TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2
Epidemiologi Malaria
Di Indonesia penyakit
10
di tepi laut dan tambak-tambak ikan yang tidak terurus, kecuali beberapa
wilayah di Kabupaten Lampung Barat yang merupakan persawahan dan
perkebunan.6
Melihat rentan waktu antara tahun 2004-2012 terakhir angka AMI
(Annual Malaria Incidens) cenderung fluktuatif. Pada tahun 2004 jumlah
penderita penyakit malaria adalah 61.110 dengan angka AMI 8,84 per
1000 penduduk, tahun 2005 jumlah penderita penyakit malaria adalah
56.082 dengan angka AMI 8,13 per 1000 penduduk, tahun 2006 jumlah
penderita penyakit malaria adalah 49.107 dengan angka AMI 6,64 per
1000 penduduk, tahun 2007 jumlah penderita penyakit malaria adalah
54.685 dengan angka AMI 7,50 per 1000 penduduk, tahun 2008 jumlah
penderita penyakit malaria adalah 51.336 dengan angka AMI 6,95 per
1000 penduduk, tahun 2009 jumlah penderita penyakit malaria adalah
40.662 dengan angka AMI 5,43 per 1000 penduduk, tahun 2010 jumlah
penderita penyakit malaria adalah 28.147 dengan angka AMI 4,66 per
1000 penduduk, tahun 2011 jumlah penderita penyakit malaria adalah
14.799 dengan angka AMI 1,92 per 1000 penduduk, dan tahun 2012
jumlah penderita penyakit malaria adalah 28.435 dengan angka AMI 3,66
per 1000 penduduk.6
2.1.4
selain terjadi pergantian generasi seksual dan aseksual juga mengalami pergantian
11
hospes. Siklus hidup terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada
nyamuk Anopheles betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia.
Siklus hidup pada manusia terdiri dari fase exo-erithrocytic di dalam parenkim sel
hepar dan fase erithrocytic schizogoni.11
1. Fase Seksual Eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk
Fase seksual terjadi didalam tubuh nyamuk dimana terjadi
perkawinan antara mikrogametosit dan makrogametosit yang akan
menghasilkan zigot. Perkawinan ini terjadi didalam lambung nyamuk.
Zigot berkembang menjadi ookinet, kemudian masuk kedinding lambung
nyamuk berkembang menjadi ookista, setelah ookista matang dan pecah,
keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk
ditularkan ke manusia.
2. Fase Aseksual (Skizon) dalam Tubuh Hospes Perantara/Manusia
a. Siklus dalam sel hepar (skizon eksoeritrositik)
Sporozoit masuk aliran darah melalui gigitan nyamuk. Sporozoit
kemudian akan menuju hepar untuk berkembang biak. Sporozoit-sporozoit
ini dengan cepat (beberapa menit) menginvasi sel hepar kemudian
berkembang menjadi skizon eksoeritrositik. Masing-masing skizon
eksoeritrositik 30.000 merozoit. Skizon tersebut akan pecah dan
melepaskan merozoit dewasa ke aliran darah.
b. Siklus eritrosit (skizon eritrositik)
Merozoit yang dilepaskan dari sel hepar akan menginfeksi eritrosit
dan berkembang menjadi ringform, kemudian tropozoit, dan akhirnya akan
12
2.1.5
Patogenesis Malaria
Setelah melalui jaringan hati, Plasmodium sp. melepaskan 18-24
merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk
kedalam sel Retikulo-Endotelial System (RES) di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi di limpa. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan
13
melekat
dengan
molekul-molekul
adhesif
yang
terletak
2. Sekuestrasi
Sitoadheren menyebabkan parasit dalam eritrosit matur tidak
beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal
dalam jaringan mikrovaskular disebut parasit dalam eritrosit matur yang
mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi,
14
karena pada Plasmodium sp. lainya seluruh siklus terjadi pada pembuluh
darah perifer. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar
dan ginjal, paru, jantung, usus, dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang
peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.
3. Rosetting
Rosetting adalah berkelompoknya parasit dalam eritrosit matur
yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium sp.
yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat melakukan rosetting.
Rosetting
2.1.6
15
16
2.1.7
Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria sering memerlukan anamesa yang tepat dari
penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria,
riwayat berpergian ke daerah malaria, riwayat pengobatan kuratif maupun
preventif.7
a. Pemerikasaan Mikroskopis
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah yang menurut teknis
pembuatannya dibagi menjadi preparat darah tebal dan preparat darah
tipis, untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria dalam darah. Melalui
pemeriksaan ini dapat dilihat jenis Plasmodium sp. dan stadiumnya (P.
falciparum, P. vivax, P. malariae, P. ovale, tropozoit, skizon, dan
gametosit) serta kepadatan parasitnya.5
Penghitungan kepadatan parasit secara kuantitatif pada SDr tebal
adalah menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Pada SDr tipis,
penghitungan jumlah parasit per 1000 eritrosit.5
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum
penderita, meliputi pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
leukosit, eritrosit, dan trombosit. Bisa juga dilakukan dengan pemeriksaan
17
kimia darah (gula darah, SGOT, SGPT, tes fungsi ginjal), serta
pemeriksaan foto toraks, EKG, dan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi.5
c. Tes Serologi
Tes serologi mulai di perkenalkan sejak tahun 1962 dengan
memakai tehnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna
mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap malaria atau dimana
keadaan parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat
diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji
saring donor darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test
>1:20 dinyatakan positif. Metode-metode tes serologi antara lain indirect
haemagglutination test, immune-precipitation techniques, ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay) test, radio-immunoassay.7
d. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan
ini
dianggap
sangat
peka
dengan
teknologi
Komplikasi Malaria
Komplikasi yang sering terjadi pada Plasmodium sp.:5
1. Malaria serebral (coma) derajat penurunan kesadaran harus dilakukan
penilaian berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) ialah < 15.
18
2. Asidemia (pH < 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb = 5gr %)
4. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa
atau 1 ml/kg BB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai
kreatinin > 3 mg/dl).
5. Edema paru non-kardiogenik yang dapat menyebabkan ARDS (adult
respiratory distress syndrome).
6. Hipoglikemia (gula darah < 40 mg%).
7. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik < 70 mmHg (pada anakanak tekanan nadi 20 mmHg) disertai keringat dingin.
8. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna dan disertai
kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
9. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam.
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan
karena obat antimalaria pada seseorang dengan defisiensi G6-PD)
19
2.2.2
(+)
(+)(+)
(+)(+)(+)
(+)(+)(+)(+)
20
Jumlah
eritrosit/l
Jumlah eritrosit dalam 25
Dalam 1000 eritrosit yang diperiksa dan jumlah sel darah yang
terinfeksi dan persentase parasitemia kemudian dihitung dengan membagi
jumlah eritrosit yang terinfeksi dengan indeks total sel darah merah dan
dikalikan dengan 100. Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:9
jumlahjumlah
sel darah
merahmerahterinfeksi
terinfeksi
sel darah
n=
x 100 x 100
parasitemia=
total sel
darah
merah(1000)
total
sel darah
m erah(1000)
Tingkat parasetemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah tingkatan ringan (mild reaction) yaitu bila
presentase parasitemia < 5%, tingkatan kedua adalah tingkatan sedang
(moderate reaction) bila presentase parasitemia 5-10%, sedangkan
tingkatan ketiga adalah tingkatan berat
presentase parasitemia >10%.9
2.3 SGPT
2.3.1
Definisi SGPT
21
22
Hepatitis kronis
Serosis hepatis
Hepatitis alkoholik
Gagal ginjal
Malaria
2.3.3
Kongesti hepatik
Pengukuran SGPT
Tes untuk mendeteksi kadar SGPT:14
Secara automatik:
1. Ambil darah pasien sebanyak 5cc.
23
1
2 1 jam masuk kedalam sel hati. Didalam
sel hati Plasmodium sp. berkembang biak dengan membelah diri. Fase ini
24
Peningkatan SGPT
Derajat parasitemia
25
Derajat Parasitemia
Peningkatan Kadar
SGPT
26
Gambar 2.3 Kerangka konsep penelitian hubungan derajat parasitemia dengan kadar SGPT pada
pasien malaria di Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran.
2.7 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
H0: Tidak terdapat hubungan derajat parasitemia dengan peningkatan
kadar SGPT pada pasien malaria di Puskesmas Hanura Kabupaten
Pesawaran.
Ha: Terdapat hubungan derajat parasitemia dengan peningkatan kadar
SGPT pada pasien malaria di Puskesmas Hanura Kabupaten
Pesawaran.