I. IdentitasPasien
1. Nama
Tn. U
2. Umur
39 Tahun
3. JenisKelamin
Laki-laki
4. Alamat
Palupi Blok C no 64
5. Pekerjaan
Tidak bekerja
6. Agama
Islam
7. Status
Sudah Menikah
8. Tanggal masukRs
19 Mei 2016
II. Anamnesis
1. KeluhanUtama
Demam
III.
IV.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
1. Keadaan Umum
2. Kesadaran
3. Status Gizi
4. Tanda Vital
a. Tekanan darah
b. Nadi
c. Suhu
d. Pernafasan
5. Kepala
a. Sklera
b. Konjungtiva
c. Bibir
6. Thoraks
7. Abdomen
8. Kelenjar Limfe
: 100/80 mmHg
: 76 x/menit
: 37oC
: 20 x/menit
: ikterik (-)
: anemis (-)
: sianosis (-)
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Status Dermatologi
Ujud kelainan kulit
1. Kepala
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
V.
: Sakit Sedang
: Compos Mentis
: Baik
Resume
Tn.U umur 39 tahun masuk ke Rumah Sakit Anutapura dengan keluhan
demam
Sebelumnya, pasien mengalami demam dan telah meminum obat penurun panas
(Paracetamol) yang didapatkan setelah berobat ke suatu klinik. Setelah itu, muncul
bercak merah di seluruh badan disertai rasa gatal dan panas. Keluhan diperburuk
setelah bibir pasien mengelupas dan seperti melepuh. Mata pasien merah dan pasien
kesulitan untuk membuka kedua mata. Tidak ada riwayat penyakit terdahulu dan
tidak ada riwayat penyakit keluarga.
Pada pemeriksaan fisik untuk status generalis kesadaran pasien compos
mentis, tekanan darah (100/80), nadi (76 x/ menit) ,suhu (37 oC), pernapasan
(20x/menit). Untuk status dermatologi didapatkan ujud kelainan kulit di bagian mata
terdapat eritema dan erosi difus, pada bagian bibir didapatkan vesikel eritema dan
erosi difus disertai krusta, dan pada bagian leher, dada, perut, punggung, ekstremitas
atas , ekstremitas bawah didapatkan papul multiple, bentuk bulat, ukuran miliar
sampai lentikular , dengan batas sirkumskrip.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan albumin (3,87 g/dl), Urea (66 mg/dl),
SGOT/ SGPT ( 46 UL/31 UL), Creatinin (1,01 mg/dl), WBC (12,1 UL),RBC
(5,3/UL), HGB (16,2 g/dl), HCT (45,4 %)
VI.
Diagnosis Banding
TEN (Toxic Epidermal Necrolisys)
VII. Diagnosis Kerja
Sindrom Steven Jhonson
VIII. Prognosis
Dubia ad bonam
IX.
Follow up
Tgl
S
O
batas sirkumskrip
Hasil Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan albumin (3,87 g/dl), Urea (66
mg/dl), SGOT/ SGPT ( 46 UL/31 UL), Creatinin (1,01 mg/dl), WBC (12,1
A
P
Dokumentasi .
Tgl
S
O
A
P
Topikal
Dokumentasi
Tgl
S
O
A
P
Topikal
Inerson 15 gr
(Untuk Badan , pagi-sore)
Fuson cream
Kompres NACL 0,9 ( Untuk Mulut )
Dokumentasi.
Tgl
S
O
Dokumentasi.
Tgl
S
O
A
P
Dokumentasi.
X. Diskusi
Pasien Tn.U Umur 39 tahun masuk ke Rumah Sakit Anutapura dengan keluhan
demam disertai bintik kemerahan di seluruh tubuh sejak 8 hari yang lalu. Sebelumnya,
pasien mengalami demam dan telah meminum obat penurun panas (Paracetamol) yang
didapatkan setelah berobat ke suatu klinik. Setelah itu, muncul bercak merah di seluruh badan
disertai rasa gatal dan panas. Keluhan diperburuk setelah bibir pasien mengelupas dan seperti
melepuh. Mata pasien merah dan pasien kesulitan untuk membuka kedua mata. Status
dermatologis dari pasien Mata : Eritema dan erosi difus, Bibir : Vesikel eritema dan erosi
10
difus, krusta, dada, perut, punggung, ekstremitas atas dan bawah terdapat Papul multiple,
bentuk bulat, ukuran miliar sampai lentikular , batas sirkumskrip. Penyebarannya sesuai
dengan arah dermatom sehinggadari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa
Sindrom Steven Jhonson.
Sindrom steven Jhonson adalah suatu sindroma(kumpulan gejala) yang mengenai
kulit,selaput lendIr di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan
sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan
kenmatian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit
kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme.1
11
mempunyai factor resiko tinggi terkena adalah orang yang terinfeksi Human Immunosupresif
Virus, penyakit vascular collagen dan kanker.1
12
14
transien hampir selalu ditemukan, dan ini berkaitan dengan penurunan fungsi sel T. Kadang
ditemukan peningkatan ringan enzim-enzim hepar dan amilase namun ini tidak
mempengaruhi prognosis. Hiperglikemia sering ditemukan akibat status hiperkatabolik dan
resistensi insulin perifer. Kadar gula darah lebih dari 252 mg/dL merupakan salah satu
penanda beratnya penyakit.
Biopsi kulit dan pemeriksaan immunoflouresense sebainya dilakukan pada
setiap kasus SSJ untuk menegakkan diagnosis meskipun secara klinis sudah cukup
mencurigakan. Pada tahap awal munculnya lesi kulit ditandai oleh gambaran apoptosis
keratinosit dilapisan suprabasal yang melanjut menjadi nekrosis epidermal dan pelepsan
epidermis. 3
16
Tujuan penatalaksanaan Sindrom steven jhonson adalah Bila disebabkan alergi obat,
maka yang paling penting adalah penghentian pengobatan yang diminum. Anamnesis yang
teliti sangat membantu meneliti kemungkinan obat yang dicurigai sambil melihat obat yang
diminum sebelumnya atau resep yang diberikan. Makin cepat menghentikan obat penyebab,
makin baik prognosisnya, meskipun agak kurang bermakna pada obat-obat yang mempunyai
waktu paruh yang lama.6
Terapi simptomatik utamanya sama dengan penatalaksanaan pada luka bakar, yaitu
kontrol temperatur lingkungan, penanganan aseptik dan teliti, sterilisasi luka, penghindaran
material adesif, pengawasan pemberian cairan intravena jauh dari area luka, inisiasi nutrisi
17
oral dengan NGT, antikoagulasi, pencegahan stress ulcer dan pemberian obat untuk nyeri dan
gelisah.7
Terapi suportif ditujukan untuk menghindari atau membatasi terjadinya komplikasi
yang timbul. Perhatian dan ketelitian ditujukan pada kelainan mata, traktus respiratorius,
balans elektrolit, nutrisi, infeksi dan nyeri. Biakan kulit, kencing dan darah dikerjakan
periodik. Pemberian cairan sangat tergantung dengan luasnya lesi dan membran mukosa yang
diserang. Monitoring ketat terutama terhadap kemungkinan sepsis yang sering disebabkan
oleh stafilokokus aureus dan pseudomonas aeruginosa. Pemberian nutrisi dengan kalori dan
protein tinggi lewat NGT pada penderita dengan gangguan mukosa akibat lesi atau karena
keadaan umum yang buruk.8
Pemberian antibiotik baik dan kuratif maupun profilaksi tidak bermanfaat, justru
menjadi resisten dan meningkatkan mortalitas. Antibiotik diberikan bila sudah ada tandatanda sepsis, yaitu perubahan status mental, menggigil, hipotermia, oliguri, keadaan klinis
memburuk. Eksudasi masif dari daerah lesi erosi, sehingga pemberian antibiotik harus lebih
tinggi dosisnya karena sebagian hilang akibat eksudasi.8
Manajemen Sistemik
Penatalaksanaan pulmonal termasuk aerosol, aspirasi bronchial dan terapi fisik. Jika
trakea dan bronkus terlibat, maka diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Nutrisi enteral
awal dan berlanjut menurunkan resiko stress ulcer , mengurangi translokasi bakteri dan
infeksi enterogenik dan memungkinkan diskontinuitas jalur vena. 6 Level fosfor harus
diperiksa dan diperbaiki, jika perlu. Hipofosforemia yang parah sering terjadi dan
menimbulkan perubahan regulasi glikemia dan disfungsi muscular. Kebanyakan penulis tidak
menggunakan anibiotik profilaksis. Kateter diganti dan dikultur secara teratur. Sampel bakteri
dari lesi kulit dilakukan pada hari pertama dan setiap 48 jam. Indikasi terapi antibiotik
termasuk adanya peningkatan jumlah bakteri kultur dari lesi kulit dengan strain tunggal,
18
Temperatur lingkungan
ditingkatkan hingga 30-32 derajat Celcius. Hal ini mengurangi kehilangan kalori melalui kulit
dan akibat menggigil dan stress. Hilangnya panas juga dibatasi dengan meningkatkan
temperature dengan bath antiseptic hingga 35-38 (C dan dengan menggunakan penahan
panas, lampu infrared dan tempat tidur yang lembab. Beberapa obat diperlukan.
Thromboembolism merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian; antikoagulasi
efektif dengan heparin direkomendasikan selama perawatan. Walaupun hal ini meningkatkan
perdarahan kulit, hal ini biasanya terbatas pada jumlah dan tidak membutuhkan transfusi.
Antasid mengurangi insidensi perdarahan lambung. Dukungan emosi dan psikiatri harus
dilakukan. Transquilizers seperti diazepam dan morfin dapat digunakan bila status respiratori
memungkinkan.10
Manajemen Topikal
Tidak ada konsesus mengenai perawatan topikal. Pendekatan yang memungkinkan
dapat konservatif ataupun lebih agresif (operasi debridement luas). Berdasarkan pengalaman
bahwa dengan perawatan konservatif, area dengan Nikolski positif, secara potensial terbentuk
oleh setiap trauma sembuh lebih cepat dimana masih terdapat epidermis pada lokasi luka
dibandingkan dengan epidermis yang dilekatkan. Epidermis yang terlibat tetap dipertahankan
dan hanya menggunakan dressing untuk melindunginya. Antiseptik topikal (0.5% perak nitrat
atau 0.05% chlorhexidine) digunakan untuk mengecat, bilas atau oleskan pada pasien.
Dressing dapat menggunakan petrolatum, perak nitrat, polyiodine atau hidrogel.11
Pencegahan terhadap sekuele pada mata membutuhkan pemeriksaan harian oleh
ophthalmologist. Tetes mata, saline fisiologis atau antbiotik bila dibutuhkan, diberikan setiap
2 jam dan pencegahan sinekhia dengan peralatan tumpul. Disarankan untuk menggunakan
lensa kontak sclera permeabilitas udara mengurangi fotofobia dan ketidaknyamanan, lensa ini
19
memperbaiki akuitas visual dan menyembuhkan defek epitel kornea pada sebagian pasien.
Krusta nasal dan oral diangkat dan mulut diberikan spray dengan antiseptik beberapa kali
sehari.12
Pengobatan Ajuvan
Hingga saat ini belum ada obat spesifik yang terbukti efektif. Dasar pengobatan SJS
tetap pengobatan suportif di unit luka bakar serta pemberian ajuvan sebagai pelengkap.
Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk mengatasi gejala pruritus/gatal, bisa dipakai feniramin
hydrogen maleat (Avil), difenhidramin hidroklorida (Benadril), dan cetirizin.4
Kortikosteroid
Dexametason dosis awal 1mg/kg BB IV dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti setuju
menggunakan kortikosteroid sistemik dengan alas an dapat menurunkan beratnya
penyakit, mempercepat konvalensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan
progresifitas penyakit, mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan
pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara
memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul
adesi. Selain itu, kortikosteroid dapat meregulasi respon imun melalui down regulation
ekspresi
gen
berargumentasi
sitokin.
bahwa
Mereka
yang
kortikosteroid
tidak
akan
setuju
pemberian
menghambat
kortikosteroid
penyembuhan
luka,
Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah pengobatan dengan menggunakan transfuse darah yang telah
dihilangkan plasmanya kemudian ditambahkan dengan albumin (atau bank plasma) dan
kemudian diinfuskan kembali. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bahan pathogen
dalam plasma seperti obat, racun, bahan metabolic, antibody, imun komplek atau
penyakit yang memicu sitokin. Plasmaferesis telah berhasil digunakan untuk TEN
dengan prosedur yang relative sederhana dengan menggunakan 1-8 kali transfusi.
Pemberian 1 seri plasmaferesis dikombinasikan dengan IgG intravenous (IVIG).
Survival rate meningkat sampai 77-100%.14
KOMPLIKASI
Sindroma Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata berupa
simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lainnya adalah timbulnya sembab, demam atau
malahan hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.4
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
21
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic
Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen F, Goldsmith LA,
Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 6th edition. New York:
McGraw-Hill Professional Pub; 2003.
2. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Aviable on
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
3. Harsono A. Sindroma Steven Johnson : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Kapita Selekta
Ilmu Kesehatan Anak VI. Surabaya. 2006.
4. Harry W.U., Kurniawan D. Erupsi Obat Alergik. Palembang. FK Universitas Sriwijaya.
2007
22
5. Schultz JT. Sheridan RL, Ryan CM, Mackool B, Tompkins RG.; A 10-year experience
with toxic epidermal necrolysis.; J Burn Care Rehabil; 2000:21:199-204
6. Ghislain P.D., Roujeau J.C. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson
Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology
Online Journal 8(1):5. Paris.2002.
7. Spies M, Sanford AP, Aili Low JF, Wolf SE, Herndon DN.; Treatment of extensive toxic
epidermal necrolysis in children; Pedriatics ; 2001; 108:1162-1168.
8. Peng YZ, Yuan ZQ, Xiao, GX. Effects of early enteral feeding on the prevention of
enterogenic infection in severely burned patients. Burns 2001;27:145-149.
9. Kelemen JJ, Cioffii WG, McManus WF, Mason ADJ, Pruitt BAJ. Bum center care for
patients with toxic epidermal necrolysis. JAm Coll Surg 1995;180:273-278.
10. Fu X, Shen Z, Chen Y, et al. Randomised placebo-controlled trial of use of topical
recombinant bovine basic fibroblast growth factor for second-degree burns. Lancet
1998;352:1661-1664.
11. Romero-Rangel T, Stavrou P, Cotter J, Rosenthal P, Baltatzis S, Foster CS. Gaspermeable
scleral contact lens therapy in ocular surface disease. Am J Ophthalmol 2000;130:25-32.
12. Abe R, Shimizu T, Shibaki A, Nakamura H, Watanabe H & Shimizu H; Toxic Epidermal
Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome Are Induced by Soluble Fas Ligand;
American Journal of Pathology ; 2003; 162.121-125.
13. Chave TA, Mortimer NJ, Sladden MJ, Hall AP, Hutchinson PE.; Toxic epidermal
necrolysis; current evidence, practical management and future directions; Br J Dermatol;
2005;153:241-53.
14. Yamada H, Takamori K, Yaguchi H, Ogawa H,: A study of the efficacy of plasmapheresis
for the treatment of drug induced toxic epidermal necrolysis.; Ther Apher; 1998; 2:153156.
23