TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ensefalitis
2.1.1
Definisi
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa) dan disertai oleh disfungsi sistem saraf
pusat. 1,7
2.1.2
Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteri,
parasit, jamur, virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi
karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut atau kronis karena infeksi
sistemik atau vaksinasi terdahulu.8
2.1.3
Epidemiologi
Angka kejadian ensefalitis bervariasi pada beberapa penelitian, tetapi pada umumnya
berkisar antara 3,5 - 7,4 pada 100.000 pasien per tahun, dan umumnya angka ini lebih tinggi
pada anak-anak. Walaupun ensefalitis terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi pada beberapa
penelitian, ada kecenderungan angka kejadian lebih tinggi pada laki-laki.9
Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dibawah usia 1 tahun dengan kasus 13.7/100.000.
Dalam analisis National Hospital Discharge, didapatkan data penyebab ensefalitis 60% adalah
tidak diketahui, dan dari yang diketahui didapatkan penyebab tersering adalah herpes virus,
varisela dan arbovirus.7
2.1.4
agen penyakit dan pejamu. Pada umumnya virus ensefalitis masuk melalui sistem limfatik. Di
dalam sistem limfatik ini terjadi perkembangbiakan dan penyebaran ke dalam aliran darah yang
mengakibatkan infeksi pada beberapa organ. Pada stadium ini (fase ekstraneural), ditemukan
penyakit demam, tetapi jika terjadi perkembangbiakan lebih lanjut dalam organ yang terserang,
terjadi pembiakan dan penyebaran virus sekunder dalam jumlah besar. Invasi ke susunan saraf
pusat akan diikuti oleh bukti klinis adanya penyakit neurologis.10
Kemungkinan besar kerusakan neurologis disebabkan oleh :10
1
Invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi aktif.
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung atau komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus
paranasalis.11
Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di bagian
substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan
kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah
dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mulamula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat membentuk kapsul yang
konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel plasma dan limfosit. Abses
dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subarakhnoid yang
dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak
saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat bila
disebut sebagai meningo ensefalitis.11
2.1.5
Diagnosis
Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala fokal serebral/serebelar,
adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak,
riwayat berpergian ke daerah endemik dan lain-lain. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu
dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan
hasil pemeriksaan. Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi
anatomi jaringan otak. Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan
informasi epidemiologik.10
2.1.5.1 Manifestasi Klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis:
1. Demam
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum dengan
tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,
muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Pada pemeriksaan mungkin terdapat
edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luasnya abses.7,8
Anamnesis yang dapat diperoleh adalah:2
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala,
kejang dan kesadaran menurun.
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsius. Dapat ditemukan
sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti spastis, hiperrefleks, reflek
patologis dan klonus.
lobus temporal. Perlambatan irama dasar difus atau pelepasan gelombang epileptogenik
multifokal sering ditemukan pada anak dengan ensefalitis virus dan nonvirus.2,7
4 Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal biasanya positif lebih awal
dibandingkan titer antibodi. Pemeriksaan PCR mempunyai spesifisitas 100% dan
5
2.1.6
Penatalaksanaan
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian
makanan secara enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam basa darah.11
2.1.6.1 Terapi Suportif
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas tetap
terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas,
intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan,
akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang
periodik.11
2.1.6.2 Terapi Kausal
Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan
memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari, beberapa ahli
memberikan samapai 21 hari. Pemberian asiklovir bisa menurunkan angka mortalitas, dari 70 %
menjadi 25-30%. Pemberian secara perlahan-lahan diencerkan menjadi 100 ml larutan, diberikan
selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin tergantung kadar
obat dalam plasma.14
Pada pemberian asiklovir, fungsi ginjal dimonitor secara ketat, dengan pemberian cairan
yang adekuat, karena adanya resiko terjadinya gagal ginjal, walaupun jarang. Pemberian
asiklovir perlahan-lahan akan mengurangi efek samping. Efek samping lainnya seperti inflamasi
lokal, hepatitis, penekanan sumsum tulang. Asiklovir diberikan selama 10 hari, bahkan sebagian
ahli memberikan sampai 14 atau 21 hari terutama pada pasien yang terbukti menderita ensefalitis
HSV, karena adanya resiko relaps.14
Bahkan dari penelitian American Collaborative Antiviral Study Group diketahui jika pada
pemeriksaan PCR ulangan 3 minggu setelah terapi, dan masih terdeteksi DNA virus maka
diberikan valasiklovir oral selama 3 bulan. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi virus
Herpes Simpleks, maka pemberian asiklovir dihentikan. Valasiklovir, merupakan ester dari
asiklovir, diberikan setelah 10 hari pemberian asiklovir intravena, walaupun sebenarnya
pemakaian valasiklovir tidak direkomendasikan pada ensefalitis HSV karena kadar yang tidak
terlalu tinggi dalam cairan serebrospinal.14
Pasien dengan ensefalitis karena infeksi CMV pilihan terapi utama digunakan gansiklovir
dengan dosis 5 mg/kgBB dua kali sehari. Kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance. Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab
bakteri dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan timbulnya infeksi sekunder. Pada
ensefalitis supurativa diberikan antibiotik berupa ampisilin 3-4 gr per oral selama 10 hari atau
kloramfenikol 1 gr diberikan 4 kali sehari intravena selama 10 hari.14
2.1.6.3 Terapi Simptomatik
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk mengatasi kejang, bisa diberikan IM atau IV.
Obat yang diberikan yaitu diazepam dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/ hari dilanjutkan dengan
fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium, magnesium harus dipertahankan
normal agar ancaman timbulnya kejang menjadi minimal.10
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan antipiretik seperti parasetamol dengan dosis 1015mg/kgBB secara IV. Dapat juga diberikan surface cooling dengan menempatkan es pada
permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak,
selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala.14
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3
dosis dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari. Bila
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV dalam
periode 8-12 jam.13
2.1.6.4 Terapi Rehabilitatif
Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh. Diperlukan
neurorehabilitasi yang melibatkan berbagai modalitas terapi seperti fisioterapi, terapi
okupasional, terapi bicara dan bahasa, serta keadaan psikologi anak. Inkoordinasi motorik,
gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan gangguan konvulsif dapat
muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan kadang-kadang penempatan
kelembagaan mungkin diperlukan. Oleh karena itu, evaluasi perkembangan saraf dan audiologi
harus merupakan bagian dari pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari ensefalitis,
walaupun mereka tampak normal.10
2.1.7 Komplikasi
Kesadaran pasien sewaktu keluar dari rumah sakit bukan merupakan gambaran penyakit
secara keseluruhan karena gejala sisa kadang-kadang baru timbul setelah pasien pulang. Gejala
sisa yang sering muncul berupa gangguan daya ingat (69%), perubahan kepribadian dan tingkah
laku (45%), epilepsi (25%). Beberapa kelainan yang mungkin dapat dijumpai antara lain
retardasi mental, iritabel, emosi tidak stabil, sulit tidur, halusinasi, enuresis, perubahan perilaku,
dan juga dapat ditemukan gangguan motorik dan epilepsi.15
Gangguan neurokognitif yang bisa terjadi setelah ensefalitis, terutama akibat virus,
berupa perubahan pada fungsi memori, persepsi dan eksekusi. Perubahan ini terlihat jelas pada
anak yang terkena ensefalitis saat usia sekolah, sehingga ketika sudah sembuh dan kembali ke
sekolah mengalami kesulitan. Pada keadaan ini diperlukan pemeriksaan intelegensia, fungsi
kognitif, memori dan bicara, sehingga dapat diketahui gangguan yang timbul sekaligus
mengidentifikasi terapi yang diperlukan.16
Komplikasi yang sering mengikuti ensefalitis yaitu epilepsi, terutama pada anak dengan
riwayat kejang yang berulang, status epileptikus, terjadinya penurunan kesadaran yang berat.
Jika anak kembali kejang setelah sembuh, maka dapat diberikan antikonvulsif jangka panjang
berupa karbamazepin atau lamotrigin.16
Infeksi sistem saraf pusat seperti ensefalitis dapat menyebabkan komplikasi hidrosefalus.
Hidrosefalus yang terjadi sebagai komplikasi ensefalitis dapat dijumpai pada semua usia, tetapi
lebih sering pada bayi dan anak-anak.4
2.1.8
Prognosis
Prognosis pasien ensefalitis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik,
umur anak, keterlibatan parenkim otak dan susunan saraf spinal, adanya edema otak, adanya
gangguan vaskularisasi dan perfusi pada otak, adanya keterlibatan sistem organ lain, komplikasi
yang timbul serta respon terhadap pengobatan.10
Agen penyebab infeksi juga mempengaruhi prognosis, pada sebuah penelitian di Taiwan
didapatkan 60% anak dengan ensefalitis HSV memiliki sekuele neurologi. Sedangkan pada anak
dengan ensefalitis yang disebabkan enterovirus, sekitar 71,8 % tidak memiliki defisit neurologi
ketika dievaluasi 2 tahun setelah sembuh dari ensefalitis.16
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat buruk
dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitas menjadi 28%. Gejala sisa lebih
sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang
lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien yang mengalami
koma memiliki angka mortalitas yang tinggi atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.16