Anda di halaman 1dari 36

Sindroma Koronari Akut (SKA)

Oleh :
Thelazia Calcarina Gurky (120100335)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul Sindroma Koroner Akut (SKA).
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 13 Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia,
dan diperkirakan akan tetap demikian jika tidak di antisipasi dengan baik.
Pada tahun 2005, diestimasikan 17,5 juta penduduk dunia meninggal karena
penyakit jatung, dan 7,6 juta karena serangan jantung atau sindrom koroner
akut.1Sindrom

Koroner

Akut

(SKA)

merupakan

suatu

masalah

kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah


sakit dan angka kematian yang tinggi (Delima et al, 2010).
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian nomor dua di
Negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas sebesar 2,47 juta
(9,4%). Di Indonesia penyakit infark miokard akut merupakan penyebab
kematian pertama pada tahun 2002, dengan angka mortalitas sebesar
220.000 (14%) (WHO,2008).
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya
oksigen ke otot jantung. Sindrom koroner akut ini merupakan sekumpulan
manifestasi atau gejala akibat gangguan dari arteri koroner (Alwi, 2009).
Sindrom koroner akut terdiri dari angina pektoris tidak stabil, infark
miokard tanpa ST-elevasi dan infark miokard dengan ST-elevasi. Ketiga
gangguan ini memiliki gejala awal yang sama serta tatalaksana awal yang
serupa (PERKI,2015).
Secara umum, faktor risiko dari sindrom koroner akut dibagi menjadi
faktor risiko yang dapat diperbaiki dan faktor risiko yang tidak dapat
diperbaiki. Faktor risiko yang dapat diperbaiki meliputi hipertensi,
kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia, aktivitas
fisik rendah, stress, dan gaya hidup. Sementara usia, jenis kelamin, dan
riwayat penyakit keluarga merupakan faktor risiko yang tidak dapat
diperbaiki (Alwi,2009).

Karakteristik utama infark miokard dengan ST-elevasi adalah angina


tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk
STEMI. Penalatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama.
Pencegahan keterlambatan sangat penting dalam penanganan STEMI karena
waktu paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat
awal, di mana pasien mengalami nyeri hebat dan kemungkinan mengalami
henti jantung (PERKI, 2015).
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit Sindrom Koroner Akut (SKA) .
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus
Sindrom Koroner Akut (SKA) serta melakukan penatalaksanaan yang tepat, cepat,
dan akurat sehingga mendapatkan prognosis yang baik.
1.3 Manfaat
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang
Sindrom Koroner Akut (SKA).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai
Sindrom Koroner Akut (SKA).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi SKA
SKA adalah gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard

secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil (APS), gangguan aliran darah
ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis namun
terutama akibat pembentukan trombus didalam arteri koroner yang sifatnya
dinamis (Rilantono, 2013).
2.2

Epidemiologi SKA
Menurut data RISKESDAS tahun 2013, di Indonesia prevalensi penyakit

jantung koroner (PJK) berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5%.
Angka kejadiannya juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi
pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 3,6%.6
2.3

Klasifikasi SKA
Berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

elektrokardiogram(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner


Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan segmen ST (STEMI).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis,
intervensi koroner perkutan primer.Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan.Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung (PERKI,2015).
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI).
NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapatkeluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang

persisten di duasadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat


presentasi dapat berupadepresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombangT pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan (PERKI,2015).
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP).
Angina Pektoris tidak stabil

dan

NSTEMI

dibedakan

berdasarkankejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan


marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin
I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna,maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (NonST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabilmarka jantung tidak
meningkat secara bermakna.Pada sindroma koronerakut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapaunit melebihi
nilai normal atas (upper limits of normal, ULN) (PERKI,2015).

2.4 Faktor Resiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi


1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi
hubungan

antara

usia

dan

timbulnya

penyakit

mungkin

hanya

mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-faktor


aterogenik.
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita
sampai menopause, setelah menopause kerentanannya menjadi sama
dengan pria. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita sebelum menopause.
3. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(yaitu saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum
usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis
prematur. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk
aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti
7

pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula


mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup
yang menimbulkan stres atau obesitas.
(Hamm et al, 2011)
2.5 Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek
langsung

terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat

menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi


katekolamin

yang

dapat

menambahkan

reaksi trombosit

dan

menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein


tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak
bebas) berasal dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen.
Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai
makna klinis yang penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid
terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini
menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL,
LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan
kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi
terdapat pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL
yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner,
sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik.
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja
jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk
menguatkan

kontraksi.

Akan

tetapi

kemampuan ventrikel

untuk

mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya


terlampaui, tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin

terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen


miokardium

meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,

akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi


infark. Disamping

itu,

hipertensi

dapat

meningkatkan

kerusakan

endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial


injury).
4. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL
dari sirkulasi akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus,
degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal
ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding
vaskuler.
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri,
karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.
(Hamm et al, 2011)

2.6 Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi

lapisan

fibrotik dari plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi
dan adhesi platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi
trombus distal. Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya
lapisan

fibrotik,

menyebabkan

tingginya

resiko

ruptur

plak

arteri

koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang


disebabkan

pelepasan serotonin

dan

tromboxan

A2

oleh

platelet

mengakibatkan iskemik miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran


darah koroner. Aterosklerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi
penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan
oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan
terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan

kelainan

tunggal

mempengaruhi

namun

system

merupakan
vaskuler

proses

seluruh

patologi
tubuh

yang

dapat

sehingga

dapat

menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis


dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit
arteri koroner (Fauci et al, 2005).
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis.
Inflamasi dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme
primer. Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan
peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar
angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa
peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi
insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. LDL teroksidasi
bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot
polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi masuk ke
dalam

tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag.

Makrofag yang mengandung oksi LDL disebut foam cell berakumulasi


dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak.
Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah
sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak
memproduksi

radikal oksigen

toksik

mengakibatkan perubahan inflamasi

yang

lebih

banyak

dan

dan imunologis sehingga terjadi

kerusakan yang lebih progresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos,
pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot
polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi
termasuk growth factor (TGF beta) (PERKI 2015).
Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan
menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga,
sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten). Banyak
plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan
gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi

10

akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase


matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak
atherosklerosis dapat diklasifikasikan

berdasarkan strukturnya

yang

memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang


menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung
menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL
teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek
(ulserasi atau rupture) terjadi karena

shear forces, inflamasi

dengan

pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived


degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture,
terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade
pembekuan

darah,

dan

pembentukan thrombus yang sangat cepat.

Thrombus tersebut dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga


terjadi iskemia dan infark (Fauci et al,2005).

Gambar 1. Proses Pembentukan Plaque dan Trombus pada Pembuluh Darah Koroner2

2.7 Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahanlahan. Namun, apabila
pembentukan

thrombus

terjadi
akibat

obstruksi

koroner

tiba-tiba

karena

plak aterosklerotik yang rupture atau

mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.

11

1. Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan


dapat mencetuskan terjadinya infark.
2. Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan
menyebabkan kerusakan ireversibel dari otot jantung.
(Hamm et al, 2011)
2.7.1 Unstable Angina
Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung (contoh karena takikardi atau hipertensi).
Berkurangnya suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter
lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau
thrombus. Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya
suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan peningkatan oksigen
demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara
bersamaan.

Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari
angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau
total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan
yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami rutur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 %
pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari
70 %.Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila
thrombus menutup pembuluh darah 100 % akan terjadi infark dengan
elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%,
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu
dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak
terganggu disebabkan karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel
12

otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan


terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai
reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih
luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan
inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermitten,
pada angina tak stabil.

Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada
angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan
dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.

Erosi pada Plak Tanpa Ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap
kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.
(Kumar et al, 2006)

2.7.2 Infark Miokard


Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat
terjadi nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan,
progresivitas plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI
sama halnya seperti yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya.
Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh
darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat

13

berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit. Jika thrombus lisis


sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang
terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di bawah
endokardium (subendocardial MI). Jika thrombus menyumbat pembuluh
darah secara permanent, maka infarknya dapat memanjang hingga
epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah
(transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena
dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus mendapat terapi
yang segera.

Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20
menit sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada
30-60 detik setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan
metabolisme yang non fungsional, sel miosit tetap viable jika darah
kembali dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat
beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen. Proses tersebut dinamakan
ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran darah,
miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin.
Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan
Mg. secara normal miokardium berespon terhadap kadar katekolamin
(epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan arteri
yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi
ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal
jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa
dan cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan
kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah
timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang berlebih
memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan kadar
glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE
juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin

14

berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah


72 jam onset serangan.
Angiotensin II

yang

dilepaskan

selama

iskemia

miokard

berkontribusi dalam patogenesis MI, dengan cara yaitu: (1)Efek sistemik


dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga meningkatkan
beban

jantung,

akibatnya

memperparah

penurunan

kemampuan

kontraktilitas jantung. (2) Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu


sebagai growth factor sel otot polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast
jantung, sehingga merangsang peningkatan kadar katekolamin dan
memperparah vasospasme koroner.

Kematian Selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan
jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan
nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan
pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang
rusak ke dalam ruang intersisisal.Enzim yang terlepas kemudian diangkut
melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah.Sehingga dapat
terdeteksi oleh tes serologis.

Perubahan Fungsional dan Structural


Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan
struktural jantung. Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan
terlihat dalam beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi
perubahan EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas
hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi
remodeling atau menjadi normal kembali. Perubahan fungsional termasuk:
(1)Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak dinding jantung
abnormal, (2)Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3)Penurunan
stroke volume, (4)Penurunan fraksi ejeksi, (5)Peningkatan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, (6)Malfungsi dari SA node, (7)Disritmia yang
mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.
15

Fase Perbaikan
Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang
diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang
rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel,
hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan
dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam
jaringan nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis
dari neutrofil scavenger.
Fase pseudodiabetik

sering

timbul

oleh

karena

lepasnya

katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa
dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang
meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada
10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan
terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa
sehat

dan

meningkatkan

aktivitasnya

kembali

sehingga

proses

penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh


diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak dapat berkontraksi
seperti jaringan miokardium yang sehat.
(Kumar et al, 2006)
3.1 Diagnosis dan Gambaran Klinis
3.1.2 Angina Pektoris tidak stabil (UAP).
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang
datang dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan
disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki
terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan
perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat,

onset,

lamanya,

perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap


obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada atipik
dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala
khas karena gangguan saraf otonom. Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit
benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar.

16

Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri
dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri
dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua
lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau
pemberian nitrat (Hamm et al, 2005).
Keluhan pasien umumnya berupa :
a. Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
b. New onset angina
: baru pertama kali timbul, saat aktivitas
fisik sehari-hari, aktifitas ringan/ istirahat
c. Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih
lama, sering, nyeri atau dicetuskan aktivitas lebih ringan.
(Hamm et al, 2005)
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di
daerah

epigastrium

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat

disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang


disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada
yang khas (Hamm et al, 2005).
Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan

ECG

sangat

penting

baik

untuk

diagnosis

maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi


segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau
NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti
depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif
kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal,
dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal (Hamm et al, 2005).
Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis
angina tak stabil secara lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal
ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan
dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress
17

ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi


miokardium Hamm et al, 2005).

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah
diterima

sebagai petanda

Menurut European

paling

penting

dalam

diagnosis

SKA.

Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap

adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin


tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat
kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di
otot

skeletal,

tapi

berguna

untuk diagnosis infark akut dan akan

meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam (Hamm
et al, 2005).

3.1.3 Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa


Elevasi ST (NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala
epigastrium dengan ciri khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar,
nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala
yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran
klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru angina
berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan
memiliki

nyeri pada

waktu istirahat. Gejala

tidak khas

seperti

dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu


atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
terutama pasien lebih dari 65 tahun (Hamm et al, 2005).
Elektrokardiogram (ECG)

18

Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST


merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada
Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya
depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome
yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST
maupun

perubahan

troponin

keduanya memberikan tambahan

informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI (Hamm et al, 2005).


Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard
yang lebih disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti
CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin
pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 3-4 minggu
(Hamm et al, 2005).

3.1.4 Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut


Dengan Elevasi ST(STEMI)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan
anamnesa nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >
2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau >
1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil
pemeriksaan

enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama

penatalaksanaan adalah time is muscle (Hamm et al, 2005).


Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya
berasal dari jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada
yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari
19

koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga.Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor
pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress
emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari
dalam beberapa jam setelah bangun tidur (Hamm et al, 2005).
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien
IMA.

Harus mampu mengenal

nyeri

dada

angina

dan

mamapu

membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan


petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA (Hamm et al, 2005).
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut (Hamm et al, 2005):
a. Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih
benda berat, sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher,
rahang bawah, gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke
lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
f. Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat
dingin, cemas dan lemas.

20

Gambar 2.
Pola Nyeri
pada Pasien
Infark
Miokard Akut1

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut,


emboli

paru,

diseksi

aorta

akut,

kostokondritis

dan

gangguan

gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI


tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.

21

Gambar 3. Diagnosis Banding Nyeri pada Dada

Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah).
Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri
dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyaimanifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir
setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia

dan/atau hipotensi). Tanda

fisik

lain

pada

disfungsi

ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung


pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara
karena disfungsi aparatus katup mitral dan

pericardial friction rub.

Peningkatan suhu sampai 380 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI (Hamm et al, 2005).
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau

keluhan

yang

dicurigai STEMI dan

harus

dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan


EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan

22

gambaran

elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien

yang

bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal


tidak diagnostik untuk STEMI tetapi

pasien

tetap

simptomatik

dan

terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit


atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan
presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang
Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q,
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika
obstruksi

trombus tidak

total,

obstruksi

bersifat

sementara

atau

ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen


ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien
tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut
infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika
EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan
infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi
gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural)
sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark
mural atau nontransmural (Hamm et al, 2005).

23

Gambar 4. (A)ST-elevasi pada leads II, III dan aVF; ST depresi pada V1 - V4 gambaran
pada infak miokard akut inferior atau inferior AMI. (B) ST-Elevasi pada gambaran
anterior acute myocard infark.

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)


Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan

adanya nekrosis jantung (infark miokard) (Nawawi et

al,2006).
a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB
turut meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik.
b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
a. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
b. Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal
dalam 3-4 hari.
c. Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada
infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 814 hari.
(Nawawi et al,2006)
4.1 Penatalaksanaan SKA
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal
yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang
tidak harus diberikan semua atau bersamaan (Irmalita et al, 2014).
1. Tirah baring
24

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2


arteri <95% atau yang mengalami esponsi respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
- Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
-

yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,


atau Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP

yang dianjurkan adalah clopidogrel).


6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak esponsive dengan terapi tiga dosis NTG sublingual dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
Obat-obat yang diperlukan dalam menangani SKA :
1. Anti Iskemia
-Beta blocker
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi

25

pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau


takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra penyekat beta oral
hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga
diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama
tidak ada indikasi kontra. Pemberian penyekat beta pada pasien dengan
riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap
dilanjutkan kecuali bila termasuk Kilip III (Irmalita et al,2014).

Tabel 1. Jenis dan dosis beta blocker untuk terapi SKA

-Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis. Nitrat oral atau intravena efektif
menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina. Pasien
dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat

26

intravena jika tidak ada indikasi kontra. Nitrat intravena diindikasikan


pada iskemia yang persisten, gagal antung, atau hipertensi dalam 48 jam
pertama UAP/NSTEMI. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan
tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal,
bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal
jantung,

atau

infark

ventrikel

kanan

(Irmalita

et

al,

2014).

Tabel 2. Jenis dan dosis Nitrat yang digunakan untuk terapi SKA3

Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA (Irmalita et al,
2014).

Tabel 3. Jenis dan dosis CCB yang digunakan untuk terapi SKA3
2. Anti platelet
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien dengan dosis loading 150300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
27

panjang,

tanpa

memandang

strategi

pengobatan

yang

diberikan.

Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera


mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih. Penghambat pompa proton (sebaiknya
bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H.
pylori, usia 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau
steroid. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam
12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan
dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian
dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga
dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian
clopidogrel kemudian dihentikan). Clopidogrel direkomendasikan untuk
pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel
adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari. Tidak disarankan
memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif dan
NSAID non-selektif ) (Irmalita et al, 2014).

Tabel4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi SKA3


3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada
pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya
peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan
rendah Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi

28

atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif
(Irmalita et al, 2014).
4. Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin dan disarankan untuk semua pasien yan mendapatkan terapi
antiplatelet. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan
dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara

subkutan.

Bila

antikoagulan

yang

diberikan

awal

adalah

fondaparinuks, penambahan bolus UFH/Unfraction Heparin (85 IU/kg


diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan
penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP. Enoksaparin (1
mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia. Heparin tidak terfraksi (UFH)
dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah
(LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan
apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia. Dalam strategi yang
benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga
saat pasien dipulangkan dari rumah sakit. Jika antikoagulan diberikan
bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang
risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Irmalita et al,
2014).
5. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfarkmiokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa
gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan
karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK
atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan

29

adanya efek antiaterogenik. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya


untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri 40% dan pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Irmalita et al, 2014).
Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark
mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung
(Irmalita et al, 2014).
6. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase
(statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk
mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat
indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum
pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai
<70 mg/dL mungkin untuk dicapai (Irmalita et al, 2014).
Terapi Reperfusi (untuk STEMI)
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang
(terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer)
diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang
sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu
atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat (Irmalita et al, 2014).
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat
kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang

30

atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP (Irmalita et
al, 2014).

1. Intervensi koroner perkutan primer


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan
bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih
disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak
disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil
tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis
(Irmalita et al, 2014).
2. Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempatyang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra
apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertam. Pada pasien-pasien yang
datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan
risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu
antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen yang spesifik
terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan

agen-agen

yang

tidak

spesifik

terhadap

fibrin

31

(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel


diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan
direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di
rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa
Enoksaparin secara subkutan, Heparin tidak terfraksi diberikan secara
bolus intravena sesuai berat badan dan infus selama 3 hari (Irmalita et al,
2014).
Angiografi

emergensi

dengan

tujuan

untuk

melakukan

revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah


dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan
tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami
infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal
angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

32

Gambar 5. Algoritma tatalaksana STEMI


Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama
merokok, dengan ketat
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI

33

4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien


dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan
gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior.
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi 40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia
(Irmalita et al, 2014).
5.1 Komplikasi
Gangguan hemodinamik
-

Gagal jantung hipotensi, kongesti paru, syok kardiogenik


Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut Aritmia
supraventrikular, aritmia ventrikular, sinus bradikardia dan blok

jantung
Komplikasi kardiak
- Regurgitasi katup mitral
- Ruptur jantung
- Ruptur septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kiri
(Irmalita et al, 2014).

6.1 Prognosis
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam
30 hari (Irmalita et al, 2014).

34

Tabel 5. Kelas Killip3

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, I. 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Aru,W.,et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta : Internal
publishing. 2009.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Delima, Mihardja, L.,Siswoyo, H. 2009. Prevalensi dan Faktor Determinan
Penyakit Jantung di Indonesia. Jakarta: Penelitian kesehatan. 2009.
Fauci, A. Harrisons Principles of Internal Medicine.16th edition. 2015.
Hamm, W. C. Acute coronary syndrome: pathophysiology, diagnosis and risk
stratification. 2011.
Irmalita,et al. 2014 Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi ke-3.
Jakarta : Centra Communication. 2014.

35

Kumar, P., Clark, M.2006. Clinical Medicine. Edisi ke-7. Philadelphia : Saunders.
2006.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi ke-3. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
Rilantono, L. 2013. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2013.
WHO. The Top Ten Causes of Death. Available
from:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310_2008.pdf. [Accessed 8
May 2016]

36

Anda mungkin juga menyukai