Anda di halaman 1dari 17

DISKUSI

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi
hemoglobin.1 Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacam-macam
reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif,
namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek
saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung. 2,3
Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanakkanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanakkanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan
kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh,
asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja
puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi
(ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut
sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.4
Fisiologis eritrosit dan hemoglobin
Hematopoesis terjadi melalui 3 tahap perubahan, pada janin berusia 10-14 hari kehamilan
eritrosis akan dibentuk oleh mesoblastik yang kemudian pada usia 6-8 minggu kehamilan akan diambil
alih oleh hati, hati tidak secara sempurna menggantikan fungsi hematopoiesis sehingga kontribusi
plasenta diperlukan pada tahap ini. Hati sebagai organ hematopoiesis dipertahankan hingga minggu ke
20-24 kehamilan dan pada akhir trimester ke 2 akan diambil alih oleh sum-sum tulang. Pada minggu ke
18-20 sum-sum tulang sudah dapat memproduksi tetapi terbatas hanya neutrophil dan eritrosis saja.
Eritropoetin ibu tidak dapat menembus plasenta sehingga fungsi ini digantikan oleh makrofag dan
monosit pada trimester pertama dan kedua. 1
Hemoglobin pada janin berbeda pada hemoglobin bayi, selama trimester pertama dan kedua
hemoglobin memiliki 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma (HbF) yang mencapai 90% pada minggu ke-24,
HbF akan menurun menjadi 30% pada trimester ketiga dan digantikan oleh HbA (2 rantai alfa-2 rantai
beta) 70% dan HbA2 (2 rantai alfa-2rantai delta). 1
Perubahan hemoglobin ini memicu terjadinya hemolisis sehingga dapat terbentuk fisiologis
jaundice. Hemoglobin akan dipecah menjadi heme dan globin, globin akan disimpan kembali sedangkan

heme akan dipecah menjadi biliverdin dan besi oleh heme oxygenase selanjutnya akan dibentuk bilirubin
oleh bilirubin oleh biliverdin reductase yang akan dibawa oleh albumin menuju hati untuk dikonjugasi
selanjutnya di ekskresikan bersama dengan asam empedu menuju kantung empedu, saat diusus akan
dimetabolisme oleh flora normal usus menjadi urobilinogen dan sterkobilinogen. Sedangkan hemoglobin
bebas akan dibawa oleh haptoglobin sedangkan heme bebas akan dibawa oleh hemopexin menuju hati. 1

Gambar 1. Pemecahan hemoglobin

Gambar 2. Transporter hemoglobin


Anemia pada neonatus dapat terjadi akibat penurunan produksi eritrosit (aplastik), peningkatan
destruksi eritrosit (hemolitik) dan hilangnya darah (hemoragik). Penurunan produksi eritrosit dapat terjadi
akibat kegagalan sum-sum tulang ataupun infeksi sedangkan peningkatan destruksi eritrosis (hemolitik)
dapat disebabkan oleh reaksi imun atau non imun dan yang terakhir merupakan hilangnya darah

(hemoragik) secara internal atau eksternal. 5

Tabel 1. Batasan anemia berdasarkan usia

Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia dapat dibagi berdasarkan penyebab yaitu hemoragik, aplastik dan hemolitik
tetapi setelah ditemukan tehnik hapusan darah dan morfologi eritrosis klasifikasi dapat lebih spesifik.
Hapusan darah berfungsi dalam melihat morfologi eritrosit, hemoglobinopati dan kelainan membrane
eritrosit sedangkan morfologi eritrosit terdiri dari Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular
Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC).
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:

Mean Corpusculer Volume (MCV)


MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan

zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung
dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik <
70 fl dan makrositik > 100 fl.

Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)


MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom
< 27 pg dan makrositik > 31 pg.

Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
Red Cell Distribution Width (RDW) berfungsi dalam melihat jarak perbandingan ukuran eritrosit

terkecil dan terbesar. Jumlah retikulosit dapat menunjukan kemampuan produksi ertrosit muda sedangkan
indeks retikulosit menunjukan tingkat kemampuan eritropoesis apabila <3% menunjukan penurunan
kemamapuan sum-sum tulang dalam produksi eritrosit. 5

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan MCV

Pendekatan Diagnosis Anemia


Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit, MCV
menjadi

salah

satu

standar

klasifikasi

anemia

menjadi

mikrositik,

normositik,

dan

makrositik. Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai evaluasi awal.
Pertama-tama harus diperiksa distribusi dan pewarnaan sel. Tanda sediaan yang tidak baik adalah
hilangnya warna pucat di tengah eritrosit, bentuk poligonal, dan sferosit artefak. Sferosit artefak,
berlawanan dengan artefak asli, tidak menampakkan variasi kepucatan di tengah sel dan lebih besar dari
eritrosit yang normal. Sediaan yang tidak baik tidak boleh diinterpretasikan.Setelah sediaan telah
dipastikan kelayakannya, diperiksa pada pem- besaran 50x dan kemudian dengan 1000x. Sel-sel
digradasikan berdasarkan ukuran, intensitas pewarnaan, variasi warna, dan abnormalitas bentuk.
Gangguan hemolisis eritrosit dapat diklasifikasikan menurut morfologi predominannya. Terdapatnya
stippling basofilik dan sel inklusi juga perlu diperhatikan. 1,5
Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs, jumlah leukosit,
dan

trombosit.

Morfologi

eritrosit

pada

apusan

darah

tepi

dapat

menunjukkan

etiologi

anemia. Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan sumsum tulang yang berkaitan dengan penyebab anemia; pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan terakhir seandainya penyebab anemia masih belum diketahui. 1,5
Nilai MCV menunjukan volume dari eritrosit bila nilai MCV lebih dari 85 fl menunjukan ukuran
eritorisit meningkat sedangkan bila nilainya kurang dari 70 fl menunjukan ukuran eritrosit menurun
apabila nilai MCV normal maka pemeriksaan retikulosit perlu dilakukan untuk melihat produktifitas sumsum tulang belakang yang akan didukung dengan nilai leukosit dan trombosit yang juga rendah
sedangkan pemeriksaan bilirubin untuk melihat adanya reaksi hemolisis yang terjadi pada eritrosit, bila
nilai bilirubin normal dengan ukuran morfologi eritrosit yang normal menunjukan bahwa anemia
disebabkan oleh perdarahan. Coombs tes dilakukan bila ada kecurigaan reaksi hemolisis disebabkan oleh
reaksi autoimun atau isoimun. 1,5

Gambar 3. Algoritma pendekatan diagnosis anemia

Anemia Defisiensi Besi


Besi dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin, kekurangan besi akan menurunkan
hemoglobin dan anemia dapat terjadi. 15 tahun pertama 0,8 mg besi harus diberikan setiap hari dari intake
tetapi yang diabsorbsi hanya <10% sehingga kebutuhan besi setiap hari 8-10 mg/hari.Pergantian HbF
menjadi HbA terjadi pada 2-3 bulan, pemecahan ini dapat meningkatkan persedian besi dan cukup hingga
usia 6-9 bulan tetapi pada bayi premature Hb hanya 6-7 g/dl sehingga kebutuhan besi akan meningkat dan
tidak cukup hingga usia 6-9 bulan.
Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi
heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi nonheme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam
makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh
asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat
diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme
dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel
absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi
besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh protein duodenal
cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk
feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini
terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian
besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di lumen
usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian
akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan
apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus

c. Fase Korporeal

Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian
dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan
reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel
normoblas (Gambar 2.4). Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang
dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga
membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi
pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan
bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus
kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

Etiologi Anemia Defisiensi Besi


anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi,
serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:

Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung,

divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.


Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
Saluran kemih: hematuria.
Saluran nafas: hemoptisis.

2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang kurang) atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama
kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu
dan produk susu).

Tahap Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama.
Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus
berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:

Tahap pertama Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein
besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin
serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih

normal.
Tahap kedua Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin
menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin

(FEP) meningkat.
Tahap ketiga Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar
Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap
ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.

Gejala Klinis
Pada anemia defisiensi besi biasanya penurunan hemoglobinnya terjadi perlahan-lahan dengan
demikian memungkinkan terjadinya proses kompensasi dari tubuh, sehingga gejala aneminya tidak terlalu
tampak atau dirasa oleh penderita. Gejala klinis dari anemia defisiensi besi ini dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu

Gejala umum dari anemia itu sendiri, yang sering disebut sebagai sindroma anemia yaitu
merupakan kumpulan gejala dari anemia, dimana hal ini akan tampak jelas jika hemoglobin
dibawah 7 8 g/dl dengan tanda-tanda adanya kelemahan tubuh, lesu, mudah lelah, pucat,
pusing, palpitasi, penurunan daya konsentrasi, sulit nafas (khususnya saat latihan fisik), mata
berkunang-kunang, telinga mendenging, letargi, menurunnya daya tahan tubuh, dan keringat
dingin.

Gejala dari anemia defisiensi besi: gejala ini merupakan khas pada anemia defisiensi besi dan
tidak dijumpai pada anemia jenis lainnya, yaitu:
o

koilonychia/ spoon nail/ kuku sendok dimana kuku berubah jadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan jadi cekung sehingga mirip sendok.

Atropi papil lidah. Permukaan lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan karena
hilangnya papil lidah.

Stomatitis angularis/ inflamasi sekitar sudut mulut.

Glositis

Pica/ keinginan makan yang tidak biasa 6. Disfagia merupakan nyeri telan yang
disebabkan `pharyngeal web`

Atrofi mukosa gaster.

Sindroma Plummer Vinson/ Paterson kelly ini merupakan kumpulan gejala dari anemia
hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah dan disfagia.

Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi tersebut,
misalkan yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang maka akan dijumpai gejala dispepsia,
kelenjar parotis membengkak, kulit telapak tangan warna kuning seperti jerami. Jika disebabkan
oleh perdarahan kronis akibat dari suatu karsinoma maka gejala yang ditimbulkan tergantung
pada lokasi dari karsinoma tersebut beserta metastasenya.
Anemia defisiensi besi yang terjadi pada anak sangat bermakna, karena dapat menimbulkan

irritabilitas, fungsi cognitif yang buruk dan perkembangan psikomotornya akan menurun. Prestasi belajar
menurun pada anak usia sekolah yang disebabkan kurangnya konsentrasi, mudah lelah, rasa mengantuk.
Selain itu pada pria atau wanita dewasa menyebabkan penurunan produktivitas kerja yang disebabkan
oleh kelemahan tubuh, mudah lelah dalam melakukan pekerjaan fisik/ bekerja.6

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab dapat ditemukan kadar Hb yang menurun < 10 g/dl dan peningkatan 2,3 dpg
dengan pergeseran kurva oksigen. Penurunan kadar feritin menunjukan telah terjadi penurunan simpanan
besi, pada stadium ini dapat disebut sebagai defisiensi besi setelah kadar simpanan menurun maka serum
besi akan ikut menurun hingga terjadi peningkatan TIBC dan penurunan transferin disertai akumulasi
protoporfirin dan kegagalan pembentukan Hb, pada tingkat ini maka disebut sebagai anemia defisiensi
besi.
Pada hapusan darah akan dijumpai mikrositik hipokrom dan beberapa eritorsit akan menunjukan
gambaran pencil shape hal ini disebabkan besi sebagai salah satu penunjang sitoskeleton pada eritrosit.
Retikulosit Hb akan menurun dan transferin reseptor akan meningkat. Trombositopenia dapat ditemukan
pada kasus lanjut. 1,5

Gambar 4. Gambaran morfologi hapusan darah perifer

Tabel 6. Perbedaan anemia defisiensi besi, talasemia dan anemia sideoblasitik


Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai
secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda
meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap
menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah
dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah

stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu
yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis
sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor,
pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut,
infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator
yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi
populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan
serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan
perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa
diikat secara khusus oleh plasma.
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan
besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum
feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi,
sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.

Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar
dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan
cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil
atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan
mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis
dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan,
penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),
Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

Kriteria diagnosis menurut WHO

Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

Konsentrasi Hb eritrosit 31% (normal : 32-35%)

Serum besi <50 ug/dl (normal : 80-180 ug/dl)

Saturasi transferin <15 % (normal : 20-50%)

Kriteria minimal yang harus dipenuhi adalah nomor 1,3 dan 4. Bila sarana terbatas maka diagnosis dapat
ditegakan dengan

Anemia tanpa perdarahan

Tanpa organomegali

Gambaran darah tepi mikrositik hipokromik dengan sel target

Respon terhadap pemberian besi

Pencegahan primer pada anemia defisiensi besi

Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan

Menunda pemakaian susu sapi hingga 1 tahun

Makanan tambahan dengan besi yang difortifikasi usia 4-6 bulan

Hindari minum susu berlebihan hingga usia >9bulan

Pencegahan sekunder meliputi

Skrining anemia defisiensi besi dengan memeriksa Hb dan Ht pada usia 9-12 bulan, 6 bulan
kemudian dan usia 24 bulan

Menilai MCV yang rendah dengan RDW meningkat hingga usia remaja

Suplementasi besi
o

Berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan 1 mg/kgbb/hari

Dengan berat 1,5-2 kg : 2 mg/kgbb/hari sejak usia 2 minggu

1-1,5 kg : 3 mg/kgbb/hari sejak usia 2 minggu

<1 kg : 4 mg/kgbb/hari sejak usia 2 minggu

Pengobatan anemia defisiensi besi


Dengan pemberian preparat besi elemental 4-6 mg/kgbb/hari lalu menilai respon terapi dengan
kenaikan Hb 2 g/dllanjutkan hingga 2-3 bulan. Tranfusi darah hanya diberikan bila kadar Hb < 4g/dl,
ditemukan tanda gagal jantung atau anemia defisiensi besi disertai dengan tanda perdarahan. 1,5

Tabel 7. Respon terapi besi pada anemia defisiensi besi

Kesimpulan
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. Hal ini dapat terjadi oleh berbagai macam penyebab antara lain kurangnya asupan yang
mengandung zat besi, infeksi cacing tambang, menstruasi yang berlebihan dan lain lain. Anemia
defisiensi besi yang terjadi pada anak sangat bermakna, karena dapat menimbulkan irritabilitas, fungsi
cognitif yang buruk dan perkembangan psikomotornya akan menurun. Prestasi belajar menurun pada
anak usia sekolah yang disebabkan kurangnya konsentrasi, mudah lelah, rasa mengantuk. Oleh karena itu
penting untuk memperhatikan asupan gizi yang mengandung zat besi dan kebersihan dari makanan yang
dikunsumsi. Pemberian preparat besi dapat membantu menaikkan kadar hemoglobin bagi penderita
anemia defisiensi besi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
2. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oskis Hematology of Infancy and
Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008.
3. Khusun H, Yip R, Schultink W, Dillon DHS. World Health Organization Hemoglobin Cut-Off Points for
the Detection of Anemia Are Valid for An Indonesian Population. J Nutr. 1999;129:1669-74.
4. Widiastuti M. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. 2012. Diunduh dari
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak
5. Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology; 5h Edition. London; Elsevier
Academic Press; 2011: 1-256

6. Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas.Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai