Herpes Z Oster
Herpes Z Oster
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Herpes Zoster
Herpes zoster atau disebut juga dengan shingles atau cacar ular memiliki
insiden tertinggi dari semua penyakit neurologi, dengan sekitar 500.000 kasus baru
setiap tahun di United States. Herpes zoster merupakan penyakit yang jarang terjadi,
diperkirakan 10-12 % populasi akan mengalami serangan Herpes zoster selama
hidupnya. Di Indonesia menurut Lumintang, prevalensi Herpes zoster kurang dari
1%. 1,4,13
2.1.1 Defenisi
Herpes zoster merupakan manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster
laten dari syaraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab
untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar
air) dan Herpes zoster (cacar ular). Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi
pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Pada 3-5
dari 1000 individu, virus Varisela-zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi
rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. 1,4
Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral,
sebelum timbul manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan
didahului oleh gejala odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster
belum sepenuhnya diketahui. 1,12
5
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di
dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa melalui sternus
sensory ke tepi ganglia spinal atau ganglia trigeminal kemudian menjadi laten.
Varicella zoster, yaitu suatu virus rantai ganda DNA anggota famili virus herpes yang
tergolong virus neuropatik atau neuroder-matotropik. Reaktivasi virus varicella zoster
dipicu oleh berbagai macam rangsangan seperti pembedahan, penyinaran, penderita
lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seorang yang sedang
dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik.
Apabila terdapat rangsangan tersebut, virus varicella zoster aktif kembali dan terjadi
ganglionitis. Virus tersebut bergerak melewati saraf sensorik menuju ujung-ujung
saraf pada kulit atau mukosa mulut dan mengadakan replikasi setempat dengan
membentuk sekumpulan vesikel.2,3,4
2.1.3.1 Kulit
Herpes zoster dikarakteristik oleh sakit dan sensasi lokal kulit lain (seperti
terbakar, geli, dan gatal), sakit kepala, tidak enak badan dan (paling sering) demam,
biasanya muncul ruam zoster (23 hari). Ruam menyebar ke seluruh kulit yang
terkena, berkembang menjadi papula, vesikel (3-5 hari) dan tahap krusta (7-10 hari),
memerlukan 2-4 minggu untuk sembuh. Lesi baru berlanjut muncul untuk beberapa
hari. Kelainan kulit hanya setempat dan hanya mengenai sebelah bagian tubuh saja,
yaitu terbatas hanya pada daerah kulit yang dipersyarafi oleh satu syaraf sensorik.
Syaraf yang paling sering terkena adalah C3, T5, L1, dan L2, dan syaraf
trigeminal.1,4,12,17
Lesi-lesi intraoral adalah vesikuler dan ulseratif dengan tepi meradang dan
merah sekali. Perdarahan adalah biasa. Bibir, lidah, dan mukosa pipi dapat terkena
lesi ulseratif unilateral jika mengenai cabang mandibuler dari saraf trigeminus.
Keterlibatan divisi kedua dari saraf trigeminus secara khas akan mengakibatkan
ulserasi palatum unilateral yang meluas ke atas, tetapi tidak keluar dari raphe
palatum.1,4,8
2.1.4 Diagnosis
Diagnosa Herpes zoster biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat kasus dan
gambaran klinisnya yang khas, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium direkomendasikan jika gambaran klinis
tidak khas atau untuk menentukan status imun terhadap virus Varisela-zoster pada
orang yang beresiko tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan meliputi
hapusan Tzank, deteksi antigen virus dan tes antibodi virus. 4, 15, 17,18
2.1.5 Perawatan
Perawatan dan penatalaksanaan herpes zoster dapat dilakukan dengan
farmakologi atau non-farmakologi.
2.1.5.1 Farmakologi
Perawatan terpenting untuk zoster akut adalah medikasi antivirus sesegera
mungkin. Medikasi antivirus secara oral sebenarnya tidak memiliki efek samping.
Perawatan farmakologi dapat dibagi atas topikal dan sistemik.
A. Topikal
1. Analgetik Topikal
a. Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan losio Calamin (Caladryl)
dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus.2,7
Kompres dengan solusio Burowi (aluminium asetat 5%) dilakukan 4-6
kali/hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau cold pack juga sering
digunakan.2
b. Antiinflamasi nonsteroid (AINS)
Berbagai AINS topical seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil
eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.2
2. Anestesi Lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf yang
terlibat dalam HZ telah banyak dilakukan untuk memperbaiki nyeri, misalnya
infiltrasi lokal subkutan, blok saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural,
dan blok simpatis. Infiltrasi lokal subkutan umumnya menggunakan
bupivakain 0,125-0,25% dan triamsinolon 0,2 % dengan volume yang
digunakan dapat mencapai hingga 50 ml. Infiltrasi dilakukan didaerah yang
paling nyeri, dan dapat diulang tiap 2-3 hari hingga nyeri hilang.2,7,14,16
B. Sistemik
1.
Agen antivirus
Agen antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster (HZ) dan
keparahan nyeri herpes akut , terlebih bila diberikan sebelum 72 jam awitan
lesi. Dari 3 antiviral oral yang disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi HZ, famsiklovir dan valasiklovir hidroklorida lebih efektif
daripada asiklovir.
Antivirus famsiklovir 3 x 500 mg atau valasiklovir 3 x 1000 mg atau
asiklovir 5 x 800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari.2-
7,9,12-14,16,21-24
Analgetik
Pasien dengan nyeri herpes akut ringan menunjukkan respons yang
baik dengan AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak) atau
analgetik non opioid (asetaminofen, tramadol, asam mefenamik). 2,22,24
2.1.5.2 Non-Farmakologi
Perawatan non farmakologi juga sangat penting. Pendidikan pasien dan
dukungan penting dalam penatalaksanaan Herpes zoster. Hal tersebut meliputi
penjelasan atas jalannya penyakit, rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan
aturan dosis antivirus. Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang
Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang resiko menular
terhadap orang yang belum pernah cacar air. Instruksikan pasien agar tetap menjaga
ruam dalam keadaan bersih dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri,
melaporkan setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan pembalut steril basah
untuk mengurangi ketidaknyamanan. Topikal antibiotik dan pembalut adesif dapat
menunda penyembuhan ruam dan harus dihindari.19
2.1.6 Komplikasi
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi Herpes zoster yang paling
sering terjadi. Herpes zoster optalmikus merupakan komplikasi umum yang lain.
Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak
syaraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic
neuralgia didefenisikan sebagai symtom sensoris (biasanya sakit dan mati rasa).
Postherpetic neuralgia atau rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut
sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita
usia lanjut.1,3,17,18
2.2.1 Defenisi
Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul
oleh karena penyakit atau luka pada sistem syaraf pusat atau tepi, nyeri menetap
dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling
umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan
pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit
berbahaya seperti lymphoma, perawatan penyakit berbahaya (kemoterapi atau
radioterapi), infeksi HIV, dan penggunaan obat penghambat kekebalan (immune
2.2.2 Etiopatogenesis
Nyeri neuropatik adalah suatu bentuk nyeri kronis yang pada dasarnya
melibatkan kerusakan jaringan saraf sebagai penyebab disfungsi normal.2 Kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh mekanik, kimia, dan thermal, infeksi dan tumor bisa
bersifat sebagai stimulus.2,23 Reaksi terhadap stimulus akan menyebabkan bebasnya
beberapa zat, hormon dan neurotransmitter seperti bradikinin, histamin, serotonin,
prostaglandin, dan juga beberapa jenis ion seperti kalium, natrium, magnesium.2
Stimulasi dari zat-zat yang bebas tadi melalui jaringan saraf yang tidak bermielin
akan menuju ke sumsum tulang belakang. Afferen nyeri yang berasal dari perifer
kulit, persendian, perios, pembuluh darah dan lainnya. Melalui ramus komunikans
albus menuju kornu dorsalis sumsum tulang belakang. Dari sini traktus
spinothalamikus
lateralis
akan
disampaikan
ke
bagian
posteromedial
dan
posterolateral talamus menuju bagian sentral korteks yang akan memberi persepsi
nyeri.2,23 Blokade jalur ini dengan pemberian neurotransmitter atau jenis-jenis kimia
lainnya merupakan tindakan pengobatan rasa nyeri. Terdapat beberapa mekanisme
yang berperan dalam timbulnya sensasi nyeri pada Postherpetic neuralgia. Menurut
teori Gate control, pada erupsi akut herpes zoster terjadi replikasi virus varisela zoster
di serabut saraf, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan saraf pelbagai ukuran,
serabut saraf berdiameter besar berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak, dan
mengalami kerusakan terparah. Akibatnya terjadi dominasi serabut saraf kecil
bermielin dan tidak bermielin, sehingga transmisi impuls nyeri ke medulla spinalis
meningkat.2
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri
herpes zoster akut. Patogenesis postherpetic akut belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi nyeri tersebut dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster disebabkan
oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan
selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada
serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut
syaraf atau impuls abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai
inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls
nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat. Faktor
resiko yang paling umum untuk Postherpetic neuralgia adalah usia lanjut, rasa sakit
yang lebih berat ketika terjadinya zoster, ruam yang lebih parah, dan (prodrome)
tanda-tanda awal yang tidak spesifik dari penyakit kulit sebelum timbulnya ruam
pada kulit. 2,19,21
penurunan sensoris, dan terdapat hubungan antara derajat penurunan sensoris dan
keparahan nyeri.2,6,20
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan cara mengetahui distribusi nyeri yaitu
disepanjang saraf trigeminus, malakukan anamnesis diantaranya dengan menanyakan
riwayat penyakit, apakah pasien demam, sudah pernah terkena cacar air, adakah
timbul lesi seperti balon air, daerah yang terkena dimana saja, rasa sakitnya seperti
apa, dan apakah sebelumnya anggota keluarga yang lain ada yang terkena penyakit
yang sama. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan pula dengan langsung melihat lesi dan
gambaran klinisnya. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebagai pemeriksaan
penunjang.
2.2.5 Perawatan
Perawatan terhadap post herpetic neuralgia adalah dilakukan dengan obatobatan serta terapi selain dengan obat-obatan.
I. Farmakologi
A. Topikal
Terapi topikal berguna untuk pasien usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi
pengobatan sistemik karena penyakit lain yang dideritanya. Sampai saat ini, terdapat
3 kategori pengobatan topikal yaitu :
1. Anestetik topikal
Formulasi topikal lidokain, lidokain dengan prilokain, eter dalam kombinasi
dengan antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin dan indometasin dilaporkan juga
bermanfaat dalam beberapa studi tanpa kontrol.2,5,6 Lidoderm (lidokain 5% skin
patch), tersusun dari bahan perekat yang mengandung lidokain 5%, lidoderm
menimbulkan analgesia dan memperbaiki alodinia dengan cara difusi lidokain ke
lapisan-lapisan epidermis-dermis dan terikat pada kanal sodium saraf perifer.2,10,16,21
Untuk tiap aplikasi, efeknya berlangsung selama 4 hingga 12 jam.2,7 Karena
keamanannya, kini disarankan untuk digunakan sebagai terapi awal post herpetic
neuralgia dengan gejala alodinia atau nyeri yang intermiten. Penggunaan lidoderm
telah disetujui oleh FDA.2
2. Anestetik lokal
Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapai oleh anestesi infiltrasi subkutan, yang
efeknya berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa minggu. Lidokain,
prokain, dan mepivakain sering diberikan secara infiltrasi atau intravena.1,2
3. Kapsaisin
Kapsaisin (dolorax, capsin, zoztrix), trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamida,
ekstrak dari Capsicum frustecans, telah banyak digunakan untuk terapi topikal pada
keadaan yang melibatkan nyeri, pruritus dan inflamasi. Kapsaisin berperan dalam
meningkatkan pelepasan lalu deplesi substansi P, yang dianggap merupakan
neurotransmiter peptida endogen utama rangsangan nyeri serabut C dari perifer ke
susunan saraf pusat. Sehingga pada awalnya kapsaisin menyebabkan rasa terbakar
dan hiperalgesia terhadap panas atau tekanan. Setelah beberapa hari hingga
seminggu, efek ini digantikan oleh hipoalgesia. Analgesia baru timbul saat terjadi
deplesi substansi P.2,5-7,21
B. Sistemik
1. Analgesik
a.
Opioid
Opioid memperbaiki nyeri melalui aktivasi reseptor spesifik di system saraf
pusat dan perifer. Karena efek adiksinya, opioid hanya diindikasikan untuk
penggunaan jangka pendek.2,3
2. Agen neuroaktif
a.
Psikotropik
Antidepresan trisiklik (AT) merupakan terapi yang penting pada Postherpetic
reuptake
neurotransmitter
norepinefrin
dan
serotonin,
serta
meningkatkan inhibisi neuron spinalis yang terlibat dalam persepsi nyeri seperti
terbakar dan nyeri tajam atau menusuk.2,5 AT yang banyak digunakan pada
b.
Antikonvulsan
Antikonvulsan dapat mengurangi nyeri tajam atau menusuk pada Postherpetic
Neuralgia. Pada studi buta ganda dengan kontrol, karbamazepin mengurangi nyeri
tajam atau menusuk namun tidak efektik untuk nyeri yang terus-menerus.2,5
Mekanisme kerja antikonvulsan dalam menghilangkan nyeri
adalah dengan
memblokade kanal natrium dan berperan sebagai membran stabilizing agent sehingga
mencegah impuls ektopik yang dapat mencetuskan nyeri. Antikonvulsan yang sering
yang digunakan adalah karbamazepin (tegretol), fenitoin (dilantin), asam valproat
(depakene), dan gabapentin (neurontin).2,7 Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia
lebih rendah dari dosis
herpetic neuralgia dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan bertahap hingga efek
yang diinginkan tercapai atau timbul efek samping yang serius.2
c.
Neuroleptik
Golongan fenotiazin seperti flupenazin (prolixin), perpenazin (trilafon), dan
tioridazin, telah lama digunakan untuk terapi postherpetic neuralgia dalam kombinasi
dengan AT.2
d.
Metikobal
Metikobal adalah derivate vitamin B12 yang bersifat koenzim, menjadi aktif di
tubuh, mempunyai afinitas yang besar terhadap jaringan saraf, dan dilaporkan efektif
untuk neuralgia dan neuritis perifer. Selain itu metikobal dianggap mempunyai efek
bila disuntikkan pada area saraf setempat, tetapi tidak efektif bila digunakan secara
sistemik. Bersama dengan vitamin B1 dan B6 sering dipakai untuk membantu
regenerasi saraf.2,5
II. Nonfarmakologi
A. Pendekatan neuroaugmentif
Beberapa pendekatan neuroaugmentif yang banyak digunakan antara lain
counterirritation, transcutaneous, electrical nerve stimulation (TENS), akupuntur
dan stimulasi deep brain.2,7,9,12,14 Penggunaan tehnik lain, seperti aplikasi ultrasound
pada dermatom yang terkena dan stimuli korda dorsalis dikatakan tidak bermanfaat.2
1. Counterirritation
Counterirritation
(menggosok
area
yang
terkena)
dilaporkan
dapat
4. Akupuntur
Akupuntur tidak efektif untuk postherpetic neuralgia.2
5. Low Intensity Laser Therapy (LILT)
Beberapa bukti menunjukkan LILT mempunyai efek terhadap sintesis,
pelepasan, metabolisme, berbagai bahan neurokimia antara lain serotonin dan
asetilkolin. LILT yang umum digunakan ialah laser HeNe.2
B. Prosedur neurosurgikal
Prosedur neurosurgikal merupakan pilihan terakhir untuk postherpetic
neuralgia yang refrakter.2,5 Neuroktomi, rizotomi, avulasi saraf, simpatektomi,
trakotomi trigeminal pernah disarankan pada beberapa tahun yang lalu, namun tidak
satupun yang menguntungkan untuk pengobatan postherpetic neuralgia.2
C. Terapi Psikososial
Manajemen stress dan berbagai tehnik kognitif-perilaku, termasuk latihan
relaksasi, biofeedback dan hypnosis dapat bermanfaat sebagai terapi penunjang.
Pasien perlu diberi penjelasan mengenai perjalanan penyakitnya, dibuat strategi untuk
mengikatkan kepatuhan pasien dan mempercepat kembali ke aktivitas sebelum
sakit.2,7
D. Terapi Penunjang
Alodinia taktil dapat diatasi dengan penggunaan artificial skin seperti
kolodion spray atau penggunaan pakaian dengan bahan serat natural. Aplikasi cold
packs juga bermanfaat sebagai terapi penunjang.2