Anda di halaman 1dari 104

TEKNIK GEMPA

PENDAHULUAN

Gempa merupakan suatu phenomena alam yang terjadi di


permukaan tanah, yang berdampak pergerakan tanah
secara tiba-tiba (shaking) atau menimbulkan stunami.
Gempa bumi merupakan salah satu bahaya alam, yang
dapat
menyebabkan
kerusakan
bangunan
diatas
permukaan tanah sehingga menimbulkan kerugian harta
benda dan bahkan menghilangkan nyawa manusia
Indonesia sering dilanda gempa, oleh karena itu para
insinyur/ahli teknik harus memberi perhatian serius pada
konstruksi suatu Bangunan agar tahan terhadap gempa.

Sebab gempa :

Keruntuhan tanah baik di permukaan tanah


(longsoran Tebing tanah) maupun di dalam tanah
(keruntuhan gua tanah atau lubang pertambangan)

Tumbukan meteor dengan bumi, getarannya dapat


terasa disekitar tempat jatuhannya, dan menimbulkan
bekas berlubang di permukaan tanah.

Kawah di Arizona, USA yang terjadi akibat jatuhnya meteor

Tunguska explosion on June 30, 1908 , 5.0 on the Richter scale , selain
menimbulkan getaran, juga kebakaran yang meluas 5-10 km (Meteoroid airburst)

Peristiwa vulkanik (akibat gunung meletus), getarannya dapat


dirasakan di daerah kawasan gunung tersebut, dari getaran tanah
yang kecil sampai agak besar, dan kejadiannya berulang-ulang.

Peristiwa tektonik (earthquake tectonics) , diakibatkan gerakan


lempeng / kerak bumi. Gempa ini diakibatkan pelepasan energi
yang tiba tiba di lapisan kerak bumi (crust) dan menimbulkan
getaran gelombang gempa (seismic waves)

Struktur Bumi :

Lithosphere / lapisan kerak bumi (crust) 5 4


km
Lapisan mantel + 2900 km
Inti bumi jari-jari + 3500 km
+ 6400
km

Makin kedalam makin besar berat jenisnya : 2,7 s/d 12,3

Teori plat tektonik :


Menganggap Lapisan kerak bumi (crust) terdiri dari beberapa plat kaku
(lempengan) yang bergerak satu dengan lainnya.

Lempengan (crust)
bergerak

Lempeng-lempeng tektonik utama yaitu:


Lempeng Afrika, meliputi Afrika - Lempeng benua
Lempeng Antarktika, meliputi Antarktika - Lempeng benua
Lempeng Australia, meliputi Australia (tergabung dengan Lempeng India antara
50 sampai 55 juta tahun yang lalu)- Lempeng benua
Lempeng Eurasia, meliputi Asia dan Eropa - Lempeng benua
Lempeng Amerika Utara, meliputi Amerika Utara dan Siberia timur laut Lempeng benua
Lempeng Amerika Selatan, meliputi Amerika Selatan - Lempeng benua
Lempeng Pasifik, meliputi Samudera Pasifik - Lempeng samudera

Lempeng-lempeng penting lain yang lebih kecil mencakup Lempeng India,


Lempeng Arabia, Lempeng Karibia, Lempeng Juan de Fuca, Lempeng Cocos,
Lempeng Nazca, Lempeng Filipina, dan Lempeng Scotia.
Pergerakan lempeng telah menyebabkan pembentukan dan pemecahan benua
seiring berjalannya waktu, termasuk juga pembentukan superkontinen yang
mencakup hampir semua atau semua benua. Superkontinen Rodinia diperkirakan
terbentuk 1 miliar tahun yang lalu dan mencakup hampir semua atau semua
benua di Bumi dan terpecah menjadi delapan benua sekitar 600 juta tahun yang
lalu. Delapan benua ini selanjutnya tersusun kembali menjadi superkontinen lain
yang disebut Pangaea yang pada akhirnya juga terpecah menjadi Laurasia (yang
menjadi Amerika Utara dan Eurasia), dan Gondwana (yang menjadi benua
sisanya)

Gerakan plate tektonik dunia

A. Konvergen
Konvergen yaitu gerakan saling bertumbukan antarlempeng
tektonik.
Tumbukan antarlempeng tektonik dapat berupa tumbukan antara lempeng
benua dan benua, atau antara lempeng benua dan lempeng dasar samudra. Pada
bidang batas pertemuan akan terjadi palung laut atau lipatan. Zona atau tempat
terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik benua dan benua disebut zona
konvergen. Contohnya tumbukan antara lempeng India dan lempeng benua
Eurasia yang menghasilkan terbentuknya pegunungan lipatan muda Himalaya
dan merupakan pegunungan tertinggi di dunia dengan puncak tertingginya,
Mount Everest. Contoh lainnya, tumbukan lempeng Italia dengan Eropa yang
menghasilkan terbentuknya jalur Pegunungan Alpen. Zona berupa jalur
tumbukan antara lempeng benua dan lempeng dasar samudra, disebut zona
subduksi (subduction zone), contohnya, tumbukan antara lempeng benua
Amerika dan lempeng dasar Samudra Pasik yang menghasilkan terbentuknya
Pegunungan Rocky dan Andes. Di wilayah ini umumnya rawan terhadap gempa
bumi dan banyak ditemui gunung api

B. Divergen

Divergen yaitu gerakan saling menjauh antar lempeng tektonik,


contohnya gerakan saling menjauh antara lempeng Afrika dan
Amerika bagian selatan. Zona berupa jalur tempat berpisahnya
lempeng-lempeng tektonik disebut zona divergen (zona sebar
pisah). Lempeng bergerak saling menjauh ( berlawanan ). Pada batas
pergerakan akan terbentuk kerak bumi yang baru karena naiknya
materi dari lapisan mantel ( magma ) ke permukaan bumi dan
membeku sehingga membentuk punggung laut.

C. Transform
Transform yaitu gerakan saling bergesekan (berlawanan arah)
antarlempeng tektonik. Contohnya gesekan antara lempeng Samudra
Pasik dan lempeng daratan Amerika Utara yang mengakibatkan
terbentuknya Sesar San Andreas yang membentang sepanjang kurang
lebih 1.200 km dari San Francisco di utara sampai Los Angeles di
selatan Amerika Serikat. Zona berupa jalur tempat bergesekan
lempeng-lempeng tektonik disebut Zona Sesar Mendatar
(zona
transform). Terjadi pergeseran dua lempeng dengan arah yang
berlawanan. Pergersaran tidak menimbulkan penghilang atau
pemunculan kerak bumi, tetapi akan terjadi patahan ( sesar ). Gerakan
ini akan menimbulkan terjadi gempa tektonik

Jalur gempa dunia

Sejarah gempa bumi dunia

30 September 2009, Gempa bumi Sumatera Barat merupakan gempa


tektonik yang berasal dari pergeseran patahan Semangko, gempa ini
berkekuatan 7,9 Skala Richter(BMG Amerika) mengguncang PadangPariaman, Indonesia. Menyebabkan sedikitnya 1.100 orang tewas dan

ribuan terperangkap dalam reruntuhan bangunan.

2 September 2009, Gempa Tektonik 7,3 Skala Richter mengguncang


Tasikmalaya, Indonesia. Gempa ini terasa hingga Jakarta dan Bali,
berpotensi tsunami. Korban jiwa masih belum diketahui jumlah
pastinya karena terjadi Tanah longsor sehingga pengevakuasian
warga terhambat.

12 September 2007 - Gempa Bengkulu dengan kekuatan gempa 7,9 Skala


Richter

9 Agustus 2007 - Gempa bumi 7,5 Skala Richter

6 Maret 2007 - Gempa bumi tektonik mengguncang provinsi Sumatera


Barat, Indonesia. Laporan terakhir menyatakan 79 orang tewas [3].

27 Mei 2006 - Gempa bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah

Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 kurang lebih
pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Gempa bumi tersebut berkekuatan 5,9
pada skala Richter. United States Geological Survey melaporkan 6,2 pada
skala Richter; lebih dari 6.000 orang tewas, dan lebih dari 300.000 keluarga

kehilangan tempat tinggal.

8 Oktober 2005 - Gempa bumi besar berkekuatan 7,6 skala Richter di Asia

Selatan, berpusat di Kashmir, Pakistan; lebih dari 1.500 orang tewas.

26 Desember 2004 - Gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 skala Richter


mengguncang Aceh dan Sumatera Utara sekaligus menimbulkan
gelombang tsunami di samudera Hindia. Bencana alam ini telah

merenggut lebih dari 220.000 jiwa.

26 Desember 2003 - Gempa bumi kuat di Bam, barat daya Iran berukuran
6.5 pada skala Richter dan menyebabkan lebih dari 41.000 orang tewas.

21 Mei 2002 - Di utara Afganistan, berukuran 5,8 pada skala Richter dan

menyebabkan lebih dari 1.000 orang tewas.

26 Januari 2001 - India, berukuran 7,9 pada skala Richter dan


menewaskan 2.500 ada juga yang mengatakan jumlah korban

mencapai 13.000 orang.

21 September 1999 - Taiwan, berukuran 7,6 pada skala Richter,


menyebabkan 2.400 korban tewas.

17 Agustus 1999 - barat Turki, berukuran 7,4 pada skala Richter dan
merenggut 17.000 nyawa.

25 Januari 1999 - Barat Colombia, pada magnitudo 6 dan merenggut


1.171 nyawa.

30 Mei 1998 - Di utara Afganistan dan Tajikistan dengan ukuran 6,9


pada skala Richter menyebabkan sekitar 5.000 orang tewas.

17 Januari 1995 - Di Kobe, Jepang dengan ukuran 7,2 skala Richter


dan merenggut 6.000 nyawa.

30 September 1993 - Di Latur, India dengan ukuran 6,0 pada skala


Richter dan menewaskan 1.000 orang.

12 Desember 1992 - Di Flores, Indonesia berukuran 7,9 pada skala


richter dan menewaskan 2.500 orang.

21 Juni 1990 - Di barat laut Iran, berukuran 7,3 pada skala Richter,
merengut 50.000 nyawa.

7 Desember 1988 - Barat laut Armenia, berukuran 6,9 pada skala


Richter dan menyebabkan 25.000 kematian.

19 September 1985 - Di Mexico Tengah dan berukuran 8,1 pada


Skala Richter, meragut lebih dari 9.500 nyawa.

16 September 1978 - Di timur laut Iran, berukuran 7,7 pada skala


Richter dan menyebabkan 25.000 kematian.

4 Maret 1977 - Vrancea, timur Rumania, dengan besar 7,4 SR,


menelan sekitar 1.570 korban jiwa, diantaranya seorang aktor
Rumania Toma Caragiu, juga menghancurkan sebagian besar dari

ibu kota Rumania, Bukares (Bucureti).

28 Juli 1976 - Tangshan, Cina, berukuran 7,8 pada skala Richter dan
menyebabkan 240.000 orang terbunuh.

4 Februari 1976 - Di Guatemala, berukuran 7,5 pada skala Richter dan


menyebabkan 22.778 terbunuh.

29 Februari 1960 - Di barat daya pesisir pantai Atlantik di Maghribi


pada ukuran 5,7 skala Richter, menyebabkan kira-kira 12.000
kematian dan memusnahkan seluruh kota Agadir.

26 Desember 1939 - Wilayah Erzincan, Turki pada ukuran 7,9, dan


menyebabkan 33.000 orang tewas.

24 Januari 1939 - Di Chillan, Chile dengan ukuran 8,3 pada skala


Richter, 28.000 kematian.

31 Mei 1935 - Di Quetta, India pada ukuran 7,5 skala Richter dan
menewaskan 50.000 orang.

1 September 1923 - Di Yokohama, Jepang pada ukuran 8,3 skala

Richter dan merenggut sedikitnya 140.000 nyawa

Apa itu sesar


Struktur sesar adalah rekahan yang mengalami geser-geseran yang jelas (Tjia,
1977). Pergerakan dapat berkisar dari beberapa milimeter sampai ratusan
meter dan panjangnya dapat mencapai beberapa desimeter hingga ribuan
meter. Sesar dapat terjadi pada segala jenis batuan. Akibat terjadinya
pergeseran itu, sesar akan mengubah perkembangan topografi, mengontrol
air permukaan dan bawah permukaan, merusak stratigrafi batuan, dan
sebagainya.

1.1 Jenis-jenis Sesar


Sesar dapat diklasifikasikan berdasarkan gerak relatif hanging wall dan foot wall, ada
tidaknya gerakan rotasi, rake net slip, keaktifan sesar, dan kumpulan sesar.
Berdasarkan gerak relatif hanging wall dan foot wall, sesar dibagi menjadi:
1.

Sesar Turun (Normal Fault), yaitu bila hanging wall posisinya turun terhadap
footwall.

2. Sesar Naik (Reverse Fault), yaitu sesar dimana hanging wall posisinya naik terhadap
footwall.
Berdasarkan Klasifikasi Sesar oleh E.W.Spencer, (1977), sesar dikelompokkan
menjadi:
1. Sesar translasi, merupakan sesar dimana tidak ada gerak rotasi dari masing-masing
blok dan garis-garis sejajar dari blok yang berlawanan tetap sejajar.
2. Sesar rotasi, yaitu sesar dimana ada gerak rotasi dari blok yang satu terhadap yang
lain dan garis-garis sejajar dari blok yang berlawanan menjadi tidak sejajar.
Berdasarkan besar rake dari net slip (Billinge 1977)., sesar terbagi menjadi:

1. Strike Slip Fault, yaitu bila rake 0o dan arah gerakan sejajar terhadap jurus bidang
sesar.
2. Dip Slip Fault, yaitu bila rake 90o dan arah gerakan tegak lurus dengan jurus
bidang sesar.
3. Diagonal Fault, yaitu bila rake tidak sama dengan 0o dan 90o.
Berdasarkan keaktifan sesar, sesar diklasifikasikan menjadi:
1. Menurut Tjia (1976), tingkat keaktifan sesar dibedakan atas:
a. Sesar Aktif, yaitu pergeseran sesar terjadi pada waktu Holosen atau selama
sejarah geologi.
b. Sesar berkeaktifan potensial, yaitu sesar terjadi pada batuan berumur kwarter dan
terjadi pada daerah gempa bumi / gunungapi.
c. Sesar berkeaktifan tidak pasti, yaitu pergeseran sesar yang terjadi lebih tua
daripada kwarter, sesar ini terjadi pada batu gamping dan pada lereng yang curam

2. Menurut Lensen (1980), tingkat keaktifan sesar dibedakan atas:


a. Sesar aktif kelas I, yaitu sesar yang menunjukkan pengulangan gerakan terakhir
pada waktu 5.000 tahun atau gerakan tunggal terjadi selama zaman dan
pengulangan gerakan pada 5.000 tahun terakhir.
b. Sesar aktif kelas II, yaitu sesar kurang aktif dengan pengulangan terakhir dalam
waktu 50.000 tahun atau gerakan tunggal dalam waktu 5.000 tahun, pengulangan
gerakan antara 5.000 - 50.000 tahun.
c. Sesar aktif kelas III, yaitu sesar yang paling kurang aktif dengan gerakan tunggal
terakhir dalam waktu 50.000 tahun atau pengulangan gerakan 50.000 500.000
tahun.
Berdasarkan kumpulan sesar dengan kekhasan yang dimilkinya, sesar dibagi
menjadi:

1. Concentric Fault, yaitu kumpulan sesar yang konsentris terhadap satu pusat.
2. Radial Fault, merupakan kumpulan sesar yang arahnya membentuk pola.
3. Rectilinier Fault, yaitu kumpulan sesar yang membentuk pola garis hampir tegak
lurus.
4. Paralel Fault, merupakan kumpulan sesar yang membentuk pola sejajar satu
dengan lainnya.
Berdasarkan orientasi pola tegasan utama yang menyebabkannya (Anderson,
1951) :
1. Thrust fault, jika pola tegasan utama maksimum dan intermediet adalah horizontal.
2. Normal fault, jika pola tegasan utama maksimum adalah vertikal.
3. Wrench fault (strike slip fault), jika suatu pola tegasan utama maksimum dan
minimum adalah gorizontal.

1.2 Proses Terbentuk Sesar


SESAR NAIK
Sesar naik atau Thrust fault, terjadi apabila hanging wall relatif bergerak naik terhadap foot
wall. Berdasarkan sistem tegasan pembentuk sesarnya, posisi tegasan utama dan tegasan
minimum adalah horizontal dan tegasan menengah adalah vertical.
Umumnya sesar naik tidak pernah berdiri sendiri atau berkembang tunggal. Sesar selalu
membentuk suatu zona (fault zone), sehingga pada zona sesar dijumpai sejumlah bidang sesar.
Masing-masing bidang sesar tersebut membentuk pola yang sama, yaitu bidang sesar
umumnya memiliki arah kemiringan yang sama dan arah jalur sesarnya relatif sama. Sejumlah
sesar naik (Thrust zone) yang terbentuk pada periode tektonik yang sama dinamakan sebagai
Thrust Systems (Boyer dan Elliott, 1982). Pada Thrust System, ada dua jenis pola sesar utama,
yaitu Imbricate Fan dan Duplexes. Pola struktur Imbricate Fan dicirikan dengan adanya Thrust
sheet yang di dalamnya berkembang struktur lipatan asimetri dan rebah mengikuti arah Tectonic
transport, sedangkan di dalam pola Duplex , Thrust sheet dilingkupi oleh sesar (Boyer dan
Elliott, 1982).

Sesar naik dapat dibedakan jenisnya berdasarkan pada posisi bidang sesar terhadap
sumbu lipatan dan arah tectonic transport. Sesar naik yang terbentuk dibagian
belakang sumbu lipatan dinamakan sebagai Forelimb thrust, sedangkan yang
berkembang dibagian depan sumbu lipatan dinamakan sebagai Backlimb thrust.
Berdasarkan pada tectonic transportnya, sesar naik dibedakan menjadi Back thrust
dan Fore thrust. Apabila gerak relatif dari sesar naik searah dengan pada tectonic
transportnya,, maka sesar naik tersebut dinamakan sebagai fore thrust dan
sebaliknya dinamakan sebagai Back thrust. Back thrust yang terbentuk di dalam
Thrust system dapat membentuk Pop-up dan Triangle zone.

Sesar naik dengan pola Imbricate fan atau pola susun genteng dibedakan menjadi
2 (dua) jenis, yaitu Trailling imbricate fan dan Leading imbricate fan. Kedua jenis
pola sesar tersebut dibedakan berdasarkan besarnya jarak pergeseran
(Dispclacement). Trailling imbricate fan dicirikan oleh adanya displacement yang
besar pada bagian paling belakang dari seluruh sesar naik (dilihat dari Tectonic
transport), sebaliknya dinamakan Leading imbricate fan.

Sesar naik dapat dibedakan jenisnya berdasarkan pada posisi bidang sesar
terhadap sumbu lipatan dan arah tectonic transport. Sesar naik yang
terbentuk dibagian belakang sumbu lipatan dinamakan sebagai Forelimb
thrust, sedangkan yang berkembang dibagian depan sumbu lipatan
dinamakan sebagai Backlimb thrust. Berdasarkan pada tectonic
transportnya, sesar naik dibedakan menjadi Back thrust dan Fore thrust.
Apabila gerak relatif dari sesar naik searah dengan pada tectonic
transportnya,, maka sesar naik tersebut dinamakan sebagai fore thrust dan
sebaliknya dinamakan sebagai Back thrust. Back thrust yang terbentuk di
dalam Thrust system dapat membentuk Pop-up dan Triangle zone.

Di dalam Thrust system, posisi bidang sesar dapat relatif sejajar dengan bidang
lapisan batuan yang dinamakan sebagai flat dan apabila memotong bidang lapisan
dinamakan sebagai ramp. Apabila posisi flat searah dengan Tectonic transport
dinamakan frontal ramp dan sebaliknya dinamakan sebagai back thrust.
Gerak relatif suatu blok terhadap blok yang lainnya dapat terjadi sepanjang flat
dan ramp. Blok hanging wall yang menumpang di atas flat dinamakan sebagai
hangingwall ramp sedangkan blok foot wall yang berada di bagian ramp dinamakan
sebagai footwall ramp.

Terbentuknya sejumlah sesar naik tidak terjadi secara bersamaan melainkan


terbentuk

secara

berurutan

(Sequence

of

thrusting).

Apabila

urutan

pembentukan sesar naiknya makin muda ke arah hanging wall dinamakan


sebagai overstep dan jika terjadi sebaliknya dinamakan sebagai piggyback.
Pembentukan sesar naik selalu berasosiasi dengan pembentukan lipatan, oleh
karenanya pola lipatan dan sesar naik yang terbentuk relatif bersamaan
dinamakan sebagai lipatan anjakan (Thrust fold belt atau Fold thrust belt).
Contoh pola struktur demikian dijumpai di daerah Majalengka (Haryanto,
1999), dan di daerah lain seperti di Kalimantan timur. Urutan pembentukan
sesar naik di dalam jalur lipatan anjakan dimulai di sekitar jalur gunungapi dan
semakin jauh dari jalur gunungapi pembentukan sesar naiknya terjadi paling
akhir (Lowell, 1985).

SESAR MENDATAR
Sesar mendatar (Strike slip fault/Transcurent fault/Wrench fault) adalah sesar yang
pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan utama pembentuk
sesar ini adalah horizontal, sama dengan posisi tegasan minimumnya, sedangkan posisi
tegasan

menengah

adalah

vertikal.

Umumnya bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang vertikal, sehingga istilah
hanging wall dan foot wall tidak lazim digunakan di dalam sistem sesar ini. Berdasarkan
gerak relatifnya, sesar ini dibedakan menjadi sinistral (mengiri) dan dekstral (menganan).
Moody dan Hill (1956), membuat model pembentukan sesar mendatar yang dikaitkan
dengan sistem tegasan. Di dalam model tersebut dijelaskan bahwa sesar orde I
membentuk terhadap tegasan utama. Sesar orde I baik sudut kurang lebih 30 dekstral
maupun sinistral merupakan sesar utama yang pembentukannya dapat terjadi bersamaan
atau salah satu saja. Selanjutnya sesar orde II mempunyai ukuran yang lebih kecil dan
membentuk sudut tertentu terhadap sesar orde I. Lebih lanjut lagi dijumpai orde sesar
yang lebih kecil lagi.

Berdasarkan percobaan laboratorium, pembentukan rekahan yang diakibatkan oleh


adanya tekanan diawali oleh rekahan yang berukuran kecil dan apabila peoses ini
berlangsung

terus

rekahan

kecil

tersebut

berkesinambungan

dan

akhirnya

membentuk rekahan utama. Berdasarkan hasil percobaan tersebut, maka penamaan


sesar orde I, II dst, bukan menunjukan urutan pembentukan sesar, melainkan
menunjukan ukuran serta hubungan sudut satu sesar dengan sesar lainnya.
Ada persyaratan tertentu dalam menerapkan konsep Moody dan Hill (1954), yaitu
model ini berlaku apabila pembentukan sesarnya bukan merupakan akibat reaktivasi
sesar pada batuan dasar atau dengan kata lain sesarnya merupakan sesar primer.
Apabila pembentukan sesar mendatar ini merupakan reaktivasi dari sesar pada
batuan dasar, maka konsep Moody dan Hill (1954) tidak tepat diterapkan. Untuk
kepentingan analisis dalam kasus ini digunakan model dari Price dan Cosgrove

(1956). Model pembentukan struktur yang terakhir ini akan dibahas pada sub bab
selanjutnya.

Seperti halnya sesar naik, sesar mendatar pun umumnya tidak berdiri tunggal
melainkan terdiri dari beberapa bidang sesar yang selanjutnya membentuk zona

sesar (fault zone). Di dalam zona sesar mendatar, umumnya sesar ini membentuk
segmen-segmen

sesar

yang

merencong

(en-echelon).

Naylor dkk (1986), membuat percobaan laboratorium untuk mengetahui mekanisme


pembentukan sesar mendatar. Dalam percobaan tersebut pembentukan sesar terjadi
secara bertahap, yaitu :
Tahap I : Terjadi sejumlah rekahan yang disertai oleh pergeseran mendatar
sepanjang 2,1 cm. Masing-masing rekahan tersebut saling terpisah dan posisinya
saling merencong pada arah yang relatif sama (en-echelon synthetic Riedel Shear
atau R shears) terhadap tegasan utama dan membentuk sudut lancip sekitar 17.

Tahap II : Terbentuk pergeseran sepanjang 2,8 cm dan mulai membentuk shortlived splay fault (S) yang membentuk sudut lebih besar dari 17 terhadap tegasan
utama.

SESAR NORMAL
Sesar normal (Ekstensional fault) terbentuk akibat adanya tegasan ekstensional
(gaya tarikan), sehingga pada bagian tertentu gaya gravitasi lebih dominan.
Kondisi ini mengakibatkan dibeberapa bagian tubuh batuan akan bergerak turun
yang selanjutnya lazim dikenal sebagai proses pembentukan sesar normal.
Sesar normal terjadi apabila Hanging wall relatif bergerak ke bawah terhadap

foot wall. Gerak sesar normal ini dapat murni tegak atau disertai oleh gerak lateral
(sinistral atau dekstral). Sistem tegasan pembentuk sesar normal adalah
ekstensional, dimana posisi tegasan utamanya vertikal sedangkan kedudukan
tegasan menengah dan minimum adalah lateral.

Sesar normal umumnya terbentuk lebih dari satu bidang yang posisinya relatif
saling sejajar. Apabila bidang sesarnya lebih dari satu buah, maka bagian yang
tinggi dinamakan sebagai horst dan bagian yang rendah dinamakan sebagai
graben. Selanjutnya apabila jenjang dari bidang sesar normal ini hanya
berkembang di salah satu sisi saja (gawir sesar hanya dijumpai pada salah satu
lereng saja), maka kelompok sesar tersebut lazim dinamakan sebagai half graben
dan apabila jenjang bidang sesar normalnya berpasangan maka dinamakan
sebagai graben.
Berdasarkan pada bentuk bidang sesar, maka sesar normal ini dapat dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu Planar Ekstensional Fault dan Listric Ekstensional Fault.
Selanjutnya Planar ekstensional fault berdasarkan ada tidaknya rotasi, dibedakan
menjadi Non-rotational planar fault dan Rotational planar fault.

Secara lokal, pembentukan sesar normal dapat terjadi akibat sistem tegasan kompresional.
Terbentuknya Pull apart basin, merupakan salah satu contoh dalam kasus ini. Contoh ideal dari
pembentukan pull apar basin adalah terbentuknya beberapa rendahan atau cekungan (dapat
berupa danau). Di beberapa lokasi sepanjang jalur Sesar Semangko, dijumpai beberapa danau
yang pembentukannya dikontrol oleh sesar ini. Pembentukan sesar Semangko ini dipengaruhi
oleh sistem tegasan kompresional, sedangkan pembentukan danaunya sendiri dipengaruhi oleh
tegasan ekstensional. Dalam kasus ini pembentukan pull apart terjadi pada bagian sesar enechelon.
Di dalam eksplorasi migas, ekstensional fault sistim sangat penting dipelajari, karena sistem

sesar ini mengontrol pembentukan tinggian dan cekungan. Model geometri cekungan sangat
dipengaruhi oleh pola struktur sesarnya yang selanjutnya mempengaruhi geometri dari cekungan
itu sendiri. Graben dan half graben merupakan dua model bentuk cekungan yang seluruhnya
dikontrol oleh pola sesarnya. Selanjutnya dari kontrol struktur ini juga akan diketaui apakah
bentuk

cekungan

ini

simetri

atau

asimetri.

Dalam geometri cekungan asimetri half graben, sesar normal yang berkembang pada batasbatas cekungan dapat berupa simple border fault system atau distributary border fault system.
Selanjutnya pada sisi lain dari suatu cekungan dapat berupa flexure shoulder dan atau fault
shoulder.

1. Jenis-Jenis Gelombang Gempa


Pada saat patahan atau pergeseran mendadak terjadi di dalam kerak bumi,
maka suatu energi akan menyebar ke luar sebagai gelombang gempa. Di
dalam setiap gempa bumi, ada beberapa jenis gelombang gempa yang
berbeda, yaitu :
1. Gelombang badan (body wave) bergerak melalui bagian dalam bumi
Secara umum, ada dua tipe utama dari gelombang badan (body waves),
yaitu :

a. Gelombang primer, disebut juga gelombang P atau gelombang


Compressional. Kecepatannya 1 - 5 mil/detik (16 - 8 kps), tergantung
pada material yang dilalui gelombang pada saat bergerak. Kecepatan ini
adalah lebih besar dari kecepatan dari gelombang lain, maka gelombang
P tiba pertama pada setiap lokasi permukaan. Gelombang tersebut dapat
berjalan sepanjang material padat, cair dan gas, dengan demikian
lintasan sepenuhnya melalui tubuh dari bumi.
Ketika gelombang bergerak sepanjang batu karang, gelombang
menggerakkan partikel-partikel batu karang kecil, bolak-balik dan
mendorong partikel-partikel terpisah dan kemudian kembali bersamasama
bergerak searah gelombang tersebut pada saat pergi. Gelombang
ini umumnya sampai di permukaan sebagai satu goncangan (dentuman)
yang kasar.

b. Gelombang Sekunder, disebut juga gelombang S atau gelombang Shear,


tertinggal sedikit di balik gelombang P. Seperti gerakan pada gelombang
P, gelombang S memindahkan partikel-partikel batu karang keluar dan
mendorong partikel-partikel tersebut tegak-lurus pada jalur dari
gelombang S. Hal tersebut mengakibatkan periode pertama goncangan
berhubungan dengan gempa bumi. Tidak seperti gelombang P,
gelombang S tidak bergerak lurus melalui bumi. Gelombang tersebut
hanya bergerak sepanjang material padat dan akan dihentikan di lapisan
cairan di dalam inti bumi.

2. Gelombang permukaan (surface wave) bergerak di atas permukaan bumi.


Gelombang permukaan disebut juga long waves atau simply L waves dan R
wave (rayleight wave), yaitu
gelombang yang bertanggung jawab atas kebanyakan dari kerusakan
berhubungan dengan gempa bumi, karena gelombang terebut menyebabkan

vibrasi-vibrasi paling yang kuat. Gelombang permukaan berasal dari


gelombang badan yang mencapai permukaan.

2. Parameter Gempa Bumi


Meskipun gempa bumi merupakan peristiwa geologi, namun dampak yang
diakibatkannya bersifat menyeluruh. Besarnya intensitas atau kekuatan
gempa bumi diukur dengan suatu alat yang dinamakan seismograf dan data
hasilcatatan seismograf yang berupa grafik dinamakan seismogram. Besarnya
intensitas tersebut tergantung pada :

1. Jarak episenter
2. Besar energi gempa yang dilepas, biasanya diukur dengan skala Richter
3. Kondisi geologi (batuan intensitasnya lebih kecil dari tanah lunak)
4. Besar derajat kerusakan yang dirasakan manusia, biasanya diukur
dengan skala Modified Mercalli (MM) dalam skala I-XII. Namun aplikasi skala
ini kurang dapat diandalkan karena hanya didasarkan pada hasil pengamatan
terhadap perilaku dan kerusakan obyek-obyek tertentu yang memang tidak
direncanakan dengan baik terhadap beban gempa. Disamping itu, skala
intensitas ini juga tidak menyatakan hubungan langsung dengan karakteristik
getaran gempa. Tanpa adanya sarana lain yang lebih memadai, spektrum
respon percepatan dapat dipakai sebagai suatu tolak ukur sederhana yang
dapat diandalkan untuk memperkirakan intensitas kerusakan struktur pada
suatu wilayah.

Adapun pemodelan proses perambatan gelombang gempa bumi seperti


yang terlihat pada gambar sbb

1. Hiposentrum
Hiposentrum (hypocentre) adalah pusat gempa bumi, yaitu tempat terjadinya
perubahan lapisan batuan atau dislokasi di dalam bumi sehingga
menimbulkan gempa bumi. Howell (1969) telah membagi jenis-jenis gempa
bumi berdasarkan kedalaman hiposentrumnya, yaitu :
a. gempa bumi dangkal (normal), pusatnya < 70 km
b. gempa bumi sedang (intermedier), pusatnya 70 - 300 km
c. gempa bumi dalam, pusatnya 300 - 700 km

Kebanyakan gempa bumi yang terjadi, pusatnya terletak dekat permukaan


bumi pada kedalaman rata-rata 25 km, dan berangsur ke bawah tidak lebih
dari 700 km. Gempa bumi dangkal cenderung lebih kuat dari pada gempa
bumi dalam, oleh sebab itu gempa bumi dangkal lebih banyak menyebabkan
kerusakan.
Apabila hiposentrum terletak di dasar laut maka getaran gempa bumi yang
terjadi dapat menimbulkan gelombang air pasang yang sangat besar dengan
ketinggian mencapai puluhan meter. Gelombang air laut yang besar seperti
ini dinamakan tsunami, bersifat sangat merusak dan dapat
memporakporandakan segala suatu yang diterjangnya di tepi pantai.

2. Epicentrum
Epicentrum (epicentre) adalah tempat di permukaan bumi yang letaknya
terdekat terhadap hiposentrum. Letak epicentrum tegak lurus terhadap
hiposentrum, dan sekitar daerah ini pada umumnya merupakan wilayah
yang paling besar merasakan getaran gempa bumi.

Earthquake Magnitude Scales


Several magnitude scales are widely used and each is based on measuring of a
specific type of seismic wave, in a specified frequency range, with a certain
instrument. The scales commonly used in western countries, in chronological
order of development, are local (or Richter) magnitude (ML), surface-wave
magnitude (Ms), body-wave magnitude (mb for short period, mB for long
period), and moment magnitude (Mw or M). Reviews of these magnitude scales
are given by Bath (1981), Kanamori (1983), and dePolo and Slemmons (1990);
their interrelations are shown in Figure A.1.1. Throughout this book we prefer to
cite magnitudes as moment magnitudes (Mw). If the type magnitude is unknown
or unspecified, it it cited as Mw.

A.1.1 Local (Richter) Magnitude (ML)


Richter magnitude was the first widely used instrumental magnitude scale to be
applied in the USA (Richter, 1935). The scale is based on the amplitude (in mm)
of the largest seismogram wave trace on a WoodAnderson seismograph (free
period 0.8 s), normalized to a standard epicentral distance of 100 km. Richter
defined his magnitude 0 earthquake as that which produced a maximum
amplitude of 0.001 mm at a distance of 100 km. Each successively larger
magnitude was defined as a 10-fold increase in amplitude beyond the base level.
Thus, a maximum seismogram amplitude (at a distance of 100 km) of 0.01 mm
represents ML 1.0, 0.1 mm equals ML 2.0, 1 mm equals ML 3.0, and so on.
Richter (1935) devised a nomograph to normalize the amplitudes for earthquakes
closer or farther away than 100 km, based on the attenuation of seismic energy
in California.

The Richter magnitude scale accurately reflects the amount of seismic energy
released by an earthquake up to about ML 6.5, but for increasingly larger
earthquakes, the Richter scale progressively underestimates the actual energy
release. The scale has been said to saturate above ML 6.5, from a combination
of instrument characteristics and reliance on measuring only a single, shortperiod peak height (see details in Kanamori, 1983).

Figure A.1.1: Graph showing the relationship of various magnitudes to moment magnitude (Mw). Relation for mbLg is
from Atkinson and Boore (1987). For Ms and ML the relations come from fitting a quadratic to the data compiled by
Ekstrom (1987) and Hanks and Boore (1984), respectively. From Boore and Joyner (1994); reprinted with permission of
the Applied Technology Council.

Surface-Wave Magnitude (MS)


The surface-wave magnitude scale was developed to solve the saturation
problem of Richter magnitude above ML 6.5. The measurement procedure is
similar to measuring the Richter magnitude, except that the peak wave
amplitude is measured for surface waves that have periods of 20 s, from longperiod seismographs at teleseismic distances (Gutenberg, 1945). The surfacewave magnitude calculation does not require a seismograph record within 100
km (or nearby) of the epicenter, so the teleseismic records of many large-tomoderate magnitude earthquakes worldwide have been assigned surface-wave
magnitudes. Because of this large data set, Ms is the typical magnitude used in
empirical comparisons of magnitude versus earthquake rupture length or
displacement (e.g. Bonilla et al., 1984). However, the surface-wave magnitude
scale also saturates, at about Ms > 8.

Body-Wave Magnitude (MbLg)


The short-period body-wave magnitude (mbLg) is the principal magnitude
used in the tectonically stable eastern part of North America and Canada.
This magnitude is measured from peak motions recorded at distances up to
1000 km on instruments with a passband in the range 110 Hz. Peak motions
usually correspond to the Lg wave. This magnitude scale is little used in
paleoseismology because it saturates at magnitude levels below that of Ms.
However, it is possible to convert mbLg values to other magnitude scales, and
vice versa (Kanamori, 1983).

Moment Magnitude (MW OR M)


The moment magnitude scale is the most recent scale (Kanamori, 1977; Hanks
and Kanamori, 1979) and is fundamentally different from the earlier scales.
Rather than relying on measured seismogram peaks, the Mw scale is tied to the
seismic moment (M0) of an earthquake. The seismic moment is defined as
M0 = DA
where D is the average displacement over the entire fault surface, A is the area
of the fault surface, and m is the average shear rigidity of the faulted rocks.
The value of D is estimated from observed surface displacements or from
displacements on the fault plane reconstructed from instrumental or geodetic
modeling. A is derived from the length multiplied by the estimated depth of the
ruptured fault plane, as revealed by surface rupture, aftershock patterns, or
geodetic data. The method thus assumes that the rupture area is rectangular.
The shear rigidity of typical crustal rocks is assumed to be about 3.03.5 1011
dyne/cm2 (Aki, 1966; dePolo and Slemmons, 1990).

The seismic moment thus more directly represents the amount of energy
released at the source, rather than relying on the effects of that energy on one
or more seismographs at some distance from the source. Moment magnitude
is calculated from seismic moment using the relation of Hanks and Kanamori
(1979) for southern California
Mw = 2/3logM0-10.7
where Mw is the moment magnitude and M0 is the seismic moment. The
seismic moment scale was developed to circumvent the problem of saturation
in other magnitude scales, and is typically used to describe great earthquakes
(i.e., Ms > 8). Kanamori (1983) composed a graph relating Mw to ML, Ms,
mb, and mB (Fig. A.1.1). In the interest of standardization, paleoearthquake
magnitude should be estimated on the Mw scale; if not, then the magnitude
scale used should be clearly noted.

Example Richter
The method for determining the magnitude of an earthquake is illustrated in
Figure2.1 below. Richter magnitude (M) is a function of the amplitude of the
largest wave on a seismogram and the distance from the recording station to
the epicenter (measured either directly in kilometers or indirectly as the SP
lag time; see Exercise 1). On Figure 2.1, the magnitude is determined by
connecting the maximum wave amplitude (85 mm with proper scaling of the
seismogram) with the epicentral distance (300 km, or 34 sec SP lag). The
magnitude of the earthquake shown is the intersection of that line with the
magnitude axis of the diagram at M=6.0.

One particularly useful alternative to Richter magnitude is the Moment


magnitude scale (Mw). Moment magnitude is based on the seismic moment of an
earthquake, which is a direct measurement or estimate of the energy released
by the earthquake. Seismic moment (Mo) can be calculated as follows:
Mo = * Dav * A (2.1)
where is the modulus of rigidity of the crust (about 3.3 * 1011 dynes/cm2;
Brune, 1968), Dav is the average displacement on the fault during the
earthquake, and A is the total area of rupture on the fault. Seismologists often
favor using seismic moment because it is the most physically-based estimate of
earthquake energy. Seismic moment can be converted into a magnitude scale
using the following equation (Hanks and Kanomori, 1979):
Mw = 2/3logM0-10.7

Example 2.2.
Find the seismic moment (Mo ) of a Mw=7.5 earthquake.
The answer to this question is a straightforward solution of Equation 2.2:
7.5 = 2/3 * log Mo 10.7
simplifying:
3/2 * (7.5 + 10.7) = log Mo
log Mo = 27.3
The inverse of the logarithm function is the exponent function (10x). The
way to simplify a logarithm term is with the rule that 10(log x) = x, so that:
10 (log Mo) = 10 (27.3)
Mo = 1027.3
Mo = 2.00 * 1027
and the units of seismic moment are dyne.cm.

If the Mw=7.5 earthquake discussed above ruptures the surface with


an average displacement (Dav) of 2.5 m, find the fault area (A) that
ruptured during the earthquake.
This question uses the result from the last question (Mo = 2.00 * 1027) and
Equation 2.1:
Mo = * Dav * A
2.00 * 1027 dyne.cm = 3.3 1011 dynes/cm2 * 2.5 m * A
Converting the meters term into cm and simplifying:
2.00 * 1027 dyne.cm = 3.3 * 1011 dynes/cm2 * 250 cm * A
2.4 * 1013 cm2 = A
A = 2.4 * 109 m2
A = 2.4 * 103 km2 = 2400 km2

EARTHQUAKE INTENSITY
Earthquake intensity is defined as the strength of seismic shaking at a given
location. Whereas an earthquake has just a single magnitude, it will have many
different intensities at different locations. In general, areas closest to the
epicenter experience the highest intensities, and shaking diminishes in strength
farther away. This phenomenon is the result of seismic-wave attenuation, which
is the reduction in wave amplitude and wave energy as they travel away from
their source.

In order to study the patterns of earthquake intensity during different


earthquakes, a system has been devised to assign specific numbers to different
levels of shaking. The Mercalli scale was developed in 1902 and modified in the
1930s. The Mercalli scale assigns a numerical value, from Roman numeral I to
XII, to the intensity of seismic shaking at any one particular location. The
criteria for each Mercalli intensity are listed in Table 2.1. Figure 2.3 illustrates
the distribution of intensities during an earthquake that struck southern
Michigan in 1947. Note that the lines of equal intensity (called isoseismal lines)
on Figure 2.3 are not perfect circles. The intensity of ground shaking can be
influenced

strongly by local and regional geology, by focusing of seismic waves, and by


near-surface sediments. For example, material amplification (amplification of
shaking by near-surface material) can cause some of the worst damage during
earthquakes. During both the 1906 and the 1989 earthquakes that struck San
Francisco, the worst shaking damage occurred in the citys Marina District,
which is built on artificial fill added to San Francisco Bay. Jets of fluidized
sediment during the 1989 earthquake unearthed debris from buildings destroyed
in 1906.

The descriptions of earthquake shaking used in the following exercise are


summaries of the responses to 664 questionnaires mailed to post offices,
police stations, and fire stations in the area affected by the 1994 Northridge
earthquake (Dewey et al, 1995). You will use these summaries to assign a
Mercalli intensity to each location (see Example 2.3).

RESPONSE SPECTRUM

When you are designing an earthquake resistant structure some


important questions are:

How to estimate the maximum forces generated by the earthquake?

What is this earthquake to be considered?

In USA there is probabilistic approach. For each


specific site you define a Maximum Considered
Earthquake (MCE) (an event with a 2% probability
of exceedence in 50 years or a Tr = 2475 years). The
design earthquake is 2/3 the MCE.

There are three ways to apply the seismic


action:
1. Static.

2. Time history analysis.


3. Modal spectral analysis (most used).

Seismic analysis Static

Used in the past years or for


structures of less than 5 stories
and in certain seismic zones.
It assumes that the seismic
deformations increases linearly
with the height (first mode).

Seismic analysis Time history analysis


You find the response of the
structure (internal forces) as a
function of time for a specific
ground motion.
It requires to have the
accelerogram of
the design
earthquake
or
have
several
representative accelerograms of big
earthquakes.

It defines the seismic


behavior of the structure as
the
superposition
of
nmodes of vibration.
It requires to define a
Design Response Spectrum,
in general, a spectrum of
pseudoaccelerations.

Modal spectral
analysis One DOF system

Where:

Seismic analysis Modal spectral


analysis MDOF system

Now, it is necessary to construct the design response


spectrum.
A plot of the peak value of a response quantity (eg.
acceleration) as a function of the natural vibration period
of the system is called the response spectrum for this
quantity.
This response spectrum will depend on the damping
ratio and the ground motion selected.

For a fixed value of damping ratio (eg. = 5%) and for a given
ground motion (eg. El Centro 1940) we have to procedure as
follow:
For each value of Tn, we have to solve equation (1) and find
the maximum value of u(t),u(t) and u(t) asociated with this
period.
Then, we have to repeat the procedure for another value of
Tn, for the whole range of interest.

Finally we plot in the xaxis the period and in the yaxis the
quantity respectively.

Pseudoacceleration Response Spectrum

USA Design spectrum

Membuat response spectrum sesuai SNI-1726-2012


Berikut adalah contoh perencanaan respons spektrum sesuai ASCE 7-10.
Data (Peta Hazard Gempa Indonesia 2010) :
Lokasi
: Klaten
Jenis Tanah
: Tanah Sedang (Site class D)
Fungsi bangunan
: Perkantoran

Gambar . Peta respon spektra percepatan 0,2 detik (Ss) terlampaui 2% dalam 50 tahun
wilayah Klaten (SNI 1726-2012)

Gambar . Peta respon spektra percepatan 1 detik (S1) terlampaui 2% dalam 50 tahun
wilayah Klaten (SNI 1726-2012)

Dari peta diatas, didapat :


Ss = 0.8 g (batas atas) dan S1 = 0.4 g (batas atas)
Menentukan site coefficient Fa (SNI 1726-2012)

Dari interpolasi didapat Fa dan Fv = 1.18,1.6

Sms=Fa.Ss= 0.8x1.18 =0.944g


Sm1=Fv.S1=1.6x0.4=0.64g
Sds=2/3 Sms = 0.629g
Sd1=2/3 Sm1= 0.426g
T0=0.2 Sd1/Sds=0.135detik
Ts=Sd1/Sds=0.677detik
Pada T = 0detik didapat
Sa=Sdsx0.4 = 0.2516g
T>Ts , Sa=Sd1/T

Maka diplotkan sbb :

Anda mungkin juga menyukai