Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

SMF INTERNA
ANEMIA ON CKD

Oleh:
Oktavianus Prayitno (H1A212046)
Pembimbing:
dr. I.G.N. Ommy Agustriadi, SpPD
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
SMF INTERNA RSUP NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada
laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia bukanlah suatu diagnosis,

melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui
anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney
Disease / CKD). Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak
ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi. Sebagai salah satu penyakit yang sering
dijumpai di masyarakat, prevalensi penyakit ginjal kronik semakin meningkat setiap tahunnya.
Di Amerika Serikat (AS) terdapat lebih dari 30 juta penderita CKD dan diperkirakan mereka
yang akhirnya menjadi CKD stadium 5 jumlahnya meningkat dari 450.000 pada tahun 2003
menjadi 661.330 pada tahun 2010. Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat sekitar 3.800-4.000
penderita penyakit ginjal kronik baru yang memerlukan dialisis setiap tahunnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer. Anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin,
ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti pada kehamilan. Anemia
bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit
yang mendasarinya (underlying disease). 1 Anemia terjadi pada 80-90% pasien dengan penyakit
ginjal kronik (Chronic Kidney Disease / CKD). Anemia pada CKD terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi
besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.1 Anemia merupakan salah satu
komplikasi penting dari CKD, karena dengan adanya anemia hal ini sangat mempengaruhi
beratnya gejala klinis dari CKD. Seiring dengan semakin menurunnya fungsi ginjal, maka
dampak anemia yang muncul juga akan semakin berat. Hal ini memiliki dampak yang besar pada
pasien dengan CKD, namun dengan terapi yang sesuai hal ini memiliki kemungkinan dapat
kembali seperti normal (keadaan anemia pasien).4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya. Di Negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus perjuta penduduk per tahun.4,10 Sebuah studi populasi National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia in
Early Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya anemia adalah kurang
dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40% pada gagal ginjal kronik stadium 3,
50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4, dan lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium
5.
2.3 KRITERIA ANEMIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Batas normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan
ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki
adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa yang tinggal pada ketinggian permukaan laut.
Sedangkan menurut peneliti lain memberikan batas yang berbeda, yaitu 12 g/dl (hematokrit
38%) 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki-laki dewasa. 1
WHO menetapkan cut off point anemia untuk kepentingan penelitian lapangan.2

Untuk kepentingan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan Negara berkembang
lainnya, criteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Oleh karena itu beberapa peneliti
di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai criteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl
sebagai awal dari work up anemia.
2.4 GEJALA DAN MANIFESTASI KLINIS ANEMIA
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada
setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila hemoglobin turun pada tingkat tertentu.
Gejala umum anemia ini timbul karena:
1. Anoksia organ
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun
dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada:

a.
b.
c.
d.

Derajat penurunan hemoglobin


Kecepatan penurunan hemoglobin
Usia
Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

Gejala umum anemia muncul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat
lelah, telinga mendengig (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dyspepsia. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar
anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 gr/dl).
2.5 PATOFISIOLOGI TERJADINYA ANEMIA PADA CKD
Anemia normositik dan normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Biasanya
hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai derajat azotemia. Penyebab utama anemia adalah
berkurangnya pembentukan sel-sel darah merah (SDM).4,11
-

Defisiensi Eritropoetin

Penurunan pembentukan SDM ini diakibatkan defisiensi pembentukan eritropoietin oleh ginjal.
Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian
ginjal yang memproduksi eritropoetin. Sel progenitor ginjal memproduksi 90% eritropoietin dan
sisanya terutama dibentuk di sentrilobuler hepatosit hati. Adanya penurunan massa nefron ginjal
pada pasien gagal ginjal kronik menyebabkan menurunnya produksi eritropoietin, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya anemia. 4,11
Secara tipikal, produksi EPO di sel endotelial kapiler tubulus ginjal bergantung pada mekanisme
feed-back untuk mengukur kapasitas pembawa oksigen total. Faktor penginduksi hipoksia
(Hypoxia inducible factor/ HIF), yang diproduksi di ginjal dan jaringan lain, adanya penurunan

oksigen selama anemia atau hipoksemia. HIF memicu transduksi sinyal dan sintesis EPO. Oleh
karena itu, respon yang muncul adalah ditingkatkannya produksi EPO pada anemia. EPO
kemudian berikatan dengan reseptor pada sel progenitor eritroid di sumsum tulang belakang,
secara spesifik Burst-Forming Units (BFU-E) dan Colony Forming Units (CFU-E).

Adanya EPO, progenitor eritroid ini berdiferensiasi menjadi retikulosit dan sel darah merah (Red
Blood Cells/ RBCs). Ketiadaan EPO memicu program apoptosis, hal ini dimediasi oleh antigen
Fas. 4,11
-

Kondisi Inflamasi Akut dan Kronik

Kondisi inflamasi kronik dan akut memiliki pengaruh kuat pada anemia dengan gagal ginjal
kronik, oleh karena adanya agen inflamasi sitokin yang menurunkan produksi EPO dan
menginduksi apoptosis pada Colony Forming Units-Erythroid Cells (CFU-E). Pada induksi awal
apoptosis sel CFU-E menghentikan proses perkembangan sel darah merah. Agen inflamasi
sitokin juga ditemukan dapat menginduksi produksi hepcidin, suatu peptida yang dihasilkan di
hati, yang mengganggu dalam produksi sel darah merah, dengan menurunkan ketersediaan besi
untuk menjadi eritroblas. Hal ini dapat mengurangi produksi sel darah merah. 4,11

Waktu hidup sel darah merah yang lebih pendek

Sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki waktu hidup yang
pendek. Pada normalnya waktu hidup sel darah merah adalah 120 hari, pada gagal ginjal kronik
menjadi 60-90 hari. Peningkatan hemolisis SDM ini disebabkan oleh kelainan lingkungan kimia
plasma dan bukan karena cacat pada sel itu sendiri.
-

Racun uremik

Juga terdapat bukti bahwa racun uremik dapat menginaktifkan eritropoietin atau menekan
respons sumsum tulang terhadap eritropoietin. Toksin uremia berkontribusi pada apoptosis
sehingga insiden anemia akan meningkat setelah dialysis.
-

Kehilangan darah

Di samping itu, defisiensi eritropoiesis dan kencenderungan hemolitik, kehilangan darah melalui
saluran cerna juga dapat menyebabkan anemia. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
anemia antara lain, kehilangan darah iatrogenic dan defisiensi besi dan asam folat. Kehilangan
darah akibat darah sering diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan kehilangan darah pada
proses hemodialisis cukup banyak.

Defisiensi besi, asam folat dan bahan lain

Kekurangan besi dapat disebabkan oleh kehilangan darah dan absorpsi saluran cerna yang buruk
(antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus). Kekurangan
asam folat juga menyertai uremia, dan bila pasien mendapatkan pengobatan hemodialisis, maka
vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui membrane dialysis. 4

Faktor-faktor Terjadinya Anemia pada


CKD6 PADA PASIEN ANEMIA DENGAN CKD
2.6 DIAGNOSIS DAN EVALUASI ANEMIA

Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia pada CKD bersifat hipoproliferatif
normositik normokrom. Berdasarkan guideline KDIGO (The Kidney Disease Improving Global
Outcomes), diagnosis anemia pada pasien dengan CKD ditentukan berdasarkan kadar
Hemoglobin (Hb).

Pada pasien PGK tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar Hemoglobin (Hb) jika
terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).

Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, lakukan pemantauan kadar Hb jika
terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).

Diagnosis anemia pada pasien dewasa atau anak usia >15 tahun jika kadar Hb <13 g/dL
pada pria atau <12 g/dL pada wanita.

Diagnosis anemia pada pasien anak jika kadar Hb <11 g/dL (usia 0,5 5 tahun), <11,5
g/dL (usia 5 12 tahun), dan <12 g/dL (usia 12 15 tahun).

Pada pasien PGK dengan anemia, lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung
retikulosit absolut, kadar feritin serum, saturasi transferin serum (TSAT), serta kadar
vitamin B12 dan folat serum.

Selain menggambarkan cadangan besi dalam tubuh, feritin serum juga merupakan reaktan fase
akut yang akan mengalami peningkatan tidak hanya ketika cadangan besi tubuh meningkat tapi
juga pada inflamasi akut atau kronik, penyakit hati, alkoholik, anemia hemolitik,
hemokromatosis dan malignansi. Sedangkan kadar feritin serum yang rendah biasanya
menunjukkan anemia defisiensi besi. pasien dengan saturasi transferin kurang dari 20% dan
feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi defisiensi besi.
2.7 TATALAKSANA
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, terapi
awal yang lebih sering digunakan untuk anemia pada pasien dengan CKD adalah penggunaan
erythropoiesis-stimulating agents (ESA). Di Amerika ESA yang digunakan adalah epoetin alfa
(Epogen) dan darbepoetin alfa (Aranesp). Guideline dari National Kidney Foundation Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-DOQI) merekomendasikan agar target hemoglobin
yang dicapai berkisar pada 11-12 g/dl dan hemoglobin tidak boleh lebih dari 13 g/dl.
Pengkajian status besi Anmia pada GGK :12
a. Anmia dengan status besi cukup
b. Anmia defisiensi besi :

- Anmia defisiensi besi absolut : FS<100g/L & ST<20%

Anmia defisiensi besi fungsional : : FS<100g/L & ST<20%

Terapi anmia defisiensi besi


a. Indikasi terapi besi:

b. Kontraindikasi terapi besi :

- Anmia defisiensi besi absolut.

- Hipersensitivitas terhadap besi

- Anmia defisiensi besi fungsional.

- Gangguan fungsi hati berat


- Kandungan besi tubuh berlebih ( iron
overload)

Sediaan besi :
- Parenteral (intravena)
Macam-macam sediaan :
* Irondextran
* Iron sucrose
* Iron gluconate
* Iron dextrin (iron poly-maltose)
-Intramuskular
*Iron dextran
Oral:
Kurang efektif, terutama bila pasien mendapat EPO. Apabila prpart suntikan tidak tersedia,
dapat diberikan prpart besi oral.
Terapi Besi Fase Koreksi12
Sebelum memberikan terapi besi fase koreksi dilakukan terlebih dahulu tes dosis uji coba.
Tujuan dilakukan tes ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat reaksi hipersensitivitas
terhadap besi.
Dilakukan sebelum mulai terapi besi, dengan cara :
1. Iron sucrose : 20 - 50 mg ( 1-2,5 mL ) diencerkan dengan 50 mL NaCI 0.9 % drip IV, dalam
waktu paling cepat 15 menit.
2. Iron dextran : 25 mg diencerkan dengan 50 mL NaCI 0,9 % drip IV, dalam waktu 30 menit

Terapi besi fase koreksi memiliki tujuan untuk koreksi anmia defisiens besi absolut dan
fungsional, sampai status besi cukup yaitu Feritin srum mencapai > 100 |ug/L dan Saturasi
transferin > 20%.

Iron sucrose : bila dapat ditoleransi 100 mg diencerkan dengan 100 mL NaCI 0.9 %, drip
IV dalam waktu paling cepat 15 menit. Cara lain dapat disuntikkan IV atau melalui

venous blood line tanpa diencerkan secara pelan-pelan, paling cepat dalam waktu 15

menit
Iron dextran : 100 mg Iron dextran diencerkan dengan 50 mL NaCI 0,9 %, diberikan 1-2
jam pertama HD melalui venous blood Une. Cara ini diulang setiap HD (2x seminggu)

sampai 10 kali atau dosis mencapai 1000 mg.


Iron gluconate : 125 mg setiap HD (2x seminggu) sampai 8 kali atau dosis mencapai
1000 mg. Cara pemberian sama dengan Iron dextran

Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup
lanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan. Bila status besi belum cukup ulangi terapi besi
fase koreksi.
Terapi besi fase pemeliharaan12
Tujuannya untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoisis selama terapi EPO.
Target terapi: Feritin srum > 100 /L - < 500 /L Saturasi transferin > 20% - < 40%.
Dosis:
IV :

Ironsucrose: maksimum 100mg/minggu


Irondextran : IV: 50mg/minggu
Irongluconate : IV: 31,25 -125 mg/minggu

IM :

Irondextran :80mg/2 minggu

Oral : 200mg besi elemental : 2-3 x/ hari


Status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila status besi dalam btas target yang dikehendaki
lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan. Bila Feritin srum > 500 /L atau Saturasi transferin
>40%, suplementasi besi di stop selama 3 bulan. Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan Feritin
serum < 500 g/L dan Saturasi transferin < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan
dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
Terapi EPO12
Tujuan pemberian EPO untuk mengoreksi anmia rnal sampai target Hb / Ht tercapai. Pada
umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2 - 3 x seminggu selama 4 minggu. Target
respon yang diharapkan adalah Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4% dalam 2-4
minggu. Pemantauan Hb dilakukan tiap 4 minggu. Bila target respon tercapai maka

dipertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai ( > 10 g/dL), bila target respon belum
tercapai naikkan dosis 50%, bila Hb naik > 2,5g/dLatau Ht naik > 8% dalam 4 minggu
turunkan dosis 25%.
Terapi EPO Fase Pemeliharaan
Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10g/dl). Dengan dosis : 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu,
pemantauan Hb dan Ht setiap bulan dan status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila dengan terapi

pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO
diturunkan 25%.
Respon EPO Tidak Adekuat
Respon terhadap EPO tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang
dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.
Penyebab:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional : merupakan penyebab tersering
b. Infeksi / inflamasi ( infeksi akses , inflamasi, TBC, SUE, AIDS)
c. Kehilangandarahkronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekuat
f. Obat-obatan ( dosis tinggi ACE inhibitor, AT1 receptor antagonists)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme / osteitis fibrosa, intoksikasi aluminium, hemoglobinopati
seperti talasemia 6 dan sickle oeil anmia, defisiensi asam folat dan vitamin B12, mieloma
multipel dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan)
Terapi Penunjang untuk Optimalisasi EPO : 12
1. Asam folat:5mg/hari
2. Vitamin B6 : 100-150 mg
3. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
4. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada Anmia defisiensi besi fungsional yang mendapat
terapi EPO.
5. Vitamin D : mempunyai efek langsung terhadap precursor eritroid
6. Vitamin E: 1200 IU Mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
intravena

7. Prpartandrogen (2-3 x /minggu)


a. Dapat mengurangi kebutuhan EPO
b. Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

Alur Tatalaksana Anemia pada GGK12

Transfusi Sel Darah Merah untuk Terapi Anemia pada Pasien PGK5

Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan sedapat mungkin menghindari


transfusi sel darah merah untuk menghindari risikonya.

Pada pasien kandidat transplantasi organ, direkomendasikan sedapat mungkin


menghindari transfusi sel darah merah untuk meminimalkan risiko allosensitization.

Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan pemberian transfusi sel darah


merah pada pasien di mana terapi ESA tidak efektif dan risiko terapi ESA melebihi
manfaatnya (misal, riwayat keganasan/riwayat stroke).

Pertimbangan untuk memberikan transfusi pasien PGK dengan anemia non-akut tidak
berdasarkan ambang batas kadar Hb, namun berdasarkan gejala anemia.

Pada kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian transfusi jika manfaatnya
melebihi risiko (meliputi saat koreksi cepat anemia dibutuhkan untuk menstabilkan
kondisi pasien atau saat koreksi Hb pre-operasi dibutuhkan).

Suplementasi Asam folat4,7,8


Defisiensi asam folat dan anemia makrositik dapat terjadi pada pasien dengan asupan protein
yang rendah sejak diet dari pasien dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung
asam folat yang cukup, defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam folat
oral tidak diperlukan. Pemberian asam folat dapat diberikan dengan dosis 1 mg per harinya.
Mengatasi Hiperfosfatemia4,7,8
Pembatasan asupan fosfat dengan diet rendah fosfat dapat membantu mengatasi
hiperfosfatemia. Pembatasan ketat tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan malnutrisi.
Berikut merupakan anjuran nutrisi pada pasien CKD dengan anemia.

Anjuran Nutrisi Harian pada pasien CKD


dengan Anemia7

Pemberian pengikat fosfat.


Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, garam
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3)
dan kalsium acetate.4,7,8
Cara/Bahan
Diet rendah fosfat

Efikasi
Tidak selalu mudah

Efek Samping
Malnutrisi

Al(OH)3

Bagus

Intoksikasi Al

CaCO3

Sedang

Hipercalcemia

CaAsetat

Sangat Bagus

Mg(OH)2/MgCO3

Sedang

Mual, muntah
Intoksikasi Mg

Pemantauan Anemia
Sebagai panduan umum, KDIGO juga telah mengeluarkan rekomendasi pemantauan anemia
pada pasien gagal ginjal kronik, yakni:
1. Pada pasien gagal ginjal kronik tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar Hemoglobin (Hb)
jika terindikasi (setelah tindaka bedah mayor, dirawat, atau perdarahan) atau secara berkala
(tergantung stadium):
a. Setiap tahun pada pasien CKD stage 3
b. Dua kali per tahun pada pasien CKD non hemodialisa
c. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa maupun peritoneal dialisa
2. Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, lakukan pemantauan kadar Hb jika
terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium):

a. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 3-5 dengan hemodialisa dan gagal ginjal kronik dengan
peritoneal dialisa
b. Setiap bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa

DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta IM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. 2009: 177 (p1109-1115)
2. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of
severity.World Health Organization. 2010: VMNIS (p2)
3. WHO. The Global Prevalence of Anaemia in 2011. World Health Organization. 2015;
(p21-32)
4. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing: 163 (p1035-1040)

5. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl.
2012;2:279-335.
6. Babbit JL, Lin HY. Mechanisms of Anemia in CKD. JASN. 2012; J Am Soc Nephrol 23:
16311634
7. Brugnara C, Eckardt KU. Anemia in Chronic Kidney Disease. NIH. 2014; p1-8
8. Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 2005; 48 (p964-990)
9. Zadeh KK. Chronic Kidney Disease Clinical Practice Recommendations for Primary
Care Physicians and Healthcare Providers. ASN. 2011; p28
10. Stauffer ME, Fan T. Prevalence of Anemia in Chronic Kidney Disease in the United
States.NCBI. 2014; Vol9 p1-9
11. Lankhorst, CE dan Wish, JB. Anemia in Renal Disease: Diagnosis and Management,
Blood Reviews.,2010. 24, 39-47.
12. Konsensus Manajemen Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik.PERNEFRI.2001. p11-38

Anda mungkin juga menyukai