PENDAHULUAN
Fibrosis retroperitoneum merupakan kondisi terdapatnya sebuah massa fibrotik dan
inflamasi kronis yang berkembang dan berpotensi menyebabkan obstruksi struktur
retroperitoneum, termasuk salah satu atau kedua ureter. Salah satu atau kedua ureter dapat
terkompresi oleh proses inflamasi kronis yang melibatkan jaringan retroperitoneal pada
vertebra lumbar bawah.
Fibrosis retroperitoneum tampak sebagai plak fibrotik berwarna putih yang
menyelubungi aorta, vena kava inferior, dan cabang-cabang besarnya, dan juga ureter,
struktur peritoneum lainnya, dan, seringkali, struktur intraperitoneum termasuk traktus
gastrointestinal. Sumbu longitudinal memanjang dari hilum renal ke pelvic brim, tetapi juga
dapat ekstensi ke dalam pelvis, mediastinum, bahkan orbit optik. Secara histologis terdapat
sebuah komponen fibrotik dan infiltrat inflamasi kronis yang terdiri dari limfosit, makrofag,
sel plasma, dan eosinofil. Infiltrat berada di perivaskuler dan dapat juga bersifat difusa.
Komponen fibrotik terdiri dari myofibroblas dan kolagen tipe-1.
B. EPIDEMIOLOGI
Informasi mengenai epidemiologi penyakit ini cukup terbatas. Di Finlandia,
insidensinya 0,1 setiap 100.000 orang/tahun dan prevalensinya 1,38 setiap 100.000
penduduk. Insidensinya diperkirakan 1 dalam 200.000 di Belanda dan lebih banyak terjadi
pada pria, dengan perbandingan pria terhadap wanita 2 hingga 3:1. Usia rerata saat onset
umumnya 50 hingga 60 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak. Pengaruh genetik
tidak dianggap berperan penting, karena tidak ada laporan berdasarkan pengelompokkan
keluarga.
C. ETIOLOGI
Etiologi fibrosis retroperitoneum belum jelas, walau sejumlah mekanisme telah
diperkirakan. Salah satunya adalah perkembangan vaskulitis di pembuluh adventitia aorta
dan pembuluh kecil periaorta. Hal tersebut menyebabkan pelepasan antigen dari plak ateroma
(seroid, lipoprotein kompleks) yang menginduksi respon antigen autoimun yang selanjutnya
menyebabkan inflamasi lokal yang kemudian menjadi berbagai derajat fibrosis. Fibrosis
retroperitoneaum berhubungan dengan HLA-DRB 1*03, sebuah alel yang terhubung ke
sejumlah penyakit autoimun. Antibodi untuk fibroblas telah didapatkan dari fibrosis
retroperitoneum. Penelitian in-vitro menunjukkan bahwa antibodi tersebut memberikan
stimulasi pada fibroblas sehingga menyebabkan perluasan fibrosis lokal. Limfosit CD3+ dan
CD20+ dan sel plasma positif-IgG4 juga telah diidentifikasi. Kemunculan sel B klonal dan
oligoklonal menunjukkan bahwa kelainan sel B juga dapat berperan. Toksin dari lingkungan
juga dapat menyebabkan, seperti ditunjukkan oleh hubungan yang positif antara paparan
asbes dan perkembangan fibrosis retroperitoneum.
Terdapat banyak penyebab fibrosis retroperitoneal dan penyakit keganasan (paling
sering adalah penyakit Hodgkin, karsinoma mammae, dan karsinoma kolon) harus selalu
dicurigai dan disingkirkan, agar dapat menegakkan diagnosisnya. Walau jarang,
glomerulonefritis membranosa, inflammatory bowel disease, atau aneurisma aorta juga dapat
menjadi penyebab. Infeksi unik dapat menyebabkan fibrosis retriperitoneum seperti
tuberkulosis, histoplasmosis, dan aktinomikosis. Infeksi tersebut dapat muncul setelah
pembedahan abdomen atau pelvis maupun trauma abdomen. Radiasi dan kemoterapi sistemik
juga dilaporkan dapat menyebabkan hal itu. Sejumlah hubungan antara fibrosis peritoneum
dan penyakit sistemik telah dilaporkan termasuk autoimun dan proses inflamasi. Hal ini
termasuk pankreatitis autoimun, penyakit tiroid autoimun, vaskulitis pembuluh berukuran
kecil dan sedang, ankylosing spondilitis, artritis reumatoid, kolangitis sklerotik, sirosis bilier
primer, uveitis, psoriasis, dan amiloidosis dan penyakit Erdheim-Chester.
Kasus lainnya adalah suatu kondisi yang dimaksud dengan penyakit Ormond. Semua
kelainan fibrosis retroperitoneum yang tidak diketahui penyebabnya (idiopathic) dinamakan
penyakit Ormond. Pada tahun 1948, John Kelso Ormond pertama kali menjelaskan keadaan 2
orang pasien yang tidak diketahui penyebabnya:
a. Salah seorang memiliki penurunan kinerja ginjal progresif dan meninggal karena
penyakitnya,
b. Pasien lainnya menjalani eksplorasi dan ureterolisis tanpa tanda-tanda yang tampak
atau gejala obstruksi ureter berulang selama 12 tahun.
D. DIAGNOSIS
a. Tanda dan Gejala
Pasien biasanya memiliki gejala non-spesifik, dapat berupa nyeri punggung,
abdomen, atau flank, penurunan berat badan, anoreksia, dan badan terasa lemah (malaise).
Tanda-tanda tidak spesifik termasuk hipertensi (pada 50%), demam, dan edema ekstremitas
bawah. Karena perjalanan penyakitnya yang tersembunyi, banyak pasien yang datang saat
perjalanan penyakitnya sudah lanjut, dan mengalami tanda dan gejala yang disebabkan oleh
obstruksi ureter atau vaskuler. Abnormalitas laboratorium yang dilaporkan tidak spesifik dan
termasuk elevasi pada reaktan fase akut, seperti laju sedimentasi eritrosit dan protein creactive (CRP) pada 80-100% kasus, peningkatan kreatinin serum, hipergamaglobulinemia,
dan anemia normokromik normositik. Uji penyakit autoimun seperti antibodi antinukleus,
faktor reumatoid, dan antibodi terhadap otot polos, dsDNA, antigen nukleus extractable, dan
sitoplasma neutrofil juga dapat positif.
b. Biopsi
Biopsi untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan harus dilakukan setelah
menangani gejala awal. Hal ini dapat dilakukan secara perkutan melalui panduan CT, MRI,
atau ultrasonografi. Biopsi inti jaringan (konfirmasi histologis) dipilih dibandingkan penilaian
sitologi melalui aspirasi jarum halus. Apabila hal ini tidak memungkinkan secara teknis, atau
jaringan yang diambil tidak cukup, disarankan melakukan pembedahan terbuka atau biopsi
laparoskopik dengan ureterolisis, jika keganasan tidak dicurigai pada analisis jaringan beku.
Jika biopsi perkutan menunjukkan penemuan yang sesuai dengan fibrosis retroperitoneum,
obat-obatan yang mungkin memperberat penyakit harus dihentikan. Biopsi dari bagian
fibrotik harus diulang untuk membatasi risiko kesalahan sampling yang berhubungan dengan
biopsi perkutan.
c. Pencitraan
Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis ditegakkan melalui urografi eksretorik. Penyakit ini akan menunjukkan
deviasi medial ureter dengan dilatasi proksimal. Suatu segmen panjang ureter biasanya
terlibat, dan dalam beberapa kasus, terdapat penampakan pipestem atau batang pipa yang
disebabkan aperistalsis karena fibrosis. Ureterogram retrograde dibutuhkan apabila fungsi
ginjal buruk, dan, dalam kasus apapun, membantu delienasi panjang dari segmen ureter yang
terkena.
Sebelum terdapat pencitraan cross section atau potong lintang, diagnosis radiologis
ditegakkan dari pencitraan yang bukan hanya menunjukkan proses penyakitnya saja, tetapi
juga efeknya terhadap ureter. Penemuan radiologis klasik adalah deviasi medial ureter yang
terkompresi secara ekstrinsik disertai hidronefrosis, tetapi hal ini adalah penemuan tidak
spesifik, karena hingga 18% kasus, deviasi medial ureter juga dapat dimiliki subjek normal.
Ultrasonografi
Ultrasonografi tidak hanya dibutuhkan untuk diagnosis, tapi juga untuk memantau
MRI
Pemindaian computed tomography (CT scan) atau pencitraan resonansi magnetik
(MRI) penting untuk evaluasi retroperitoneum itu sendiri, juga untuk pencitraan ureter. Saat
ini, pencitraan potong lintang dengan CT atau MRI adalah modalitas pilihan untuk evaluasi
pasien yang dicurigai memiliki fibrosis retroperitoneum. Kedua modalitas tersebut mampu
menunjukkan delienasi akurat ekstensi penyakitnya ketika dihubungkan dengan eksplorasi
melalui pembedahan. MRI menawarkan evaluasi potong lintang dan multiplanar dari plak
fibrosis retroperitoneum. Secara teori, MRI memberikan perbedaan jaringan lunak superior
dan dapat lebih akurat membedakan plak dari pembuluh besar dibandingkan CT. Selain itu,
penyakit ini dapat diamati tanpa paparan radiasi berulang dari CT.
CT Scan
CT biasanya menunjukkan massa retroperitoneum berbatas tegas, dengan isodensitas
terhadap otot. Massa tersebut biasanya mengelilingi aorta abdominal bawah, vena kava
inferior, dan pembuluh iliak-seringnya menyelubungi ureter. Sebaliknya, massa-massa yang
muncul akibat keganasan biasanya menyebabkan aorta bergeser ke anterior dan ureter ke
lateral. Derajat yang bervariasi dari pemberian kontras juga dapat terlihat, biasanya lebih
tampak di perjalanan awal penyakitnya saat terduga plak yang lebih imatur memiliki
vaskularisasi yang meningkat. Beberapa melakukan pencitraan CT multidetektor nonkontras
yang disarankan dikombinasikan dengan pyelografi CT antegrade untuk evaluasi, karena
mampu menunjukkan proses fibrotik dan level dan derajat obstruksi ureter tanpa pemberian
materi kontras intravena. Tetapi, proses invasif dari proses diagnostik ini membatasi
penggunaannya.
PET Scan
Baru-baru ini, pemindaian positron emission tomography (PET scan) juga telah
dengan derajat yang lebih besar saat peningkatan di fase akut proses penyakitnya. Rasio
peningkatan dapat dihitung dengan peningkatan gadolinium, dan investigator telah
menggunakan rasio ini untuk menilai aktivitas penyakit dan mengamati respon terhadap
terapi.
Positron emission tomography fluorodeoksiglukosa-18 F (PET FDG-18 F) adalah
modalitas pencitraan yang mendeteksi aktivitas hipermetabolik dan mampu menunjukkan
derajat inflamasi plak, yang dapat memprediksi respon terhadap terapi imunosupresif dan
juga respon terhadap terapi. Penggunaan PET FDG-18F untuk tatalaksana fibrosis
retroperitoneum belum ditemukan, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Single photon
NSAIDs
Tamoxifen, sebuah antiestrogen nonsteroid, juga telah digunakan untuk terapi utama.
Tamoxifen dianggap mampu mengubah TGF-, secara potensial membatasi fibrosis. Van
Bommel and associates memberikan 20 mg Tamoxifen/hari kepada 19 pasien. Median durasi
pemberian adalah 8.5 bulan (rentang 5.5 hingga 15 bulan). Empat belas merespon terapi
(74%) dan 5 gagal (26%).
Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi menggunakan regimen steroid dan tamoxifen harian yang sukses
juga telah digambarkan. Tatalaksana lainnya telah digunakan sebagai terapi utama atau
penyelamat bagi mereka yang menderita fibrosis retroperitoneum.
1. Marcolongo and colleagues melaporkan 26 pasien yang diberikan prednison selama 6
bulan dikombinasikan dengan siklofosfamid selama 6 bulan atau azatioprin selama 1
tahun. Efek samping berat pada kelompok siklofosfamid termasuk kematian pada 1
orang, sepsis pada 1 orang, dan leukopenia berat pada 2 orang pasien. Pada kelompok
azatioprin, terdapat hepatitis, pankreatitis, kandidiasis oral. Semua pasien yang
bertahan memiliki perbaikan penyakit, walaupun 7 orang membutuhkan program
tatalaksana kedua.
2. Swartz menangani 16 pasien dengan fibrosis retroperitoneum idiopatik dengan 3
hingga 6 bulan pemberian prednison bersama dengan mycophenolate mofetil selama
kurang lebih 2 tahun. Setengah dari pasien-pasien itu ditujukan untuk ureterolisis atau
rekonstruksi ureter, sementara yang lainnya hanya menjalani pemasangan cincin
ureter. Semuanya mengalami perbaikan gejala dan bebas cincin. Kelompok lainnya
dilaporkan berhasil dengan regimen ini.
3. Adler and colleagues menangani 9 pasien yang telah dikonfirmasi secara histologis
memiliki fibrosis retrperitoneum dengan prednison dan mycophenolate mofetil selama
6 bulan. Semuanya memiliki regresi fibrosis retroperitoneum secara radiografis, dan 7
orang bebas cincin.
4. Scheel and associates melaporkan 7 pasien menerima regimen mycophenolate mofetil.
Enam dari 7 mengalami regresi radiografik, dan 10 dari 11 orang dengan obstruksi
unit renal menjadi bebas cincin.
5. Vega and colleagues memberikan kolkisin dan prednison atau deflazacort (preparat
steroid) kepada 7 pasien dan melaporkan bahwa sebagian besar mengalami regresi
penyakitnya. Koadministrasi steroid pada semua seri ini tidak menunjukkan
efektivitas agen-agen tersebut.
b. Terapi Pembedahan
Bila respon terhadap kortikosteroid buruk atau obstruksinya berat, harus dilakukan
diseksi ureter dari plak fibrosis melalui pembedahan. Setelah terbebas, ureter harus
diposisikan di intraperitoneum atau dibungkus dalam omentum untuk mencegah rekurensi.
Diseksi ureter harus dimulai di wilayah bebas penyakit, dan harus diperhatikan untuk
mencegah devaskularisasi ureter. Beberapa strategi telah diupayakan untuk mencegah
keterlibatan ureter berulang pada proses fibrotik.
Ureterolisis dilakukan jika terapi medis gagal atau jika pasiennya bukan kandidat
terapi medis. Dahulu, hal ini dilakukan melalui pembedahan terbuka. Kini, sudah didapatkan
ureterolisis laparoskopik dan robotik yang sukses, sehingga dapat menjadi pilihan terapi
bedah. Ureterolisis bilateral disarankan, bahkan pada kasus penyakit unilateral, karena
penyakit tersebut biasanya akan brekembang ke sisi kontralateral. Ureter dapat digeser ke
posisi lateral, dibawa ke lokasi intraperitoneum dengan menutup peritoneum di belakangnya,
atau dibungkus dengan selembar omentum.
Apabila telah ditentukan secara intraoperatif bahwa ureterolisis tidak memungkinkan
secara teknis, terapi alternatif adalah penggantian ileal ureter, autotransplantasi, pemasangan
cincin ureter kronis, atau drainase selang nefrostomi. Cincin ureter secara umum dapat
dilepaskan 6 hingga 8 bulan setelah ureterolisis.
Angka keberhasilan yang dilaporkan untuk seri kecil yang melibatkan ureterolisis
adalah 66% hingga 100%.
1. Angka keberhasilan terbaik dilaporkan oleh Elashry and colleagues yaitu 100% untuk
7 prosedur laparoskopik dan 100% pada 6 prosedur pembedahan terbuka.