Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Batik adalah suatu cabang seni rupa dengan dengan latar belakang
sejarah dan akar budaya yang kuat dalam perkembangan kebudayaan
bangsa Indonesia. Ada dua pendapat tentang asal mula batik. Pendapat
pertama mengatakan bahwa batik pertama datng di Indonesia bersamaan
dengan hadirnya pengaruh agama Hindu dan Budha dari India. Adapun
pendapat yang kedua menyatakan bahwa batik adalah produk budaya asli
Indonesia. Pendapat ini didasari alasan bahwa tehnik pembuatan batik
yaitu, menutup dengan bahan lilin pada bagian- bagian kain yang tidak
diberi warna, tidak hanya dikenali di daerah- daerah yang langsung
mendapat pengaruh agama Hindu dan Budha seperti Jawa dan Madura,
tehnik batik juga dikenal di Toraja, Flores, dan Irian Jaya. Bahkan menurut
A. N. Suyanto yang dikutip dari buku karangan Brandes mengemukakan
bahwa, batik adalah salah satu unsur kebudayaan Indonesia yang sudah
ada di bumi Indonesia sebelum pengaruh Hindu. (A. N. Suyanto, 2002: 1)
Memperhatikan realitas perkembangannya, dari zaman ke zaman
batik Yogyakarta selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut
mencerminkan gerak kehidupan masyarakat Yogyakarta baik dari segi
kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Meluasnya pengaruh
kebudayaan Barat dan kegemaran masyarakat terhadap penggunaan batik,
maka batik Yogyakarta dari masa ke masa mengalami perubahan dan
perkembangan yang luas terutama dari segi fungsi dan penerapan.
Batik tradisional pada umumnya ditandai oleh adanya bentuk
motif, fungsi, tehnik produksi yang bertolak dari budaya tradisional,
sedangkan batik modern bentuk motif, fungsi dan tehnik produksinya
merupakan aspirasi budaya modern. Akan tetapi keduanya masih

berpegang pada penggunaan bahan lilin sebagai media utama yang


berperan untuk menahan masuknya warna.
Mengamati sejarah perkembangan seni batik Yogyakarta tak dapat
dipisahkan dengan bentuk batik tradisional keraton Yogyakarta sebagai
sumbernya. Hal ini berarti keberadaan seni batik di keraton Yogyakarta
merupakan tonggak sejarah bermulanya perjalanan budaya batik di
Yogyakarta pada masa lampau, yang kemudian berkembang hingga masa
sekarang ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,

maka rumusan masalahnya

adalah sebagai berikut :


1. Apakah yang dimaksud dengan seni batik?
2. Bagaimanakah ciri- ciri batik Yogyakarta yang bersumber dari keraton
Yogyakarta?
3. Bagaimana bentuk dan fungsi seni batik Yogyakarta?
4. Apakah aspek- aspek perubahan seni batik Yogyakarta dari masakemasa?

C. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya penulisan makalah ini selain sebagai
tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, Institut Seni Indonesia Yogyakarta,
Fakultas Seni Rupa, Jurusan Kriya Seni, Juga untuk:
1. Mengetahui pengertian seni batik
2. Mengetahui ciri- ciri batik Yogyakarta yang bersumber dari keraton
Yogyakarta
3. Mengetahui bentuk dan fungsi seni batik Yogyakarta

4. Mengetahui aspek- aspek perubahan seni batik Yogyakarta dari masakemasa

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Seni Batik


Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman
Majapahit, dan menjadi sangat populer pada akhir abad XVIII atau awal
abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal
abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar
tahun 1920-an. Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran
batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa
tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada

abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda)
percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores,
Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area
yang dipengaruhi oleh agama Hindu tetapi batik adalah salah satu unsur
kebudayaan Indonesia yang sudah ada di bumi Indonesia sebelum
pengaruh Hindu. (http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html)
Secara etimologis istilah batik berasal dari kata yang berakhiran
tik, berasal dari kata menitik yang berarti menetes. Dalam bahasa jawa
krama batik disebut seratan, dalam bahasa jawa ngoko disebut tulis, yang
dimaksud adalah menulis dengan lilin. Menurut terminologinya, Batik
adalah gambar yang dihasilkan dengan menggunakan alat canting dengan
bahan lilin sebagai penahan masuknya warna. Jadi batik adalah gambaran
atau hiasan

pada kain atau bahan dasar lain yang dihasilkan melalui

proses tutup- celup dengan lilin yang kemudian diproses dengan cara
tertentu. (A. N. Suyanto, 2002: 2)
Membatik merupakan menorehkan malam batik ke kain mori,
dimulai dari nglowong (menggambar garis-garis di luar pola) dan isen-isen
(mengisi pola dengan berbagai macam bentuk). Peralatan yang digunakan
untuk membatik antara lain:
1. Canting
Canting adalah alat yang dipakai untuk memindahkan atau mengambil
cairan, terbuat dari tembaga dan bambu sebagai pegangannya. Canting
ini dipakai untuk menuliskan pola batik dengan cairan malam. Saat
ini, canting menggunakan bahan tembaga, kuningan, maupun teflon.
2. Kompor
Kompor adalah alat untuk membuat api. Kompor yang biasa
digunakan adalah kompor berbahan bakar minyak. Namun terkadang
kompor ini bisa diganti dengan kompor gas kecil, anglo yang
menggunakan arang, dan lain-lain. Kompor ini berfungsi sebagai

perapian

dan

pemanas

bahan-bahan

yang

digunakan

untuk

mencairkan malap pada proses membatik.


3. Wajan
Wajan adalah perkakas utuk mencairkan malam. Wajan dibuat dari
logam baja atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah
diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa menggunakan alat lain.
4. Gawangan
Gawangan
adalah
perkakas
untuk
menyangkutkan
dan
membentangkan mori sewaktu dibatik. Gawangan terbuat dari kayu
atau bambu. Gawangan harus dibuat sedemikian rupa hingga kuat,
ringan, dan mudah dipindah-pindah.
5. Saringan
Saringan adalah alat untuk menyaring malam panas yang memiliki
banyak

kotoran.

Jika

malam

tidak

disaring,

kotoran

dapat

mengganggu aliran malam pada ujung canting. Sedangkan bila malam


disaring, kotoran dapat dibuang sehingga tidak mengganggu jalannya
malam pada ujung canting sewaktu digunakan untuk membatik.
6. Dingklik atau kursi kecil
Dhingklik (tempat duduk) adalah tempat untuk duduk pembatik.
Biasanya terbuat dari bambu, kayu, plastik, atau besi. Saat ini, tempat
duduk dapat dengan mudah dibeli di toko-toko.
7. Taplak
Taplak adalah kain untuk menutup paha pembatik agar tidak terkena
tetesan malam panas sewaktu canting ditiup atau waktu membatik.
8. Bandul
Bandul dibuat dari timah, kayu, atau batu yang dimasukkan ke dalam
kantong. Fungsi pokok bandul adalah untuk menahan agar mori yang
baru dibatik tidak mudah tergeser saat tertiup angin atau tertarik oleh
pembatik secara tidak sengaja.
Bahan bahan yang digunakan untuk membatik, yaitu:
1. Kain mori
Mori adalah bahan baku batik yang terbuat dari katun. Kualitas mori
bermacam-macam dan jenisnya sangat menentukan baik buruknya

kain batik yang dihasilkan. Mori yang dibutuhkan disesuaikan dengan


panjang pendeknya kain yang diinginkan.
2. Malam
Malam (lilin) adalah bahan yang dipergunakan untuk membatik.
Sebenarnya malam tidak habis (hilang) karena pada akhirnya malam
akan diambil kembali pada proses mbabar, proses pengerjaan dari
membatik sampai batikan menjadi kain. Malam yang dipergunakan
untuk membatik berbeda dengan malam (lilin) biasa. Malam untuk
membatik bersifat cepat diserap kain, tetapi dapat dengan mudah lepas
ketika proses pelorodan.
3. Pewarna batik
Pewarna yang digunakan bisa berupa pewarna alami dan pewarna
buatan atau sintesis. Pewarna alami adalah pewarna yang terbuat dari
bahan alam conohnya adalah daun jati menghasilkan warna merah.
Sedangkan pewarna buatan atau pewarna sintetis adalah pewarna
buatan contohnya naptol, indigosol, dan remasol.
Pembuatan batik melalui proses yang sangat panjang, yaitu:
1. Ngemplong
Ngemplong merupakan tahap paling awal atau pendahuluan, diawali
dengan mencuci kain mori. Tujuannya adalah untuk menghilangkan
kanji. Kemudian dilanjutkan dengan pengeloyoran, yaitu memasukkan
kain mori ke minyak jarak atau minyak kacang yang sudah ada di
dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak
agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna
lebih tinggi. Setelah melalui proses di atas, kain diberi kanji dan
dijemur. Selanjutnya, dilakukan proses pengemplongan, yaitu kain
mori dipalu untuk menghaluskan lapisan kain agar mudah dibatik.
2. Nyorek atau Memola
Nyorek atau memola adalah proses menjiplak atau membuat pola di
atas kain mori dengan cara meniru pola motif yang sudah ada, atau
biasa disebut dengan ngeblat. Pola biasanya dibuat di atas kertas roti
terlebih dahulu, baru dijiplak sesuai pola di atas kain mori. Tahapan
ini dapat dilakukan secara langsung di atas kain atau menjiplaknya

dengan menggunakan pensil atau canting. Namun agar proses


pewarnaan bisa berhasil dengan baik, tidak pecah, dan sempurna,
maka proses batikannya perlu diulang pada sisi kain di baliknya.
Proses ini disebut ganggang atau nembusi.
3. Mbathik
Mbathik merupakan cara menorehkan malam batik ke kain mori,
dimulai dari nglowong (menggambar garis-garis di luar pola) dan
isen-isen (mengisi pola dengan berbagai macam bentuk). Di dalam
proses isen-isen terdapat istilah nyecek, yaitu membuat isian dalam
pola yang sudah dibuat dengan cara memberi titik-titik (nitik). Ada
pula istilah nruntum, yang hampir sama dengan isen-isen, tetapi lebih
rumit.
4. Nembok
Nembok adalah proses menutupi bagian-bagian yang tidak boleh
terkena warna dasar, dalam hal ini warna biru, dengan menggunakan
malam. Bagian tersebut ditutup dengan lapisan malam yang tebal
seolah-olah merupakan tembok penahan.
5. Medel
Medel adalah proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan
warna secara berulang-ulang sehingga mendapatkan warna yang
diinginkan.
6. Ngerok dan Mbirah
Pada proses ini, malam pada kain dikerok secara hati-hati dengan
menggunakan lempengan logam, kemudian kain dibilas dengan air
bersih. Setelah itu, kain diangin-anginkan.
7. Mbironi
Mbironi adalah menutupi warna biru dan isen-isen pola yang berupa
cecek atau titik dengan menggunakan malam. Selain itu, ada juga
proses ngrining, yaitu proses mengisi bagian yang belum diwarnai
dengan motif tertentu. Biasanya, ngrining dilakukan setelah proses
pewarnaan dilakukan.
8. Menyoga
Menyoga berasal dari kata soga, yaitu sejenis kayu yang digunakan
untuk mendapatkan warna cokelat. Adapun caranya adalah dengan
mencelupkan kain ke dalam campuran warna cokelat tersebut.

9. Nglorod
Nglorod merupakan tahapan akhir dalam proses pembuatan sehelai
kain batik tulis maupun batik cap yang menggunakan perintang warna
(malam). Dalam tahap ini, pembatik melepaskan seluruh malam (lilin)
dengan cara memasukkan kain yang sudah cukup tua warnanya ke
dalam air mendidih. Setelah diangkat, kain dibilas dengan air bersih
dan kemudian diangin-arginkan hingga kering. (Puspita Setiawati,
2008: 30) dan ( http://batikindonesia.com/tag/macam-macam-batik)
B. Ciri- ciri batik Yogyakarta yang Bersumber dari Keraton Yogyakarta
Seni

batik

tradisional

Surakarta

dan

Yogyakarta

dari

perkmbngannya keduanya sangatlah kental dengan aturan norma- norma,


aturan adat, dan kesesuaian dengan budaya keraton sebagai pusat
perkmbangannya. Apabila dilihat dari sudut pandang sejarah seni batik
Yogyakarta merupakan perkmbangan dari seni batik yang sebelumnya ada
di Keraton Surakarta.
Pangeran Mangkubumi yang berasal dari dinasti Surakarta yang
kemudian menjadi Raja dikerajaan Mataram yang bergelar Sri Sultan
Hamungkubuono I. Perpindahan itu yang tentunya seiring perpindahan
budaya dan berkembang di daerah yang baru. Begitu juga dengan seni
batik yang itu tumbuh dan berkmbangan didaerah Yogyakarta, sebenarnya
seni batik di Yogyakarta yang kita kenal berakar dari seni batik di
Surakarta. Keberadaannya seni batik tradisional yang berkmbang di
Yogyakarta, sesuai dengan hakekatnya sebagai seni batik tradisional,
susunan motif dan elemen- elemen dari motif batik tidak pernah ada
sebelumnya. (Puspita Setiawati, 2008: 11).
Sedangkan Menurut A. N. Suyanto sejarah perkembangan batik
Yogyakarta tak dapat dipisahkan dengan batik tradisional Keraton
Yogyakarta sebagai pangkal tolak keberadaannya, sebelum terjadi
peristiwa perjanjian Giyanti pada tahun 1755, di mana kerajaan Mataram
pecah menjadi dua yaitu Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Sunan

Paku

Buana

III

dan

Ksultanan

Yogyakarta

dibawah

tampuk

pemerintahanSultan Hamungkubuana I. (A. N. Suyanto, 2002: 29)


Bila kita lihat dari warna seni batik tradisional Yogyakarta
menggunakan warna- warna yang sederhana. Warna- warna itu adalah:
1. Warna coklat
Warna coklat ini dengan kemerah- merahan.
2. Warna hitam
Warna hitam ini dekat dengan kebiru- biruan.
3. Warna putih
Warna ini warna dasar dari kain yang digunakan untuk media
membatik.
Warna pada batik klasik atau tradisional menurut filsafat jawa yang
kental dilingkungan keraton dengan budaya dan adat istiadat yang masih
tetap terjaga, warna- warna itu sendiri memiliki arti atau makna. makna itu
juga sebagai penggambaran yang menggambarkan sifat atau watak dari
manusia. Warna- warna tersebut diantaranya adalah:
1. Warna merah
Memiliki arti kemerahan, apabila sifat ini dikendalikan memiliki arti
sifat pemberani.
2. Warna hitam
Memiliki arti angkara murka, apabila sifat ini dikendalikan memiliki
arti sifat keabadian.
3. Warna putih
Memiliki arti polos, apabila sifat ini di kendalikan memiliki arti sifat
tenang juga bijaksana.
Pada batik klasik atau tradisional di Yogyakarta dan Surakarta zat
pewarnanya menggunakan zat pewarna alami. Zat pewarna ini diambil dari
bahan- bahan yang diambil dari alam, misalkan pewarna soga alam dapat
diperoleh dari peramuan bahan yang berupa getah, kulit, akar, dan daun
pohon. Dengan menggunakan bahan pewarna alami, warna coklat didapat
dari pohon soga, biru tua dari daun nila. Kain batik di daerah ini
kebanyakan dengan latar belakang berwarna hitam. Ada bermacammacam motif pada kain batik klasik di daerah ini yang bahkan kita sudah

sering mendngarnya, diantaranya adalah motif batik parang barong,


kawung, dan grompol. (Puspita Setiawati, 2008: 11)
C. Bentuk dan Fungsi Seni Batik Yogyakarta
Batik tradisional dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni batik
keraton dan batik pesisiran. Batik keraton adalah batik yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan keraton dengan dasar-dasar filsafat kebudayaan
jawa, yang mengacu pada nilai- nilai sepiritual dan pemurnian diri, serta
memandang manusia dalam konteks harmoni dengan semesta alam yang
tertib, serasi dan seimbang. Adapun batik pesisiran adalah batik yang
tumbuh dan berkembang di luar keraton yang pelaku produksinya adalah
rakyat jelata, dan sifat produksinya cenderung merupakan komoditas
perdagangan yang luas. (A. N. Suyanto, 2002: 28)
Menurut Puspita Setiawati Pada setiap daerah memiliki bentuk
motif yang berbeda- beda, yang menjadi identitas dari perkembangan
krajinanseni batik di daerahnya. Di bawah ini merupakan macam- macam
motif batik dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, yaitu:
1. Motif batik parang barong

15. Motif batik kanigoro


16. Motif batik jentik manis
17. Motif batik limaran
18. Motif batik kembang

2. Motif batik parang baris


3. Motif batik parang centong
4. Motif batik parang rusak

blimbing
19. Motif batik kawung beton
20. Motif batik kembang

gendereh
5. Motif batik parang jenggot
6. Motif batik parang kusumo
7. Motif batik semen gedhe

cengkeh
21. Motif batik cakra kusuma
22. Motif batik ceplok manggis
23. Motif batik grompol
24. Motif batik ganggong lerep
25. Motif batik ganggong

sawat gurdha
8. Motif batik semen gedhe
sawat lar
9. Motif batik cakar ayam
10. Motif batik purbonegoro
11. Motif batik truntum
12. Motif batik ceplok koci
13. Motif batik dara gelar
14. Motif batik keyongan

paningran
26. Motif batik sekar kacang
27. Motif batik banji
28. Motif batik tunjung korobban
29. Motif batik riti- riti

10

Selain dari segi bentuk atau motif batik Yogyakarta memiliki banyak
fungsional yang di gunakan dalam kehidupan sehari- hari baik oleh masyarakat
umum maupun orang- orang yang ada di lingkungan keraton, baik dari fungsi
tradisional maupun modern, di bawah ini merupakan penjelasan dari fungsi
dari seni batik, yaitu:
1. Bentuk dan Fungsi Batik Tradisional
Sebagai cabang seni rupa warisan generasi lampau, batik memiliki
berbagai bentuk dan fungsi sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada
zamannya. Peran utamanya adalah sebagai bahan busana, sedangkan
bentuknya disesuaikan dengan kegunaannya. Dalam perjalanannya batik
digunakan untuk pakaian sehari- hari, busana keprabon, pakaian upacara
daur hidup, dan untuk pasowanan, baik sebagai pakan peria maupun
wanita, yaitu berbentuk bebet atau tapih, kampuh (dodot), kemben,
slendang, dhestar (iket atau udeng), dan sarung. Dibawah ini merupakan
uraian macam- macam bentuk dan fungsi batik tradisional.
a. Bebet, tapih (bahasa jawa ngoko), atau sinjang (bahasa jawa madya),
atau nyamping (bahasa jawa krama inggil) adalah kain panjang yang
biasa digukan oleh kaum peria dan wanita. Bebet istilah kain yang
digunakan oleh peria, sedangkan tapih digunakan oleh kaum wanita.
Ukuran yang digunakan pada bebet biasanya 2 atau 2,5 kacu atau
saputangan dengan lebar 105 cm, bila ukuran nyamping 2 kacu berarti
ukuran panjang kain yang digunakan untuk bebet tersebut kurang lebih
210 cm.
b. Dodot (bahasa jawa ngoko), atau kampuh (bahasa jawa krama inggil),
adalah sejenis kain batikbangsawan dan abdi dalem.

dalam wujud

ukuran yang dasar. Kain dodot digunakan untuk pakaian kebesaran bagi
bangsawan dan abdi dalem. Ukuran kain dodot biasanya adalah 7 kacu
atau berupa kain panjang berupa 3,5 kacu, yang biasanya disebut

sepasang yang kemudian dua sisi panjangnya dijahit. Ada dua jenis
dodot, yaitu:
1) Dodot blenggen
Adalah dodot yang salah satu ujungnya dibalenggi atau diurai
sepanjanng 20 cm, sehingga membentuk rumbai- rumbai yang
kemudian diikat dengan model tertentu yang disebut kembang
suruh.
2) Dodot lugas
Adalah dodot yang pada ujungnya dijahit biasa.
c. Iket (bahasa jawa ngoko), atau udeng (bahasa jawa ngoko), atau dhester
(bahasa jawa krama inggil), adalah kain batik yang dipakai untuk ikat
kepala. Bentuknya bujursangkar berukuran satu kacu atau 105 cm x 105
cm.
d. Kemben (bahasa jawa ngoko), atau semekan (bahasa jawa krama
inggil), adalah kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita.
Kemben biasanya digunakan para putri dan abdi dalem keraton sebagai
pengganti kebaya. Pada zaman dahulu kainkemben panjangnya hingga
5 kacu, 2,5 kacu x 0,5 kacu atau 260,5 cm x 52,5 cm.
e. Selendang atau slendhang (bahasa jawa ngoko dan krama), adalahkain
batik yang digunakan juga untuk wanita sebagai kain hias di bagian
bahu. Disamping itu fungsi slendang juga untuk menggendong anak,
bakul, dan barang- barang lainnya. Ukuran kain yang digunakan untuk
slendang adalah 210 cm x 55 cm.
f. Sarung (bahasa jawa ngoko) atau sande (bahasa krama), adalah kain
batik yang kedua ujungnya dijahit sehingga bentuknya menyerupai
tabung yang tidak berujung pangkal, dikenakan secara melingkar di
badan bagian bawah dengan dikencangkan pada bagian pinggang.
Ukuran kain yang digunakan untuk sarung adalah 2,5 kacu atau 260,5
cm x 105 cm
(A. N. Suyanto, 2002: 31)
2. Bentuk dan Fungsi Batik Modern
Tradisi membuat batik tradisional teah berlangsung dalam kurun
waktu yang panjang dan hingga kini tetap lestari. Di sisi lain, masyarakat

moderen yang mempunyai aspirasi yang berbeda dengan masyarakat


tradisional menganggap, bahwa batik tradisional dianggap tidak sesuai
dengan kebutuhan dan kebiasaan mereka yang baru, maka orang lalu
berusaha mencari dimensi baru dalam dunia batik. Batik tidak kehilang
lahan untuk berkembang, namun mempunyaifungsi baruyang lebih luas
jangkauannya. Dibawah ini merupakan uraian macam- macam bentuk dan
fungsi batik modern.
a. Busana modern ialah busana yang mengacu gaya busana negaranegara yang dianggap lebih maju dari segi teknologi. Busana- busana
tersebut mempunyai ciri dan syarat busana untuk berbagai macam
kesempatan, contoh: busana rumah, busana kerja, busana sekolah,
busana olahraga, busana rekreasi,dan busana pesta.
b. Seprei ialah kain yang digunakan untuk alas tidur berbentukpersegi
panjang dengan ukuran menyesuaikan tempat tidur. Selain batik
digunakan untuk sprei batik juga di gunakan untuk sarung bantal dan
guling.
c. Taplak meja ialah kain yang digunakan untuk alas meja yang bentuk
dan ukurannya menyesuaikan mejanya. Bentuk meja biasanya ada
yang berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, lingkaran, dan oval.
d. Produk cindramata adalah barang- barang yang di butuhkan untuk
mendukung dunia kepariwisataan. Barang- barang ini merupakan
suatu produk yang dapat memberikan kenang-kenangan bagi
wisatawan yang pernah mengunjungi suatu daerah atau kota wisata
terentu dan dapat digunakan sebagai barang oleh- oleh. Produk batik
yang digunakan untuk cindramata ini antara lain kipas, dompet, tas,
topeng, wayang klithik, dan tempat perhiasan. Barang- barang yang
dipilih biasanya berupa mori primisima, prima, mori biru, berkulin,
kulit, dan kayu.
e. Media ekspresi adalah suatu bentuk media seni rupayang dapat
digunakan untuk mengungkapkan ekspresi individu bagi seorang
seniman. Bentuk produk yang dihasilkan berupa lukisan batik. Bentuk
visualisasinya dapat dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu: lukisan
batik yang figuratif dan lukisan batik abstrak, dengan tema beraneka

ragam, ada bertema kehidupan sehari- hari, cerita rakyat,dongeng


binatang, Mahabarata, dan Ramayana. Cara pelukisannya ada yang
bersifat dekoratif, impresionistik, ekspresif, pointilistik, dan kubistik,
atau gabungan dari unsur- unsur itu.
(A. N. Suyanto, 2002: 42)

D. Aspek- aspek Perubahan Seni Batik Yogyakarta dari Masa- Kemasa


Perubahan yang terjadi dalam bentuk dan fungsi batik di
Yogyakarta dari akhir abad ke XIX hingga akhir abad XX, baik dari dalam
keraton Yogyakarta maupun dari luar keraton Yogyakarta. Ada beberapa
aspek perubahan bentuk dan fungsi batik dalam kebutuhan tradisi seta
dalam kebutuhan modern dikarenakan munculnya beberapa penyebab baik
langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, faktor internal atau
pelaku dalam keraton dan faktor eksternal juga memberikan pengaruh
yang kuat dalam proses perubahan itu. Tuntutan zaman dan pengaruh
budaya luar yang begitu kuat menerobos akar- akar budaya baik di dalam
keraton maupun di luar keraton. Dibawah ini merupakan perubahanperubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buana
VII- X, yaitu:
1. Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buana VII
Sultan
cenderung
mempertahankan

bentuk

tradisi

pendahulunya. Bahkan motif batik lama seperti kawung dijadikan


identitas pribadi Sultan, demikian motif tambal digunakan sebagai
busana resmi keprambon yang disebut ageman antra kusuma. Motif
batik yang selalu dipakai keprambon adalah parang rusak, (barong,
gendereh, dan klithik), semen gedhe sawut gurdha, semen gedhe
sawut lar.
Di luar keraton, tradisi membatik dikalangan wanita sangat
kuat, karena ketrampilan membatik merupakansalah satu syarat untuk

menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga. Perkembangan batik maju,


baik diusahakan oleh pengusaha batik pribumi, Cina, dan Belanda.
Produk batik yang dihasilkan pada masa pemerintahan Sultan
Hamengku Buana VII berupa batik tradisional dan modern. Batik
tradisional meliputi produk batik yang berfungsi sebagai kain panjang
(bebet dan jarit), kampuh (dodot), kemben, slendang, ikat kepala
(desthar), dan sarung. Sasaran konsumen untuk batik jenis ini adalah
masyarakat bangsawan, abdi dalem, masyarakat wilayah Kesultanan
Yogyakarta. Sedangkan

jenis batik modern meliputi produk batik

yang berfungsi sebagai taplak meja, sarung bantal, korden, dan hiasan
dinding. Batik jenis ini pada umumnya dikonsumsi olehmasyarakat
Belandadan masyarakat Eropa yang tinggal di Yogyakarta dan kotakota wilayah Pulau Jawa. banyak pembinaan yang menyeponsori
pembinaan batik, di antaranya adalah Sarekat Dagang Islam.
(A. N. Suyanto, 2002: 122)
2. Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buana VIII
Sultan mengambil kebijakan yang agak berbeda dengan
ayahnya. Karena terjadi kemerosotan kewibawaan atas menyempitnya
aspek politik dan ekonomi kesultanan, maka Sultan berpaling untuk
memajukan bidang seni budaya dan Jawa. Salah satu prestasi dari
Sultan Hamengku Buana VIII, yaitu telah memproduksa pertunjukan
wayang wong secara besar- besaran yang dipentaskan sebanyak
sebelas kali. Di samping itu, pada tahun 1927, Sultan Hamengku
Buana VIII mengeluarkan undang- undang tentang penggunaan
busana keprabon, termasuk peraturan penggunaan busana batik di
dalamnya. Bntunk motif batik yang selalu digunakan sebagai busana
keprabon adalah parang rusak, (barong, gendereh, dan klithik), semen
gedhe sawut gurdha, semen gedhe sawut lar, udan, dan riris.
Di luar keraton, tradisi membatik masih dipegang oleh kalangan
wanita. Batik mengalami kemajuan, tidak hanya dilakukan oleh
benduduk pribumi, Cina, dan Belanda, namun juga di lakukan oleh
orang Jepang. Batik tradisional meliputi produk batik yang berfungsi

sebagai kain panjang (bebet dan jarit), kampuh (dodot), kemben,


slendang, ikat kepala (desthar), dan sarung. Sasaran konsumen untuk
batik jenis ini adalah masyarakat bangsawan, abdi dalem, masyarakat
wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Sedangkan jenis batik modern meliputi produk batik yang
berfungsi sebagai taplak meja, sarung bantal, kimono, dan hiasan
dinding. untuk batik jenis Belanda di konsumsi oleh masyarakat
Belanda dan masyarakat Eropa lainnya, sedangkan prduk batik Jepang
sasaran pasarnya adalah untuk ekspor di Jepang. Lembaga yang
menyeponsori pengembangan, tuntunan, dan penerangan tentang
proses pembuatan batik ialah Batik Proef Station.
(A. N. Suyanto, 2002: 122)
3. Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buana IX
Sultan mempunyai sikap yang berbeda dengan ayahnya. Pada
masa pemerintahan

Sultan Hamengku Buana IX terjadi banyak

perubahan dibandingkan dengan preode sebelumnya. Pakaian


keprabon hanya digunakan untuk upacara jumenengan dan untuk
mennyambut tamu agung saja. Busana keprabon yang dulu juga
digunakan untuk upacara grebek, pada masa ini tidak di ginakan lagi,
tetapi diganti dengan busana taqwa dengan bebet batik bermotif
parang rusak barong. Di sini terjadi perubahan fungsi batik, yang
dulunya menggunakan kampuh (dodot) sekarang menggunakan bebet.
Di luar keraton, sebelum zaman Jepang batik mengalami
kemajuan, tidak hanya di dalam kota, tetapi menyebar hingga ke
plosok- plosok daerah. Pada zaman Jepang dan zaman berakhirnya
perang kemerdekaan batik mengalami kemacetan. Setelah dekade 50an batik mulai bangkit kembali.
Seponsor yang penting bagi pembinaan, bimbingan, dan
tuntunan proses pembuatan batik adalah balai penelitian batik. Dari
dekade 70- an sampai dekade 80- an batik mengalami kemajuan yang
pesat, karena merupakan komoditas ekspor dan aset pariwisata.
Produk batik pada saat itu berupa busana modern (kemeja, rok, blus,

dan jas), elemen interior (dinner set, taplak meja, sprei, korden),
cinderamata (kipas, dompet, tas, dan hiasan dinding), dan lukisan. Di
sini banyak terjadi perubahan bentuk dan fungsi batik. Jika dulu
bentuk batik adalah persegi panjang, bujur sangkar, dan segitiga
dengan ornamental tradisional, namun sekarang sangat bervareasi jika
dilihat dari bentuk dan seni hiasannya. Demikian pula jika dilihat dari
fungsinya, dulu batik tradisional berfungsi sebagai busana saja, tetapi
sekarang berkmbang menjadi elemen interior, cindramata, dan sebagai
media ekspresi. (A. N. Suyanto, 2002: 124)
4. Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buana X
Pada masa ini juga banyak mengalami perubahan, salah
satunya dibuka keraton untuk masyarakat luas. Secara umum jika
dibandingkan denan para pengahulunya, Sultan Hamengku Buana X
merupakan sosok yang terkesan lebih sederhana dan merakyat.
Sebagai contoh, cara ngabekten dalam rangkaian upacara grebek
syawal, yang dilakukan hari kedua setelah grebek ini, diselenggarakan
silaturahmi. Padahal, jika dilihat tradisi dari pendahulunya di masa
lalu, acara tersebut mestinta dilakukan di dalam keraton.
Acara penerimaan tamu agung pada dasarnya tidak menalami
perubahan. Untuk menerima tamu agung yang berkebudayaan sama
atau yang lebih tinggi, maka Sultan mengenakan busana keprabon.
Mengenakan nyampig batik bermotifkan parang rusak barong,
memakai kuluk kanigoro dengan nyamat dari logam. Diluar keraton,
terjadi perubahan entuk dan fungsi batik. Jika di masa sebelumnya
selalu enggunakan bahan dasar mori, namun saat ini ada produk seni
batik yang menggunakan bahan dasar kulit dan kayu. Bentuk
modelnya tidak hanya berbentuk dua dimensi seperti wayang klithik,
tetapi ada yang berbentuk tiga dimensi, diantaranya ada topeng,
tempat kosmetik, dan lemari kompeni. Walaupun demikian saat ini
produk- produk batik yang konvensional masih tetap ada dan lestari.
(A. N. Suyanto, 2002: 125)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Batik adalah gambar tau hiasan yang dihasilkan melalui
prosestutup- celup dengan lilin, yang menggunakan alat canting untuk
menggoreskannya. Seni batik tradisional Surakarta dan Yogyakarta dari
perkmbngannya keduanya sangatlah kental dengan aturan norma- norma,
aturan adat, dan kesesuaian dengan budaya keraton sebagai pusat
perkmbangannya. Warna pada batik klasik atau tradisional menurut filsafat
jawa yang kental dilingkungan keraton dengan budaya dan adat istiadat
yang masih tetap terjaga, memiliki arti atau makna sebagai penggambaran
yang menggambarkan sifat atau watak dari manusia.
Batik tradisional dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni batik
keraton dan batik pesisiran. Selain dari segi bentuk atau motif batik
Yogyakarta memiliki banyak fungsional yang di gunakan dalam kehidupan
sehari- hari baik oleh masyarakat umum maupun orang- orang yang ada di
lingkungan keraton. fungsi tradisional tradisional meliputi pakaian seharihari, busana keprabon, pakaian upacara daur hidup, dan untuk pasowanan,
baik sebagai pakan peria maupun wanita, yaitu berbentuk bebet atau tapih,
kampuh (dodot), kemben, slendang, dhestar (iket atau udeng), dan sarung.
Sedangkan fungsi modern berupa kemeja, rok, blus, jas, elemen interior

(dinner set, taplak meja, sprei, korden), cinderamata (kipas, dompet, tas,
dan hiasan dinding), dan lukisan.
Perubahan yang terjadi dalam bentuk dan fungsi batik di
Yogyakarta dari akhir abad ke XIX hingga akhir abad XX, baik tradisional
maupun kebutuhan modern dikarenakan munculnya beberapa penyebab
baik langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, faktor internal atau
pelaku dalam keraton dan faktor eksternal juga memberikan pengaruh
yang kuat dalam proses perubahan itu dari masa ke masa. masa
pemerintahan Sultan Hamengku Buana VII- X
B. Saran
Melihat dari realita dari masa- ke masa baik dalam keraton maupun
luar keraton batik selalu mengalami perubahan baik dari segi fungsional
maupun bentuk. Perlu kita cermati suatu faktor yang sangat pesat
mempengaruhi budaya bangsa ini adalah faktor yang timbul dari budayabudaya barat yang masuk ke celah- celah budaya indonesia. Alangkah
lebih baiknya jika ada budaya- budaya asing atau budaya- budaya baru
tidak harus kita terima maupun kita gunakan, namun kita harus
menyaringnya dan kita harus berfikir dua kali untuk menerimanya, karena
budaya- budaya baru kadang ada yang memberi faktor baik dan kadang
ada yang memberi faktor tidak baik terhadap bangsa ini.
Untuk melestarikan budaya- budaya tradisional sebaiknya adatistiadat yang sering dilakukan sebaiknya tetap terus di adakan agar tetap
lestari. Untuk perkembangan seni batik Yogyakarta perlu adanya
kepedulian sosial untuk kelangsungan budaya batik Indonesia. Upaya yang
mungkin dapat dilakukan dapat berupa pelatihan, maupun pembinaan,
baik untuk masyarakat maupun lembaga- lembaga pendidikan guna
memberikan pengetahuan pentingya melestarikan batik agar tetaplestari
dan budaya bangsa ini tidak dicuri oleh negara tetangga seperti kejadian
tahun- tahun sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
A. N. Suyanto. 2002. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Rumah
Penrbitan Merapi
Setiawati, Puspita. 2008. Kupas Tuntas Teknik Membatik. Yogyakarta:
Absolut
Utoro, bambang; kuwat. 1979. Pola- Pola Batik dan Pewarnaan. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html, diakses 13 April 2014,
pukul 17.30
http://batikindonesia.com/tag/macam-macam-batik, diakses 13 April 2014,
pukul 18.01

Anda mungkin juga menyukai