Anda di halaman 1dari 28

Refrat

Chronic Kidney Disease (CKD)

Disusun Oleh :
Leni anggraeni
112014032

Pembimbing :
dr. Irena sandra Dewi Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU KUDUS

DAFTAR ISI
25

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.

DEFINISI......................................................................................3
KRITERIA....................................................................................3
KLASIFIKASI..............................................................................3
ETIOLOGI ..................................................................................4
FAKTOR RESIKO.......................................................................5
EPIDEMIOLOGI ........................................................................5
ANATOMI GINJAL.....................................................................5
FISIOLOGI GINJAL.....................................................................8
PATOFISIOLOGI........................................................................16
DIAGNOSIS
- GEJALA KLINIS....................................................................20
- GAMBARAN LABORATORIUM ........................................21
- GAMBARAN RADIOLOGIS................................................21
- BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOGI GINJAL...22
K. KOMPLIKASI..............................................................................22
L. PENATALAKSANAAN..............................................................22
M. PROGNOSIS................................................................................25
BAB III KESIMPULAN.........................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga
abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit di atas garis pinggang. Ginjal
25

mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin, menahan
bahan bahan tertentu dan mengeliminasi bahan bahan yang tidak diperlukan ke dalam
urin. Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang
dikenal sebagai neuron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Setiap nefron
terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan
fungsional berkaitan erat.
Bagian dominan pada komponen vaskuler adalah glomerulus, suatu berkas kapiler
berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya.
Sedangkan komponen tubulus dari setiap neuron adalah suatu saluran berongga berisi cairan
yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel. Cairan yang sudah terfiltrasi di glomerulus, yang
komposisinya nyaris identik dengan plasma, kemudian mengalir ke komponen tubulus
nefron, tempat cairan tersebut dimodifikasi oleh berbagai sistem transportasi yang
mengubahnya menjadi urin.
Keadaan dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume
dan komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat
irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik bersifat samar karena hampir 75% jaringan ginjal dapat dihancurkan
sebelum gangguan fungsi ginjal terdeteksi. Karena besarnya cadangan fungsi ginjal, 25% dari
jaringan ginjal sudah cukup untuk menjalankan semua fungsi regulatorik dan eksretorik
ginjal. Namun dengan kurang dari 25% jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi
ginjal akan tampak. (1)

BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan

fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya

25

berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah). (2)

B. KRITERIA (2)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002)
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
C. KLASIFIKASI (2)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mn/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
60 89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
30 59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
15 29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2)

(140 umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit
Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
diabetes

obat, neoplasma)
25

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,


hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit

Penyakit kistik (ginjal polikistik)


pada Rejeksi kronik

transplantasi

Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)


Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

D. ETIOLOGI (3)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi.

Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada

ginjal antara lain :


Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron
ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.

25

b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada
leher kandung kemih dan uretra.

E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan
riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta
kumpulan populasi

yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti

African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American


Indians. (4)

F. EPIDEMIOLOGI (2)
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus perjuta penduduk
pertahun.

G. ANATOMI GINJAL(1)
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang
rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang.
Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing masing
masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk
seperti buncis. Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk
menghasilkan urin yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral
(pelvis renalis) yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua
ginjal. Lalu dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot
polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri
dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke
sebuah kandung kemih. Kandung kemih ( buli buli) yang menyimpan urin secara
temporer, adalah sebuah kantung berongga yang dapat diregangkan dan volumenya
disesuaikan dengan mengubah ubah status kontraktil otot polos di dindingnya.

25

Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubuh melalui sebuah
saluran, uretra. Bagian bagian sistem kemih diluar ginjal memiliki fungsi hanya
sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh. Setelah terbentuk di ginjal,
komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin mengalir ke hilir melintasi
sisi sistem kemih.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran
mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan
ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah
luar yang tampak granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa
segitiga segitiga bergaris garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut
medula ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus,
yang keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat.
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :
-

Arteriol aferen
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi bagi menjadi
pembuluh pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler
glomerulus

Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut
dari darah yang melewatinya

Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus
meninggalkan glomerulus dan merupakan satu satunya arteriol di dalam
tubuh yang mendapat darah dari kapiler

Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi bagi menjadi serangkaian kapiler
yang kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk
memperdarahi jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen
tubulus. Kapiler kapiler peritubulus menyatu membentuk venula yang
akhirnya mengalir ke vena renalis, temoat darah meninggalkan ginjal

Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis cairan yang
terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :
-

Kapsula Bowman

25

Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk


mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus
-

Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku liku)
atau berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan
yang difiltrasi dari kapsula bowman

Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars
desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars
assendens berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali
ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati
garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel sel
tubulus dan sel sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk aparatus
jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan penting dalam
mengatur fungsi ginjal.

Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung
henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul

Duktus atau tubulus pengumpul


Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis
ginjal
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang

dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks


merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron
korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula
terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke
dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk
lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan
berdampingan erat dengan lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik
permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta berperan penting dalam

25

kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi tergantung


kebutuhan tubuh.

H. FISIOLOGI GINJAL(1)
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik
dan ekskretorik yaitu :
(1) filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam
kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus
yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai
membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng,
memiliki lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau fenestra, yang
membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut
dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara
glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural,
sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun
protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati
pori pori diatas, pori pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan
albumin dan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan
sangat negatif akan menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir
25

juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya


tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos
untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan
memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di
dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah
filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan
masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan
darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik
kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus
yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke
kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama
yang menghasilkan filtrasi glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi,
penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR.
Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat
mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat
dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena
tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus.
Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR.
Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal
melakukannya dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi
terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat
peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan kembali menjadi normal oleh
konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran darah ke dalam
glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah
dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf

25

simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi
perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus
difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat
glomerulus setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter
filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.
(2) reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam tubulus
(lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena
kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport
aktif dan pasif karena sel sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight
junction. Glukosa dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus
proksimal melalui transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya
direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi
natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars
descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui
transpor pasif. Berikut ini merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi
di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di
tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi
sebagian ada

yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga

berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.
Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal

25

dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi
di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang
bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan
oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium

difiltrasi

seluruhnya

di

glomerulus,

kemudian

akan

direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%,


40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan
sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul
f. Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses
sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal
karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea.
Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi
kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan
kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus,
40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi
di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan
oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi
sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan
dieksresikan ke dalam urin.
(3) sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion ion
organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang
tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai
25

keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal.
Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan
kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil
dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua
konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi
tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke
pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan
untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na +, Cl-, K+,
HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui
peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O
4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari metabolisme
tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat
zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak

25

7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada


makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil
masuk ke dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan
sel darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang
penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

Tinjauan perjalanan klinis gagal ginjal kronik


Tinjauan mengenai perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat di peroleh
dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan laju filtrasi glomerulus
(GFR) sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar
nitrogen urea darah (BUN) karena massa nefron dirusak secara progresif oleh
penyakit ginjal kronik.
Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama di sebut penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan pasien asimptomatik. Gangguan fungsi
ginjal hanya dapat dideteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti test pemekatan urin yang lama atau dengan mengadakan test GFR
yang teliti.
Stadium kedua perkembangan tersebut di sebut insufisiensi ginjal, bila lebih
dari 75% jaringan berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap
ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi
BUN ini berbeda-beda, tergantung pada kadar protein dalam makanan (bandingkan
grafik BUN pada makanan rendah protein dengan makanan yang normal kadar
proteinnya). Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi
kadar normal. Azotemia biasanya ringan ( kecuali bila pasien mengalami stress akibat
infeksi, gagal jantung atau dehidrasi). Pada stadium insufisiensi ginjal ini mulai
timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria (akibat gangguan kemampuan pemekatan).
Gejala gejala ini timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan atau
minuman yang tiba tiba. Pasien biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala
ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan25

pertanyaan yang teliti. Nokturia (berkemih dimalam hari) didefinisikan sebagai gejala
pengeluaran urine waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml, atau
pasien terbangun utnuk berkemih beberapa kali waktu malam hari. Nokturia
disebabkan oleh hilangnya pola pemekatan urin diurnal normal sampai tingkat
tertentu dimalam hari. Pada urin normal perbandingan jumlah urin siang dan malam
hari adalah 3:1 atau 4:1. Sudah tentu, nokturia kadang-kadang dapat terjadi juga
sebagai respons terhadap kegelisahan atau minum cairan yang berlebihan , terutama
teh, kopi atau bir yang diminum sebelum tidur. Poliuria berarti peningkatan volume
urin yang terus menerus. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari dan
berubah-ubah sesuai dengan jumlah cairan yang diminum. Poliuria akibat insufisiensi
ginjal biasanya terjadi lebih besar pada penyakit yang terutama menyeran tubulus,
meskipun biasanya poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari
Stadium tiga dan stadium akhir gagal ginjal progresif disebut penyakit ginjal
stadium akhir (ESDR) atau uremia. ESDR terjadi apabila skitar 90% dari masa nefron
hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari
keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml permenit atau
kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serung dan kadar BUN akan meningkat dengan
sangat menyolok sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan.
Pada ESDR, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh.
Urin menjadi isoosmotik dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010.
Pasien biasanya menjadi oligurik (pengeluaran urin kurang dari 500 ml/hari) karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus
ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom
uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada ESDR pasien anak meninggal
kecuali bila mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi atau dialisis. Meskipun
perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi tiga stadium, tetapi dalam
praktisnya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium stadium tersebut. Bentuk
hiperbolik grafik azotemia yang dihasilkan dengan membandingkan terhadap nilai
GFR menggambarkan penyakit yang berlanjut tetapi meningkat secara perlahanlahan, makin lama makin cepat.

25

Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan


gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang tradisional
mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium
yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi
tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya lesi organik
pada medulla akan merusak susunan anatomik pada lengkung henle dan vasa rekta,
dan pompa klorida pada pars asendens lengkung henle yang akan mengganggu proses
aliran balik pemekatan dan aliran balik penukaran. Pendekatan kedua dikenal dengan
nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila
nefron terserang penyakit,maka seluruh unitnya akan hancur. Namun sia nefron yang
yang masih utuh dapat bekerja dengan normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron
sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan
pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk
mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan
dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut,
namun jumlah zat terlarut yang harus di eksresi oleh ginjal untuk mempertahankan
homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi
tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal
sebagai respon terhadap ancaman ketidak seimbangan cairan dan elektrolit. Sisa
nefron yang ada mengalami hipertorfi dalam usahanya untuk melakukan seluruh
beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi beban zat terlarut dan
reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron
yang yang terdapat dalam ginjal turun dibawah nilai normal. Mekanisme adaptsi ini
cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
hingga tingkat fungsi ginjal sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa
di nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap
nefron demikian tinggi sehingga glomerulus tubulus ( keseimbangan antara
peningkatan glomerulus tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik
pada proses eksresi maupun proses konservasi zat terlarut air menjadi berkurang.
Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut,
karen makin rendah GFR ( yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar
perubahan kecepatan eksresi nefron. Hilangnya kemampuan pemekatan atau
25

mengencerkan urin menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285
mOsm ( yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala
poliuria dan nokturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makan normal mengeksresi
zat teralrut sekitar 600 mOsm perhari, maka tanpa memandang banyaknya asupan air
akan terdapat kehilangan obligatrik 2 liter air untuk eksresi zat terlarut 600 mOms
(285 mOsm/liter). Sebagai respon terhadap beban zat terlarut yang sama keadaan
kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan hingga 4 kali lipat konsentrasi
plasma dan dengan demikian hanya mengeksresikan sedikit urin pekat. Bila GFR
terus turun hingga mencapai nol, maka semakin perlu pengaturan asupan cairan dan
zat terlarut secara tepat untuk mampu mengakomodasikan penurunan fleksible fungsi
ginjal.
I. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi
lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian
seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal
Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin
dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
-

Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
25

kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu
GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 80 hari dan toksik uremik
ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis
-

Sesak nafas
disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga
menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat
(hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa
darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan
tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema
paru sesak nafas

Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan
kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada
gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan
sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat
melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,
muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah

pernapasan

kussmaul

yang

timbul

karena

kebutuhan

untuk

meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis


-

Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal

25

tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus


juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
-

tekanan darah.
Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri

Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.

Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat
yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi
dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
25

tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada


insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO 4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan
dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga berperan
dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia
-

Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.

Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul
protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
25

melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi


pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan sindrom nefrotik.
-

Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke
aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang
dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.

J. DIAGNOSIS
GEJALA KLINIS
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti :
-

Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik

Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit

Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya


konsentrasi menurun, insomnia, gelisah

Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema

Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria

25

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. (2)
GAMBARAN LABORATORIUM(2)
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria
GAMBARAN RADIOLOGIS(2)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak

25

b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL(2)


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
nafas, dan obesitas.

K. KOMPLIKASI(2)
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
-

Hiperkalemia

Asidosis metabolik

Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )

Kelainan hematologi (anemia)

Osteodistrofi renal

Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)

Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

L. PENATALAKSANAAN(2)
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

25

Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit
Asupan protein g/kg/hari
Fosfat g/kg/hari
>60
Tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
25 60
0,6

0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35 gr/kg/hr
5 -25

nilai biologi tinggi


0,6

0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35 gr/kg/hr
protein nilai biologi tinggi
atau tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau asam

<60(sind.nefrotik)

keton
0,8/kg/hari (+1 gr protein/ < 9 g
g proteinuria atau 0,3 g/kg

25

tambahan

asam

amino

esensial atau asam keton


o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi

(ACE

inhibitor)

disamping

bermanfaat

untuk

memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk


memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
-

Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar
besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11
12 g/dl.

Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i.

Mengatasi hiperfosfatemia

Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari


Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan calcium acetate
Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida.
25

ii.

Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal
karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di
saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam
calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi
metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan
yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.

iii.

Pembatasan cairan dan elektrolit


Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema
dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air
yang masuk dianjurkan 500 800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk

mengendalikan

hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,


disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.
6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
M. PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.
Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut
dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. (3)

25

BAB III
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan
adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan
tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada
ginjal antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%) merupakan penyakit
ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari
pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan
akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini,
penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti
kelainan saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan
kulit (urea frost dan gatal di kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram
otot, daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi,
sesak nafas, nyeri dada, edema), kangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria)
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan
fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi
terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 503.
2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 1040.
3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.
4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 115.
6. Price A. S. Patofisoiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC:2014. P.912-916

25

Anda mungkin juga menyukai