Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Dispepsia
Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom

(kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang,
dan perut terasa penuh. Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap penderita. Bahkan
pada seorang penderita, keluhan tersebut dapat berganti atau bervariasi, baik dari
segi jenis keluhan maupun kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu
penyakit, melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus
dicari penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013).
Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari bahasaYunani,
dys yang berarti jelek atau buruk dan pepsia yang berarti pencernaan, jika
digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna.
Semua gejala-gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan
disebut dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak
nyaman, atau distensi.
Kasus dyspepsia didunia mencapai 13 40 % dari total populasi setiap
tahun. Hasil study menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania,
prevalensi dyspepsia bervariasi antara 5% hingga 43 % (WHO, 2010). Di
Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktik umum adalah
pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien yang datang

Universitas Sumatera Utara

berobat ke praktik gastroenterologist terdapat 60% dengan keluhan dispepsia


(Djojoningrat, 2009).
Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut
bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan bebagai keluhan
yang dirasakan di abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun
rasa terbakar di daerah epigastrum (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di
perut bagian atas, sering sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia
sering juga dipakai sebagai sinonim dari gangguan pencernaan (Herman, 2004).
Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, baik yang bersifat organik, maupun yang fungsional.
Berdasarkan konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis,
yang diduga karena penyakit refluks gastroesofageal, tidak dimasukkan dalam
sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014).
2.1.1 Sindrom Dispepsia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sindrom adalah himpunan
gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai
ketidaknormalan tertentu. Sindrom merupakan kumpulan dari beberapa ciri-ciri
klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul
bersamaan.
Adapun gejala-gejala (sindrom) dispepsia, yaitu:
- Nyeri perut (abdominal discomfort)
- Rasa perih di ulu hati
- Nafsu makan berkurang

Universitas Sumatera Utara

- Rasa lekas kenyang


- Perut kembung
- Rasa panas didada dan perut (Djojoningrat, 2014).
2.1.2 Klasifikasi Dispepsia
Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1.

Dispepsia Organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai


penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach
cancer, gastro esophageal reflux disease, hiperacidity.
Jenis-jenis dispepsia organik yaitu:
a.

Tukak pada saluran cerna atas


Keluhan yang sering terjadi nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan
yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih
seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan
dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang
sementara sesudah makan atau setelah minum antasida. Gejala lain
seperti mual, muntah, bersendawa, dan kurang nafsu makan
(Hadi, 2005).

b.

Gastritis
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang
mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung
yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri

Universitas Sumatera Utara

epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang terjadi perdarahan


(Sutanto, 2007).
c.

Gastro esophageal reflux disease (GRD)


GRD adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami
refluks (mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala
khas berupa rasa panas terbakar di dada (heart burn), kadang disertai
rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta
kesulitan menelan. Belum adates standart mendiagnosa GERD,
kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala penyakit lain atau
ditemukannya radang pada esofagus seperti esofagitis (Berdanier,
2008).

d.

Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas,
kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri
diperut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang
menyebabkan berat badan turun (Hadi, 2005).

e.

Pankreatitis
Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di
epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti
ditusuk-tusukdan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum
kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh
perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang
menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut

Universitas Sumatera Utara

bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Pada


pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai
tanda-tanda diabetes melitus atau keluhan steatorrhoe (Hadi, 2005).
f.

Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi


Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses
absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.
Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia,
sering flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir (Sudoyo, 2009).

g.

Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan
lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan
berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain seperti
hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus (Hadi, 2005).

h.

Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori


Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari
Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya
bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini
mengubah cara pandang ahli dalam mengobati penyakit lambung.
Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh
Helicobacter pyloripada lambung dapat menyebabkan peradangan

Universitas Sumatera Utara

mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai


terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker (Rani, 2011).
2.

Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi

(Mansjoer, 2000). Menurut

Friedman (2010) Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia


fungsional antara lain :
a.

Sekresi Asam Lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau
hiposekresi.

b.

Dismotilitas Gastrointestinal
Dismotilitas

Gastrointestinal

yaitu

perlambatan

dari

masa

pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain. Pada berbagai


studi

dilaporkan

dispepsia

fungsional

terjadi

perlambatan

pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.


c.

Diet dan Faktor Lingkungan


Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia

fungsional.

Dengan

melihat,

mencium

bau

atau

membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung


yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena

Universitas Sumatera Utara

faktor nervus vagus, dimana ada hubungannya dengan faal saluran


cerna pada proses pencernaan. Nervus vagus tidak hanya merangsang
sel parietal secara langsung tetapi efek dari antral gastrin dan
rangsangan lain sel parietal.
d.

Psikologik
Stress

akut

dapat

mempengaruhi

fungsi

gastrointestinal

dan

mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan


kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
stimulus stress sentral.
2.1.3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Dispepsia
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat
organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena
terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti
pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat
fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap
obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Abdullah dan Gunawan, 2012).
Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah :
1.

Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan


bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).

2.

Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah


(mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).

3.

Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat lambung


terasa penuh atau bersendawa terus.

Universitas Sumatera Utara

4.

Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia,


seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini
dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.

5.

Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs(NSAID)


misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani, 2011).

6.

Pola makan
Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak sehingga bila tidak

sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam. Tuntutan pekerjaan


yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh rumah dan kantor yang jauh dan
persaingan yang tinggi sering menjadi alasan para profesional untuk menunda
makan (Rani, 2011).
Faktor diet dan sekresi cairan asam lambung merupakan penyebab
timbulnya dispepsia (Djojoningrat, 2009). Penelitian Khotimah pada 74
mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara tentang analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom dispepsia menyatakan bahwa salah
satu faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia adalah
keteraturan makan dan jeda antara waktu makan (Khotimah, 2012). Jeda antara
waktu makan merupakan penentu pengisian dan pengosongan lambung. Jeda
waktu makan yang baik yaitu berkisar antara 4-5 jam (Iping, 2004) Fungsi dari
cairan asam lambung adalah untuk mencerna makanan yang masuk ke lambung
dan merubah makanan tersebut menjadi massa kental (khimus), membantu proses
pencernaan makanan yang telah di mulai dari mulut. Cairan asam lambung
merupakan cairan yang bersifat iritatif dan asam (Sherwood, 2011). Suasana yang

Universitas Sumatera Utara

sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan
atau masuk bersama dengan makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak,
maka suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada
dinding lambung (Herman, 2004). Produksi asam lambung berlangsung terusmenerus sepanjang hari dan bilamana tidak adanya makanan yang masuk untuk
diproses maka asam lambung tersebut merusak alat pencernaan sehingga terjadi
sindrom dispepsia (Ganong, 2008).
Menurut Haapalahti (2004) dalam Susanti (2011) ditemukan ada pengaruh
pola makan terhadap dispepsia. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi
predisposisi untuk gejala gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon
gastrointestinal yang tidak teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya
motilitas gastrointestinal.
2.1.4 Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut:
1.

Pencegahan Primordial
Merupakan pencegahan pada orang-orang yang belum memilik faktor resiko

dispepsia, dengan cara mengenali dan menghindari keadaan/kebiasaan yang dapat


mencetuskan serangan dispepsia, dan untuk menghindari infeksi helicobacter
pylori dilakukan dengan cara menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih,
perbaikan gizi, dan dan penyediaan air bersih (Rani, 2011).
2.

Pencegahan Primer (Primary Prevention)


Berperan dalam mengolah dan mencegah timbulnya gangguan akibat

dispepsia pada orang yang sudah memiliki faktor resiko dengan cara membatasi

Universitas Sumatera Utara

atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat seperti, makan tidak


teratur, merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak,
pedas, asam, dan menimbulkan gas di lambung. Berat badan perlu dikontrol agar
tetap ideal, karena gangguan pada saluran pencernaan, seperti rasa nyeri di
lambung, kembung, dan konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang
mengalami obesitas. Rajin olahraga dan manajemen stres juga dapat menurunkan
resiko terjadinya dispepsia (Redaksi, 2009).
3.

Pencegahan Sekunder
a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet tersebut adalah
makan sedikit berulang kali, makanan harus mudah dicerna, tidak
merangsang peningkatan asam lambung, dan bisa menetralisir asam
HCL.
b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis
reseptor H2, penghambat pompa asam (proton pump inhibitor= PPI),
sitoprotektif, prokinetik, dan kadang dibutuhkan psikoterapi, atau
psikofarma (obat anti depresi atau cemas) untuk penderita yang
berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas, dan depresi
(Redaksi, 2009).
c. Bagi yang berpuasa untuk mencegah kambuhnya sindrom disepsia,
sebaiknya menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat
sahur dan berbuka untuk mengontrol asam lambung selama berpuasa.
Berbeda dengan dispepsia organik, bila si penderita berpuasa kondisi

Universitas Sumatera Utara

asam lambungnya akan semakin parah. Penderita boleh berpuasa setelah


penyebab sakit lambungnya diobati terlebih dahulu (Mansjoer, 2000).
4.

Pencegahan Tersier
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita
dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama
dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke
masyarakat (Declan, 2001).

2.2

Pola Makan
Pola Makan adalah gambaran mengenai macam, jumlah, dan komposisi

bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas
dari suatu kelompok masyarakat tertentu (Hartono, 2007). Menurut Depkes RI
(2009) Pola Makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan
jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status
nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit.
Kebiasaan hidup yang dianjurkan pada dispepsia adalah pola makan yang
normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal
makan yang teratur, sebaiknya tidak mengonsumsi makanan yang berkadar asam
tinggi, cabai, alkohol dan pantang rokok, bila minum obat karena sesuatu
penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu
fungsi lambung (Hartaty, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan


Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasaan makan
seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan
menurut Sediaotama (2004) adalah sebagai berikut :
1.

Faktor ekonomi
Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi kosumsi
pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya akan
pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan
kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan
akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kulaitas
maupun kuantitas.

2.

Faktor sosio budaya


Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar
untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang
akan dikosumsi. Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku
dan memenuhi kebutuhan dasar biologinya, termasuk kebutuhan terhadap
pangan.

3.

Agama
Pantangan yang didasari agama, khususnya Islam disebut haram dan
individu yang melanggar hukumnya berdosa. Konsep halal dan haram
sangat mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan dikosumsi.

Universitas Sumatera Utara

4.

Pendidikan
Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan, akan
berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan
gizi.

5.

Lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku
makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga,
sekolah, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak.

2.2.2 Pola Makan terdiri dari:


a.

Jenis Makanan
Pada umumnya pasien yang menderita dispepsia adalah pengkonsumsi

rokok, minuman alkohol yang berlebihan, minum kopi dalam jumlah banyak dan
makan makanan yang mengandung asam. Pengosongan lambung tergantung pada
jenis makanan. Biasanya berlangsung sekitar 1-4 jam. Makanan yang
mengandung protein, lemak, makanan yang kental (hipertonis), banyaknya udara
dan usus halus yang penuh memerlukan waktu yang lebih lama untuk dicerna
dalam lambung. Lemak tetap berada di dalam lambung selama 3-6 jam. Cairan
lambung yang asam memicu terjadinya pencernaan protein dan lemak (Suratun
dan Lusianah, 2010).
Jenis makanan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu makanan utama dan
makanan selingan. Makanan utama merupakan makanan yang biasa dikonsumsi
seseorang berupa makan pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari
makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan minuman. Sementara Makanan

Universitas Sumatera Utara

selingan adalah makanan ringan atau snack yang biasa dikonsumsi di sela-sela
makan utama.
b.

Jadwal makan
Makan tepat waktu dan teratur sangat penting untuk dilakukan dan bahkan

harus dibiasakan, sebab makan tepat waktu dan teratur memberikan manfaat yang
luar biasa bagi tubuh. Sebaliknya makan yang tidak tepat waktu dan tidak teratur
dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan (Tilong, 2014)
Frekuensi makan merupakan seringnya seseorang melakukan kegiatan
makan dalam sehari baik makanan utama maupun makanan selingan, frekuensi
makan dikatakan baik jika frekuensi makan dalam sehari tiga kali makanan utama
atau dua kali makanan utama dengan satu kali makanan selingan. Frekuensi
makan dinilai kurang jika frekuensi makan setiap harinya dua kali makan utama
atau kurang (Hudha, 2006).
c.

Jumlah Makanan
Jumlah atau porsi makanan merupakan suatu ukuran atau takaran yang

dikonsumsi pada tiap kali makan. Menurut Sedioetama (2004) jumlah atau porsi
standar bagi remaja antara lain: makanan pokok berupa nasi, roti, dan mie instan.
Jumlah atau porsi makanan pokok antara lain: nasi 100 gram, roti tawar 50 gram,
mie instan untuk ukuran besar 100 gram dan ukuran kecil 60 gram. Lauk pauk
mempunyai dua golongan, golongan lauk hewani dan nabati. Jumlah atau porsi
makanan antara lain: daging 50 gram, telur 50 gram, ikan 50 gram, tempe 50 gram
(2 potong), tahu 100 gram(2 potong). Sayur merupakan bahan makanan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan jumlah atau porsi sayuran dari berbagai jenis

Universitas Sumatera Utara

makanan sayuran, anatara lain 100 gram. Jumlah porsi buah ukuran 100 gram,
potongan 75 gram.
2.2.3 Pola makan yang mempengaruhi dispepsia
a.

Makan makanan berisiko


Makanan yang berisiko yang dimaksud adalah makanan yang terbukti ada

pengaruhnya terhadap dispepsia yaitu makanan pedas, makanan asam, makanan


bergaram tinggi. Frekuensi makan makanan berisiko berhubungan signifikan
dengan kejadian dispepsia. Semakin sering mengkonsumsi makanan tersebut
semakin berisiko terken adispepsia (Anggita, 2012).
Konsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem
pencernaan, terutama lambung dan usus yang berkontraksi. Keadaan ini
menimbulkan rasa panas dan nyeri ulu hati yang disertai mual dan muntah
(Oktaviani, 2011). Bila kebiasaan mengkonsumsi lebih dari satu kali dalam
seminggu selama minimal enam bulan dibiarkan berlangsung lama dapat
menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut gastritis. Selain itu, bubuk cabai
atau chilli powder dapat menyebabkan kehilangan sel epitel pada lapisan mukosa
(Berdanier, 2008).
Makanan dengan rasa asin yang berlebihan baik dalam segi rasa maupun
frekuensi terbukti signinifikan dalam kasus pra kanker lambung. Peningkatan
makanan asin dan makanan yang diasap secara berkaitan terbukti signifikan dalam
perkembangan

kanker

lambung.

Mengkonsumsi

makanan

asin

dapat

meningkatkan risiko terinfeksi bakteri H. Pylori yaitu bakteri penyebab gastritis


(Corwin, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Makanan yang berminyak dan berlemak juga dapat menimbulkan gejala


dispepsia. Makanan ini berada di lambung lebih lama dari jenis makanan lainnya.
Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan tekanan di lambung. Proses
pencernaan ini membuat katup antara lambung dan kerongkongan (Lower
Esophageal Sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik
ke kerongkongan (Berdanier, 2008).
Makanan asam termasuk makanan yang berisiko penyebab dispepsia.
Makanan asam dapat memperlambat pengosongan lambung. Sebelum masuk
duodenum, kimus yang bersifat asam akan dinetralisir oleh Natrium Bikarbonat
(NaHCO3). Bila proses belum selesai, kimus asam akan berada di dalam
lambung, sehingga akan mengiritasi lapisan mukosa lambung dan menimbulkan
serangan gastritis. Diet rendah serat dianjurkan untuk mengurangi keluhan perut
kembung, tetapi serat yang tidak larut dalam air dapat menyebabkan kembung
tanpa adanya peningkatan jumlah gas. Kembung ini disebabkan oleh
melambatnya aliran gas ke usus kecil akibat serat (Mansjoer, 2000). Diit tinggi
serat dan gas tidak dianjurkan dalam gangguan lambung. Makanan yang
mengandung serat tinggi dan gas seperti daun singkong, kacang panjang, kol,
lobak, sawi, asparagus, jambu biji, nanas, kedondong, durian, nangka (Almatsier,
2004).
b. Minum minuman berisiko
Menurut Yunita (2010), frekuensi minum minuman iritatif seperti kopi,
bersoda (soft drink) dan alkohol berpengaruh signifikan terhadap kejadian
dispepsia. Beberapa jenis minuman atau zat tertentu yang terkandung pada

Universitas Sumatera Utara

minuman ternyata memiliki hubungan terhadap kejadian dispepsia. Zat yang


terkandung dalam kopi adalah kafein yang merupakan zat sekret tagogue. Zat ini
merupakan salah satu penyebab antrum mukosa lambung menyekresikan hormon
gastrin. Kafein dapat menstimulasi produksi pepsin yang bersifat asam yang
menyebabkan iritasi dan erosi mukosa lambung. Hormon gastrin yang dikeluarkan
oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam dari
fundus lambung (Ganong, 2008). Minuman bersoda merupakan minuman
mengandung gas. Gas yang berlebihan dalam lambung dapat memperberat kerja
lambung. Minuman bersoda atau berkarbonasi akan melenturkan katup LES
(Lower Esophangeal Sphincter) yaitu katup antara lambung dan tenggorokan
sehingga menyebabkan reflux atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan.
Oleh karena itu orang memiliki gangguan pencernaan dianjurkan tidak
mengkonsumsinya. Disamping itu,minuman bersoda juga memiliki pH antara 3-4
yang berarti bersifat asam sehingga akan meningkatkan dampak buruk bagi
lambung (Berdanier, 2008).
Minum susu terlalu banyak tidak dianjurkan bila ada gejala intoleransi
laktosa. Lactose intolerance disebabkan oleh kurangnya enzim lactase yang
dibutuhkan tubuh untuk mencerna laktosa (gula susu). Laktosa yang tidak tercerna
akan bertahan di usus dan mengalami fermentasi sehingga dapat menimbulkan
rasa kembung (Berdanier,2008).
c. Jadwal makan
Menurut Susanti (2011) kejadian dispepsia dipengaruhi oleh keteraturan dan
frekuensi makan. Orang yang memiliki pola makan yang tidak teratur mudah

Universitas Sumatera Utara

terserang dispepsia. Frekuensi makan merupakan faktor yang berhubungan


dengan pengisian dan pengosongan lambung. Kasus gastritis (dispepsia) diawali
dengan pola makan yang tidak teratur sehingga asam lambung meningkat,
produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan gesekan pada dinding lambung
dan usus halus, sehingga timbul nyeri epigastrum. Keadaan ini secara perlahan
menimbulkan perdarahan. Perut yang kosong atau ditunda pengisiannya, asam
lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, berakibat rasa nyeri
(Oktaviani, 2011).
Makan teratur dapat membuat alat pencernaan bekerja secara teratur. Agar
proses pencernaan efisien ia harus bekerja secara wajar dan alamiah, artinya pola
makan harus sesuai dengan siklus pencernaan dan kemampuan fungsi pencernaan.
Adapun siklus pencernaan, yaitu:
a. Siklus pencernaan (12 Siang-8 Malam) merupakan saat yang tepat untuk
mengkonsumsi makanan padat karena siklus pencernaan bekerja lebih
aktif. Setelah pukul 89 malam sebaiknya tidak makan makanan padat
karena lambung tidak boleh sesak dengan makanan pada saat tidur.
b. Siklus penyerapan (8 Malam-4 Pagi) pada saat tubuh dan pikiran kita
sedang istirahat total atau tidur, tubuh mulai menyerap atau
mengasimilasi, dan mengedarkan zat makanan. Kurang tidur atau makan
larut malam akan memboroskan energi dan mengganggu aktivitas siklus
ini.
c. Siklus pembuangan (4 Pagi-12 Siang) secara intensif tubuh mulai
melakukan pembuangan sisa-sisa makanan dan sisa-sisa metabolisme.

Universitas Sumatera Utara

Siklus ini paling banyak memakai energi. Selagi siklus ini berjalan
sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan berat atau padat karena
menurunkan intensitas proses pembuangan, memperlambat proses
pencernaan, dan memboroskan energi (Andang, 2001) dalam (Ginting,
2008).
Hasil penelitian oleh Annisa (2009) jeda antara jadwal makan yang lama
dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan sindroma dispepsia. Pada penelitian
ini juga ditemukan perbedaan antara pola makan dan pengaruhnya terhadap gejala
gastrointestinal pada remaja putri. Penyebab asam lambung tinggi diantaranya
adalah aktivitas padat sehingga terlambat makan. Secara alami lambung akan
memproduksi asam lambung setiap saat dalam jumlah kecil. Setelah 4-6 jam
sesudah makan kadar glukosa dalam darah telah banyak diserap dan terpakai
sehingga tubuh akan merasakan lapar dan saat itu jumlah asam akan meningkat
(Ganong, 2008).
Pembagian waktu makan yang baik dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Pembagian Waktu Makan
Waktu

Jam Makan

Makan pagi

07.00

Snack pagi

10.00

Makan siang

13.00

Snack siang

16.00

Makan malam

19.00

Sumber : Penuntun Diet Tahun 2005

Universitas Sumatera Utara

Makan tepat waktu merujuk pada konsep tiga kali makan dalam sehari ialah
sarapan, makan siang, dan makan malam. Dalam memulai makan, janganlah
makan setelah benar-benar lapar. Atur waktu makan seperti sarapan sekitar jam
06.00-08.00, makan siang sekitar jam 12.00-13.00, dan makan malam antara jam
18.00-20.00 (Tilong, 2014).
2.3

Manajemen Diet Penderita Dispepsia


Diit pada penyakit dispepsia diberikan untuk penyakit yang berhubungan

dengan saluran cerna. Gangguan pada saluran cerna umumnya berupa sindrom
dispepsia yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari mual, muntah, nyeri epigastrum,
kembung, nafsu makan berkurang dan rasa cepat kenyang.
Tujuan diet adalah untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang
tidak memberatkan lambung serta mencegah dan menetralkan sekresi asam
lambung yang berlebihan.
Syarat diet penyakit dispepsia (diet lambung) adalah :
a.

Mudah cerna, porsi kecil dan sering diberikan

b.

Energi dan protein cukup, sesuai kemampuan pasien untuk menerimanya

c.

Lemak rendah, yaitu 10-15 % dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan
secara bertahap hingga sesuai kebutuhan

d.

Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara
bertahap

e.

Cairan cukup, terutama bila ada muntah

Universitas Sumatera Utara

f.

Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara
termis, mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya terima
perorangan)

g.

Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa, umumnya tidak


dianjurkan minum susu terlalu banyak.

h.

Makan secara perlahan di lingkungan yang tenang.

i.

Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja 24-48 jam untuk
memberi istirahat pada lambung (Almatsier, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Teori


Penyebab

dispepsia

cukup

beragam

dan

bergantung

pada

klasifikasinya, Pada pasien dengan dispepsia organik atau struktural, ada


tiga penyebab utama dispepsia: penyakit refluks gastroesofageal (dengan
atau tanpa esofagitis), penyakit ulkus peptikum kronis, dan keganasan
(Tepes, 2011). Sedangkan dispepsia yang bersifat fungsional dapat dipicu
karena faktor psikologis, faktor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis
makanan tertentu (Abdulah dan Gunawan,2012). Salah satu faktor yang
berperan dalam kejadian dispepsia diantaranya adalah pola makan dan
sekresi asam lambung (Djojoningrat, 2009).

Pola makan

Faktor psikologi (stres)

Obat-obatan

Dispepsia

Penyakit gangguan
pencernaan : gastritis,
ulkus peptikum, stomach
cancer,gastro-esophangeal
reflux disease, hiperacidity
dll
Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
Variabel Independent

Variabel Dependent

Pola makan :
1. Jadwal makan
2. Jenis makanan dan
minuman

Kejadian Sindrom Dispepsia

Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian


Keterangan :
Pola makan mahasiswa dapat dilihat dari jadwal makan, dan jenis makanan dan
minuman, hal ini diduga dapat menyebabkan terjadinya sindrom dispepsia.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai