SISTEM SARAF
Oleh:
Jayeng sasmita fitri S.Ked
Dokter Pembimbing :
dr listyo asist pujarini, Sp.S
dr. Eddy Raharja, Sp.S
INFARK SEREBRAL
A. DEFINISI
Infark serebri adalah kematian neuron-neuron, sel glia dan sistem pembuluh
darah yang disebabkan kekurangan oksigen dan nutrisi. Berdasarkan penyebabnya
Infark dapatdibagi menjadi 3, yaitu:
1. Infark
anoksik,
disebabkan
kekurangan
oksigen,
walaupun
aliran
darah
yang
D. PATOFISIOLOGI
Infark serebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow
(CBF) yang menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat dan durasi
penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) kemungkinan berhubungan dengan jejas yang
terjadi. Jika suplai darah ke otak terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di
otak akan berubah. Setelah satu menit terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5
menit terganggu dapat terjadi infark. Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak dapat
diperbaiki dengan cepat, kerusakan kemungkinan bersifat reversibel. Dalam keadaan
iskemik, kadar kalium akan meningkat disertai penurunan ATP dan kreatin fosfat.
Akan tetapi, perubahan masih bersifat reversibel apabila sirkulasi dapat kembali
normal. Ion kalium yang meninggi di ruang ekstraseluler akan menyebabkan
pembengkakan sel astroglia, sehingga mengganggu transport oksigen dan
bahan
makanan ke otak. Sel yang mengalami iskemia akan melepaskan glutamat dan
aspartat yang akan menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel. Kalsium
yang tinggi di intraseluler akan menghancurkan membran fosfolipid sehingga terjadi
asam lemak bebas, antara lain asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan
prekursor dari prostasiklin dan tromboksan A2. Prostasiklin merupakan vasodilator
yang kuat dan mencegah agregasi trombosit, sedangkan tromboksan A2 merangsang
terjadinya agregasi trombosit. Pada keadaan normal, prostasiklin dan tromboksan A2
berada dalam keseimbangan sehingga agregasi trombosit tidak terjadi. Bila
keseimbangan ini terganggu, akan terjadi agregasi trombosit. Prostaglandin,
leukotrien, dan radikal bebas terakumulasi. Protein dan enzim intraseluler
terdenaturasi, setelah itu sel membengkak (edema seluler). Akumulasi asam laktat
pada jaringan otak berperan dalam perluasan kerusakan sel. Akumulasi asam laktat
yang dapat menimbulkan neurotoksik terjadi apabila kadar glukosa darah otak tinggi
sehingga terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan iskemia
E. MANIFESTASI KLINIK
Yang paling umum adalah difisit neurologic yang progresif. Pemburukan
situasi secara bertahap terjadi pada sepertiga jumlah penderita, dua pertiga lainnya
muncul sebagai transien iskemic attacks (TIA) yang kemudian berkembang menjadi
deficit neurologic menetap. Deficit neurologic pada otak biasanya mencapai
maksimum dalam 24 jam
mengalami resolusi dan meninggalkan jaringan otak dalam keadaan utuh; sementara
itu infark merusak neuron-neuron yang terkena.
F. DIAGNOSA
1. Pemeriksaan radiologi
a. Ct-scan
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
2. Patologi Anatomi
a. Makroskopik
b. Mikroskopis
G. TERAPI
Penanganan penderita infark otak bergantung pada tahap perkembangannya.
Dalam hal ini diperlukan klasifikasi yang tepat, apakah itu suatu TIA, Refersible
Ischemic Neurologic Deficit (RIND) atau complete strok.
1. Tahap akut
a. Hemodilusi
b. Antikoagulan
c. Kontol terhadap edema otak
d. Antagosis Kalsium
2. Tahap pasca akut
a. Fisioterapi
b. Obat-obat untuk tahap ini cukup beragam dengan titik tangkap yang
berbeda:
H. KOMPLIKASI
Komplikasi akut bisa berupa gangguan neurologis atau nonneurologis.
Gangguan neurologis misalnya edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial
yang dapat menyebabkan herniasi atau kompresi batang otak, kejang, dan
transformasi hemoragik. Gangguan nonneurologis, misalnya adalah infeksi (contoh:
HEMATOMA INTRASEREBRI
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
Etiologi dari Intra Cerebral Hematom menurut Suyono (2011) adalah :
a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
b. Fraktur depresi tulang tengkorak
c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
d. Cedera penetrasi peluru
e. Jatuh
f. Kecelakaan kendaraan bermotor
g. Hipertensi
h. Malformasi Arteri Venosa
i. Aneurisma
j. Distrasia darah
k. Obat
l. Merokok
C. MANIFESTASI KLINIK
a. Kesadaran
mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya hem
b.
c.
d.
e.
atom.
Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan m
e. Thorax photo
f. Laboratorium
g. EKG
E. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obatobatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan
makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang
mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu
penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah
yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom
secara bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
PERDARAHAN SUBARAKNOID
A. DEINISISI
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara
otak dan selaput otak (rongga subaraknoid)
B. ETIOLOGI
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya
aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA
merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma
berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels,
gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan perdarahan berbagai
jenis tumor.
C. PATOFISIOLOGI
Aneurisma merupakan luka yang
hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji
aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan
suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu
pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang
subarachnoid.
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid
bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis.
Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa pecah
atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atheroclerosis,
bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan,
kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang
semua memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular
Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang
subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi
dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya
pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya sma pada
perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama subarachoid
hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf serebral atau kerusakan
arterivenous. Dalam hal ini, perdarahan asli arteri
D. DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
Gejala prodromal
interna
Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi.
Gangguan fungsi saraf otonom : demam setelah 24 jam, demam ringan
karena rangsangan mening, dan demam tinggi bila pada hipotalamus.
Begitu
pun
muntah,berkeringat,menggigil,
dan
takikardi,
adanya
C. PENATALAKSANAAN
Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda
nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang
drainase didalam otak untuk mengurangi tekanan.Pembedahan untuk menyumbat
atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan
fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat
tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian
besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari
setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih
memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan
terjadinya perdarahan kembali.
ENSEFALOPATI HIPERTENSI
A. DEFINISI
Hipertensi ensefalopati adalah sindroma klinis akut reversibel sebagai
akibat kenaikan tekanan darau secara tiba-tiba yang ditandai dengan perubahanperubahan neurologis mendadak, atau sakit kepala hebat, gangguan kesadaran,
mual, muntah, rasa mengantuk dan bingung bila tidak segera diobati terjadi
kejang dan koma. Jarang terjadi gangguan syaraf seperti hemiparese, afasi, atau
kebutaan akan kembali normal apabila tekanan darah diturunkan. Keadaan ini
dapat terjadi pada orang normal (normotensi) yang oleh sesuatu sebab tekanan
darahnya mendadak naik. Keadaan ini biasanya timbul apabila tekanan diastolik
melebihi 140 mmHg dan krisis lebih sering terjadi pada usia 40-60 tahun setelah
menderita hipertensi 2-10 tahun.
B. ETIOLOGI
Krisis hipertensi pada penderita yang dulunya normotensi kemungkinan
karena glomerulonefitis akut, reaksi terhadap obat monamin oksidase inhibitor
(MAO), feokromasitoma atau toksemia gravidarum.
Sedangkan pada penderita yang telah mengindap hipertensi kronis, krisis
hipertensi terjadi karena glomerulonefritis, pielonefritis atau penyakit vaskuler
kolagen, lebih sering pada hipertensi renovaskuler dengan kadar renin tinggi.
C. EPIDEMIOLOGI
Di negara yang sudah maju, hipertensi telah merupakan masalah
kesehatan yang memerlukan penanggulangan dengan baik, oleh karena angka
morbiditas dan mortabilitasnya yang tinggi. Dari hasil penelitian dilaporkan
yang
mempengaruhi
curah
jantung
dan
tahanan
perifer
rasa mengantuk dan bingung bila tidak segera diobati terjadi kejang dan koma,
jarang terjadi gangguan syaraf seperti : hemiparese, afasia atau kebutaan. Gejala
yang berat ini terjadi sekitar 24-48 jam. Biasanya berhubungan dengan hipertensi
Maligna.
Gejala klinis Hipertensi ensefalopati mungkin timbul mendadak atau
pelan-pelan dan biasanya didahului atau disertai nyeri kepala yang berat.
Manifestasi neurologik bervariasi, tetapi biasanya berakhir dengan kejang dan
koma. Kelainan patologik primer yang mendasari adalah emboli kecil multipel di
otak yang berkaitan dengan edema serebri. Proses ini terjadi akibat vasokontriksi
yang menyertai tekanan darah yang meninggi. Vasokontriksi arteri di otak lebih
ringan dibanding vasa perifer, tetapi ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler di otak dan edema.
E. DIAGNOSA
a. Anamnesa
Riwayat singkat harus diketahui pada saat pasien masuk, khususnya
yang paling penting mengenai riwayat hipertensi dan riwayat penggunaan
obat antihipertensi. Riwayat harus dipusatkan pada gejala-gejala
neurologis, fungsi ginjal dan gejala-gejala gangguan jantung. Semuanya
bertujuan untuk menilai tingkat kerusakan target organ.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada pengukuran tekanan darah
yang akurat dan bukti/tanda adanya kerusakan target organ, khususnya
pemeriksaan funduskopi dan pemeriksaan neurologik.
c. Pemeriksaan Penunjang
Emergensi (dilakukan pada semua pasien)
Darah : Ureum, kreatinin, elektrolit, kadar glukosa, hematokrit dan
Pn darah Pns.
Urin : Urinalisis dan kultur urin.
EKG.
F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan hipertensi ensefalopati dapat dibagi :
a. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan
2, 12, 13 )
harus dirawat di
A. DEFINISI
BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan.
B. ETIOPATOGENESIS
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion
ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen
timpani,
dimana
lengkungan
saraf
secara
tajam
memasuki
foramen
C. GAMBARAN KLINIS
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya
mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi
lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda
yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius,
tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi
sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda timpani
(Finsterer 2008).
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang
terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi
tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola
mata berputar ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan
mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata,
hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan
lidah.
Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan
yang sering dijumpai pada pasien BeIls palsy. Nyeri postauricular dapat
ditemukan pada hampir 50% pasien Bells palsy. Nyeri ini dapat terjadi
bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi
sebelum onset paralisis
D. DIAGNOSIS
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam
mendiagnosis Bells palsy (Garg dkk, 2012).
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan
penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting
ditanyakan
untuk
membedakannya
dengan
penyakit
lain
yang
E. TATA LAKSANA
a. .Medikamentosa
Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien
Bells palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis kortikosteroid
yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bells palsy adalah
golongan prednisolon.
Anti Virus
Metil Prednisolon
b. Bedah
c. Rehabilitasi Fisik
F. PROGNOSIS
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen.
MENIERE DISEASE
A. DEFINISI
penyakit meniere adalah gangguan kronis saluran semisirkular dan labirin
telinga dalam, tampak berhubungan dengan over produksi endolimfe di telinga
dalam ( Elizabeth J Corwin : 2009 ).
Penyakit Maniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum
diketahui dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan pendengaran,
tinnitus dan serangan vertigo (Kapita Selekta Edisi 3).
B. TIPE MENIERE DISEASE
Kebisingan
mungkin
rendah
bersenandung,
dering,
E. Patofisiologi
Penyakit Meniere disebabkan oleh penumpukan cairan dalam
kompartemen dari telinga bagian dalam, yang disebut labirin. labirin berisi
organ keseimbangan (saluran setengah lingkaran dan organ otolithic) dan
pendengaran (koklea). Hal ini memiliki dua bagian: labirin tulang dan labirin
membran. Labirin membran diisi dengan cairan yang disebut endolymph, di
organ keseimbangan, merangsang reseptor sebagai benda bergerak. Reseptor
kemudian mengirimkan sinyal ke otak tentang posisi tubuh dan gerakan. Pada
koklea, cairan yang dikompresi dalam merespon suara getaran, yang
merangsang sel-sel indera yang mengirimkan sinyal ke otak. Pada penyakit
Meniere,
penumpukan
endolymph
di
labirin
mengganggu
sinyal
keseimbangan dan normal pendengaran antara telinga bagian dalam dan otak.
Kelainan ini menyebabkan gejala vertigo dan lain dari penyakit Meniere.
Penyakit Meniere masa kini dianggap sebagai keadaan dimana terjadi
ketidakseimbangan cairan telinga tengah yang abnormal yang disebabkan oleh
malapsorbsi dalam sakus endolimfatikus. Namun, ada bukti menunjukkan
bahwa banyak orang yang menderita penyakit Meniere mengalami sumbatan
pada duktus endolimfatikus. Apapun penyebabnya, selalu terjadi hidrops
endolimfatikus, yang merupakan pelebaran ruang endolimfatikus. Baik
peningkatan tekanan dalam sistem ataupun ruptur membran telinga dalam
dapat terjadi dan menimbulkan gejala Meniere. (Nn : 2010)
F. Komplikasi Meniere
1. Neuronitis vestibularis.
2. Labirinitis.
3. Tuli total.
4. Vertigo posisi paroksimal jinak (VJJP).
5. Vertigoservical.
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes gliserin
b. Audiogram
c. Elektrokokleografi
d. Elektronistagmogram bisa normal atau menunjukkan penurunan respons
vestibuler.
e. CT scan atau MRI kepala
f. Elektroensefalografi
g. Stimulasi kalorik (Jefri K. Hasan : 2012)
H. PENATALAKSANAAN
a. Terapai Medikamentosa
a) Terapi Medis Profilaksis
Vasodilator
Antikolinergik
Penggunaan Hormon Tiroid
Pemberian Vitamin
Diet rendah garam dan Pemberian diuretic
Program pantang makanan
b) Terapi Simtomatik
Sedative
Antihistamine dan antiemetic
Depresan vestibuler
b. Pembedahan
Pembedahan dianjurkan jika gejalanya tidak dapat diatasi
dengan terapi. Prosedur pembedahan konservatif, misalnya operasi
dekompresi salus endolimfatikus, ditujukan untuk mempertahankan
pendengaran pad telinga yang mengalami gangguan. Tindakan ini
mengandung sedikit resiko menyebabkan kerusakan pendengaran dan
betujuab ubtuk
atau
destruksi
total
pada
labirintus
I. PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat
BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi pada telinga dalam dengan
gejala sensasi berputar yang disebabkan oleh perubahan posisi kepala.7 Karakteristik dari
BPPV adalah serangan vertigo tipe perifer, berlangsung singkat dan berulang, sering
berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari tidur melihat ke atas kemudian memutar
kepala.8,9
B. Etiologi
BPPV terjadi saat otokonia terperangkap dalam endolimfe labirin vestibular, dan
masuk dalam salah satu kanalis semisirkularis. Penyebab BPPV dibagi menjadi dua yaitu:
1. Idiopatik
Sekitar 50% penderita BPPV tidak diketahui penyebabnya.
2. Simptomatik
Penyebab simptomatik terdiri dari pasca trauma, pasca-labirinitis virus,
insufisiensi vertebrobasilaris, Meniere, pasca-operasi, ototoksisitas, dan
mastoiditis kronik.5
C. Patofisiologi
Patofisiologi yang menjelaskan terjadinya BPPV terdiri dari dua jenis teori yakni
hipotesa kupulolitiasis dan hipotesis kanalitiasis.5,8
Hipotesis kupulolitiasis menjelaskan bahwa terdapat debris yang menempel pada
permukaan kupula kanalis semisirkularis posterior yang letaknya paling bawah. Debris
tersebut berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia yang terlepas dari makula
utrikulus dan berdegenerasi. Penyebab lepasnya debris pada makula belum diketahui
secara pasti. Diduga terjadi karena pasca trauma atau infeksi. Pada penderita usia tua,
diduga BPPV terjadi berkaitan dengan timbulnya osteopenia dan osteoporosis, sehingga
debris mudah terlepas.
Hipotesis kanalitiasis menunjukkan bahwa debris otokonia tidak melekat pada
kupula, melainkan mengambang pada endolimfe kanalis posterior. Pada perubahan posisi
kepala, debris tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, endolimfe bergerak
menjauhi anpula dan merangsang nervus ampularis.2
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul pada penderita dapat membantu dalam penegakan
diagnosis BPPV. Manifestasi klinis tersebut antara lain: 5,6,8,9
1. Vertigo yang timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi
pada waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk atau waktu menegakkan
kembali badan, menunduk atau menengadah.
2. Serangan berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30 detik.
3. Vertigo dirasakan berputar, dapat disertai rasa mual, dan kadang-kadang terdapat
muntah. Setelah rasa berputar menghilang, pasien bisa merasa melayang dan diikuti
disekuilibrium selama beberapa hari sampai minggu.
E. Diagnosis
Diagnosis BPPV ditegakkan secara klinis berdasarkan beberapa hal di bawah ini:
1. Anamnesis
Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak pada perubahan posisi
kepala atau badan, lamanya kurang dari 30 detik. Dapat disertai oleh rasa mual dan
kadang-kadang juga muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada penderita dengan penyebab idiopatik, tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan fisik. Sedangkan pada penderita dengan penyebab simptomatik, bisa
ditemukan kelainan neurologic fokal, atau kelainan sistemik.
3. Tes Dix Hallpike
Tes ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Sebelumnya paisen diberi penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan agar
tidak tegang.
Pasien duduk dekat bagian ujung meja periksa.
Dengan mata terbuka dan berkedip sedikit mungkin selama pemeriksaan, pada
posisi duduk kepala menengok ke kiri atau kanan, lalu dengan cepat badan
pasien dibaringkan sehingga kepala tergantung pada ujung meja periksa, lalu
dilihat danya nistagmus dan keluhan vertigo. Pertahankan posisi tersebut 1015 detik, setelah itu pasien dengan cepat didudukkan kembali. Berikutnya
maneuver tersebut diulang dengan kepala menunjuk ke sisi lain. Untuk
3. Terapi Non-Farmakologi
a. Manuver Epley
Langkah 1 dan 2 identik dengan maneuver Dix-Hallpike. Pasien
dipertahankan pada posisi kepala menggantung ke sisi kanan
vestibulum.
b. Prosedur Semont
Langkah 1, kepala penderita diputar 45 derajat ke sisi kiri
posisi.
c. Manuver Lampert Roll
Manuver Lampert 360 (Barbeque) derajat roll untuk pengobatan
pada BPPV kanal horizontal. Posisi kepala pasien dengan telinga
menempel pada salah satu arah misal arah ke kanan terlebih dahulu
(gambar 1), kemudian kepala diputar cepat 90 derajat ke depan (gambar
2). Setelah itu diputar kembali 90 derajat ke arah kiri sehingga telinga
kepala dan tilinga menempel pada meja periksa (gambar 3). Hal tersebut
dilakukan hingga pasien memutar kepalnya 360 derajat (gambar 4,5, dan
6). Selanjutnya pasien didudukkan dan ditunggu 15-20 detik untuk
menunjukkan hasilnya
d. Metoda Brandt Darrof (Latihan untuk di rumah)
Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung. Baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi dengan kedua
mata tertutup, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali.
Sistem
Neurologis.
[online]
[cited
2010 Apr
01]
[1
screen]. Available
from:URL:http://www.docstoc.comdocs18556421Computed- Tomography-Scan-%28CTScan%29-dan-Magnetic-Resonance-Imaging
Tibor Becske, MD . Subarachnoid Hemorrhage . From :
Zebian, R.C. Emergent Management of Subarachnoid Hemorrhage . From :