagus lebih berat daripada lambung.3,11
Tabel 1
Contoh bahan korosif yang bersifat asam dan basa
Tipe Zat

Contoh

Basa

Sodium hydroxide, potassium hydroxide (pembersih


oven,

cairan

pembersih,

baterai),

calcium

dan

lithiumhydroxide (zat pelurus rambut), ammonia (cairan


pembersih rumah), dishwater detergents, racun serangga.
Asam

Sulfuric acid, hydrochloric acid, nitrid acid (pembersih


wc, pembersih kolam renang)

Diagnosis
A. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat
korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien
berupa rasa terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat serta
bisa juga mengeluhkan susah menelan.
B. Pemeriksaan fisik
Selain penegakan diagnosis dan autoanamnesis atau alloanamnesis yang
cermat

serta

diperlukan

bukti-bukti

yang

diperoleh

ditempat

kejadian.Masuknya zat korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau


mulut ataupun muntah.Adanya luka bakar keputihan pada mukosa mulut
atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan korosif atau
korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat.Perbedaan pada
dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif.Kerusakan korosif hebat
akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih berat dibandingkan akibat asam
kuat. Kerusakan terbesar bila pH> 12, akan tetapi tergantung juga
konsentrasi bahan tersebut.
40

C. Pemeriksaan Laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila
terdapat tanda-tanda gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit
darah.11
Dapat juga dilakukan beberapa pemeriksaan diantaranya :11
a.

Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, ureum dan


kreatinin untuk melihat tanda-tanda keracunan sistemik.

b.

Pemeriksaan jumlah urin dan urinalisis untuk membantu menjaga


keseimbangan cairan.12

D. Pemeriksaan Radiologik
Foto rontgen toraks postero-anterior dan lateral perlu dilakukan
untuk mendeteksi adanya perforasi seperti udara pada mediastinum,
pneumotorak,cairan pada pleura, atau gambaran udara bebas dibawah
diafragma.12
Pemeriksaan
(esofagogram)

rontgen

tidak banyak

esofagus
menunjukan

dengan

kontras

kelainan

barium

pada stadium

akut.Esofagus mungkin terlihat normal. Jika ada kecurigaan akan adanya


perforasi akut esofagus atau lambung serta ruptur esofagus akibat trauma
tindakan, esofagogram perlu dibuat. Esofagogram perlu dibuat setelah
minggu kedua untuk melihat ada tidaknya striktur esofagus dan dapat
diulang setelah 2 bulan untuk evaluasi.12
Pada pemeriksaan esofagus dengan kontras barium dapat melihat
perkembangan perbaikan dan mengevaluasi komplikasi.Barium sulfat
dapat menunjukan organ secara anatomis hingga organ gastrointestinal.
Penggunaan barium sulfat yang dapat larut dalam air dan secara relatif
non-iritasi pada jaringan pulmonal ketika terjadi aspirasi hingga ke paru.3

41

Gambar 10.
Gambaran radiologis Saluran cerna bagian
atas menunjukan esofagus striktur pada pasien
yang memiliki riwayat menelan larutan alkali.
(Diambil dari kepustakaan 3)

Pada esofagogram dapat ditentukan fase dari esofagitis korosif


menjadi 3 fase, yaitu:12
i. Fase akut
Hasil esofagogram menunjukan mukosa dan submukosa yang edema,
ulserasi dan mukosa yang terkelupas.
Gambar 11.
Gambar A Esofagogram menunjukan 2 hari
setelah menelan larutan asam tampak mukosa
yang terkelupas.Gambar B menunjukan
gambar esofagus proksimal.Mukosa yang
terkelupas dan garis bentuk iregularitas pada
mukosa dan submukosa yang edema. (dikutip
dari kepustakaan 12)

ii.

Fase Laten

42

Gambar 12.
Gambar C menunjukan esofagogram hari ke 13
setelah minum larutan asam.Dapat terlihat batasan
yang memendek (panah putih) dan batasan yang
panjang di esofagus distal (panah hitam).Gambar D
menunjukan esofagogram hari ke 23 setelah
menelan larutan asam.Terdapat 2 area stenosis.
(dikutip dari kepustakaan 12)

iii.

Fase kronik

Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah
terbentuk jaringan parut, sehingga terjadi striktur esofagus.11
E. Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di
esofagus. Pada esofagoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema
dan kadang-kadang ditemukan ulkus.2,11
Derajat luka Esofagitis korosif berdasarkan hasil Endoskopi
Derajat 0
Hasil dari endoskopi normal
Derajat 1

Ditemukan adanya edema, dan mukosa hiperemis

Derajat 2a

Ditemukan kerapuhan, melelepuh, hemoragic, erosi,


membrane yang memutih, eksudat dan ulser superficial

Derajat 2b

Ditemukan seperti derajat 2a beserta lubang ulserasi

Derajat 3a

Ditemukan area yang kecil berisi multiple ulser dan area


yang nekrosis (coklat kehitaman atau warna keabu-abuan

Derajat 3b
Nekrosis yang luas
Tabel 1. Derajat luka Esofagitis korosif berdasarkan hasil Endoskopi
(Diambil dari kepustakaan 3)

Penatalaksanaan

43

A. Perawatan Umum
i.

Perawatan umum dilakukan dengan cara memperbaiki


keadaan umum pasien, menjaga keseimbangan elektrolit
serta menjaga jalan napas. Jika terdapat gangguan
keseimbangan elektrolit diberikan infus aminofusin 600 2
botol, glukosa 10% 2 botol, NaCl 0.9% + KCl 5 Meq/liter 1
botol.11

ii.

Untuk melindungi selaput lendir esofagus bila muntah


dapat diberikan susu atau putih telur. Jika zat korosif yang
tertelan diketahui jenisnya dan terjadi sebelum 6 jam, dapat
dilakukan netralisasi (bila zat korosif basa kuat diberi susu
atau air, dan bila asam kuat diberi antasida).3,11

B. Terapi Medik
i.

Antibiotika diberikan selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas


demam. Biasanya diberikan penisilin dosis tinggi 1 juta
1.2 juta unit/hari.11

ii.

Kortikosteroid

diberikan

untuk

mencegah

terjadinya

pembentukan fibrosis yang berlebihan.Kortikosteroid harus


diberikan sejak hari pertama dengan dosis 200-300 mg
sampai hari ketiga.Setelah itu dosis diturunkan perlahanlahan tiap 2 hari (tapering off). Dosis yang dipertahankan
(maintenance dose) ialah 2 x 50 mg perhari.11
iii.

Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin


dapat diberikan, jika pasien sangat kesakitan.11

C. Esofagoskopi
i.

Biasanya dilakukan esofagoskopi pada hari ketiga setelah


kejadian atau bila luka bakar di bibir, mulut dan faring
sudah tenang.11

ii.

Jika pada waktu melakukan esofagoskopi ditemukan ulkus,


esofagoskopi tidak boleh dipaksa melalui ulkus tersebut
karena ditakutkan terjadi perforasi.Pada keadaan demikian
sebaiknya dipasang pipa hidung lambung (pipa nasogaster)
44

dengan hati-hati dan terus menerus (dauer) selama 6


minggu. Setelah 6 minggu esofagoskopi diulang kembali.11
iii.

Pada fase kronik biasanya sudah terdapat striktur esofagus


Untuk ini dilakukan dilatasi dangan bantuan esofagoskop.
Dilatasi dilakukan sekali seminggu, bila keadaan pasien
lebih baik dilakukan sekali 2 minggu, setelah sebulan,
sekali 3 bulan dan demikian seterusnya sampai pasien dapat
menelan makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya
kurang memuaskan sebaiknya dilakukan reseksi esofagus
dan dibuat anastomosis ujung ke ujung (end to end).11

D. Pembedahan
i.

Terapi bedah dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat


dan juga menghambat rekonstruksi.Pada fase akut, pasien
yang ditemukan dengan adanya perforasi harus segara di
operasi.Walaupun pasien yang tidak memiliki gejala-gejala
peritoneal sebagai tanda perforasi, nekrosis dan perdarahan
massif.Interfensi

untuk

operasi

lebih

awal

dapat

meningkatkan hasil dari grup pasien ini dan beberapa gejala


sesuai

kriteria

endoskopi

dapat

menolong

untuk

mengidentifikasikan ini. Pasien dengan shok, asidosis dan


gangguan koagulasi dan mereka yang memiliki saluran
pencernaan yang korosif, biasanya harus merawat luka di
laparatomi dan operasi lebih awal dapat bermanfaat pada
pasien ini.3
Prognosis
Prognosa tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta
jenis zat yang tertelan, lama paparan, pH, volume, konsentrasi,
kemampuannya menembus jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan
yang diperlukan untuk menetralisir zat yang masuk.4
Angka kematian berkisar 1-4 % karena tehnik pembedaan, Anestesi,
antibiotik, dan nutrisi yang efektif, kematian pada umumnya disebabkan

45

oleh mediastinitis, peritonitis, sepsis, malnutrisi, aspirasi, dan kegagalan


fungsi multiorgan.1

46

BAB III
KESIMPULAN

47

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,
surveillance, and control. 2009.
2. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits :
Serovars of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to
the hospitals of Semarang. Konas PETRI, 2002.
3. Lau C et al. Leptospirosis: an emerging disease in travellers. Travel
Med Infect Dis. 2010 Jan;8(1):339.
4. Zein U. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV.
Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
1823-5.
5. Longo, Dan L., et.al. Harrisons Priciples of Internal Medicine, 18th edition.
US: The McGraw-Hill Companies. 2012. 1048-51
6. Meites E, Jay MT, Deresinski S. Reemerging leptospirosis, California.
Emerg Infect Dis 2004; 10:406412.
7. Cook GC, Zumla A. Mansons Tropical Disease, 22 rd edition. US: Saunders
Ltd. 2008. 1164-6.
8. Papadakis M, Mcphee SJ, Rabow MW, Current Medical Diagnosis and
Treatment, 52nd edition. US: The McGraw-Hill Companies. 2013. 1477-9.
9. Dutta TK,Christopher M. Leptospirosis-An Overview. Review Article.
JAPI Vol 53 June 2005
10. Jaurguiberry S, Roussel M, BrinchaultRabin G. Clinical presentation of
leptospirosis: a retrospective study of 34 patients admitted to a single
institution in metropolitan France. Eur J Clin Microbiol Infect Dis
2005;11:391394.
11. Faine S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva WHO, 1982.
12. Dolhnikoff M, Mauad T, Bethlem EP, Carvalho CR. Pathology and
pathophysiology of pulmonary manifestations in leptospirosis. Braz J Infect
Dis. 2007 Feb. 11(1):142-8.
13. Brett-Major DM, Coldren R. Antibiotics for leptospirosis. Cochrane
Database Syst Rev. 2012 Feb 15. 2:CD008264.
14. Meaudre E, Asencio Y, Montcriol A, Martinaud C, Graffin B, Palmier B, et
al. [Immunomodulation in severe leptospirosis with multiple organ failure:
plasma exchange, intravenous immunoglobulin or corticosteroids?].Ann Fr
Anesth Reanim. 2008 Feb. 27(2):172-6.
15. Trivedi SV, Chavda RK, Wadia PZ, Sheth V, Bhagade PN, Trivedi SP, et al.
The role of glucocorticoid pulse therapy in pulmonary involvement in
leptospirosis. J Assoc Physicians India. 2001 Sep. 49:901-3.

48

16. Guidugli F, Castro AA, Atallah AN. Antibiotics for preventing


leptospirosis. Cochrane Database Syst Rev. 2000.
17. El Bouazzaoui A, Houari N, Arika A, Belhoucine I, Boukatta B, Sbai H, et
al. Facial palsy associated with leptospirosis. Eur Ann Otorhinolaryngol
Head Neck Dis. 2011 Nov. 128(5):275-7.
18. Puliyath G1, Singh S. Leptospirosis in pregnancy. Eur J Clin Microbiol
Infect Dis. 2012 Oct;31(10):2491-6.
19. Bhardwaj P, Kosambiya JK, Vikas KD, Karan J. Chemoprophylaxis with
doxycycline in suspected epidemic of leptospirosis during floods: does this
really work? Afr Health Sci. 2010; 10(2) : 199-200
20. Chua ML, Alejandria MM, Bergantin RG, Destura RP, Panaligan MM,
Montalban CS, et al. Leptospirosis CPG 2010. Philippine Leptospirosis
Task Force. 2010.
21. Hospenthal DR, Murray CK. In Vitro Susceptibilities of Seven Leptospira
Species to Traditional and Newer Antibiotics. Antimicrob Agents
Chemother 2003;47(8): 2646-8
22. Guidugli F, Castro AA, Atallah AN. Antibiotics for preventing
leptospirosis. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2000; 4: 1305-6
23. Raptis L, Pappas G, Akritidis N. Use of ceftriaxone in patients with severe
leptospirosis. Int J Antimicrob Agents. 2006 Sept; 28(3) 259-61
24. Puliyath G, Singh S. Leptospirosis in pregnancy. Eur J Clin Microbiol
Infect Dis. 2012; 31: 2491
25. Griffith ME, Hospenthal DR, Murray CK. Antimicrobial therapy of
leptospirosis. Curr Opin Infect Dis 2006; 19:5337
26. Suputtamongkol Y, Niwattayakul K, Suttinont C, Losuwanaluk K,
Limpaiboon R, Chierakul W, et al. An open randomised controlled trial of
penicillin,

doxycyclin,

and

cefotaxime

for

patients

with

severe

leptospirosis. Clin Infect Dis 2004; 39:141724

49

Anda mungkin juga menyukai